SAGA 2004-6

Kerugian Mencapai Rp 11,6 Triliun bila Kasus PMK Ditemukan

http://els.bappenas.go.id/upload/other/Kerugian%20Mencapai%20Rp%2011-Kps.htm

Kompas: 30 Nopember 2004

Jakarta, Kompas - Biaya dan kerugian ekonomi Rp 11,6 triliun lebih akan menimpa Indonesia apabila ditemukan kasus penyakit mulut dan kuku di Indonesia. Untuk menjaga agar Indonesia tetap memiliki status bebas PMK, harus dilakukan pengetatan impor produk yang berpotensi menyebarkan PMK. Penyebaran penyakit yang paling potensial adalah pemasukan produk itu secara ilegal.

Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian Tri Satya Putri Naipospos dalam Lokakarya Nasional Kesiagaan PMK di Jakarta, Senin (29/11), mengatakan, empat jenis biaya dan kerugian apabila ditemukan penyakit mulut dan kuku (PMK) di Indonesia adalah turunnya produksi ternak dan produk asal ternak, biaya untuk menanggulangi wabah, kehilangan potensi ekspor, serta kerugian tidak langsung di sektor pariwisata. Total biaya dan kerugian mencapai Rp 11,6 triliun.

Tri Satya juga menyebutkan dampak lain dalam perdagangan internasional adalah pembatasan impor produk-produk asal Indonesia yang dilakukan oleh negara lain. Ia mengatakan, dari berbagai penyebab masuknya PMK dari luar, salah satu yang menjadi penyebab utama adalah impor ilegal ternak dan produk asal ternak.

Untuk itu, semua pihak harus menjaga agar Indonesia tetap berstatus bebas PMK. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain pengetatan impor, diagnosis dan surveillance, sistem pelaporan, dan kemampuan berkomunikasi dengan publik.

Sementara dari Pekanbaru, Provinsi Riau, Kepala Dinas Kesehatan Ekmal Rusdy kemarin mengimbau masyarakat Riau dan sekitarnya untuk tidak mengonsumsi daging kerbau khususnya yang positif mengidap penyakit ngorok.

"Secara logis saja, setiap orang harus makan dari bahan-bahan yang dipastikan sehat. Mungkin jika dimasak matang, virus penyakit pada dagingnya dapat mati, tetapi racunnya dikhawatirkan tetap ada dan membahayakan tubuh manusia," kata Ekmal Rusdy.

Puluhan kerbau telah ditemukan mati di Kabupaten Kampar akibat terjangkit penyakit yang belum diketahui secara pasti. M Yunus, Kepala Dusun Empat Padang Balam, Desa Tambang, Kecamatan Tambang, Kampar, mengakui telah menjual lima ekor kerbaunya yang positif terserang penyakit ngorok dalam satu minggu terakhir.

Menurutnya, sejak pertengahan Oktober lalu, ia telah kehilangan lima ekor kerbau. Takut makin banyak yang mati, setiap ada kerbau miliknya yang menunjukkan tanda-tanda terserang penyakit ngorok, ia segera menjualnya.

"Harga jualnya turun drastis. Kerbau yang masih kecil biasanya dapat terjual Rp 2 juta, saat ini hanya laku Rp 500.000 atau sekitar Rp 20.000-Rp 25.000 per kilogram daging jika sudah dipotong," kata M Yunus.

Tanda-tanda kerbau terkena penyakit ini antara lain nafsu makan berkurang, bahkan tidak mau lagi merumput ataupun berkubang. Kerbau hanya berdiri diam atau terduduk dan beberapa jam kemudian mati. (NEL/MAR)


Mendesak Peningkatan Sistem Kesehatan Nasional

http://www.majalahinfovet.com/2007/09/mendesak-peningkatan-sistem-kesehatan.html

Di era perdagangan bebas, setiap negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berhak melindungi negaranya dari ancaman masuknya agen penyakit hewan menular dengan menerapkan tindakan Sanitary and Phytosanitary (SPS). Dalam penerapan SPS yang terkait kesehatan hewan, maka Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) adalah badan yang berhak menetapkan standar dan prosedur yang dijadikan acuan internasional di bidang kesehatan hewan.

Untuk mendukung perdagangan hewan dan produk hewan, sejak tahun 2007 OIE mulai memperkenalkan suatu gagasan baru dengan menciptakan suatu alat yang dapat digunakan mengevaluasi sistem veteriner (Veterinerary Services/Sistem Kesehatan Hewan) suatu negara. Perangkat tersebut dikenal dengan nama Performance, Vision and Strategy (PVS) yang menjadi tolok ukur pencapaian suatu negara dalam mengembangkan dan memperkuat sistem kesehatan hewannya.

Hal itu terungkap dalam seminar yang diselenggarakan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) bekerjasama dengan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB dan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti) di Ruang FKH A Kampus IPB Darmaga, Selasa (14/8).

Tujuan seminar ini untuk lebih memperkenalkan PVS kepada pihak yang berkepentingan dalam mengembangkan dan memperkuat sistem veteriner di Indonesia.

Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat MPhill PhD OIE Certified Expert on PVS, “PVS dirancang untuk membantu suatu negara dalam menetapkan tingkat kinerja dari sistem veterinernya saat ini. Dengan cara mengidentifikasi kekurangannya dan kelemahan negara tersebut dalam memenuhi standar dan pedoman OIE.”

Tujuan evaluasi PVS untuk membantu otoritas nasional dalam proses pengambilan keputusan menyangkut sumberdaya dan prioritas yang harus diterapkan terhadap sistem veteriner nasionalnya. Keberadaan PVS juga mampu menguatkan posisi tawar kita dalam perdagangan dunia menyangkut keamanan komoditi yang diperdagangkan.

Rencananya OIE akan mengirimkan misi PVS ke 105 negara anggota dalam 3 tahun ke depan. Sampai dengan saat ini, OIE telah melakukan 30 misi ke negara-negara anggota terutama di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. (wan)


Kasus Rabies di Sumbar Terparah di Sumatera

http://berita.kapanlagi.com/pernik/kasus-rabies-di-sumbar-terparah-di-sumatera-ong3tef.html

Kamis, 11 Agustus 2005 06:20

Kapanlagi.com - Kasus penyakit rabies di Sumbar terparah di Sumatera, jauh di atas tujuh provinsi lainnya (di luar Babel) sebagai dampak langsung kebiasaan masyarakat setempat memelihara anjing untuk berburu.

Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian, Drh. Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, Ph.D, pada pertemuan pemberantasan rabies di Padang, Rabu, menjelaskan, pada tahun 2004 kasus positif rabies di Sumbar sebanyak 183 kasus, Lampung 14, Bengkulu 22 dan Sumatera Selatan 3 kasus, Sumut 110, Jambi 14, Riau 2 dan NAD 5 kasus.

Seluruh dari 183 kasus di Sumbar masing-masing terjadi di Kabupaten 50 Kota 28 kasus, Agam 35, Bukittinggi 6, Padang 27, Padang Panjang 8, Padang pariaman 6, Pasaman Timur 3, Pasaman Barat 16, Payakumbuh 11, Pessel 12, Sawahlunto 2, Solok 1, Kota Solok 4 dan Tanah Datar 24.

Sementara dari segi cakupan vaksinasi HPR (hewan pembawa rabies) di Sumbar berdasarkan populasi tahun 2004 mencapai 495.000 HPR, namun vaksinasi hanya terealisir untuk 48.000 HPR dimana vaksinnya sepenuhnya subsidi pemerintah.

Dari segi cakupan vaksinasi HPR dan realisasinya tersebut, Sumbar merupakan yang tertinggi dari tujuh provinsi lainnya di Sumatera. Sedangkan yang terendah cakupan vaksinasi HPR-nya Nanggroe Aceh Darussalam dengan 81.000 namun terealisasi 6.900 HPR.

Diundur

Sehubungan tingginya kasus rabies di Sumatera, target Sumatera bebas rabies yang sebelumnya ditargetkan tahun 2005 akhirnya diundur menjadi tahun 2007, namun tetap belum tentu Sumatera bebas rabies melihat perkembangan kasusnya saat ini.

Berdasarkan ketentuan internasional antara lain selama dua tahun harus nol kasus, dengan demikian target bebas rabies tahun 2007 pesimis tercapai mengingat sampai bulan Juli 2005 masih terus terjadi kasus rabies.

Penurunan kasus tidak terjadi secara signifikan dan bahkan di beberapa tempat cenderung mengalami peningkatan, sementara cakupan vaksinasi sangat rendah, ujarnya.

Kemudian terkait program pemberantasan rabies selama lima tahun (1999-2004), kasus positif rabies pada hewan yang dilaporkan cenderung tetap setiap tahun, yang berarti program itu belum berjalan dengan baik.

Pada akhir tahun 2003, kasus positif rabies tidak dapat ditekan menjadi nol kasus, bahkan data kasus gigitan dari Depkes menunjukkan meningkat, ujar Tri Satya Putri Naipospos. (*/lpk)


Masyarakat Diminta Waspadai Antraks

Suara Pembaruan, 12 Januari 2005

JAKARTA - Walaupun penyakit antraks belum mewabah dan hampir semua hewan ternak di daerah endemik sudah divaksinasi, masyarakat diminta tetap mewaspadai gejalanya. Dari 11 provinsi yang endemik antraks, sejauh ini baru Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menunjukkan gejala penyakit yang biasanya menyerang ternak kambing dan sapi itu.

Hal itu dikemukakan Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Tri Satya Putri Naipospos, kepada Pembaruan, di Jakarta, Rabu (12/1).

Berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan antraks, Tri Satya meminta pemerintah daerah untuk aktif mengawasi peternakan, penjualan, dan masuknya hewan ternak dari luar daerah. Sejumlah daerah, katanya, hanya mementingkan pendapatan dari penjualan hewan ternak, tetapi mengabaikan kesehatannya.

''Jika tidak diawasi dan diperiksa kesehatannya, hewan-hewan yang sakit antraks bisa menulari hewan lainnya dan manusia. Kuman atau bakteri bisa terhisap melalui udara atau melalui daging yang dimakan,'' ucapnya.

Dia menjelaskan, di wilayah NTB ditemukan ternak yang menunjukkan gejala klinis terkena antraks, antara lain hewan mendadak mati karena pendarahan otak, hewan berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya beberapa menit setelah darah keluar dari lubang kemaluan dan dubur, namun ada pula yang mati beberapa jam kemudian.

Tri Satya mengatakan, menjelang Hari Raya Idul Adha, sudah banyak hewan kurban yang dijual, namun harus memenuhi syarat. Hewan yang dijual maupun yang dipotong harus dalam keadaan sehat berdasarkan pemeriksaan petugas peternakan, yakni tidak cacat, cukup umur, dan tidak kurus.

Dijelaskan, untuk mengetahui gejala hewan ternak tidak sehat atau kemungkinan terkena antraks sangat mudah, yakni bulu kotor atau kusam, gerak tubuh lemas, nafsu makan kurang, cara bernapas sesak, dari lubang hidung dan telinga keluar darah berwarna hitam, suhu badan tinggi, dan tinja atau urine berwarna kemerahan.

Dia mengimbau kepada pedagang hewan kurban agar memperhatikan gejala itu dan segera melaporkan kepada petugas peternakan. Siapa pun tidak boleh menjual atau memotong hewan sakit karena berpotensi menularkan penyakit.

Diingatkan pula, jika ada yang memotong atau menjual daging hewan tanpa seizin petugas peternakan bisa dikenai sanksi pidana kurungan. Ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Ditegaskan bahwa semua hewan ternak harus dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau bila dianggap perlu dapat dilakukan di tempat pemotongan khusus yang secara higienis dan sanitasi dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu harus di bawah pengawasan tim khusus yang terdiri dari dokter hewan berwenang dan dinas peternakan atau dinas teknis yang membidangi kesehatan hewan dan kesehatan veteriner setempat. Tempat pemotongan khusus biasanya marak saat Lebaran atau Idul Adha.

Tri Satya menjelaskan, hewan ternak yang dipastikan terkena antraks tidak boleh dipotong atau ditusuk, dan harus dikubur di kedalaman dua meter. Selain itu bangkai hewan ternak yang mati karena antraks harus segera dimusnahkan dengan dibakar sampai hangus, dan dicegah jangan sampai dimakan oleh hewan pemakan bangkai.

''Menjelang dan saat Hari Raya Idul Adha, petugas peternakan di daerah siap memeriksa. Kami juga dibantu ratusan mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan perguruan tinggi lainnya,'' ujarnya.

Dia juga mengingatkan, untuk menghindari penyakit antraks, para pemilik atau pemelihara hewan ternak agar jangan mengeluarkan hewan yang sakit dari tempatnya, dan hewan dari luar jangan dimasukkan ke tempat tersebut. Sementara yang dimaksud hewan ternak di sini adalah sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan kuda. (S-26)


Cegah Antraks, 11 Ribu Kambing di Bogor Divaksinasi

Kamis, 28/10/2004 12:02 WIB
Eka Saprianawati - detikNews

Bogor - Untuk mencegah penyebaran virus antraks, sekitar 11 ribu kambing di Babakan Madang Bogor divaksinasi dengan antravet dan antravax. Vaksinasi dimulai sekitar pukul 11.00 WIB, Kamis (28/10/2004). Tindakan medis itu dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Babakan Bogor, yang dipimpin oleh Direktur Kesehatan Hewan drh Trisatya Putri Naipospos, bekerja sama dengan mahasiswa IPB. "Ada sekitar 11.000 ekor kambing di daerah Babakan Bogor, belum termasuk sapi dan kerbau. Vaksin yang tersedia ada 78 ribu, sedangkan yang kita bawa 42 ribu vaksin," urai drh Trisatya. Tim Dinas Kesehatan yang berjumlah sekitar 10 orang mulai melakukan vaksinasi dengan mendatangi kandang-kandang hewan ternak milik warga. Mereka meminta peternak untuk memegang hewan ternaknya, kemudian tim menyuntikkan vaksin. Setiap peternak memiliki hewan ternak berupa kambing sekitar 5-7 ekor. Tindakan vaksinasi tersebut mengundang perhatian warga. Sekitar 30 warga menonton dan mengikuti tim saat melakukan vaksinasi, kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak kecil. Sementara para peternak mengaku belum ada kesulitan menjual kambingnya. "Nggak ada kesulitan tuh. Masih lancar-lancar saja. Apalagi sudah disuntik. Semoga lancar-lancar terus, kalau nggak, bisa rugi kita," kata seorang peternak bernama Hasan. Virus antraks memakan 6 korban jiwa warga Desa Citaringgul, Babakan Padang, Bogor. Mereka terinfeksi virus mematikan tersebut setelah mengonsumsi sop jeroan kambing. Beberapa kambing yang diduga terjangkit virus antraks pun dibakar. Sedangkan kambing dan hewan ternak lain yang tidak terjangkit antraks diberi vaksinasi untuk mencegah penyebaran virus tersebut. (sss/)


Penanganan Flu Burung Terkendala Koordinasi dan Ketersediaan Dana

Kamis, 13 Juli 2006 20:03

Kapanlagi.com - Penanggulangan penyebaran virus Avian Influenza (AI) -- yang juga akrab disebut dengan flu burung -- di Indonesia terkendala lemahnya koordinasi dan pendanaan yang tidak memadai.

Hal itu disampaikan oleh drh. Tri Satya Putri Naipospos, Ph.D dari Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapan Menghadapi Pandemi Influenza, di Jakarta, Kamis (13/07).

Menurut Naipospos, untuk menghadapi penyebaran penyakit zoonosis (penyakit infeksi yang terjadi secara alami antara hewan vertebrata dengan manusia) macam flu burung, dibutuhkan koordinasi lintas sektoral yang apik.

"Namun tampaknya baik pemerintah maupun swasta tidak memperhatikan pentingnya unsur koordinasi itu," kata dia di sela-sela Simposium Internasional tentang Penanganan Flu Burung 13-14 Juli 2006.

Lebih lanjut mantan Direktur Kesehatan Hewan di Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, itu mencontohkan lambannya perhatian dari pemerintah menangani isu flu burung.

"Komisi Nasional Flu Burung baru dibentuk pada Maret 2006, padahal kasus flu burung telah mulai merebak di Indonesia sejak beberapa tahun sebelumnya," kata dia.

Naipospos menilai kelambatan itu merupakan salah satu bukti kurang seriusnya Pemerintah Indonesia melaksanakan fungsi koordinasi, "Namun saya tetap berharap walaupun terlambat, pada masa mendatang bakal ada perbaikan."

Dalam kesempatan yang sama, Naipospos memaklumi bila keterlambatan penanganan dari pemerintah -- dalam hal ini Departemen Kesehatan -- disebabkan oleh begitu banyaknya masalah kesehatan yang melanda Tanah Air, antara lain penyakit kurang gizi, demam berdarah, dan TBC.

"Pemerintah sudah seharusnya memperbaiki koordinasi antara Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Karena penanganan primer penyebaran flu burung terletak pada unggas, maka seharusnya program lebih diprioritaskan kepada penanganan binatang-binatang tersebut," ungkap dia.

Naipospos memandang saat ini koordinasi antara Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan masih sangat lemah, berbeda dengan keadaan yang ada di negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Taiwan.

Kendala lain yang dihadapi Indonesia dalam hal penanggulangan flu burung, masih kata Naipospos, terletak di pendanaan yang hingga saat ini belum juga jelas sumber-sumber dan ketersediannya.

"Distribusi pendanaan sudah sewajarnya lebih diarahkan ke penanganan hewan, yakni dengan program pemusnahan saat timbul gejala-gejala awal, dan pemerintah memberikan kompensasi kepada para pemilik unggas," katanya.

Ketika ditanya mengapa pemerintah tidak memberikan kompensasi seperti kebijakan negeri tetangga Thailand -- yaitu penggantian sesuai harga pasar -- , Naipospos mengaku tidak tahu persis alasannya, "Entah, apa karena (pemerintah) tidak bisa atau tidak serius."

Khusus soal sumber pendanaan program penanganan flu burung, ia memperkirakan Bank Dunia adalah pihak yang paling dekat untuk mendanai program tersebut.

"Bank Dunia mau-mau saja memberikan dana kompensasi bagi pemusnahan unggas, tapi tentu mekanismenya harus diperbaiki ... mereka tidak mau kelak uang itu tidak tepat sasaran dan terlambat diterima orang-orang yang berhak," ujar Naipospos.

Di balik ancaman terhadap nyawa manusia, flu burung juga membawa dampak terhadap beban kesehatan manusia secara umum.

"Seperti SARS, flu burung juga bisa menimbulkan dampak travel warning dari negara-negara lain atau warga negara Indonesia dilarang berkunjung ke luar negeri. Beban kesehatan dan ekonomi akibat flu burung tentu akan lebih besar lagi, dan pemerintah harus mewaspadi hal itu," demikian Naipospos. (*/lpk)


Tak Memadai UU Pemberantasan Penyakit Hewan Menular

EKONOMI - Sabtu Wage, 2 April 2005

Jakarta (Bali Post) - http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/4/2/e7.htm

Undang-undang (UU) No. 6 tahun 1967 tentang Penyakit Hewan Menular diakui tidak lagi memadai. Penyakit flu burung (Avian Influenza-red) menjadi salah satu bukti kekurangsigapan memberantas penyakit hewan menular secara cepat. Demikian Direktur Kesehatan Hewan Dirjen Bina Produksi Peteranakan Deptan Tri Satya Naipospos kepada pers di Jakarta, Jumat (1/4) kemarin.

"Pemberantasan penyakit hewan memerlukan satu departemen yang memiliki wewenang untuk memimpin pemberatasan karena UU No. 6 Tahun 1967 masih belum memadai. UU tersebut juga tidak memuat sanksi hukum yang bisa membuat efek jera," ungkap Tri Satya Putri Naipospos.

Akibat tidak adanya UU yang memadai, pemberantasan penyakit hewan seperti flu burung menjadi kurang efektif. Prosedur tetap penanganan penyakit hewan menjadi sulit dilakukan. Sebab, tidak ada hukum yang mengharuskan peternak dan stake holder peternakan melakukan aturan penanganan satu penyakit hewan. Apalagi UU No. 6 tidak memiliki sanksi atas pelanggaran yang terjadi.

"Akibatnya departemen yang terkait penyakit hewan hanya bisa menghimbau dan masyarakat tidak menerima konsekwensi hukum jika melakukan pelanggaran," katanya.

Belum adanya aturan yang tegas menjadikan Deptan kesulitan untuk mensosialisasikan kesiagaan darurat atas kemungkinan adanya serangan penyakit hewan. Secara umum, masyarakat Indonesia dinilai masih belum memiliki kesiagaan darurat atas adanya satu penyakit hewan. Masyarakat belum tahu tindakan apa yang harus dilakukan jika ada serangan satu penyakit hewan.

Menurut Tri Satya, sanksi yang tegas bisa dimanfaatkan untuk mencegah penjualan hewan sakit di pasar. Selama ini, peternak cenderung menjual ternaknya yang sakit ke pasar. Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi kerugian yang dideritanya. Begitu melihat ayam di kandang sakit peternak langsung menyembelih dan menjual dagingnya ke pasar. Langkah yang dilakukan oleh peternak tersebut berpotensi menyebarkan penyakit hewan.

"Karena tidak ada sanksi hukum bagi peternak yang menjual hewan sakit khususnya ayam masyarakat cenderung menjual hewan sakitnya ke pasar. Kalau ada aturan yang memberi sanksi bagi penjualan hewan sakit di pasar maka peternak tidak akan berani menjual hewan sakit ke pasar," paparnya.

Bahayakan Manusia

Jual beli hewan sakit mengakibatkan adanya lalu lintas hewan sakit sehingga penyebaran penyakit hewan tersebut menjadi lebih luas. Kondisi ini, membuat pengendalian penyakit hewan menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Penyebaran penyakit menjadi lebih luas dan sulit diidentifikasi. "Lalu lintas hewan ini sebenarnya berpotensi membahayakan manusia. Dalam banyak kasus penyakit hewan sangat terkait dengan kondisi kesehatan manusia. Salah satu keuntungan kita adalah flu burung yang menyerang Indonesia tidak menular kepada manusia, bayangkan kalau itu menular," imbuhnya. (kmb1)