Tri Satya Putri Naipospos
Pada akhir bulan Maret 2004, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling buruk dalam menangani wabah avian influenza atau flu burung, bahkan dituding tidak berbuat apa-apa dibandingkan dengan sembilan negara Asia lainnya yang juga dilanda wabah yang sama. Pernyataan tersebut tentunya tidak menggembirakan, tetapi di satu sisi telah berhasil mendorong pemerintah dan dunia perunggasan Indonesia untuk terus-menerus mengkaji ulang dan memantau seluruh upaya dan kebijakan yang telah dipilih dalam penanggulangan krisis avian influenza (AI) yang berlangsung sejak pertengahan tahun 2003 yang lalu.
Virus influenza tipe A sebagai penyebab penyakit AI termasuk keluarga orthomyxoviridae dengan struktur yang terdiri dari 8 genom dan memiliki 2 jenis antigen permukaan, yaitu haemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). Penyakit AI yang disebabkan oleh virus subtipe H5 dan H7 (biasa disebut Highly Pathogenic Avian Influenza atau HPAI) merupakan penyakit unggas menular yang sangat terkenal keganasannya sehingga dimasukkan kedalam kategori penyakit daftar A Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Mengikuti sejarah penyakit ini sejak tahun 1955-1999 atau kurang lebih dalam rentang waktu 45 tahun, dunia hanya mengalami 18 kali kejadian wabah HPAI (lihat Tabel 1).
Dengan kejadian wabah yang sifatnya masih sangat sporadik tersebut, OIE menetapkan bahwa strategi yang paling efektif untuk membasmi penyakit ini harus dilakukan dengan cara pemusnahan unggas (stamping-out) yaitu dengan membunuh seluruh unggas hidup di peternakan tertular dan yang berada pada radius 3-10 km dari peternakan tersebut. Pada kejadian wabah 1955-1999 secara keseluruhan telah mengakibatkan kematian dan pemusnahan sekitar 23 juta ekor unggas.
Tabel 1: Wabah HPAI di dunia 1955 – 1999 (18 kali)
Keterangan: * Negara yang melakukan vaksinasi
Tabel 2: Wabah HPAI di dunia 2000 – 2004 (20 kali)
Keterangan: * Negara yang melakukan vaksinasi
Dalam perkembangan berikutnya, dunia mengamati bahwa sifat penyakit HPAI ini mulai berubah, dimana wabah menjadi lebih sering timbul dalam rentang waktu lima tahun belakangan ini (2000-2004). Sejak penyakit HPAI diketahui mampu menyerang manusia di Hongkong pada tahun 1997 yang lalu, tercatat ada 20 kali terjadi wabah di dunia termasuk 10 negara Asia (lihat Tabel 2) dengan dampak kematian unggas baik karena sakit maupun dimusnahkan, mencapai lebih dari 150 juta ekor. Ini menunjukkan bahwa virus AI telah bermutasi menjadi jauh lebih ganas daripada sebelumnya dan bahkan menjadi potensi ancaman bagi kesehatan manusia.
Vaksinasi vs “stamping out”
Dengan mengambil keputusan untuk melakukan tindakan vaksinasi tanpa stamping-out, maka Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang menerapkan vaksinasi sebagai strategi pengendalian dan pemberantasan AI. Dengan sumberdaya yang begitu terbatas baik finansial, infrastruktur maupun tenaga, Indonesia harus mengakui pendapat FAO yang menyatakan bahwa ada banyak kendala yang harus dihadapi dalam memberantas penyakit ini.
WHO juga pernah menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah Indonesia memilih opsi stamping-out untuk mencegah kemungkinan penyakit AI ini menular ke manusia, seperti halnya di Thailand dan Vietnam. Pernyataan ini merujuk kepada negara-negara maju yang sebagian besar melakukan tindakan stamping-out mengingat struktur industri perunggasannya yang sudah tertata dengan baik. Disana pada umumnya sektor perunggasan terdiri dari peternakan komersial skala besar yang begitu tinggi kepadatan unggasnya dengan siklus produksi yang semakin pendek. Dengan demikian stamping-out mudah dilakukan oleh karena penyakit mudah dilokalisasi dan dihambat penyebarannya dengan cara membunuh unggas-unggas yang sakit, diduga tertular atau diduga terkontaminasi.
Meskipun sebelumnya kebijakan vaksinasi tidak disarankan oleh OIE, akan tetapi ada beberapa negara di dunia yang pernah mengalami wabah melaksanakan vaksinasi terhadap AI, seperti Meksiko, Pakistan, Hongkong, Italia dan China. Alasan memilih tindakan vaksinasi juga hampir sama dengan di Indonesia saat ini, yaitu menghindari pemusnahan unggas secara besar-besaran karena penyebaran penyakit yang sudah sedemikian meluas, sulit menerapkan program biosekuriti secara ketat, terutama bagi peternakan skala menengah dan kecil, serta wabah bukan hanya terjadi pada peternakan komersial, tetapi sudah menyerang peternakan rakyat (backyard farming).
Dengan mempelajari pengalaman negara-negara yang telah melakukan vaksinasi baik kelemahan maupun kekuatan vaksinasi dibandingkan dengan stamping-out, maka para ahli penyakit AI dunia sepakat untuk mengajukan usulan perubahan terhadap ketentuan OIE tentang pengendalian dan pemberantasan AI. Usulan ini diharapkan dapat diterima dan disetujui pada sidang umum tahunan OIE bulan Mei 2004 ini.
Dasar pertimbangan yang digunakan untuk memberi peluang bagi suatu negara memilih opsi vaksinasi diantaranya termasuk juga pandangan dari aspek etika kesejahteraan hewan terhadap pembunuhan unggas dalam jumlah besar, ketidakmampuan membedakan antara unggas yang telah divaksinasi dengan yang mengalami infeksi alam, dan potensi mutasi virus dari yang kurang ganas (LPAI) menjadi ganas (HPAI).
Dengan harapan yang sangat besar bahwa usulan opsi vaksinasi terhadap AI akan disetujui OIE dalam tahun 2004 ini, Indonesia sudah pasti akan semakin mantap melangkah ke depan terutama dalam mencari solusi yang lebih andal dalam mengatasi permasalahan vaksin dan vaksinasi yang dihadapi saat ini. Apabila Indonesia mengandalkan produksi vaksin dalam negeri untuk jangka panjang, upaya meningkatkan mutu dan kapasitas produksi haruslah menjadi tujuan utama.
Disamping itu, perbaikan menyeluruh terhadap sistem pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular termasuk aspek administrasi, organisasi kerja, dan logistik harus dilakukan untuk menciptakan situasi kondusif bagi pelaksanaan operasional vaksinasi di lapangan. Namun, vaksinasi tetaplah hanya suatu alat untuk memberantas penyakit dan akan menjadi suatu alat yang berhasil apabila dibarengi dengan pengendalian lalu lintas unggas dan produknya, serta peningkatan biosekuriti di peternakan unggas
Prospek vaksinasi
Sampai saat ini, alasan negara-negara maju untuk tidak mempertimbangkan atau menerapkan vaksinasi lebih disebabkan oleh besarnya dampak ekonomi akibat pelarangan ekspor unggas hidup dan produk unggas. Indonesia bukan negara eksportir unggas yang besar seperti Thailand, akan tetapi berpeluang untuk meraih kembali status bebas AI seperti sebelumnya apabila mampu mengarahkan kebijakan dan sumberdayanya pada upaya membangkitkan kembali industri perunggasan dalam negeri.
Teknologi vaksinasi AI yang semakin berkembang ditunjang dengan kemampuan uji diagnostik untuk membedakan secara nyata antara unggas yang telah divaksin dengan yang terekspos dengan infeksi alam disebut dengan strategi DIVA (differentiating infected from vaccinated animals). Strategi ini didasarkan atas penggunaan vaksin inaktif heterolog yang mengandung subtipe H yang sama dengan strain lapangan. Namun, N yang berbeda, akan memudahkan pemantauan terhadap ada tidaknya infeksi virus.
Di masa yang akan datang, suatu negara yang memilih opsi vaksinasi seperti Indonesia akan tetap memiliki peluang untuk melakukan perdagangan unggas dan produk unggas dengan negara lain apabila mampu memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan OIE termasuk menerapkan strategi DIVA. Untuk kepentingan perdagangan, status bebas AI suatu negara harus dibuktikan secara ilmiah dengan sistem monitoring penyakit berkesinambungan yang mampu memperlihatkan bahwa infeksi tidak terjadi lagi pada populasi unggas yang telah divaksin.
*) TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian
0 Komentar:
Posting Komentar