Minggu, 21 Maret 2010

Efisiensi industri perunggasan lewat sistem integrasi vertikal: Mampukah Indonesia bersaing?

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos-Hutabarat

Belajar mengenai industri perunggasan Amerika Serikat (AS) dan membandingkannya dengan Indonesia mungkin bukanlah suatu cara yang tepat dan adil untuk menjawab benar tidaknya isu monopoli pada industri perunggasan Indonesia. Sejarah industri perunggasan AS sudah dimulai lebih dari seratusan tahun yang lalu, sedangkan industri perunggasan Indonesia baru berusia kurang lebih setengah abad. Pada tahun 2002, produksi daging ayam potong (broiler) AS telah mencapai 14,76 juta metrik ton, sedangkan Indonesia baru mencapai 857 ribu metrik ton (hanya sekitar 6 persen dari produksi AS).

Produsen utama daging ayam AS

AS adalah negara produsen daging ayam potong terbesar di dunia yang menguasai hampir 40 persen pasar dunia, diikuti saingannya Brazil. Ada lima daerah produsen daging ayam di AS yaitu negara bagian Arkansas, Georgia, Alabama, North Carolina, dan Mississippi yang terletak di wilayah tenggara AS.

Pada dasarnya ada dua wilayah unggas di AS, yaitu wilayah tenggara AS dan wilayah yang disebut “Delmarva” (Delaware, Maryland, Virginia). Negara bagian Arkansas merupakan pusat industri perunggasan di Amerika Serikat, disini berlokasi kantor pusat beberapa perusahaan besar seperti Tyson Foods Inc., Cobb-Vantress Inc., George Inc., dan lain sebagainya. Daftar sepuluh besar perusahaan pengolahan daging di AS tahun 2001 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tyson Foods Inc. merupakan perusahaan perunggasan raksasa dan terbesar di AS, bahkan merupakan perusahaan terbesar ke-empat dunia untuk produksi unggas, terbesar ke-lima untuk produksi daging babi dan terbesar ke-enam untuk produksi daging sapi. Tyson Foods Inc. sekaligus juga adalah pemilik dari Cobb-Vantress Inc., suatu perusahaan pembibitan unggas. Keberadaan bisnis perunggasan sedemikian penting bagi negara bagian Arkansas, karena seluruh pendapatan yang diperoleh dari bisnis ini pada tahun 2000 saja sudah mencapai lebih dari 250 trilyun rupiah.

Tabel 1. Sepuluh besar perusahaan pengolahan daging ayam
(the top 10 broiler processors)

Sumber: WATT Poultry USA (2002)

Integrator dengan kompleks sejuta ayam potong

Dalam perjalanannya industri perunggasan AS dibangun berdasarkan konsepsi integrasi vertikal, dimana mulai proses produksi (pembibitan, industri pakan, budidaya) hingga industri hilirnya (pemotongan, pengolahan dan pemasaran) berada pada satu komando keputusan manajemen. Faktor yang mendorong tumbuh dan berkembangnya konsep integrasi adalah industri pakan ternak lebih menginginkan terciptanya jaminan pemasaran produk dan pelayanan, kompetisi harga untuk melakukan retensi keuntungan, keragaman input dan output untuk lebih mampu mengelola resiko (risk management), dan pengembangan kontrak-kontrak untuk membatasi modal sesuai kebutuhan.

Perusahaan perunggasan yang terintegrasi secara vertikal disebut “integrator”. Suatu integrator paling tidak memiliki sejuta ekor ayam broiler dengan ciri memiliki prasarana berupa industri pengolahan daging (processing plant), unit pembibitan (breeder flocks), unit penetasan (hatchery), dan pabrik pakan (feed mill). Industri pengolahan daging yang dioperasikan sendiri oleh integrator memproses 1,2 juta ekor ayam potong per minggu (3 x 8 jam bergiliran), dimana lebih dari 80 persen produk mengalami proses lanjutan (further processing). Dari seluruh bagian karkas ayam, maka dada ayam merupakan bagian yang paling menguntungkan karena paling disukai oleh masyarakat AS. Efisiensi yang sangat tinggi dihasilkan dari fasilitas mesin pemotong otomatis yang memiliki kecepatan 140 ekor per menit.

