Minggu, 21 Maret 2010

BEBAS PMK DAN SAPI GILA: KUNCI TINGKATKAN EKSPOR DAGING

K O M P A S, MINGGU, 23 FEBRUARI 2003 (HALAMAN 22) – Rubrik IPTEK & KESEHATAN

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos-Hutabarat

Subsektor peternakan dinyatakan paling siap menghadapi perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Salah satu keunggulan kompetitifnya adalah bebasnya Indonesia dari berbagai jenis penyakit hewan menular utama dalam penyakit daftar A Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).

Sejak tahun 1986, Indonesia sudah bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK), penyakit hewan menular yang paling ditakuti di dunia. Akhir tahun 2002 Indonesia juga menyatakan diri bebas dari penyakit sapi gila atau Bovine Spongiform Encephalophaty (BSE).

Kemajuan industri peternakan nasional saat ini dan ke depan ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan status bebas kedua penyakit tersebut untuk kepentingan pengembangan dan perluasan pasar ekspor hasil peternakan.

Perdagangan ternak dan hasil ternak dunia adalah bisnis besar - sekitar seperenam dari nilai seluruh perdagangan sektor pertanian. Ekspor daging terutama sapi, babi dan unggas mengontribusi setengahnya.

Negara maju menguasai lebih dari 75 persen perdagangan dunia ternak dan hasil ternak. Negara berkembang termasuk Indonesia menjadi net importers dengan susu dan hasil susu sebagai komoditas impor terbesar.

Pada saat bersamaan, konsumsi ternak dan hasil ternak negara berkembang tumbuh pesat, sehingga membuka peluang pasar baru bukan hanya bagi produsen di negara maju, tetapi juga produsen domestik.

Meski akses pasar global secara teoritis difasilitasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Perjanjian Umum Perdagangan dan Tarif (GATT), dan Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS), namun pembatasan terhadap perdagangan ternak dan hasil ternak tetap ada. Ini akibat adanya penyakit hewan menular tertentu yang jadi hambatan utama perdagangan.

Beberapa tahun terakhir, pasar daging dunia terancam karena banyak negara eksportir daging memotong dan memusnahkan ternak besar-besaran akibat serangan penyakit hewan menular.

Perdagangan daging dunia

Perdagangan daging dunia saat ini dipengaruhi rendahnya harga pakan ternak, pulihnya permintaan impor daging di wilayah Asia, fluktuasi nilai tukar di beberapa negara yang industri dagingnya berperan cukup penting terutama Brazil, meningkatnya subsidi ekspor, dan meningkatnya paket bantuan pangan dari negara maju.

Tabel 1 memperlihatkan sepuluh negara eksportir terbesar dunia untuk berbagai jenis daging. Peningkatan ekspor daging sapi Australia dan Brazil terjadi karena melemahnya nilai tukar di kedua negara itu dan naiknya produksi domestik. Dengan status baru bebas PMK yang dicapai tahun 1999, Argentina juga mampu meningkatkan ekspor daging sapinya menembus pasar Amerika Serikat.

Untuk daging babi, eksportir Asia belum mampu menyaingi Kanada dan Amerika Serikat. Kebanyakan negara Asia terutama Cina dan Taiwan menghadapi wabah PMK, sehingga hanya mengekspor daging babi dalam jumlah sedikit. Kecuali Republik Korea yang ekspornya ke Jepang meningkat karena Jepang terkena BSE.

Hampir 80 persen perdagangan daging kambing/domba dikuasai Selandia Baru dan Australia, diikuti Uruguay. Amerika Serikat merupakan negara eksportir terbesar daging unggas yang menguasai hampir 40 persen pasar dunia.

Tabel 1: Sepuluh negara eksportir daging terbesar dunia (ribu ton)

 Sumber: World Meat Situation in 1999 and Outlook for 2000 (FAO)

Penyakit hewan menular

Munculnya wabah penyakit hewan menular terutama PMK mulai dari dunia belahan timur sampai belahan barat, menjadi perhatian dunia pada tahun 2000 dan 2001. Bukan hanya sebagai akibat pemberitaan, tetapi juga dampak biaya ekonomi luar biasa untuk menghambat penyebaran wabah penyakit tersebut, dan kekhawatiran konsumen terhadap resikonya bagi kesehatan manusia.

PMK menyerang dan menyebar di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eropa. Hanya tersisa Amerika Utara, Australia dan Antartika yang masih bebas. Lebih dari selusin negara terkena PMK termasuk Jepang dan Korea Selatan pada awal tahun 2000, Mongolia, Kazakhstan, Tajikistan, Yunani, negara-negara Amerika Selatan, dan pada Maret 2001 di Eropa.

Wabah penyakit Swine Fever yang menyerang ternak babi di Inggris, semakin memperparah industri peternakan Inggris yang sudah dilanda BSE.

Wabah penyakit Rift Valley Fever menyebabkan ternak di wilayah Tanduk Afrika tidak laku sama sekali. Sedang wabah penyakit Nipah di Malaysia menyebabkan pemotongan ternak babi besar-besaran. Timbulnya kasus-kasus penyakit BSE di negara-negara Eropa di luar Inggris berdampak sama.

Konsekuensinya adalah tertutupnya paling tidak seperempat perdagangan daging sapi dunia dan hampir 40 persen perdagangan daging babi dunia. Mulai dari tertutupnya ekspor dari negara-negara Uni Eropa, Argentina, sampai Uruguay dan sebagian Brazil.

Dampak penyakit hewan menular

Baik konsumen maupun produsen, keduanya menderita saat krisis PMK terjadi. Implikasi jangka pendek dari timbulnya wabah PMK di negara-negara pengekspor utama daging dunia adalah berkurangnya ketersediaan daging bebas PMK di pasar dunia dan tingginya harga.

Tabel 2: Dampak wabah penyakit hewan terhadap perdagangan dan harga

Sumber: Morgan, N. dan Yanagishima, K. (FAO), 2002

Pada Tabel 2, terlihat implikasi pasar akibat pembatasan ekspor daging dari Uni Eropa dan Amerika Latin. Tahun 2001 terjadi penurunan 2,9 persen perdagangan daging sapi dunia dan kenaikan 3,5 persen harga pasar dunia. Penurunan juga terjadi pada perdagangan daging babi dan daging domba. Persentase perubahan ini dihitung berdasarkan besarnya dampak dibandingkan dengan proyeksi baseline.

Dampak krisis PMK diperkirakan baru pulih tahun 2003 ini, dengan kecenderungan turunnya harga daging dunia kembali ke harga dasar dan negara-negara yang tadinya tertular PMK sudah mampu mengekspor daging lagi. Tabel 2 memperlihatkan bahwa kecuali daging sapi, harga daging dunia diproyeksikan akan segera turun (tahun 2006).

Status Indonesia

Kemudahan suatu negara mengekspor daging bergantung kepada status PMK negara tersebut. Status ini secara resmi ditetapkan OIE. Namun, bebas dari penyakit hewan tertentu dan kepatuhan menerapkan ketentuan SPS belum menjamin akses ke pasar ekspor.

Tabel 3. Perkembangan impor dan ekspor daging Indonesia (1996 – 2001)

Keterangan: 96-98 masa krisis ekonomi; 98-01 fase pemulihan; * tidak signifikan
Sumber: Statistik Peternakan (2002)

Mengingat diperlukan upaya dan biaya tambahan mencari peluang pasar, maka yang paling tepat dijalankan Indonesia adalah menerapkan status bebas penyakit sebagai bagian dari strategi ekspor jangka panjang bila sejumlah upaya dalam rangkaian promosi ekspor sudah dijalankan.

Dengan status bebas PMK dan BSE, Indonesia berpeluang memanfaatkan posisi tersebut sebagai insentif perdagangan dan diharapkan di masa mendatang benar-benar mampu bersaing di ASEAN.

Tabel 3 menunjukkan hampir seluruh importasi berbagai jenis komoditas daging menurun saat krisis ekonomi melanda Indonesia (1996-1998), tetapi setelah itu terlihat kecenderungan impor meningkat kembali (1998-2001) seiring membaiknya nilai tukar rupiah.

Sebaliknya ekspor daging Indonesia terutama ke ASEAN kelihatannya tidak dipengaruhi krisis ekonomi, bahkan daging babi dan sapi jadi semakin baik (1998-2001). Hal ini akibat meningkatnya permintaan impor daging babi dari Malaysia.

Hal ini menunjukkan bahwa industri peternakan dalam negeri mulai bangkit, meski jumlah ekspor daging Indonesia masih sangat kecil dibanding dengan negara eksportir besar dunia.

Peluang tersebut harus dioptimalkan pihak swasta/industri, bersama-sama pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekspor hasil peternakan Indonesia. Permasalahan di Indonesia sebagaimana halnya negara-negara berkembang bukan hanya menyangkut aspek yang mempengaruhi penawaran akan tetapi juga permintaan (supply demand).

Faktor permintaan meliputi hambatan tarif dan non-tarif, stabilitas pasar ekspor dan harga. Faktor penawaran meliputi kemampuan memperluas atau efisiensi produksi, diversifikasi produk, standar mutu, kemampuan pengujian laboratorium, dan berbagai isu terkait dengan kesinambungan rantai pasar seperti produksi, pengolahan, pengangkutan dan distribusi.

Dengan demikian keuntungan status bebas PMK dan BSE bagi Indonesia bukan hanya diperoleh dari kenaikan nilai ekspor sebagai akibat peningkatan volume ekspor, tetapi juga peluang mendapatkan harga yang lebih baik di pasar bebas PMK, fleksibilitas yang lebih tinggi dalam menyesuaikan dan memaksimalkan nilai karkas. Ini akan mendorong potensi lebih besar dalam menarik investasi dan memperbaiki stabilitas pasar ekspor.

*) Drh. Tri Satya Putri Naipospos-Hutabarat, MPhil, PhD, Direktur Pengembangan Peternakan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian

0 Komentar: