Minggu, 13 Mei 2012

Monitor terus populasi itik: “Kuda Troya” virus H5N1

Sumber: skyduckindonesia.blogspot.com
“…… more than 70% of the world’s ducks are raised where H5N1 is endemic

Guan Yi

Source:
Monitor outbreaks in domestic ducks. Nature, Vol. 483, 29 March 2012

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Penyebutan itik berperan sebagai ‘kuda Troya” virus highly pathogenic avian influenza (HPAI) H5N1 di Asia diangkat pertama kali dalam Proceedings of the National Academy Sciences (PNAS) pada 2005. [1] Kemudian bagaimana kontribusi itik terhadap endemisitas dari virus HPAI H5N1 di Asia diterangkan lebih lanjut dalam Journal of Virology pada tahun yang sama. [2] Sejawat Soeharsono PhD menuliskannya dalam kolom Opini di Kompas tanggal 17 Februari 2006 dengan judul “Kuda Troya Flu Burung” [3].

Istilah “kuda Troya” merujuk pada suatu legenda Yunani dahulu kala sekitar dua belas abad sebelum Masehi ketika tentara Yunani berperang melawan tentara kerajaan Troya (Trojan war). Taktik tentara Yunani untuk berpura-pura mundur menjauhi ibukota Troya, akan tetapi meninggalkan sebuah kuda raksasa terbuat dari kayu yang digunakan sebagai tempat dimana tentara Yunani bersembunyi. Tanpa curiga kuda raksasa tersebut kemudian dibawa ke dalam kota oleh tentara Troya dan akhirnya pada malam hari yang kelam keluarlah tentara Yunani dari perut kuda dan menyerbu kota, sehingga Yunani berhasil mengalahkan Troya. [4] Itik-itik yang tidak terpengaruh oleh infeksi virus H5N1 akan terus menyebabkan virus-virus tersebut bersirkulasi dan diibaratkan sebagai “kuda Troya” yang di kemudian hari berpotensi menimbulkan ancaman pandemi. [1, 11]

Persisten pada populasi itik

Wabah HPAI H5N1 di Asia belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan tidak pernah sebelumnya virus ini bertahan begitu lama, menyebar ke banyak negara atau menghasilkan begitu banyak varian genetik. Pertanyaannya mengapa demikian? Sebagian alasan dikatakan oleh karena daya tahan atau persistensinya pada itik domestik. [5]

Enam belas subtipe virus influenza A hidup abadi pada populasi unggas liar, terutama pada unggas air (waterfowl) dimana virus-virus ini berdampingan secara harmoni dengan hospesnya tanpa menimbulkan gejala penyakit. [6, 7] Ekuilibrium yang ramah terjadi antara virus influenza (meliputi virus-virus subtipe H5 dan H7) dan hospes alamiahnya yaitu unggas air. Dalam hospes alamiahnya, virus-virus ini berada dalam evolusi yang statis, hanya memperlihatkan perubahan minimal di tingkat asam amino dan normalnya non patogen, akan tetapi setelah menyebar ke hospes lain virus-virus ini menampakkan evolusi yang cepat. [8, 1]

Sumber: mesintetas.blogspot.com
Seorang peneliti di University of Hongkong, China, Guan Yi (2012) mengatakan bahwa selama 12 tahun terakhir melakukan surveilans bersama-sama sejawatnya, lebih dari 65% virus-virus H5N1 yang berhasil diisolasi ternyata berasal dari itik domestik. Itik yang tidak menampakkan gejala (asymptomatic) dapat mengekskresikan konsentrasi virus yang tinggi selama beberapa hari. Meskipun virus H5N1 bersemayam dalam itik domestik, virus tersebut mampu berinteraksi dengan virus influenza subtipe lain karena itik sama-sama merupakan bagian dari ‘reservoir’ alamiahnya. Percampuran yang terjadi antar virus-virus ini bisa menciptakan varian baru, yang kemungkinan bisa memicu timbulnya wabah dan penyebaran virus lebih lanjut. [5]

Sebenarnya indikasi keberadaan virus HPAI H5N1 pada itik sehat sudah diketahui jauh sebelum itu yaitu pada saat diisolasi antara tahun 1999 dan 2002 di China. Virus-virus ini menunjukkan kesamaan secara antigenik dengan virus A/goose/Guangdong/1/96. Virus A/goose/Guangdong/1/96 adalah virus H5N1 yang pertama kali diisolasi dari angsa sakit di Provinsi Guangdong, China pada 1996. [9] Kemudian dari suatu studi yang dilakukan di pasar unggas hidup di Vietnam pada 2001 ditemukan virus HPAI H5N1 pada angsa sehat. Pada ke-dua kasus di China dan Vietnam ini, virus-virus yang ditemukan bersifat sangat patogen bagi ayam. Meskipun demikian, virus yang ditemukan pada 2001 ini berbeda secara genetik, antigenik, dan patologik dari yang kemudian diisolasi dari kejadian wabah di Vietnam pada 2004. [9, 10]

Secara epidemiologik dapat disimpulkan bahwa pada akhir 2000 atau awal 2001 terjadi ekspansi selang hospes dari virus HPAI H5N1 ke spesies itik yang menghasilkan perubahan genetik dari virus tersebut, kadang-kadang menimbulkan penyakit akan tetapi seringkali tanpa gejala (asymptomatic). Faktor inilah yang dianggap secara signifikan mendorong terjadinya penyebaran penyakit HPAI di 7 negara Asia Tenggara yang bertetangga pada akhir 2003 lalu, terutama apabila dikombinasi dengan keberadaan sistem angon atau sistem pemeliharaan itik yang bebas berkeliaran (free-range) yang umum dipraktekkan di sejumlah negara. [9]

Ekologi virus avian influenza

Meskipun penularan virus avian influenza (AI) di antara populasi unggas air liar dan domestik dapat dikaitkan dengan sumber lingkungan, akan tetapi informasi mengenai keuletan atau kemampuan virus-virus ini untuk tetap infektif di luar hospesnya masih terbatas. Replikasi virus AI pada itik terjadi secara primer dalam alat pencernaan dengan konsentrasi yang tinggi diekskresikan ke dalam kotoran (faeces). Penularan virus AI di antara populasi unggas air liar dan domestik tersebut bergantung kepada jalur penularan kotoran/oral lewat air yang terkontaminasi. [11]

Sumber: mymirasari.blogspot.com
Webster et al. (1978) melaporkan bahwa secara eksperimental entok-entok (Muscovy ducks) yang tertular virus AI mengeluarkan 6,4 gr material kotoran per jam dengan tingkat infektivitas 1x107.8 dosis infektif median (50%) pada telur (EID50). Entok-entok ini mengekskresikan sekitar 1x1010 EID50 virus AI dalam periode 24 jam. Disamping tingginya tingkat ekskresi viral, durasi ekskresi viral dari entok-entok ini juga bisa berlangsung lama. [12] Hinshaw et al. (1980) melaporkan bahwa itik Peking yang tertular virus AI mampu mengekskresikan virus melalui kloaka lebih dari 28 hari. [13]

Meskipun virus influenza A pada manusia dan begitu juga virus HPAI H5N1 yang bersirkulasi saat ini secara khas menginfeksi alat pernafasan bagian atas, akan tetapi sebagaimana disampaikan diatas lokasi primer virus ini pada tubuh itik adalah pada alat pencernaan. [12] Virus AI ini masuk ke lingkungan pada saat hospesnya mengeluarkan kotoran atau air liur, dan menginfeksi hospes yang peka begitu mereka makan atau minum di lingkungan tersebut. Replikasi virus AI juga pernah teramati pada alat pernafasan bagian atas, akan tetapi sejauh mana kontribusi lokasi ini dalam mempertahankan infeksi dalam populasi belum dapat diterangkan secara jelas. [12, 14]

Virus AI juga stabil dalam air dan pernah diisolasi dari permukaan kolam yang banyak ditempati oleh unggas air. [14] Webster et al. (1978) juga menyelidiki secara eksperimental daya tahan virus AI dalam air sungai yang tidak mengandung klorin, dimana 108,1 EID50 virus AI tetap infektif setidaknya selama 32 hari. Suatu hal yang menunjukkan bahwa lingkungan akuatik yang terkontaminasi dapat bertindak sebagai sumber infeksi. [12]

Begitu juga empat studi lainnya yang secara eksperimental mengevaluasi daya tahan virus AI yang diisolasi dari itik liar di dalam air. Secara kolektif, ke-4 eksperimen tersebut mendemonstrasikan bahwa virus-virus AI yang hidup alamiah dapat bertahan sampai berbulan-bulan dalam air dengan temperatur 4oC, 17oC, dan 28oC. Lamanya infektivitas berbanding terbalik dengan temperatur air, dimana hanya sedikit variasi diamati pada temperatur yang lebih tinggi. Sejumlah virus dapat bertahan selama lebih dari setahun pada 4oC, akan tetapi hanya beberapa hari pada 37oC. [15, 16, 17, 18]

Faktor-faktor seperti jumlah virus yang lebih banyak dikeluarkan dari kloaka dibandingkan dengan trachea, titer virus yang tinggi dalam kotoran itik, dan stabilitasnya dalam air mengindikasikan bahwa virus-virus AI hidup secara persisten pada populasi itik. [14]

Peran itik vs HPAI di Indonesia

Itik merupakan unggas air yang punya peran cukup penting sebagai penghasil telur dan daging untuk mendukung ketersediaan protein hewani yang murah dan mudah didapat. Di Indonesia, itik umumnya diusahakan sebagai penghasil telur, namun ada pula sebagai penghasil daging. Peternakan itik didominasi oleh peternak dengan sistem pemeliharaan tradisional di mana itik digembalakan di sawah atau di tempat-tempat yang banyak airnya, atau di pedesaan yang dekat dengan sungai, rawa atau pantai. Namun ada pula yang dilakukan secara intensif dimana itik sepenuhnya terkurung dalam kandang.

Sumber: ilmu-taniternak.blogspot.com
Wilayah penyebaran dan pengembangan ternak itik yang berjumlah kurang lebih 35 juta ekor terutama berlokasi di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Bali. Saat ini itik pada umumnya terpusat di beberapa provinsi, seperti Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Utara (Tanjung Balai dan Asahan), Sumatera Selatan, Jawa Barat (Serang, Tangerang, Krawang, Subang, Cirebon), Jawa Tengah (Pemalang, Brebes, Tegal, Pekalongan, Kudus), Jawa Timur (Mojokerto), Kalimantan Selatan (Hulu Sungai Utara dan Amuntai), Sulawesi Selatan (Maros), Bali dan Nusa Tenggara Barat (Lombok).

Suatu penelitian dilakukan di Jawa Tengah selama 12 bulan pada 2007-2008 pada 96 peternakan itik yang tidak divaksin HPAI yang dimonitor setiap 2 bulan sekali. Wilayah penelitian meliputi empat kabupaten yaitu Magelang, Kulon Progo, Bantul dan Sleman. Penelitian ini menemukan prevalensi titer protektif pada itik yang rendah (1,8-3,9%), mengindikasikan bahwa itik memiliki kepekaan yang tinggi terhadap infeksi. H5 PCR positif dideteksi hanya pada sebagian kecil dari flok itik (2,5%) yang menunjukkan bahwa sangat sedikit itik-itik yang memiliki virus bersirkulasi dalam tubuhnya. Prevalensi titer protektif pada ayam yang kontak dengan itik dalam penelitian tersebut lebih rendah (0,1-3,1%), mengindikasikan bahwa ayam lebih peka terhadap infeksi dibandingkan itik. H5 PCR pada flok ayam yang kontak dengan itik juga lebih rendah (1,5%). [19, 20]

Penelitian tersebut diatas juga menunjukkan bahwa kejadian wabah HPAI sangat umum terjadi, dimana lebih separuh dari flok itik yang dimonitor mengalami setidaknya satu kali wabah selama periode 12 bulan pengamatan. Risiko kematian tinggi selama wabah berlangsung di antara flok ayam yang kontak dengan itik, akan tetapi jauh lebih rendah di antara flok itik pada peternakan yang sama. Ekskresi virus lebih sering terjadi selama periode wabah berlangsung. [19, 20]

Apabila kematian terjadi akibat infeksi HPAI, virus H5 ternyata diekskresikan oleh unggas yang sehat pada 68,8% peternakan yang dimonitor. Dari 180 unggas yang mati, 43,9% memperlihatkan adanya virus H5. Hasil dari penelitian longitudinal ini mengindikasikan bahwa itik adalah sumber infeksi bagi ayam, dan berpotensi menulari manusia. [20]

Dalam penelitian tersebut juga dilakukan pengamatan terhadap karakteristik molekuler dan antigenik virus-virus H5N1 yang diisolasi dari 96 peternakan itik diatas. Seluruh 84 virus-virus yang diisolasi dilakukan karakterisasi dan masuk ke dalam virus H5N1 kelompok (clade) 2.1, dan selanjutnya 3 turunan (sublineage) berhasil diidentifikasi yaitu subkelompok 2.1.1 (1 virus), subkelompok 2.1.3 (80 virus), dan subkelompok virus yang menyerupai IDN/6/05 atau IDN/6/05-like virus (3 virus). Ke-tiga subkelompok ditemukan pada itik, tapi hanya subkelompok 2.1.3 diisolasi dari ayam. [21]

Seperti terlihat diatas, subkelompok 2.1.3 merupakan turunan yang paling umum ditemukan dalam penelitian ini. Semua virus memiliki sekuens yang karakteristik virus HPAI, tetapi tidak ada variasi signifikan pada asam amino dari protein hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang dapat digunakan untuk mendeterminasi phenotipe virus. Berbagai varian genetik tampak bersirkulasi secara simultan di antara flok-flok unggas tersebut. Proporsi jumlah itik yang tetap hidup dibandingkan dengan ayam selama periode penelitian menunjukkan bahwa itik cenderung lebih tahan terhadap infeksi dan sesuai dengan perannya sebagai hospes ‘reservoir’ jangka panjang untuk virus H5N1. Oleh karena sejumlah virus diisolasi dari unggas yang sudah mati, tidak ada korelasi yang jelas antara variasi genetik dan patogenisitas dari virus tersebut. [21]

Sumber: bebekternak.wordpress.com
Suatu penelitian lain dilakukan pada unggas air (itik, entok dan angsa) sehat dan belum divaksin serta ayam yang hidup di sekitar unggas air di kabupaten Sukabumi dan Bogor Provinsi Jawa Barat. Sampel usap kloaka diambil dari itik sebanyak 302 ekor, entok 121 ekor, angsa 58 ekor, bangau 1 ekor dan ayam 79 ekor. Uji hemaglutinasi terhadap 224 cairan alantois menunjukkan bahwa 29 isolat dari Kabupaten Sukabumi dan 25 isolat dari Kabupaten Bogor bereaksi positif dengan titer 22-210. Hasil PCR menunjukkan adanya 25 isolat H5N1, 16 isolat HxN1, 4 isolat H5Nx, dan 9 isolat HxNx. Pada unggas air tidak menimbulkan gejala klinis, namun ekskresi virus terjadi terus menerus sehingga berpotensi menyebarkan virus yang bersifat patogenik. [22]

Sebanyak 3 isolat dari 25 isolat yang HPAI H5N1 dalam penelitian ini diisolasi dari ayam sehat yang hidup berdampingan dengan unggas air. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan virus mulai beradaptasi pada hospes ayam sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa unggas air di ke-dua kabupaten tersebut merupakan ‘reservoir’ virus HPAI H5N1. [22]

Perlu dimonitor terus?

Tingginya populasi unggas termasuk unggas air di Pulau Jawa dikombinasi dengan tingginya tingkat kematian unggas dan manusia akibat HPAI memperkuat asumsi para ahli bahwa itik berperan sebagai ‘reservoir’ virus H5N1 dan menyebarkannya ke populasi ayam seperti halnya di negara-negara lain di Asia Tenggara (Vietnam, Thailand, Cambodia dan Laos).

Penelitian yang dilakukan di Thailand dan Vietnam memperlihatkan bahwa penyebaran dan penyusupan virus HPAI H5N1 pada ayam dan manusia berkorelasi positif dengan pergerakan itik berpindah atau sistem angon itik. Di Thailand, keberhasilan pengendalian HPAI dapat tercapai pada awal 2006 setelah pemerintah Thailand membuat regulasi tentang pergerakan itik, dimana pemeriksaan virulogik dan serologik terhadap itik wajib dilakukan sebelum pindah dan itik harus dikandangkan pada malam hari. [8]

Meskipun demikian suatu penelitian yang dilakukan di Indonesia selama 2006-2007 tidak secara langsung mendukung asumsi di atas. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan statistik antara sejumlah faktor risiko dan ada tidaknya infeksi HPAI pada ayam kampung belakang rumah. Kejadian HPAI dievaluasi melalui data yang diperoleh dari 'participatory disease surveillance’ (PDS) pada ayam kampung dan berbagai faktor risiko meliputi distribusi orang dan unggas, pola pergerakan unggas dan kondisi agro-ekologik. Berbeda dengan studi-studi sebelumnya di negara-negara lain di Asia Tenggara, dalam penelitian ini itik domestik tidak ditemukan sebagai faktor risiko yang signifikan. [23]

