COLLOQUIUM


Enough One Health Talk: Achieving Effective Integrated Cross-Sectoral Action for Better Health (a Two-Part Symposium) - Sponsored by IDRC-ILRI

Tri Satya Putri (Tata) Naipospos
UN Food and Agriculture Organization (FAO) Laos

One Health is built on the understanding that disease risks resulting from interactions between animals, humans and the environment need to be addressed through greater inter-sectoral collaboration in both science and its application. There are many other health issues beyond zoonotic pandemic threats that link people, animals, and environment and that also require more coordinated approaches. Global environmental change, globalization, economic growth and increased demand for food and energy; increased travel and migration – these drivers are complicating disease control and public health on many different fronts. Achieving changes in these areas has requires collaborative and coordinated action from more than just health and agricultural sectors – there implications for finance, education, planning, and more. One Health faces several challenges to be an effective conduit for change. There is a need to move out of boardrooms and lecture halls and into making changes that improve the health of people, animals and ecosystems, particularly in developing regions where the needs are greatest. Consideration of a healthy environment must be integrated into One Health thinking and action.

One Health efforts must widen beyond zoonotic disease to address interconnected and up-stream drivers of health: environmental, social and economic factors. This symposium in two panels presents how to meet these challenges, focusing on SE Asia where changes are occurring fastest, capacity to respond is lowest, and new threats are emerging. The first part addresses implementing innovative and practical policy making. The second part presents experiences of implementing action-research projects, from ecohe alth to One Health.

_________________________________________________________________________

Satu kesempatan yang sangat berharga untuk saya adalah berbicara selaku pribadi dalam seminar satu hari berjudul Seminar Transboundary, Pest and Diseases and Other Disasters pada tanggal 2 April 2007 di Kantor Pusat FAO, Roma, Italia. Saya menyampaikan tentang peran masyarakat dalam pengendalian penyakit avian influenza di Indonesia ”Empowering communities for disease control” di seminar tersebut yang dihadiri oleh Direktur Jenderal FAO dan Perwakilan Tetap negara-negara anggota FAO di seluruh dunia.

Sesi dimana saya berbicara adalah pada diskusi bertema: “From Prevention to Building Back Better”.

EMPOWERING COMMUNITIES FOR DISEASE CONTROL

Seminar on Transboundary Pests and Diseases and Other Disasters
FAO Rome, Italy, 2 April 2007

Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) is just one of a number of diseases and disasters which Indonesia has to cope with. The fact that diseases such as Malaria, Tuberculosis, Dengue is far more important from its actual number of human deaths and disasters such as tsunami, earthquakes, volcanoes eruption have taken a huge government resources for rehabilitation operation.

The HPAI control in Indonesia is complicated by its massive human and poultry population. 60% living in rural communities where virtually all keep poultry. Almost 80% of poultry keepers are backyard chicken or ducks.

These communities are poorly served by animal health services – a situation made worse by the decentralization of government services and no strong veterinary law exist.

The country has weak national veterinary services dominated by livestock production rather than animal health. There are some districts in the country which has only a few numbers or even no veterinarians and paravets available, particularly in the remote areas. Looking on how the country tackling its HPAI problem, I think the government should evaluate the current structure of the national veterinary services, the delivery constraints and the need for change.

If a disease like HPAI is to be controlled then the communities need to be engaged in the process as well as being served better. Therefore building awareness is vital. Communities need to be consulted and involved in the planning process. They need to identify already existing abilities and activities and build on these. Such as the community vaccinators as well as surveillance contacts in communities. Two important issues are to increase support for community animal health workers and greater participation of woman in decision making.

From this outset has brought the Government of Indonesia and FAO with support from enlightened donors – USAID, AusAid , Japan – to develop a participatory disease surveillance and participatory disease response (PDS/PDR) program.

Participatory disease response teams working with communities for building understanding of disease process, overnight housing, bio-security and hygiene.

An enabling policy environment is needed including incentives for private vaccine supply and improved compensation funding mechanism. However, the policy at present is not clear and the government needs to drawn their policy to be more people orientated.

It is my opinion that the animal health services delivery system has to evolve to become truly participatory if livestock productivity, food security, increased rural incomes and improved quality of life is to become a reality in the areas.

From the outset, it was realized that the rural and sub communities would be a key component of addressing disease intelligence gathering, public health, livelihoods and strategy setting issues. This must be seen as essential for the future control of a number of epizootic diseases – known and to emerge in the future.


13 April 2009

Tepat, Indonesia Membuka Diri
Importasi tidak mungkin dilakukan dengan risiko nol.

http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=1812

Selama 100 tahun Indonesia berupaya membebaskan diri dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Hal itu pula yang mendasari perdagangan sapi di tanah air menganut sistem country base. Namun, kini pemerintah mau mengubah menjadi sistem zona.

Untuk mengetahui manfaat dan mudharat dari kedua sistem tersebut, AGRINA mewawancarai dokter hewan yang ahli epidemiologi, Dr. drh. Tri Satya Putri Naipospos, Regional Consultant OIE untuk Asia Tenggara.

Terkait rencana impor daging sapi dari Brasil, tampaknya pemerintah sudah bulat akan mengubah ssitem country base menjadi zone base, komentar Anda?

Kebijakan pemerintah melalui Kepmentan 754/1992, yang hanya mengizinkan impor daging dari negara bebas PMK, sesungguhnya tidak sejalan dengan peraturan internasional yang ditetapkan dalam OIE Terrestrial Animal Health Code Bab 4.3 tentang Zoning and Compartmentalization serta Perjanjian Sanitary and Phyto Sanitary (SPS) Artikel 6 tentang Regionalisasi. Oleh sebab itu, pengubahan country base ke zone base dalam kaitan dengan PMK merupakan satu langkah maju dari pemerintah Indonesia karena sesuai standar internasional yang ditetapkan OIE dan perjanjian SPS.

Namun, perubahan tersebut harus dibarengi kemampuan untuk mengurangi faktor-faktor kesulitan yang ditimbulkan oleh impor dari zona bebas PMK (dengan atau tanpa vaksinasi), dengan menilai tingkat probabilitas risiko di negara pengekspor (baca: Brasil) secara lebih ilmiah dan cermat.

Apa untung ruginya dari kedua sistem tersebut?

Harus dilihat dari dua aspek. Pertama, menyangkut kepentingan pengendalian dan pemberantasan penyakit. Kedua, menyangkut kepentingan perdagangan hewan dan produk hewan.

Dari aspek pengendalian dan pemberantasan penyakit, keuntungan yang dapat diperoleh suatu negara yang menerapkan sistem zona bebas adalah pengendalian dan pemberantasan penyakit dapat dilakukan secara bertahap (step-wise approach). Berikutnya, sumberdaya dapat dikonsentrasikan sehingga peluang keberhasilan pemberantasan penyakit lebih besar.

Dari aspek kepentingan perdagangan, keuntungan dan kerugian sistem zona bebas tentu berbeda dari sudut pandang negara pengekspor dan pengimpor. Bagi pengekspor, dalam hal ini Brasil, jelas sistem zona bebas penyakit menguntungkan. Sebab, dapat digunakan untuk meraih akses pasar bagi komoditas tertentu. Dan pada situasi di mana peluang seluruh wilayah negara bebas penyakit tidak mungkin dicapai atau tidak praktis.

Namun bagi pengimpor, dalam hal ini Indonesia, sistem negara bebas penyakit lebih menguntungkan daripada sistem zona bebas karena tidak perlu ada perbedaan dari wilayah mana hewan atau produk hewan bersumber di negara pengekspor. Selanjutnya, persyaratan impor dapat diberlakukan sama untuk seluruh wilayah negara pengekspor.

Berarti kalau dibuka, lalulintas ternak atau produk ternak akan semakin mudah?

Importasi dari sistem zona bebas lebih menyulitkan bagi negara pengimpor, seperti Indonesia. Sebab, pengawasan lebih ketat diperlukan untuk memastikan, hewan atau produk hewan bersumber dari zona bebas PMK. Persyaratan impor hewan atau produk hewan yang lebih ketat dikaitkan dengan penilaian risiko terhadap sifat alamiah agen penyebab dan epidemiologi penyakit yang dikhawatirkan terbawa melalui impor. Selain itu, pemantauan harus terus dilakukan untuk memastikan bahwa upaya-upaya mempertahankan zona bebas terus dilakukan oleh negara pengekspor, terutama hasil surveilance dan informasi detil tentang kegiatan otoritas veteriner yang dijalankan menyangkut pelaporan, penerapan regulasi, serta prosedur resmi pencegahan penyakit.

Bagaimana risikonya kalau Indonesia mengimpor dari Brasil?

Pada dasarnya, apabila Indonesia ingin melakukan perdagangan hewan dan produk hewan dengan negara lain, maka sesuai kaidah internasional importasi tidak mungkin dilakukan dengan risiko nol (zero risk). Kalaupun Indonesia ingin memasukkan daging yang berasal dari zona bebas PMK suatu negara tertentu, tetap harus dilakukan prosedur dalam OIE Code Bab 2.2 dan Artikel 5 Perjanjian SPS, yaitu Analisa Risiko (AR).

Pegangan yang dapat digunakan Indonesia dalam menjalankan prosedur AR adalah mengevaluasi dengan benar pelaksanaan surveilance, zoning, dan sistem kesehatan hewan nasional dari negara pengekspor (baca: Brasil). Meskipun sudah dibentuk Tim Analisis Risiko Independen (TARI), hasilnya lebih banyak menekankan kepada kelemahan dalam negeri, tetapi lemah dalam mempertimbangkan tingkat probabilitas risiko di negara pengekspor dalam prosedur AR.

Konsekuensi risiko bagi Indonesia?

Untuk menetapkan seberapa besar konsekuensi risiko yang masih dapat diterima apabila importasi dilakukan, Indonesia bisa menetapkan “Acceptable Level of Protection” (ALOP) seperti anggota WTO lainnya. ALOP Indonesia dalam hal ini seharusnya bertujuan untuk memberikan perlindungan SPS dengan menekan risiko sampai ke tingkat yang paling rendah (very low level). Bukan nol atau diabaikan (negligible) seperti yang ditetapkan TARI. Risiko negligible sangat tidak mungkin dicapai karena itu berarti tidak ada kedatangan turis, tidak ada perjalanan internasional, dan tidak ada importasi sama sekali.

Dihubungkan dengan sistem veteriner di Indonesia sendiri bagaimana?

Selama hampir 20 tahun terakhir, Indonesia dengan populasi sapi yang stabil dan terproteksi dari PMK akibat pemberlakuan pelarangan impor dari negara-negara terjangkit PMK antara lain dari India dan Amerika Selatan, telah menyebabkan negara ini dalam kondisi infrastruktur dan sumberdaya yang kurang sensitif dan kurang siap terhadap mekanisme darurat serangan penyakit. Kecenderungan populasi sapi kita menjadi naif terhadap kemungkinan serangan organisme patogen eksotik.

Untuk itu, upaya menekan konsekuensi risiko yang paling kritis yang harus dilakukan adalah mempersiapkan sistem laboratorium dengan kemampuan untuk melakukan uji cepat terhadap PMK. Dan mempersiapkan prosedur pengiriman spesimen organisme berbahaya ke laboratorium referensi OIE sesuai aturan International Air Transport Agreement.

Dadang WI