Senin, 20 Januari 2014

Otoritas veteriner di Indonesia: (2) Keterkaitan dengan kesehatan hewan akuatik dan satwa liar

Tersambung ke tulisan pertama dari dua tulisan yang membahas otoritas veteriner di Indonesia

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Tulisan kedua khusus membahas mengenai koordinasi yang diperlukan antara otoritas veteriner dengan mitra-nya yang memberikan pelayanan kesehatan hewan akuatik dan satwa liar. Keterkaitan baik dengan kesehatan hewan akuatik maupun satwa liar ditentukan bukan hanya karena keterlibatan dokter hewan sebagai aktor utamanya, akan tetapi juga adanya hubungan teknis sesuai pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (OIE) dengan mempertimbangkan juga peraturan perundangan yang berlaku di masing-masing bidang.

Seperti disampaikan dalam tulisan pertama mengenai otoritas veteriner di Indonesia, pranata kesehatan hewan (VS) seperti yang didefinisikan OIE bergantung kepada sistim politik pemerintahan suatu negara. Sistim yang menyebabkan struktur kelembagaan pemerintah yang ditetapkan sebagai pemegang otoritas veteriner sangat beragam, mulai dari yang terpusat (centralised) sampai yang sangat terdesentralisasi (decentralised). [3] Sistim desentralisasi bukan hanya terjadi di Indonesia saja tapi juga di banyak negara di dunia, baik negara berkembang maupun negara industri baru (emerging economies). [5]

Pranata kesehatan hewan (VS) terdiri dari berbagai kelembagaan atau organisasi baik pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil (civil society), dan aktor-aktor lainnya yang berbagi peran untuk tujuan yang sama, yaitu memberikan pelayanan kesehatan hewan ke seluruh wilayah negara. Interaksi antar berbagai aktor tersebut bisa diatur baik secara formal maupun informal. [3]

Koordinasi antara pranata kesehatan hewan (VS) dengan kelembagaan terkait yang relevan merupakan komponen kunci dari kepemerintahan yang baik (good governance), terutama untuk pelaksanaan tindakan yang efektif dan pengelolaan optimal dari sumberdaya yang ada. Dalam penyelenggaraan kesehatan hewan, terlibat banyak pihak baik dari bidang teknis, administratif, maupun hukum yang dianggap sebagai mitra yang perlu dikoordinasikan. Derajat formalisasi dari koordinasi tersebut cenderung bergantung kepada pengorganisasian dan penyesuaian struktur (structural adjustment) [2], serta peraturan perundangan yang berlaku di suatu negara.

Dr. drh. Djoko Prastowo MSi (Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Gajah Mada), drh. Prabowo Respatiyo Caturroso MM PhD
(Staf Ahli Menteri Bidang Investasi Pertanian), dan
drh. Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD (CIVAS) pada saat
penyelenggaraan Workshop Otoritas Veteriner,
14 November 2013 di FKH UGM, Yogyakarta. [1]
Meskipun UU No. 18/2009 mencakup keseluruhan jenis binatang/satwa (hewan, hewan peliharaan, ternak, dan satwa liar), akan tetapi pengaturan hewan akuatik tidak bisa dilepaskan dari UU No. 45/2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan, dan pengaturan satwa liar di bawah UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemmya.

Hewan, hewan akuatik dan satwa liar

Meskipun ke-tiga UU yang disebutkan diatas memiliki kesamaan substansi dalam pengertian tentang “hewan”, “hewan akuatik” dan “satwa liar” seperti terlihat dalam Tabel 1, tetapi sebenarnya dalam pemahaman hukumnya UU No. 18/2009 [6] lebih banyak mengatur tentang hewan peliharaan dan ternak yang hidup di darat. Hewan peliharaan atau ternak yang hidup di air (hewan akuatik) atau dalam istilah sektor perikanan disebut “ikan” diatur dalam UU No. 45/2009 [7]. Sedangkan pengertian “satwa liar” dalam UU No. 18/2009 persis sama seperti dalam UU No. 5/1990 [8], dengan penekanan kepada binatang yang mempunyai sifat liar.

Tabel 1. Definisi hewan, hewan akuatik dan satwa liar menurut UU No. 18/2009,
UU No 45/2009 dan UU No. 5/1990

OIE memiliki definisi tersendiri tentang apa yang dimaksud dengan “hewan” dengan hanya membatasinya pada hewan darat (terrestrial animals). Defnisi hewan (animal) dalam OIE Terrestrial Code adalah:
“mamalia, unggas dan lebah.” [9]
Sedangkan definisi mengenai “hewan akuatik” (aquatic animals) menurut OIE Aquatic Code adalah:
“semua tahapan dari siklus hidup ikan (termasuk telur dan gamet), moluska, krustasea dan amfibi yang berasal dari usaha akuakultur atau diambil dari alam liar, untuk tujuan diternakkan, untuk dilepas ke lingkungan, untuk konsumsi manusia atau untuk tujuan sebagai ikan hias (ornamental fish).” [10]
Definisi OIE mengenai “satwa liar” (wildlife) dalam OIE Terrestrial Code adalah:
“satwa liar yang didomestikasi kemudian meliar kembali (feral animals), satwa liar yang ditangkarkan (captive wild animals), dan satwa liar yang hidup di alam bebas (wild animals).” [9]
Pada umumnya, semua peraturan perundangan tentang kesehatan hewan di suatu negara mengacu ke OIE Terrestrial Code, dan kesehatan hewan akuatik ke OIE Aquatic Code. OIE Terrestrial Code menetapkan standar-standar kesehatan dan kesejahteraan hewan, dan kesehatan masyarakat veteriner, termasuk standar perdagangan internasional yang aman untuk hewan darat (mamalia, unggas, dan lebah). [11] Sedangkan OIE Aquatic Code menetapkan standar-standar kesehatan hewan akuatik dan kesejahteraan ikan yang diternakkan, termasuk standar perdagangan internasional yang aman untuk hewan akuatik (amfibi, krustasea, ikan dan moluska). [12]

Dalam perspektif sejarah, pembuatan peraturan perundangan nasional dan internasional diarahkan khusus untuk penanganan kesehatan dan penyakit-penyakit dari spesies hewan yang didomestikasi secara tradisionil atau yang lebih sering disebut sebagai 'hewan pertanian' (animal agriculture), seperti yang kemudian juga terjadi pada UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU ini mengamanatkan beberapa ketentuan lebih lanjut yang berkaitan dengan bidang kesehatan hewan dan dua diantaranya yang sudah diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, dan PP No. 41/2012 tentang Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan. PP lain yang belum terbit sampai dibuatnya tulisan ini adalah PP yang mengatur tentang pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, dan otoritas veteriner.

Sampai saat ini OIE belum mengatur tentang standar-standar kesehatan dan penyakit-penyakit satwa liar, termasuk perdagangannya. Dalam hal satwa liar, Indonesia mengadopsi peraturan global yaitu Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). CITES fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. [13] 

Satwa liar menurut CITES dibagi tiga berdasarkan kelompok 'appendix' yaitu appendix 1 merupakan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional; appendix 2 merupakan satwa liar yang tidak terancam kepunahannya, tetapi mungkin terancam apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan; dan appendix 3 merupakan  satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya. [30]

Pengaturan lainnya dalam pelaksanaan CITES yaitu PP No.13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru, PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. [13]

Dsamping itu Indonesia juga telah mengesahkan peraturan internasional United Nations Convention on Biological Diversity (CBD) yang meliputi ekosistem, jenis dan genetik yang mencakup hewan, tumbuhan dan jasad renik (mikro-organisme) melalui UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati. [14]

Selain itu Indonesia sebagai negara anggota International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga mengikuti pedoman-pedoman yang dikeluarkan oleh organisasi ini yang menetapkan standar daftar spesies satwa liar dan upaya penilaian konservasinya (dikenal dengan: ‘IUCN Red List’). IUCN Red List bertujuan memberi informasi dan analisis mengenai status, tren dan ancaman terhadap spesies untuk memberitahukan dan mempercepat tindakan dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati. [31]

Tabel 2 di bawah ini memuat peraturan internasional dan nasional yang mengatur kesehatan dan kesejahteraan hewan/satwa. Masing-masing UU tersebut merujuk kepada peraturan internasional, yang kemudian di bawahnya ada PP yang mengatur lebih lanjut ketentuan UU. Peraturan perundangan lain yang terkait dengan hewan dan hewan akuatik adalah UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, dan PP No. 82/2000 tentang Karantina Hewan.

Tabel 2. Peraturan internasional dan nasional yang relevan dengan hewan,
hewan akuatik, dan satwa liar
Sumber: Dimodifikasi dari Cooper R.E. and Rosser A.M. (2002). International regulations on wildlife trade: relevant legislations and organizations. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 21(1), 103-123. [27]

Competent Authority

OIE mengatakan produksi dan perdagangan hewan akuatik dan produknya semakin penting dalam dekade ini dan sektor akuakultur tumbuh cepat sebagai respon dari permintaan global yang semakin meningkat terhadap protein bermutu tinggi. Di sejumlah negara, kelembagaan veteriner sekaligus bertanggung jawab dan berkompeten dalam kesehatan hewan akuatik (aquatic animal health services), tetapi di beberapa negara kelembagaan pemerintah lain yang memegang tanggung jawab dan kompetensi tersebut. [4]

Sebagaimana telah disinggung dalam tulisan pertama, otoritas veteriner di Indonesia berada di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Sedangkan kelembagaan yang bertanggung jawab dan berkompeten dalam kesehatan hewan akuatik berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dalam OIE Terrestrial Code dan OIE Aquatic Code dikenal istilah “Competent Authority” yang diterjemahkan menjadi “Otoritas Kompeten”.

Apabila kelembagaan veteriner sekaligus menangani kesehatan hewan dan hewan akuatik, maka berlaku definisi “Otoritas Kompeten” (Competent Authority) sesuai OIE Terrestrial Code yaitu:
Otoritas veteriner atau otoritas pemerintah lainnya (other Governmental Authority) dari suatu negara yang bertanggung jawab dan berkompeten dalam menjamin atau mensupervisi pelaksanaan tindakan kesehatan dan kesejahteraan hewan, sertifikasi veteriner internasional, serta standar dan rekomendasi lainnya yang tertuang dalam OIE Terrestrial Code dan OIE Aquatic Code di seluruh wilayah negara.” [9]
Apabila kelembagaan pemerintah lain yang menangani kesehatan hewan akuatik, maka berlaku definisi “Otoritas Kompeten” (Competent Authority) sesuai OIE Aquatic Code yaitu:
“Otoritas veteriner atau otoritas pemerintah lainnya dari suatu negara yang bertanggung jawab dan berkompeten dalam menjamin atau mensupervisi pelaksanaan tindakan kesehatan dan kesejahteraan hewan akuatik, sertifikat internasional, serta standar dan rekomendasi lainnya yang tercantum dalam OIE Aquatic Code di seluruh wilayah negara.” [10]
Apabila kelembagaan pemerintah di suatu negara bertanggung jawab dan berkompetensi di bidang kesehatan hewan dan sekaligus kesehatan hewan akuatik, maka otoritas kompeten-nya disebut sebagai “Otoritas Veteriner”. Tetapi apabila kelembagaan pemerintah di suatu negara yang bertanggung jawab dan berkompeten di bidang kesehatan hewan berbeda dengan kelembagaan pemerintah yang bertanggung jawab dan berkompeten di bidang kesehatan hewan akuatik, maka otoritas kelembagaan pemerintah lain itu disebut “Otoritas Kompeten”.

OIE menyatakan, baik dokter hewan terlibat dalam pelayanan kesehatan akuatik atau tidak, prinsip umum yang harus dipatuhi adalah kualitas pelayanannya harus sama dengan yang diterapkan untuk kesehatan hewan. Peraturan perundangan yang memadai dan kepemerintahan yang baik (good governance) diperlukan untuk mendukung pelayanan kesehatan hewan akuatik agar mampu memenuhi persyaratan OIE, termasuk deteksi, pelaporan, dan pengendalian penyakit. [4]

KKP bertanggung jawab untuk mengembangkan dan mengatur hasil perikanan di sepanjang rantai nilainya, sehingga kegiatan pengendalian mutu dan keamanannya menjadi bagian dari kewenangan KKP. Untuk kepentingan perdagangan internasional, maka Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP telah ditetapkan sebagai otoritas kompeten untuk melakukan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. [15] Selaku otoritas kompeten, BKIPM telah mendelegasikan kewenangan dalam penerbitan “Sertifikat Kesehatan” (Health Certificate) kepada 31 lembaga inspeksi dan sertifikasi di seluruh Indonesia. [16]

Dalam OIE Codes belum diatur mengenai otoritas kompeten untuk kesehatan satwa liar. Namun demikian untuk melaksanakan kewajiban Indonesia terhadap pelaksanaan CITES maka Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan telah ditunjuk sebagai “Otoritas Pengelola” (Management Authority) dan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai “Otoritas Keilmuan” (Scientific Authority) CITES. [13]

Nasional vs sub-nasional

Pemahaman tentang “Otoritas Veteriner” dalam UU No. 18/2009 telah menimbulkan pemikiran sepihak di kalangan dokter hewan bahwa kelembagaan veteriner bukan hanya diperlukan di Kementerian Pertanian, tetapi juga di lembaga-lembaga lain yang mempekerjakan dokter hewan di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Kehutanan. Suatu pemikiran yang sah-sah saja sebenarnya, karena urusan kesehatan hewan akuatik maupun satwa liar akan semakin kredibel apabila ditangani oleh suatu lembaga yang mengikutsertakan tenaga dokter hewan dan tenaga kesehatan hewan lainnya dalam pelaksanaannya.

Sebagaimana disampaikan dalam tulisan pertama, otoritas veteriner adalah kewenangan yang dimiliki pejabat publik dalam posisi struktural tertinggi dalam kelembagaan veteriner. Kedudukannya bergantung kepada sistem suatu negara, baik di tingkat nasional maupun sub-nasional. Dalam sistim negara federasi seperti Australia atau Malaysia, maka otoritas veteriner berada di tingkat nasional (yang disebut: Chief Veterinary Officer/CVO), dan di tingkat negara bagian, kemudian dibawahnya provinsi atau teritori. Dalam sistim negara kesatuan seperti Indonesia atau Thailand, otoritas veteriner berada di tingkat nasional, dan di bawahnya menurut hirarkhi yaitu provinsi dan kabupaten/kota.

Definisi yang tidak mengikuti OIE pada akhirnya menimbulkan perbedaaan yang semakin jauh dalam memaknai otoritas veteriner seperti yang diperlihatkan dalam PP No. 95/2012 (Pasal 62), dan juga dalam rancangan-rancangan PP selanjutnya yang sedang dalam proses pembahasan akhir.

PP No. 95/2012 membagi otoritas veteriner menjadi 4 (empat) berdasarkan komoditi yaitu: (1) otoritas veteriner untuk produk hewan; (2) otoritas veteriner untuk hewan selain satwa liar dan hewan akuatik; (3) otoritas veteriner untuk satwa liar; dan (4) otoritas veteriner untuk hewan akuatik. [20] Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan perbedaan dari apa yang dimaksudkan sebagai otoritas veteriner menurut PP No. 95/2012 dan menurut OIE.

Tabel 3. Perbandingan pemahaman “Otoritas Veteriner” menurut PP No. 45/2012 dan OIE

 
Sebagaimana sudah diatur dalam OIE Codes, otoritas veteriner merupakan kewenangan tunggal (single authority) yang sifatnya hirarhikal dalam pelaksanaan standar-standar OIE yang menyangkut hewan darat (terrestrial animals). Apabila ada satu atau lebih otoritas kompeten lainnya yang terlibat misalnya terkait dengan hewan akuatik, satwa liar, keamanan pangan, atau kesehatan masyarakat, maka suatu sistim koordinasi dan kerjasama harus ada. [21]

Otoritas veteriner selalu dikaitkan dengan “rantai komando” (chain of command) yang harus dilegalisasi berdasarkan peraturan perundangan. Prinsip yang berlaku dalam otoritas veteriner yaitu hubungan vertikal mulai dari CVO di tingkat pusat sampai ke pelaksana di lapangan. Untuk mengefektifkan “rantai komando”, maka otoritas veteriner harus diberi mandat, memiliki kapasitas dan kemampuan manajerial untuk bisa mengatasi secara koheran masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan kesehatan masyarakat. [21]

Kesehatan hewan akuatik

Pengembangan sistim kesehatan ikan dan lingkungan menjadi tanggung jawab dari Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KKP. Dalam pelaksanaan tugasnya, kesehatan ikan dan lingkungan mengikuti standar dan rekomendasi yang ditetapkan dalam OIE Aquatic Code seperti melaksanakan surveilans, analisa risiko importasi ikan dan produk ikan, pengendalian penyakit hewan akuatik, monitoring obat, dan yang ditetapkan Codex seperti dalam pengendalian residu berbahaya.

Hal-hal yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan hewan akuatik diatur dalam UU No. 45/2009, tetapi sangat sedikit sekali yang menyangkut mengenai kesehatan hewan akuatik. Satu hal yang menjadi kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) terkait dengan kesehatan hewan akuatik yang diatur dalam UU tersebut adalah penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan (Pasal 7).

Penyebaran penyakit hewan akuatik menjadi lebih sering terjadi di banyak belahan dunia, dan sejumlah negara di wilayah Asia Pasifik mengalami serangan wabah yang serius. Sejak tahun 2002, Indonesia mengalami wabah penyakit ikan yang serius yaitu koi herpesvirus (KHV) yang menyebabkan tingkat kematian yang luas dengan kerugian ekonomi yang signifikan. [24] Disamping itu ada 3 (tiga) penyakit hewan akuatik utama lainnya yang penting secara ekonomis yaitu white spot syndrome virus (WSSV) pada udang harimau, Taura syndome virus (TSV) pada udang putih, dan viral nervous necrosis (VNN) pada jenis ikan kerapu dan kakap putih. Semua penyakit tersebut di atas dihubungkan dengan introduksi lintas batas (transboundary) atau lalu lintas internasional berbagai spesies hewan akuatik. [25]

Dalam OIE Global Conference on Aquatic Animal Health di Panama, Meksiko (2011) dinyatakan bahwa setiap negara anggota OIE harus bertanggungjawab dalam membangun kerangka peraturan yang memadai bagi produk-produk akuakultur untuk mampu memitigasi risiko terhadap kesehatan manusia, kesehatan hewan dan lingkungan, dan menjamin bahwa produk tersebut aman dan disertifikasi secara tepat untuk memenuhi standar perdagangan internasional. [23]

Selanjutnya dikatakan bahwa negara anggota OIE terutama yang memiliki industri perikanan yang besar (contohnya Indonesia) perlu mengembangkan program-program kesehatan hewan akuatik yang efektif untuk meningkatkan produk yang aman lingkungan untuk bisa berpartisipasi dalam perdagangan internasional. Dokter hewan dan tenaga profesional kesehatan hewan akuatik lainnya memainkan peran kunci dalam membangun dan mengimplementasikan program tersebut. Kesehatan hewan akuatik - apakah merupakan bagian dari kelembagaan veteriner atau tidak - seringkali kekurangan sumberdaya manusia dan finansial serta infrastruktur (termasuk legislasi) untuk menerapkan program kesehatan hewan akuatik yang efisien. [23]

Kesehatan satwa liar

Pengelolaan konservasi satwa liar menjadi salah satu tugas dan tanggung jawab dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan. Kesehatan satwa liar (wildlife health) tidak secara jelas ditangani oleh satu direktorat seperti di KKP, tetapi secara kelembagaan berada di bawah tanggung jawab Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Direktorat KKH).

UU No. 18/2009 memuat tentang “Medik Konservasi” (Conservation Medicine) yaitu penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang konservasi satwa liar. Medik konservasi mulai dirintis di lembaga-lembaga konservasi yaitu lembaga yang bergerak di bidang konservasi satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah.

Satu hal yang penting dicermati bahwa medik konservasi bukanlah semata-mata satu cabang ilmu kedokteran hewan, tetapi adalah suatu bidang interdisiplin yang mempelajari keterkaitan antara kesehatan manusia, hewan dengan kondisi lingkungannya. Praktisi medik konservasi meliputi dokter dan dokter hewan bekerja bersama dengan peneliti lainnya dari berbagai disiplin ilmu, termasuk ahli mikrobiologi, ahli patologi, ahli analisa lansekap, ahli biologi kelautan, ahli toksikologi, ahli epidemiologi, ahli biologi cuaca, ahli antropologi, ahli ekonomi, dan ahli politik. [22]

Dengan semakin meningkatnya pengenalan terhadap ancaman penyakit yang bersumber dari spesies satwa liar yang hidup di alam bebas (free ranging) atau yang diternakkan (farmed wildlife) ke hewan domestik, maka kepedulian kita akan semakin meningkat terkait dengan implikasinya yang substansial terhadap perdagangan dan lalu lintas internasional hewan dan produk hewan. Begitu juga potensi hewan domestik sebagai ‘reservoir’ dari penyakit-penyakit yang bisa ditularkan ke spesies satwa liar yang hidup di alam bebas atau satwa liar yang diternakkan.

Dalam OIE Global Conference on Wildlife di Paris, Perancis (2011) dinyatakan bahwa kelembagaan veteriner dan kelembagaan pemerintah lainnya yang menangani satwa liar bertanggungjawab dalam melindungi dan meningkatkan semua aspek kesehatan hewan, termasuk aspek yang berkaitan dengan satwa liar dan keanekaragaman hayati (biodiversity). Meskipun sampai saat ini disadari belum semua negara anggota OIE (termasuk Indonesia) memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan surveilans, deteksi dini, dan inisiasi respon yang memadai terhadap wabah penyakit yang berjangkit dan menyebar pada populasi satwa liar. [26]

Selanjutnya dikatakan agar negara anggota OIE perlu mengupayakan dan mengaplikasikan pengambilan sampel yang memadai, meningkatkan keahlian diagnostik, serta memvalidasi alat manajemen pengendalian penyakit-penyakit satwa liar. Begitu juga mengeksplorasi dan mempromosikan komunikasi, kerjasama dan kemitraan dengan organisasi yang relevan baik pemerintah maupun swasta yang memiliki perhatian terhadap manajemen satwa liar dan keanekaragaman hayati, termasuk industri pariwisata, dokter hewan swasta dan dokter swasta, manajer taman suaka alam dan kebun binatang, penjaga hutan, pemburu, nelayan, asosiasi-asosiasi yang bergerak di bidang konservasi, masyarakat asli, dan para pemangku kepentingan lainnya. [26]

Notifikasi penyakit dan kejadian wabah

Dengan menjadi anggota OIE, maka setiap negara menyetujui untuk memenuhi komitmen internasionalnya untuk melakukan notifikasi penyakit dan kejadian wabah seperti yang tertuang dalam Bab 1.1. OIE Terrestrial Code maupun Bab 1.1. Aquatic Code mengenai “Notifikasi dan Informasi Epidemiologik” (Notification and Epidemiological Information). [11, 12]

Prosedur notifikasi adalah sebagai berikut:
  • "Otoritas Veteriner" melaporkan situasi penyakit dan informasi epidemiologik, termasuk kecurigaan dan/atau konfirmasi kejadian wabah atau peristiwa epidemiologik lainnya yang terjadi di negaranya ke Kantor Pusat OIE.
  • Kantor Pusat OIE menginformasikan semua "Otoritas Veteriner" dari negara anggota lainnya mengenai situasi penyakit dan informasi epidemiologik, termasuk kecurigaan dan/atau konfirmasi kejadian wabah yang terjadi atau peristiwa epidemiologik lainnya yang dilaporkan suatu negara sesuai dengan ketentuan dalam OIE Codes. [11]

Gambar 1: Daftar penyakit OIE
(OIE listed diseases)
Gambar 1 menunjukkan jumlah penyakit dari masing-masing spesies yang harus dilaporkan ke OIE (OIE listed diseases), baik untuk hewan (93 penyakit) dan hewan akuatik (26 penyakit). Penyakit-penyakit yang harus dilaporkan tersebut ditetapkan berdasarkan (a) kapasitasnya untuk menyebar secara internasional, (b) kapasitasnya untuk menyebar secara nyata di antara populasi yang naif, (c) berpotensi zoonosis, dan (d) penyakit yang baru muncul (emerging disease). [17]

Sejak 2011, OIE sudah memasukkan daftar penyakit satwa liar ke dalam World Animal Health Information System (WAHIS) melalui suatu mekanisme penghubung yang disebut “WAHIS-WILD”. Daftar tersebut dibagi menjadi dua kategori “OIE listed diseases in wild species” dan “Non-OIE listed wildlife diseases”. [17]

Untuk kepentingan memonitor penyakit hewan menular yang lintas batas (transboundary animal diseases) pada hewan, hewan akuatik dan satwa liar di seluruh dunia, OIE sejak 2009 menetapkan agar setiap negara anggota menunjuk “national focal point” yang akan membantu delegasi OIE negara tersebut dalam kaitannya dengan: (1) notifikasi penyakit hewan; (2) hewan akuatik; dan (3) satwa liar. [17]

Khusus untuk koordinasi antar kelembagaan yang menangani hewan (Kementerian Pertanian), hewan akuatik (Kementerian KP), dan satwa liar (Kementerian Kehutanan), maka otoritas veteriner di Indonesia perlu menunjuk seorang pejabat di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai national focal point untuk notifikasi penyakit dan kejadian wabah. [17]

Peran dari national focal point tersebut adalah menangani laporan-laporan khusus tentang penyakit hewan dan penyakit hewan akuatik, notifikasi cepat (immediate notification), laporan enam bulanan (six-monthly report), laporan tahunan (annual report), dan penyakit satwa liar. Disamping itu tugas lain adalah memastikan pengumpulan data yang optimal, memastikan penyampaian informasi ke OIE lewat WAHIS on-line, dan bertindak sebagai titik kontak langsung antara OIE Animal Health Information System Department dalam hal yang menyangkut informasi penyakit hewan. [17]

Baik national focal point untuk hewan akuatik maupun satwa liar sesuai dengan bidangnya berfungsi:
  1. membangun jejaring tenaga ahli di negaranya atau membangun komunikasi dengan jejaring tenaga ahli yang sudah ada;
  2. membangun dan mempertahankan dialog yang reguler dengan otoritas kompeten dan memfasilitasi kerjasama dan komunikasi antar berbagai otoritas yang berbagi tanggung jawab;
  3. mendukung pengumpulan data yang optimal dan penyampaian informasi ke OIE melalui WAHIS;
  4. menerima laporan OIE dan melakukan proses konsultansi di dalam negeri, serta menyiapkan komentar dan tanggapan mengenai pengajuan standar baru atau perubahan standar yang berkaitan dengan masing-masing bidang
  5. sebagai penghubung antara masing-masing bidang dengan OIE Animal Health Information System Department. [28]
Semua informasi dari national focal point yang disampaikan ke OIE harus melalui otoritas veteriner, meskipun penunjukan national focal point untuk hewan akuatik maupun untuk satwa liar bisa saja berada di Kementerian lain di luar jurisdiksi otoritas veteriner.

Penutup

Sebagaimana disinggung di atas, sudah lama sekali peraturan-peraturan internasional dan nasional lebih tertuju pada spesies hewan yang didomestikasi secara tradisional. Meskipun demikian sudah lama juga diketahui bahwa banyak mamalia liar dan jenis-jenis unggas atau burung yang peka atau dapat terinfeksi, dan dapat menularkan sejumlah penyakit berbahaya yang umumnya menyerang hewan yang didomestikasi. Namun sayangnya, informasi global mengenai penyakit hewan akuatik dan satwa liar yang berhasil dikumpulkan dan dilaporkan ke OIE masih sangat terbatas.

Hewan darat atau hewan pertanian (animal agriculture) merupakan komponen dari ekosistem pertanian, hewan akuatik merupakan komponen dari ekosistem akuatik (air), dan satwa liar merupakan komponen dari ekosistem hutan. Ketiganya adalah komponen biotik yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari masing-masing habitatnya. Penyakit hewan atau zoonosis yang sifatnya lintas batas yang bersumber dari hewan pertanian, hewan akuatik, dan satwa liar menjadi suatu isu 'cross cutting' (lintas sektor) yang menjadi kepedulian bersama dan saling berkaitan satu sama lain, sehingga menjadi suatu kewajiban bagi setiap negara untuk melakukan notifikasi penyakit dan kejadian wabah ke OIE untuk bisa memitigasi risikonya bagi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan.

Setiap negara termasuk Indonesia bukan saja diwajibkan memperbaiki kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan di wilayah negaranya masing-masing tetapi juga harus memainkan peran penting dalam melindungi keanekaragaman hayati. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati merupakan juga salah satu platform dimana kerjasama intersektoral antara kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan dikembangkan dan diperkuat melalui prakarsa “One Health”.

Keanekaragaman hayati menjadi ukuran dari kesehatan ekosistem. Seluruh tanah daratan, perairan, dan hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat menakjubkan. Untuk itu koordinasi antar kelembagaan yang menangani hewan pertanian, hewan akuatik dan satwa liar sebagai bagian dari “One Health” di Indonesia saat ini maupun ke depan sangat perlu untuk difasilitasi dan diperkuat, oleh karena penyakit yang baru muncul dan penyakit lama yang muncul kembali (emerging and re-emerging diseases) menular antar satwa liar, hewan domestik dan manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa 60% patogen manusia adalah zoonosis atau bersumber dari hewan, 75% penyakit yang baru muncul adalah zoonosis (kebanyakan secara alamiah bersifat lintas batas), dan satu penyakit baru muncul setiap 8 bulan.

Untuk memperkuat "One Health" di Indonesia, maka sesuai dengan pedoman OIE perlu ditunjuk "National Focal Point for Aquatic Animals" dan "National Focal Point for Wildlife" di masing-masing kementerian yang berwenang. National focal point tersebut bukan hanya menjadi titik kontak atau penghubung untuk jejaring tenaga ahli di internal masing-masing, tetapi juga antar jejaring untuk kesehatan hewan, hewan akuatik dan satwa liar. Dalam konteks Indonesia, kekuatan jejaring ini di masa depan akan sangat membantu Komite Nasional Pengendalian Zoonosis dalam mengagregasikan seluruh informasi mengenai zoonosis dan mengkonsolidasikan upaya-upaya pengendalian zoonosis yang muncul pada irisan manusia, hewan dan lingkungan.

Referensi:
  1. http://ugm.ac.id/id/berita/8407-ugm.desak.pemerintah.segera.bentuk.otoritas.veteriner.
  2. Bellemain V. (2012). Coordination between Veterinary Services and other relevant authorities: a key component of good public governance. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 31 (2), 513-518.
  3. Batho H.L., Logar B., Mariner J.C., Valder W.-A., and Westergaard J.M. (2012). Institutions: stronger Veterinary Services for better governance. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 2012, 31 (2), 479-492.
  4. OIE Website. The OIE Tool for the Evaluation of Performance of Veterinary Services (OIE PVS Tool). Diakses tanggal 20 Januari 2014. http://www.oie.int/support-to-oie-members/pvs-evaluations/oie-pvs-tool/.
  5. McLeod A., and Wilsmore A. (?). Appendix 11. The delivery of animal health services to the poor: a review. http://ilri.org/infoserv/Webpub/fulldocs/InvestAnim/Book1/media/PDF_Appendix/Appendix11.pdf.
  6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
  7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
  9. OIE Website. [terhubung berkala] 21 Januari 2014. http://www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=glossaire.htm.
  10. OIE Website. [terhubung berkala] 21 Januari 2014. http://www.oie.int/index.php?id=171&L=0&htmfile=glossaire.htm.
  11. OIE Website. [terhubung berkala] 21 Januari 2014. http://www.oie.int/en/international-standard-setting/terrestrial-code/.
  12. OIE Website. [terhubung berkala] 21 Januari 2014. http://www.oie.int/en/international-standard-setting/aquatic-code/.
  13. http://noerdblog.wordpress.com/2011/06/14/pelaksanaan-cites-di-indonesia/.
  14. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman hayati).
  15. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan. http://infohukum.kkp.go.id/files_permen/PER%2019%20MEN%202010.pdf.
  16. Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Nomor: 115/KEP-BKPIM/2013 tentang Pendelegasian Kewenangan Kepada Lembaga Inspeksi dan Sertifikasi Dalam Penerbitan Sertifikat Kesehatan. http://www.bkipm.kkp.go.id/bkipm/public/files/regulasi/Kep%20BKIPM%20215%202013.PDF.
  17. Ortiz M.G. (2012). Presentation World Animal Health Information System And Database (WAHIS & WAHID). OIE Regional Seminar for Recently Appointed OIE Delegates. Tokyo (Japan) 7-8 February 2012.
  18. Oidtmann B.C., Thrush M.A., Denham K.L., and Peeler E.J. (2011). Review: International and national biosecurity strategies in aquatic animal health. Aquaculture 320, 22-33.
  19. Kesimpulan dan Rekomendasi Kajian Otoritas Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Uniersitas Gajah Mada, Yogyakarta, 9 Desember 2013.
  20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.
  21. OIE Website. Chapter 3.4. Veterinary Legislation [terhubung berkala] Diakses pada tanggal 27 Januari 2014. http://www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=chapitre_1.3.4.htm.
  22. http://en.wikipedia.org/wiki/Conservation_medicine.
  23. OIE (2011). OIE Global Conference on Aquatic Animal Health Programmes: their benefit for global food security. Panama, Mexico, 28-30 June 2011. http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Conferences_Events/docs/pdf/recommendations/A_Declaration.pdf.
  24. FAO (2005). FAO Fisheries Technical Paper 486. Preparedness and response to aquatic animal health emergencies in Asia: guidelines. ISBN 92-5-105360-X.
  25. Sunarto A., Widodo, Taukhid, Koesharyani I., Supriyadi H., Gardenia L., Sugianti B., Rukmono, dan Djumbuh (2004). Current status of transboundary fish diseases in Indonesia: Occurrence, surveillance, research and training. In C. R. Lavilla-Pitogo & K. Nagasawa (Eds.), Transboundary Fish Diseases in Southeast Asia: Occurence, Surveillance, Research and Training. Proceedings of the Meeting on Current Status of Transboundary Fish Diseases in Southeast Asia: Occurence, Surveillance, Research and Training, Manila, Philippines, 23-24 June 2004 (pp. 91-121). Tigbauan, Iloilo, Philippines: SEAFDEC Aquaculture Department. http://repository.seafdec.org.ph/bitstream/handle/10862/1687/Transboundary-Fish-Diseases-Indonesia.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
  26. Compendium of the OIE Global Conference on Wildlife. Animal Health and Biodiversity – Preparing for the Future. Paris, France, 23–25 February 2011. http://www.oie.int/doc/ged/D12062.PDF.
  27. Cooper R.E. and Rosser A.M. (2002). International regulations on wildlife trade: relevant legislations and organizations. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 21 (1), 103-123.
  28. Erlacher-Vindel E. (2009). Rights and Responsibilities to OIE of National Delegates and Focal Points. Workshop for OIE National Focal Points for Wildlife. Lyon, France, 4-6 November 2009.
  29. Hill B. (2011). Presentation on Disease emergence and spread related to wildlife trade: aquatic species. http://www.oie.int/eng/A_WILDCONF/WILDLIFE_ACTES_2011/Presentations/S7_1_BarryHill.pdf
  30. http://id.wikipedia.org/wiki/CITES.
  31. http://id.wikipedia.org/wiki/IUCN_Red_List.

1 Komentar:

Anonim [Reply] mengatakan...

selamat pagi ibu,
bisa memuat tulisan mengenai aspek Defensive Medicine dalam dunia Kedokteran Hewan, sebagai referensi bagi para dokter hewan dalam menjalankan otoritas veteriner maupun otoritas medis veteriner. belajar dari sejawat kita dalam kasus Dokter Ayu, yang mungkin saja bisa dialami. terima kasih. salam veteriner.

korespondensi di : novendra.sitepu@yahoo.com