Namun konsisten dengan yang terjadi di Thailand dan Vietnam, penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko yang berperan signifikan adalah ketinggian lokasi (elevasi), kepadatan populasi manusia, dan panen padi. Gambar 1 memperlihatkan kepadatan populasi manusia dan unggas per km2 di Pulau Jawa. Pada populasi unggas komersial dengan dua indikator yang digunakan: lokasi pasar dan transportasi, maka faktor risiko yang signifikan adalah pemukiman penduduk dan panjang jalan raya. [23]

Gambar 1: Kepadatan populasi orang dan unggas per km2 di Pulau Jawa

Akhir-akhir ini, Guan Yi (2012) kembali mengingatkan pentingnya untuk memperbaiki upaya memonitor virus HPAI H5N1 di lapangan. Disadari bahwa pada saat ini surveilans pada itik masih terbatas dilakukan. Upaya pemberantasan HPAI H5N1 memerlukan lebih banyak lagi surveilans aktif guna memonitor keberadaan virus pada populasi itik domestik maupun unggas air lainnya di wilayah-wilayah tertular. [5]

Dalam membahas perubahan epidemiologi dan ekologi dari virus HPAI H5N1, Webster et al. (2007) mengatakan bahwa virus-virus influenza tidak bakal bisa dieradikasi. Lingkungan virus-virus HPAI H5N1 di Asia akan mengalami perubahan terus menerus dan yang pasti akan terus menjadi masalah bagi industri perunggasan di seluruh dunia. Strategi pengendalian seperti vaksinasi, peningkatan biosekuriti, dan pemusnahan unggas (culling) merupakan alternatif bagi negara-negara berkembang yang memang tidak mampu memusnahkan seluruh unggasnya. Dampak jangka panjang dari HPAI bisa saja merubah secara drastis pengelolaan sistem angon atau sistem pemeliharaan itik berpindah, seperti yang terjadi di Thailand dan Vietnam. [8]

Dengan menyadari bahwa populasi itik domestik cenderung melanggengkan virus HPAI H5N1, maka sangat penting untuk difikirkan prospek surveilans jangka panjang di wilayah-wilayah yang secara hipotetis dianggap menjadi pusat wabah (epicenter) di Asia, termasuk di sentra-sentra perunggasan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dari pelaksanaan surveilans pada itik untuk menjawab berbagai pertanyaan yang belum terpecahkan mengenai kemungkinan kemunculan pandemi influenza, seperti antara lain apakah karakteristik genomik itik berkaitan dengan resistensi alamiah pada beberapa spesies tertentu, apakah diversitas antigenik berlangsung secara alamiah pada itik ataukah merupakan konsekuensi dari penggunaan vaksin. Dengan mempertimbangkan uraian diatas, maka pertanyaan umum yang sekarang ini perlu mendapatkan jawaban dari para ahli saat ini maupun ke depan adalah mungkinkah pemberantasan HPAI H5N1 di Asia dapat dicapai?

Referensi:
1. Hulse-Post D.J., Sturm-Ramirez K.M., Humberd J., Seiler P., Govorka E.A., Krauss S., Scholtissek C., Puthavathana P., Buranathai C., Nguyen T.D., Long H.T., Naipospos T.S.P., Chen H., Ellis T.M., Guan Y., Peiris J.S.M., and Webster R.G. (2005). Role of domestic ducks in the propagation and biological evolution of highly pathogenic H5N1 influenza viruses in Asia. PNAS, 102(30): 10682-10687.
2. Sturm-Ramirez K.M., Hulse-Post D.J., Govorka E.A., Humberd J., Seiler P., Puthavathana P., Buranathai C., Nguyen T.D., Chaisingh A., Long H.T., Naipospos T.S.P., Chen H., Ellis T.M., Guan Y., Peiris J.S.M., and Webster R.G. (2005). Are Ducks Contibuting to the Endemicity of Highly Pathogenic H5N1 Influenza Virus in Asia? Journal of Virology, 79(17): 11269-11279.
3. Soeharsono (2006). Kuda Troya Flu Burung. Opini Kompas, 17 Februari 2006.
4. http://hanajatim.tripod.com/
5. Yi G. (2012). How to track a flu virus: Monitor outbreaks in domestic ducks. Nature 29 March 2012, Vol. 483, pp. 535-536.
6. Alexander D.J. (2000). A review of avian influenza in different bird species. Vet. Microbiol. 74: 3-13.
7. Webster R.G., Bean W.J., Gorman O.T., Chambers T.M., and Kawaoka Y. (1992). Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbiol. Rev. 56: 152-159.
8. Webster R.G., Hulse-Post D.J., Sturm-Ramirez K.M., Guan Y., Peiris M., Smith G., and Chen H. (2007). Changing Epidemiology and Ecology of Highly Pathogenic Avian H5N1 Influenza Viruses. Avian Diseases 51: 269-272.
9. Eagles D., Siregar E.S., Dung D.H., Weaver J., Wong F., and Daniels P. (2009). H5N1 highly pathogenic avian influenza in Southeast Asia. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 28(1): 341-348.
10. Nguyen D.C., Uyeki T.M., Jadhao S., Maines T., Shaw M., Matsuoka Y., Smith C., Rowe T., Lu X., Hall H., Xu X., Balish A., Klimov A., Tumpey T.M., Swayne D.E., Huynh L.P., Nghiem H.K., Nguyen H.H., Hoang L.T., Cox N.I., and Katz J.M. (2005). Isolation and characterization of avian influenza viruses, including highly pathogenic H5N1, from poultry in live bird markets in Hanoi, Vietnam, in 2001. J. Virol. 79: 4201-4212.
11. Stallknecht D.E. and Brown J.D. (2009). Tenacity of avian influenza viruses. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 28(1): 59-67.
12. Webster R.G. Yakhno M., Hinshaw V.S. Bean W.J., and Murti K.G. (1978). Intestinal influenza: replication and characterization of influenza viruses in ducks. Virol., 84: 268-278.
13. Hinshaw V.S., Webster R.G., and Turner B. (1980). The perpetuation of orthomyxoviruses and paramyxoviruses in Canadian waterfowl. Can. J. Microbiol., 26: 622-629.
14. Kim J.-K., Negovetich N.J., Forrest H.L., and Webster R.G. (2009). Ducks: The “Trojan Horses” of H5N1 Influenza. Influenza Other Respi Viruses, 3(4): 121-128. doi.10.1111/j.1750-2659.2009.00084.x.
15. Brown J.D., Swayne D.E., Cooper R.J., Burns R.E., and Stallknecht D.E. (2007). Persistence of H5 and H7 avian influenza viruses in water. Avian Dis., 51(Suppl.): 285-289.
16. Brown J.D., Goekjian G., Poulson R., Valeika S., and Stallknecht D.E. (2009). Avian influenza viruses in water: infectivity is dependent on pH, salinity and temperature. Vet. Microbiol., 136(1-2): 20-26.
17. Stallknecht D.E., Kearney M.T., Shane S.M., and Zwank P.J. (1990). Effects of pH, temperature, and salinity on persistence of avian influenza viruses in water. Avian Dis., 34: 412-418.
18. Stallknecht D.E., Shane M., Kearney M.T., and Zwank P.J. (1990). Persistence of avian influenza virus in water. Avian Dis., 34: 401-411.
19. Henning J., Wibawa H., Henning K., Morton J., and Meers J. (2009). Prevalences of Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) Antibodies and H5 virus in Small-Scale Commercial and Backyard Free-Ranging Duck Enterprises in South East Asia. Proceedings of the 12th Symposium of the International Society for the Veterinary Epidemiology and Economics, Durban, South Africa. http://www.sciquest.org.nz/elibrary/download/68042/T3-1.3.5_Prevalences_of_highly_pathogenic_avian_[1].pdf
20. Henning J., Wibawa H., Morton J., Usman T.B., Junaidi A., and Meers J. (2010). Research. Scavenging Ducks and Transmission of Highly Pathogenic Avian Influenza, Java, Indonesia. Emerging Infectious Diseases. 16(8): 1244-1250.
21. Wibawa H., Henning J., Wong F., Selleck P., Junaidi A., Bingham J., Daniels P., and Meers J. (2011). A molecular and antigenic survey of H5N1 highly pathogenic avian influenza virus isolates from smallholder duck farms in Central Java, Indonesia during 2007-2008. Virology Journal 8:425. http://www.virologyj.com/content/8/1/425  
22. Susanti R., Soejoedono R.D., Mahardika I-G.N.K., Wibawan I-W.T., dan Suhartono M.T. (2007). Potensi unggas air sebagai Reservoir Virus High Pathogenic Avian Influenza Subtipe H5N1. JITV 12(2): 160-166.
23. Loth L., Gilbert M., Wu J., Czarnecki C., Hidayat M., and Xiao X. (2011). Identifying risk factors of highly pathogenic avian influenza (H5N1 subtype) in Indonesia. Prev. Vet. Med. 102(1): 50-58.

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations, Vientiane, Laos

0 Komentar: