Minggu, 07 Maret 2010

Undang-Undang Veteriner: Masa Depan Profesi

Peringatan Ulang Tahun ke-1 Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Seminar Nasional dengan tema "Belajar dari masa lalu: Menyiapkan masa depan kesehatan hewan nasional" di Bogor, 25 November 2006.

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos, Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan sampai saat ini masih merupakan satu-satunya produk hukum di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang dimiliki Indonesia. Undang-undang (UU) tersebut dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan hewan di era globalisasi dan otonomi daerah.

Profesi dokter hewan memiliki peran sangat strategis dan tanggung jawab yang semakin berat, di tengah-tengah keprihatinan kita menghadapi wabah flu burung. Sebagai garda terdepan dalam memerangi flu burung, pelayanan dan tindakan penanggulangan yang dilakukan harus benar-benar mencerminkan sikap profesional dengan memegang teguh kode etik dan sumpah dokter hewan.

Dari kiri ke kanan: Drh Memed Zoelkarnain Hassan (CIVAS), Drh Albert Teguh Mulyono (CIVAS), Drh Salima Musbiyana (CIVAS), Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD (CIVAS), Dr Drh Soehadji (mantan Dirjen Peternakan Deptan), Drh Musni Suatmodjo MM (Direktur Kesehatan Hewan Deptan) dan Drh Turni Rusli Syamsudin MM (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Deptan)

Pada dasarnya dokter hewan bersumpah untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya untuk kepentingan masyarakat melalui perlindungan kesehatan hewan, penyembuhan hewan yang menderita, konservasi sumberdaya ternak, promosi kesehatan masyarakat dan pengembangan pengetahuan medik [1].

Sesungguhnya profesi dokter hewan memiliki tanggung jawab luas di masyarakat, terhadap kesehatan populasi hewan dan bahkan terhadap setiap aspek nyata dalam interaksi hewan dengan manusia dan hewan dengan lingkungannya [2].

Untuk dapat menjalankan peran dan tanggung jawab sebagaimana disampaikan di atas, sudah saatnya profesi ini memiliki suatu peraturan perundangan yang mampu memberikan kedudukan hukum yang jelas kepada profesi ini seperti halnya dengan profesi medik lainnya (dokter, dokter gigi). Kebutuhan faktual untuk mengatur hal-hal yang sifatnya menyangkut keprofesian, antara lain yang menekankan kepada registrasi dan praktek dokter hewan, otoritas medik veteriner serta organisasi profesi yang berwenang memberikan lisensi dan menerima iuran.

Disamping itu dengan mengkaji secara cermat dan mendalam sebagaimana diuraikan di bawah ini, maka disadari pula bahwa profesi dokter hewan ke masa depan memerlukan suatu peraturan perundangan baru dalam bentuk “Undang-undang Veteriner” (UU Veteriner). UU Veteriner yang mampu memberikan kekuatan hukum bagi profesi untuk menjalankan seluruh kewenangan dan tindakan veteriner dan medik yang diperlukan, mengingat sebagian besar pengaturan yang menyangkut kesehatan hewan dalam UU Nomor 6 Tahun 1967 dianggap sudah tidak relevan lagi.

Veteriner

Istilah ‘veteriner’ dalam bahasa Indonesia (terjemahan dari ‘veterinary’ dalam bahasa Inggris) tidak dikenal secara umum di kalangan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya dalam beberapa kamus yang dijadikan referensi, veteriner selalu dikaitkan dengan hewan dan penyakitnya atau berkenaan dengan pengobatan penyakit hewan atau berkaitan dengan pekerjaan seorang dokter hewan [3].

Sebagian besar ahli berpendapat bahwa pengertian veteriner jauh lebih luas dari kesehatan hewan. Menurut Mangku Sitepoe (2006), pengertian veteriner dimaksudkan sebagai kesehatan hewan dan segala keterkaitannya dalam menyejahterakan dan membahagiakan manusia. Kewenangan veteriner adalah kewenangan teknis dan administratif yang dimiliki oleh dokter hewan pemerintah yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan dalam administrasi pemerintahan.

UU Nomor 6 Tahun 1967 tidak menyebut ‘veteriner’ secara terpisah, kecuali dalam pasal yang mengatur tentang kesehatan masyarakat veteriner. Sifat pengaturan dalam UU tersebut lebih menekankan kepada usaha-usaha kesehatan hewan di bidang ekonomi dan sosial, sehingga pengaturan keseluruhan aspek yang menyangkut secara langsung maupun tidak langsung dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia tidak tertuang secara baik dan lengkap serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

UU Veteriner diharapkan dapat mengantisipasi perubahan global yang akan terjadi dalam waktu dua sampai tiga dekade ke depan. Prediksi perubahan yang bakal mempengaruhi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan veteriner seperti populasi manusia di dunia akan berjumlah dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang, pertumbuhan urbanisasi di negara-negara berkembang, peningkatan masalah lingkungan akibat polusi, peningkatan suhu planit secara global, kemunculan penyakit-penyakit zoonosis yang baru muncul maupun yang muncul kembali (emerging and re-emerging zoonosis) dengan perubahan gambaran epidemiologi yang sudah maupun yang akan terjadi.

Disamping itu UU Veteriner ke depan juga harus mampu mengakomodir tren global yang terjadi dalam struktur organisasi kelembagaan veteriner di tingkat nasional (national animal health services) dengan pengenalan kontekstual terhadap berbagai fungsi pelayanan kesehatan hewan yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mahluk hidup [4].

Hewan, Manusia dan Lingkungan

Dengan mempertimbangkan hukum alam yang menentukan keterkaitan (inter relationship) dan ketergantungan (inter dependency) antar sesama mahluk hidup, maka kehidupan dan kesejahteraan hewan sangat ditentukan oleh manusia. Manusia untuk kehidupannya memerlukan papan, pangan dan kemampuan untuk berkembang biak. Demikian juga hewan memiliki hak hidup serta hak tidak disakiti dan tidak kelaparan. Dengan demikian adalah kewajiban manusia untuk menyehatkan dan menyejahterakan hewan, oleh karena manusia mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan juga melalui hewan (Manusya Mriga Satwa Sewaka) [3].

Pengaturan yang tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 1967 berorientasi kepada ternak, sehingga dapat dikatakan bahwa azas yang terkandung lebih berupa azas manfaat atau azas ekonomi [4]. Dengan begitu pemeliharaan kesehatan hewan yang dimaksudkan dalam UU tersebut lebih ditujukan untuk penambahan produksi, peningkatan taraf hidup peternak, dan memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal dari ternak.

Hewan dalam pengertian veteriner sangat berbeda dengan yang dimaksudkan dalam ketentuan umum UU Nomor 6 Tahun 1967. Hewan dalam UU ini hanya diartikan sebagai semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar. Sesuai dengan ketentuan ini, maka pemeliharaan kesehatan hewan yang tertuang dalam UU tersebut hanya menjangkau hewan-hewan yang cara hidupnya untuk sebagian ditentukan oleh manusia untuk maksud tertentu dan tidak menangani hewan yang hidup di air.

Dengan berlandaskan kepada pengertian veteriner, maka azas pengaturan yang terkandung dalam UU Veteriner haruslah sesuai dengan azas pelayanan atau azas sosial [3]. Pelayanan menurut kaidah veteriner ditujukan kepada hewan sebagai mahluk hidup atau hewan sebagai induk semang dari keterkaitannya dengan agen penyakit dan lingkungan. Sedangkan ruang lingkup veteriner mencakup seluruh mahluk hidup dalam kerajaan binatang kecuali manusia (a living being of the animal kingdom other than human being). Hewan menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) didefinisikan sebagai mamalia, burung dan lebah.

Sebagaimana diketahui kewenangan (domain) dokter hewan secara baku meliputi: (1) perawatan kesehatan dan perlindungan pangan dan serat dari hewan produksi (food and fiber producing animals), hewan kesayangan dan hewan olahraga (companion and sporting animals) dan hewan laboratorium (laboratory animals); (2) perawatan kesehatan, perlindungan dan preservasi hewan kebun binatang (zoo animals) dan satwa liar (wildlife), termasuk spesies akuatik (aquatic species); (3) diagnosis, surveilans dan pengendalian penyakit menular dari hewan ke manusia, dan perlindungan terhadap ancaman lingkungan (environmental hazards) yang mengancam kesehatan hewan dan kesehatan manusia serta keamanannya; (4) aspek kesehatan dari produksi, pemrosesan dan pemasaran bahan pangan asal hewan; dan (5) penelitian veteriner dan bio-medik dasar dan komparatif serta aplikasi hasil-hasil penelitian terhadap kebutuhan hewan dan manusia.