Unit pembibitan dimiliki oleh integrator, akan tetapi dioperasikan oleh peternak mandiri berdasarkan kontrak. Unit ini menghasilkan lebih dari 1,8 juta telur tetas per minggu. Sebaliknya unit penetasan dioperasikan sendiri oleh integrator dan menghasilkan 1,4 juta anak ayam per minggu. Dalam hal pabrik pakan, kapasitasnya untuk tujuh juta ekor ayam per minggu dimana integrator sendiri melakukan pembelian bahan baku pakan, menyusun formula, memproduksi dan mengangkutnya ke peternak. Seperti diketahui pakan merupakan komponen paling besar (60-70 persen) dalam biaya produksi.

Hanya unit pembesaran (broiler farms) tidak dimiliki oleh integrator, akan tetapi dimiliki dan dioperasikan sendiri oleh peternak plasma. Tanah, kandang, dan peralatan adalah milik peternak, sedangkan integrator menyediakan dan memiliki anak ayam dan pakannya. Seluruh pelayanan teknis dan supervisi serta pengangkutan menjadi tanggung jawab integrator. Untuk pemeliharaan sejuta ekor ayam biasanya melibatkan 70-90 peternak, sehingga jumlah ayam yang dipelihara bisa mencapai tujuh juta ekor. Setiap minggu, unit ini menghasilkan 100 ribu ekor ayam potong umur enam minggu dan biasanya 12 peternakan diproses setiap minggu.

Dengan tidak adanya pasar terbuka untuk ayam hidup menyebabkan ketergantungan peternak terhadap integrator sangat tinggi. Integrator menanggung 85 persen resiko sedangkan sisanya 15 persen ditanggung oleh peternak. Peternak dibayar berdasarkan berat badan hidup pada saat tiba di industri pengolahan daging dan penerimaan pendapatan peternak disesuaikan dengan rasio konversi pakan (FCR = feed conversion ratio). Pertumbuhan ayam yang cepat paling kurang memiliki FCR 1,85 artinya dibutuhkan 1,85 kg pakan untuk menghasilkan bobot satu kg ayam pedaging.

Dengan pertumbuhan cenderung terintegrasi secara vertikal tersebut telah mendorong terciptanya efisiensi usaha perunggasan dan bahkan menimbulkan kondisi dimana daging putih (white meat) menjadi lebih superior dibandingkan dengan daging merah (red meat), oleh karena harganya yang sangat murah - harga karkas (whole chicken) hanya sekitar Rp. 5.600,- per pound.

Kemapanan industri perunggasan AS

Gambaran industri perunggasan AS saat ini jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu. Industri telah melakukan konsolidasi produksi dengan membeli, mengakuisisi atau menggabungkan perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan yang mendominasi pasar saat ini adalah perusahaan super-integrasi yang memiliki pabrik pengolahan, pabrik pakan, perusahaan truk, pelayanan kesehatan hewan, dan pabrik pengolahan limbah (rendering plant). Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan investasi besar pada teknologi untuk pengolahan lanjutan (further processing). Selain itu juga sangat aktif mencari pasar luar negeri dan melakukan perbaikan nutrisi, genetik dan praktek manajemen.

Gambar 1. Konsolidasi industri perunggasan Amerika Serikat

Sumber: WATT Poultry USA’s Rankings (2002)

Sepuluh tahun yang lalu (1990), perusahaan integrator dengan ranking 1 s/d 3 menguasai 35 persen dari total volume produksi daging ayam siap masak (ready-to-cook) per minggu, kemudian tahun 1995 perusahaan ranking 1 s/d 3 tersebut menguasai 38 persen dan setelah itu pada tahun 2001 meningkat lagi menjadi 40 persen (lihat Gambar 1). Kenyataan ini menunjukkan sekalipun terdapat 42 perusahaan integrator di AS pada tahun 2001, akan tetapi 45 persen dari total volume produksi dikuasai oleh 5 produsen utama, atau 72 persen dikuasai oleh 10 produsen utama.

Gambar 2 memperlihatkan total biaya produksi per kg daging ayam di AS dan juga Brazil jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa. Total biaya meliputi biaya produksi primer dan pengolahan. Untuk sektor primer, komponen ekonomi utama adalah biaya pembelian anak ayam, pakan, tenaga kerja, kandang dan lain sebagainya. Biaya pengolahan termasuk biaya pembuangan limbah, pengemasan dan inspeksi. Meskipun FCR di AS rata-rata 2,04 lebih tinggi dari rata-rata di negara-negara Eropa yang berkisar antara 1,80-1,85, akan tetapi dengan harga pakan dan harga anak ayam yang jauh lebih murah serta bobot hidup per ekor yang tinggi maka biaya produksi di AS dan Brazil dapat ditekan rendah.

Gambar 2. Total biaya produksi primer dan biaya pengolahan per kg daging ayam siap-masak (ready-to-cook) - dihitung dari 70% berat hidup (angka dalam guilders Belanda)

Keterangan: BLD = Belanda; PRC = Perancis; ING = Inggris; JRN = Jerman; AMS = Amerika Serikat; dan BRZ = Brazil
Sumber: Peter van Horne, Cobb Quarterly Review (2001)

Dengan kemampuan efisiensi tinggi di tingkat primer dan pengolahan, menyebabkan industri perunggasan AS dengan cepat mengglobal dan terus memperluas dan mengembangkan pasarnya di tingkat dunia dengan harga yang sangat bersaing. Kenyataannya di dalam negeri, industri perunggasan AS berusaha keras menjadi sektor yang paling memiliki nilai tambah dengan jaringan pasar retail yang paling luas.

Dengan motto bisnis sebagai penghasil nomor satu produk makanan yang “ready-to-eat” dan “easy-to-prepare”, maka keragaman produk ayam olahan berlabel yang mampu dihasilkan industri perunggasan AS dalam rangka pelayanan “food-to-go” atau “take away food” menawarkan kehidupan yang lebih mudah dan nyaman bagi masyarakat AS.

Isu monopoli vs. demokrasi ekonomi

Kalau dibuat perbandingan dengan Indonesia, maka sekitar 60-70 persen kegiatan industri ayam pedaging nasional dilakukan secara kemitraan antara integrator dan peternak plasma. Yang menjadi persoalan mendasar saat ini adalah bagaimana industri perunggasan Indonesia bisa menjadi efisien kalau isu monopoli masih terus menghantui para peternak mandiri. Cara pandang yang salah terhadap keberadaan integrator di satu sisi dan peternakan rakyat di sisi lain mungkin harus diperbaiki terutama dalam melihat secara jujur penyebab terjadinya disparitas dalam input dan output.

Barangkali masih diperlukan campur tangan pemerintah lebih jauh agar struktur industri perunggasan nasional lebih mengarah kepada pola jaringan agribisnis koperasi yang optimal dengan lebih banyak menggerakkan peternakan rakyat untuk menguasai usaha dari hulu ke hilir. Upaya pemerintah diperlukan juga dalam menangani faktor sensitif industri perunggasan seperti jaminan harga bibit dan harga pakan yang relatif stabil.

Dengan demikian ke depan, industri perunggasan nasional perlu ditata kembali dengan melibatkan semua kelembagaan pemerintah dan swasta terkait. Strategi jangka panjang dengan mendorong terciptanya keseimbangan struktur dan kekuatan subsistem agribisnis hilir diperlukan terutama menghadapi derasnya terpaan badai produk unggas impor yang dihasilkan dengan biaya produksi demikian rendah di negara-negara maju.

*) Drh. Tri Satya Putri Naipospos-Hutabarat, MPhil, PhD, Direktur Pengembangan Peternakan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian

0 Komentar: