Untuk membantu komite ini, maka dibentuk Pelaksana Harian yang bertindak sebagai Sekretariat dari Komnas FBPI. Dalam Sekretariat Komnas FBPI, Dr Bayu Krisnamurthi (Deputi Bidang Pertanian dan Kelautan, Kementerian Koordinator Perekonomian) adalah Ketua Pelaksana Harian dan Dr Emil Agustiono MKes (Deputi Bidang Kependudukan, Kesehatan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat) sebagai Wakil Ketua Pelaksana Harian I dan saya sendiri mengemban tugas sebagai Wakil Ketua Pelaksana Harian II. Tugas ini saya jalani sampai dengan akhir tahun 2007.
Selama bertugas di Komnas FBPI, saya ditugaskan untuk mengikuti dua kali training mengenai kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza yaitu APEC Pandemic Response Exercise: Lesson Learnt Workshop dan APEC Health Task Force Seminar on Assessing Pandemic Preparedness di Singapura tahun 2006.
Dibawah ini presentasi (Microsoft PowerPoints) yang saya sampaikan mengenai flu burung semasa bekerja di Komnas FBPI:
Perkembangan Penyakit Flu Burung dan Langkah-langkah Penanggulangannya
Dipaparkan di depan Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Kantor Komnas FBPI, Wisma ITC, Jakarta, 5 Desember 2006
Flu Burung dan Fenomena Pandemi Influenza
Dipaparkan di depan karyawan/wati PT Starbuck Indonesia, Jakarta, 10 April 2007
KONSEP KOMPARTEMEN BEBAS AVIAN INFLUENZA
SUARA PEMBARUAN DAILY
http://202.169.46.231/News/2007/06/30/Ekonomi/eko07.htm
--------------------------------------------------------------------------------
Pengusaha Perunggasan Tandatangani Kesepakatan Pengendalian Flu Burung
[JAKARTA] Pengusaha perunggasan nasional menandatangani kesepakatan bersama dalam pengendalian wabah flu burung (avian influenza/AI) atau di Indonesia. Kesepakatan ini juga guna mencegah dampak ekonomi akibat kemerosotan pendapatan peternak unggas akibat isu flu burung.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI) Anton J Supit, kepada SP, di Jakarta, Sabtu (30/6), mengatakan, kesepakatan itu sudah dilaporkan kepada Ketua Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza, Bayu Krisnamurthi, dan Wakil Ketua Komnas Flu Burung, Tata Naipospos.
Anton Supit mengemukakan, para pengusaha perunggasan sangat prihatin dengan masih adanya wabah AI yang menyerang unggas dan manusia walaupun kasusnya sudah semakin menurun. Para pengusaha juga meminta Komnas Flu Burung diberi tenaga ahli dan wewenang penuh untuk mengkoordinasi serta dana yang memadai.
"Perusahaan perunggasan akan terus memaksimalkan upaya penanganan AI di masing-masing perusahaan dan mitra usaha sebagaimana yang sudah dilaksanakan selama ini, antara lain menerapkan bio-security yang ketat di sepanjang rantai produksi, mulai dari pabrik pakan, pembibitan, penetasan, budi daya, pemotongan, sampai distribusi," ujar Anton.
Dia juga memastikan, para pengusaha terus melakukan vaksinasi terhadap indukan ayam pedaging penghasil bibit anak ayam umur sehari atau day old chick (DOC) dan ayam petelur. Yakni dengan memberi perlindungan kepada mereka yang sehari-hari bekerja di peternakan ayam dengan cara memberi makanan bergizi, vitamin-mineral, dan dilakukan vaksinasi influenza.
Anton menegaskan, para pengusaha juga siap bersama pemerintah melakukan relokasi pasar ayam hidup secara bertahap di Jakarta. Mereka juga menyiapkan rumah potong ayam (RPA) yang memenuhi persyaratan di tempat yang telah disepakati bersama pemerintah. [S-26]
INDONESIA NOW - METRO TV - 23 February 2007
INTERVIEW - TRI SATYA NAIPOSPOS, DEPUTY CHIEF, KOMNAS FBPI
The woman who helped alert Indonesia to the threat of the bird flu says better government coordination is needed. Doctor Trisatya Naipospos is deputy chief of the agency leading the government fight to prevent the spread of the virus that's killed 65 people in Indonesia. That's the most in the world. She says the focus remains the same after the latest outbreaks.
Dalton Tanonaka, Anchor Indonesia Now |
TN: We have to do something with the poultry, you know. That means we have to at least get rid of all the problems within our poultry population. There has to be more efforts to be done in this. Control at source is something the government has already stated out. Meaning that there will be more strict control action. Like if we decided to do a mass vaccination campaign, that has to be done very serious(ly). Otherwise, there's no way to curb this disease.
IN: Is containing the virus simply a matter of money? If so, where do you get it from?
TN: I think money, is not really a big problem. I think it's more related to the political commitment, I think...
IN: On whose part? Indonesia's or the world's or...?
TN: I think it has to be both. The government of Indonesia, of course with the support of many, many parties. The industry itself, NGOs, as well as the global community. The international donors are ready to help, but then there has to be a clear policy, driven by the government. This is something that I have to underline. The government of Indonesia has to have a very clear fundamental national strategic plan, (on) how to deal with this avian flu.
IN: But you're one of the government's representatives, I seem to be hearing that it hasn't been doing the job it needs to do.
TN: The fundamental problem does not only point to one technical department. There has to be an integration between the two main players, which are the Ministry of Agriculture, and the Ministry of Health. Of course with the support of other departments. They are the fundamental, the baseline players, they have to be more... working together, which I haven't seen it yet at the moment. As the body that tries to coordinate, the two ministries, it's always difficult to do this kind of integrated action, particularly in the field because there are different perceptions between the two ministries.
IN: But you're hopeful that they'll come together?
TN: I think, there's no (other) way, we have to be together, and this is something that we have to keep push on. There's no other alternative.
She said it helped the fight that the president came out with a seven-point plan last month that included use of the military if necessary.
Source: Metro TV
INDONESIA NOW - METRO TV - Saturday, 23 February 2008
DR. TRISATYA (TATA) NAIPOSPOS, WORLD ORGANIZATION FOR ANIMAL HEALTH Anchor: Dalton Tanonaka
The woman who once led Indonesia's scientific fight against the bird flu says we're losing the battle. Doctor Trisatya Naipospos was with the government agency Komnas FBPI. But she left for a job in Bangkok, partly out of frustration. On a recent visit home, she offered concerned advice to prevent this deadly virus from mutating and spreading.
TN: I should urge the government in this opportunity. I think it's the best opportunity to say to the government that they have to be more serious in handling the disease in chickens, in animals. This has already became an environmental problem. We can see this supply chain of chickens all around Indonesia. The live bird markets… are really uncontrolled… if you really see the condition of a live bird market. In Jakarta itself, there are thousands of live bird markets without control and they really really (have) poor bio-security. I think government should look at (it) more seriously.
IN: If you were in charge of the program… you were number 2 when you left… what would you do immediately?
TN: I think we have to concentrate on the… veterinary sector. We have to strengthen our cooperation with the livestock industry particularly poultry industry in this country because without talking to them and working with them I think this problem can easily (get more out of control).
IN: Why aren’t we doing it?
TN: It is quite complex, if we see the situation right now there are inconsistencies in government's policies. The government has to look on the epidemiology of the disease if we want to fight against the disease. I would like to urge the government to enhance the capacity of the veterinary service. This is something that should be underlined with all our efforts in combating the disease.
IN: The president has been noticeably silent on this international concern. Do you think it will help if the government speaks up and mobilizes actions?
TN: Of course, it will help talking in a positive way and if the president speaks up and places the problem in a more high priority. I think all countries around the world will appreciate this because this is a kind of transboundary disease which can be transmitted without thinking about borders of a country. It is really good for the Indonesian government if it can do something immediately.
IN: Complete this sentence if you agree. “Indonesia is losing the battle against the bird flu because..,.”
TN: ...because poor coordination between government agencies, between government and private sectors, and the weaknesses of our veterinary service. I should underline that we have to control the disease at source.
Naipospos says this critical issue is not so much about resources, but political will.
Source: Metro TV
SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------
http://202.169.46.231/News/2007/09/25/Kesra/kes02.htm
Komunitas Pedesaan Bisa Lawan Flu Burung
[JAKARTA] Upaya penanganan dan pencegahan wabah flu burung harus dilakukan secara terpadu. Pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi "akar rumput" lewat basis komunitas pedesaaan (community based) diharapkan mampu menjadi langkah tepat melawan flu burung di Indonesia.
Meski kampanye nasional "Beat The Bird Flu" telah berakhir, Senin (24/9), dengan ditandai pemberian penghargaan kepada semua pihak yang turut berpartisipasi lewat edukasi kepada publik, sosialisasi tanggap flu burung tetap berjalan.
Hal tersebut dikemukakan Wakil Ketua Pelaksana Harian Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) Tri Satya Putri Naipospos kepada SP, di sela-sela acara malam penghargaan bagi pendukung kampanye lawan flu burung di Jakarta, Senin (24/9).
Saat ini, ungkap Naipospos yang akrab dipanggil Tata, Indonesia menempati urutan tertinggi kasus flu burung yang menyerang manusia. Dia menjelaskan, pola sosialisasi pada akar rumput (masyarakat tingkat bawah) atau langsung mengarah pada masyarakat pedesaan masih berjalan.
"Program ini dinamakan Desa Tanggap Flu Burung. Kader-kader di desa kita rekrut dari organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah. Hingga kini, ribuan desa telah melaksanakan program itu. Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan sebagai koordinator pusat, Komnas FBPI juga terlibat," ujarnya.
Tata juga menyoroti langkah pemusnahan unggas. Menurutnya, selama unggas masih menjadi sumber wabah maka arahnya jelas sebagai pandemik (tersebar luas). Selain terus mengkampanyekan tanggap flu burung untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, pemerintah juga bekerja sama dengan dunia internasional mencari langkah tepat menghadapi virus ini.
Menurut hasil pemeriksaan laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), hingga kini kasus flu burung di Indonesia telah menyerang 106 orang, 85 orang di antaranya meninggal dunia dengan angka kematian (case fatality rate) 80,2 persen. Flu burung pun telah membunuh 200 orang di seluruh dunia.
Simulasi tanggap flu burung akan dilakukan tahun 2008. Simulasi ini, katanya, membutuhkan kerja sama dengan berbagai instansi terkait, antara lain juga yang berkaitan dengan pariwisata, komunikasi, dan perhubungan.
Sedangkan untuk anggaran yang disediakan pemerintah, Tata menyatakan belum mengetahui jumlahnya. Namun, dana sebelumnya, untuk Departemen Pertanian sebesar Rp 24 miliar dan Departemen Kesehatan sekitar Rp 25 Miliar untuk program tanggap flu burung ini. [ASR/S-26].
--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 24/9/07
ANTARA News
http://www.antaranews.com/print/1152712258/itik-perlu-lebih-diwaspadai-sebagai-pembawa-virus-flu-burung
Itik Perlu Lebih Diwaspadai sebagai Pembawa Virus Flu Burung
Jakarta (ANTARA News) - Ada kemiripan kesimpulan dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh pakar IPB, UGM, Unair, Unud dan Balai Penelitian Veteriner yang mengarah bahwa unggas air seperti itik, bebek dan angsa perlu lebih diwaspadai dibanding ayam sebagai pembawa virus Avian Influenza (AI) atau flu burung.
"Ada indikasi ke unggas air daripada ke jenis ayam sebagai reservoir (pembawa virus) yang perlu diwaspadai," kata Wakil Ketua Komisi Nasional Flu Burung, drh Tri Satya P Naipospos PhD dalam Dialog Nasional PHDI di Jakarta, Selasa.
Itik, bebek atau angsa perlu lebih diwaspadai karena meski terkena virus AI, unggas air itu tak memperlihatkan gejala, seperti halnya ayam, selain itu, lanjutnya, unggas air ini lebih bebas hidupnya dan bermobilitas lebih tinggi, ujarnya.
Ia menegaskan, sejauh ini tidak ada lompatan virus yang berasal dari itik atau jenis unggas air lainnya yang langsung ke manusia, namun sebagai perantara, unggas air terindikasi menjadi penular virus lebih dulu ke ayam, baru kemudian ke manusia serta lebih berperan dalam penyebarannya.
Di Vietnam, ujarnya, mengacu pada hasil penelitian bahwa di daerah-daerah itik terkonsentrasi terkait musim panen padi, di situlah terjadi kasus-kasus flu burung, membuat itik lebih banyak diberantas daripada ayam.
"Ayam seperti halnya manusia, dianggap hanya merupakan korban," katanya.
Dari hasil analisa phylogenetik, lanjut dia, dapat dinyatakan bahwa seluruh virus H5N1 baik dari Indonesia dan Vietnam berasal dari satu kali introduksi, dan sangat mungkin dari unggas domestik di China selatan.
Selanjutnya, endemisitas dari virus yang berlangsung terus menghasilkan pembentukan kelompok geografis berbeda untuk masing-masing sublineage Indonesia dan Vietnam.
H5N1 secara persisten juga hidup di tempat kelahirannya di China selatan, untuk selama hampir 10 tahun dan secara berulang diintrodusir ke negara tetangga seperti Vietnam dan juga negara yang jauh seperti Indonesia.(*)