Dengan demikian hewan dalam ruang lingkup veteriner mencakup hewan produksi, hewan kesayangan, hewan olah raga, hewan laboratorium, hewan kebun binatang, satwa liar, dan hewan akuatik. Mangku Sitepoe (2006) menambahkan satu lagi kategori yaitu hewan hasil rekayasa genetika.

Pada kenyataannya sangat disadari bahwa dengan terbitnya UU Veteriner akan menimbulkan kerancuan dengan beberapa produk hukum yang sudah ada sebelumnya, terutama yang mengatur tentang kesehatan ikan. Dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sama sekali tidak menyebutkan kewenangan dokter hewan dalam menetapkan kesehatan ikan, begitu juga mengenai pengaturan pemakaian obat ikan serta penerbitan sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia. Perlu diingat juga bahwa kewenangan pengaturan sejumlah jenis hewan yang perlu dilindungi kesehatannya berada di kelembagaan lain, seperti hewan akuatik di Departemen Perikanan dan satwa liar di Departemen Kehutanan. UU Veteriner harus menjangkau aspek veteriner dari hewan-hewan di luar lingkup Departemen Pertanian.

Penyakit Zoonosis

Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, maka perjalanan manusia semakin sering dilakukan dan lalu lintas hewan dan produknya juga semakin meningkat. Profesi dokter hewan diharuskan senantiasa waspada dengan secara cepat mampu mengenali penyakit epizootik yang sifatnya ‘transboundary’ (mampu melewati batas antar negara), seperti avian influenza, penyakit mulut dan kuku, penyakit sapi gila dan berbagai penyakit hewan menular yang sangat ganas lainnya.

Beberapa penyakit tertentu dapat menjalar secara cepat dan berlangsung alamiah melalui badai dan jalur terbang unggas air. Bahkan penyakit berasal dari satwa liar yang bertindak sebagai ‘reservoir’ dapat menimbulkan konflik antara manusia dan satwa liar. Akhir dekade ini, kejadian dimana agen patogen yang mampu menulari berbagai macam spesies hewan (multi host) juga meningkat dibandingkan dengan yang hanya mampu menulari satu spesies saja (single host species).

Globalisasi perdagangan menyebabkan situasi kondusif untuk penyakit-penyakit yang bersumber dari pangan hewan (food-borne diseases) yang berdampak pada kesehatan manusia. Sebagai konsekuensinya, diperlukan upaya yang ketat untuk memonitor pakan ternak selama produksi, penanganan, pemrosesan dan pemasaran. Dalam keadaan seperti ini, dapat dikatakan tidak satupun negara di dunia ini yang terisolasi atau terlindungi cukup untuk menjamin keamanan dan kesehatan populasi manusia dan hewan.

Situasi global semakin kompleks dan pengetahuan ilmiah tentang hewan, produksi hewan dan kesehatan hewan berkembang semakin luas dan cepat. Sebagai konsekuensinya, masyarakat mengharapkan lebih dan lebih banyak lagi dari profesi ini. Profesi dokter hewan harus mampu secara rutin menjalankan pelayanan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada semua jenis hewan yang berguna bagi manusia dan mencapai tingkat kompetensi yang tinggi dalam seluruh kegiatan veteriner.

Penyakit zoonosis yang baru muncul dan muncul kembali (emerging and re-emerging zoonosis) ke depan dianggap menjadi ancaman dan masalah global. Penyakit yang dapat ditularkan antara manusia, satwa liar dan hewan domestik mempunyai dampak terhadap kesehatan masyarakat, ekonomi peternakan dan konservasi satwa liar. Meskipun penyakit manusia lebih merupakan masalah utama bagi dokter, kenyataannya hampir 61% penyakit manusia adalah zoonosis.

Dalam menghadapi dan memerangi wabah penyakit zoonosis diperlukan kekuatan hukum yang sah untuk melakukan tindakan-tindakan teknis yang diperlukan. Seringkali tindakan tersebut memerlukan komando yang jelas dan terarah dari atas ke bawah (top down), kemampuan pengelolaan pengorganisasian yang sifatnya darurat (emergency arrangement management), pelanggaran terhadap hak milik pribadi (property right) dan peranan swasta yang lebih nyata dan berimbang (cost sharing agreement).

Secara hukum, UU Nomor 6 Tahun 1967 tidak cukup kuat untuk mengatur keadaan sehingga wabah penyakit hewan menular dapat dengan mudah dikendalikan. Dibandingkan dengan peraturan perundangan di bidang kesehatan yaitu UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang memungkinkan petugas melakukan upaya penanggulangan dalam bentuk pemusnahan penyebab penyakit, disertai dengan ketentuan pidana bagi barangsiapa yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan. Meskipun UU Nomor 6 Tahun 1967 dalam hal ini tidak memuat sanksi pidana, karena dilimpahkan ke peraturan pelaksanaan dibawahnya.

Belajar dari pengalaman Indonesia menanggulangi wabah flu burung pada unggas sejak munculnya pada bulan Juli 2003, maka dapat ditarik pelajaran bahwa salah satu penyebab dari kesulitan-kesulitan yang terjadi di lapangan adalah lemahnya peraturan perundangan di bidang kesehatan hewan. Faktor yang sangat terkait dengan hal ini adalah lemahnya sistem informasi kesehatan hewan yang seharusnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan tindakan pemberantasan wabah sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku.

Untuk menciptakan kesehatan hewan yang tangguh, maka suatu negara harus memiliki sistim pelaporan penyakit (disease reporting system) yang efektif dan efisien, dimana ada kewajiban melaporkan kejadian penyakit atau munculnya suatu penyakit yang dicurigai berpotensi mewabah atau penyakit baru (new disease) ke pihak berwenang. Kewajiban yang diatur dalam UU Veteriner harus berlaku bagi siapa saja baik pemilik ternak maupun petugas teknis di lapangan yang diatur secara tegas dalam peraturan perundangan.

Peraturan perundangan mengenai otonomi daerah tidak memuat tugas dan fungsi yang jelas dan tegas antara hal-hal yang perlu diatur oleh Pemerintah Pusat dan Daerah tentang penanggulangan wabah penyakit hewan menular. Wabah yang bersifat nasional dinyatakan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, sehingga perlu dalam UU Veteriner diatur secara lebih mendetil mengenai tugas yang harus diberikan kepada para pegawai teknis Pemerintah Daerah dalam melaksanakan peraturan-peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan UU Veteriner.

Dalam keadaan darurat, maka pemegang kebijakan teknis tertinggi di Pemerintahan Kabupaten/Kota berdasarkan UU Veteriner harus memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan seperti memasuki areal peternakan, menutup kandang, mengisolasi areal peternakan, mengambil dan memeriksa sampel dari hewan yang tersangka sakit maupun masih sehat, menyita atau memusnahkan hewan, pengaturan kompensasi dlsbnya. Apabila diperlukan menghentikan lalu lintas ternak dari wilayah tertular untuk selama waktu tertentu.

Bahkan dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penyebaran penyakit harus sedapat mungkin dicegah, maka Pemerintah Kabupaten/Kota harus mempunyai kekuasaan untuk menutup suatu daerah menggunakan UU Veteriner. Setelah dokter hewan yang memegang kebijakan teknis tertinggi di tingkat Kabupaten/Kota harus membuat diagnosa akhir dan menyatakan jenis penyakit yang berjangkit berserta tindakan-tindakan yang perlu diambil.

Dalam hal ini, Kepala Pemerintahan setempat harus mengumumkan bahwa penyakit sudah berjangkit didaerahnya yang ditujukan kepada penduduk daerah tersebut. Bahkan juga menyampaikannya kepada Pemerintah Pusat dan Kepala-kepala Pemerintahan Daerah lainnya. Demikian juga instansi-instansi lainnya dalam lingkup Pemerintah Daerah, termasuk Kepala Kepolisian dan Militer setempat. Ketentuan-ketentuan ini berlaku sampai Pemerintah Daerah mengumumkan kembali bahwa tindakan-tindakan yang diambil dinyatakan dicabut.

Pada keadaan tertentu, dimungkinkan bagi dokter hewan yang bertugas untuk setiap saat melakukan pemeriksaan yang diperlukan ke tempat-tempat yang dicurigai ada hewan sakit atau tersangka sakit, jika diperlukan dengan bantuan alat negara. Begitu juga ke dalam tempat-tempat penyimpanan daging atau dimana daging ditanam, tempat-tempat pengulitan dan tempat-tempat serupa lainnya.

Kelembagaan Otoritas Veteriner

Di era globalisasi, perkembangan dan pertumbuhan banyak negara ditentukan oleh performans dari kebijakan dan ekonomi pertanian, dan pada gilirannya berkaitan langsung dengan kualitas kelembagaan veteriner (veterinary services). Kelembagaan veteriner perlu beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah (scientifically-based principles) dan secara teknis tidak bergantung dan kebal terhadap tekanan politik dari segala pihak.

Untuk mendorong kemajuan perdagangan hewan dan produk hewan baik bilateral maupun internasional, semua negara harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS Agreement) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan juga standar, pedoman dan rekomendasi yang dibuat OIE.

UU Veteriner perlu memuat tentang kelembagaan kesehatan hewan, terutama yang menyangkut kewenangan atau otoritas yang diperlukan untuk mewujudkan kredibilitas dan mandat yang dimiliki dalam melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan penentuan kebijakan, penyelenggaraan kegiatan operasional dan evaluasi diri sendiri (self evaluation). Kredibilitas kelembagaan veteriner harus dimaksudkan hanya kepada pengguna jasa pelayanan yang diberikan (users), tetapi juga kepada negara lain.

Kerangka legal harus dimiliki oleh otoritas veteriner, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tertinggi menyangkut kebijakan teknis veteriner tidak bisa diintervensi begitu saja oleh kekuasaan yang lebih tinggi di luar veteriner. Dalam aturan OIE, pemegang kekuasaan tertinggi veteriner yang mewakili negaranya dalam Sidang Umum Tahunan OIE yang disebut ‘Chief of Veterinary Officer’ (CVO).

Untuk menjalankan otoritas tersebut, pada dasarnya harus dipegang oleh seseorang yang memiliki kompetensi yang dijustifikasi dari kualifikasi akademik dan profesionalisme. Tingkat kapabilitas dinilai dari kemampuan untuk menjalankan tugas secara otonom dan bebas dari pengaruh-pengaruh komersial, finansial, hirarhikal dan politik yang bisa mempengaruhi keputusan teknis dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan OIE dan Perjanjian SPS.

Empat komponen dasar yang saat ini sedang dikembangkan dan akan diperkenalkan oleh OIE untuk menilai kredibilitas suatu kelembagaan otoritas veteriner adalah (1) sumberdaya manusia dan keuangan; (2) otoritas teknis dan kapabilitas; (3) interaksi dengan stakeholders, dan (4) akses pasar (access to markets).

Sebagaimana diketahui, sistem pelaporan penyakit hewan yang menjadi tulang punggung keberhasilan sistem kesehatan hewan nasional tidak lagi dapat berjalan efektif dan bahkan dapat dikatakan mengalami stagnasi di era otonomi daerah yang berawal pada tahun 2001. Sebagai negara anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties/OIE), Indonesia melalui otoritas veterinernya mempunyai kewajiban untuk melaporkan penyakit hewan yang hidup di darat (terresterial animals) dan hewan akuatik (aquatic animals) yang terjadi di seluruh wilayah negara.

UU Veteriner harus mempunyai kekuatan untuk mengharuskan setiap Pemerintahan Daerah untuk secara bertingkat melaporkan penyakit-penyakit yang termasuk dalam daftar OIE. Transparansi informasi, harmonisasi dan ekivalensi dengan Perjanjian sanitary lainnya yang diperlukan guna mendukung akses, perluasan dan penguasaan pasar regional dan internasional untuk hewan dan produk hewan.

Kapabilitas teknis kelembagaan otoritas veteriner dalam mengembangkan dan mengaplikasikan tindakan sanitary dan prosedur berdasarkan ilmiah (science-based procedure) yang mendukung tindakan tersebut, ditentukan oleh kompetensi dalam berbagai aspek seperti (1) diagnosis penyakit; (2) analisa risiko (risk analysis); (3) karantina; (4) surveilans epidemiologi; (5) deteksi dini (early detection) dan respons darurat (emergency response); (6) isu baru muncul (emerging issues); (7) inovasi teknikal; dan (8) kedokteran hewan dan biologik veteriner.

Kemampuan interaksi dengan stakeholder juga merupakan salah satu yang perlu diatur dalam UU Veteriner seperti (1) akreditasi, (2) sertifikasi dan (3) badan pertimbangan medik veteriner (Veterinary Statutory Body). Kapabilitas teknis kelembagaan otoritas veteriner juga dinilai dari sejauh mana pemerintah mampu mengakreditasi, mengotorisasi dan mendelegasikan sejumlah tugas resmi pemerintah kepada sektor swasta. Dengan demikian dokter hewan swasta dan laboratorium swasta dapat menjalankan sejumlah tugas pemerintah yang dibebankan kepadanya.

Dalam memperkuat akses pasar, maka kapasitas teknis kelembagaan otoritas veteriner ditentukan sejauh mana dapat melakukan hal-hal seperti (1) penyiapan peraturan perundangan; (2) pemenuhan stakeholder terhadap peraturan perundangan; (3) sertifikasi (certification); (4) penelusuran (traceability), (5) perwilayahan bebas penyakit (zoning); dan (6) kompartementalisasi (compartmentalization).

Masa Depan Profesi

Profesi dokter hewan mengalami berbagai tantangan ke depan, mengingat dalam menjalankan perannya dibutuhkan dokter hewan yang terlatih dengan pemahaman yang luas terhadap kesehatan masyarakat (public health) dan pencegahan penyakit (preventive medicine). Begitu juga dalam mengisi kekurangan dokter hewan yang terlatih dan memiliki kompetensi di posisi pengambil keputusan. Profesi ini juga dipengaruhi oleh adanya bidang-bidang baru dalam pengembangan industri, sebagai akibat dari sistem produksi pangan hewani yang baru, sumber daging hewan baru (kangguru, burung unta, wildebeest, dlsbnya), dan hewan akuatik sebagai sumber protein.

UU Veteriner diharapkan dapat mengakomodir semua kepentingan-kepentingan veteriner di masa depan dan semua bidang yang terkait dengan veteriner seperti pertanian, peternakan, ekonomi, ilmu lingkungan, ilmu makanan, legislasi, kedokteran dan kesehatan masyarakat, manajemen urban, manajemen satwa liar dlsbnya. Profesi ini diuntungkan apabila mampu mencermati tren perubahan sosial, teknologi, ekonomi, dan politik yang mempengaruhi kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan veteriner, dan potensi dampak dari perubahan ini terhadap kedokteran hewan.

Referensi:
1. Mark Thurmond and Corrie Brown (2002). Bio- and Agroterror: The Role of the Veterinary Academy. JVNE 29(1): 1-4.
2. Penn Veterinary Medicine and the Pennsylvania Veterinary Medical Association (2001). Role of Veterinary Medicine in Pennsylvania.
3. Mangku Sitepoe (2006). Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Veteriner.
4. Adriano Mantovani and Agostino Macri (2003). The Past, the Present and the Future of Multidisciplinary Collaboration in Veterinary Public Health and Expected Perspectives.
5. World Veterinary Association (2006). Global miniaturization resulting from rapid travel systems and advancing communication technology is demanding new roles of veterinarians and veterinary organizations.
6. Cleaveland, S., Laurenson, M.K., and Taylor, L.H. (2001). Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergence.
7. William R. Pritchard (1994). A Changing World and a Changing Profession Challenge Veterinary Medical Education.
8. Office International des Epizooties (2006). Terrestrial Animal Health Code.
9. Legislative Counsel Office Canada (2003). Veterinary Profession Act.
10. World Veterinary Association (2006). Global miniaturization resulting from rapid travel systems and advancing communication technology is demanding new roles of veterinarians and veterinary organizations.
11. Cleaveland, S., Laurenson, M.K., and Taylor, L.H. (2001). Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergence.
12. William R. Pritchard (1994). A Changing World and a Changing Profession Challenge Veterinary Medical Education.
13. OIE (2006). Report of the Meeting of the OIE Ad Hoc Group on Evaluation of Veterinary Services. Performance, Vision and Strategy (PVS) Instrument. An Important Tool for Veterinary Services.
14. World Veterinary Association (2006). Global miniaturization resulting from rapid travel systems and advancing communication technology is demanding new roles of veterinarians and veterinary organizations.

0 Komentar: