Minggu, 21 Maret 2010

Berternak di Daerah Endemis Antraks Perlunya Komunikasi Risiko

KOMPAS, SABTU, 5 MARET 2005 (HALAMAN 58) – RUBRIK ILMU PENGETAHUAN

Tri Satya Putri Naipospos

Sejak pertama kali kejadian antraks pada ternak kerbau dilaporkan tahun 1884 di wilayah Teluk Betung Propinsi Lampung, negeri ini tidak pernah luput dari serangan penyakit tersebut hampir di seluruh wilayah. Sampai saat ini tercatat 22 propinsi pernah mengalami kejadian antraks di sejumlah kabupaten tertentu.

Tentunya tidak mengherankan mengingat antraks adalah penyakit yang bersifat universal. Seluruh wilayah dunia mulai dari negara yang beriklim dingin, subtropis maupun tropis, dan juga mulai dari negara yang berpendapatan rendah, negara sedang berkembang bahkan negara maju pernah mengalami antraks (lihat Gambar 1). Kuman antraks dapat hidup dimana-mana, kecuali di wilayah dekat kutub utara dan selatan.

Baru-baru ini telah terjadi kasus antraks di Desa Citaringgul, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor yang menjadi berita nasional dan bahkan mendapat perhatian besar dari Presiden Republik Indonesia. Kematian manusia akibat antraks di Indonesia memang bukan terjadi kali ini saja, tetapi khusus kasus antraks di Desa Citaringgul ini mendapatkan peliputan media massa cetak dan elektronik yang cukup luas. Pertama karena jumlah orang yang mati akibat makan daging kambing sakit cukup banyak (enam orang), kedua kasusnya terjadi di lokasi yang sangat dekat dengan ibu kota republik, dan ketiga isu tentang antraks berulang kali muncul menjelang Lebaran.

Gambar 1: Distribusi geografis antraks di dunia


Daerah endemis antraks

Data kasus antraks baik pada hewan (data Departemen Pertanian) maupun pada manusia (data Departemen Kesehatan) terutama sejak tahun 1965–2004 menunjukkan bahwa ada empat propinsi yang dapat dinyatakan sebagai daerah endemis antraks, di mana penyakit terjadi secara berulang dalam selang waktu tertentu. Keempat provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pada tahun 2003, kasus antraks pada hewan tercatat di Kabupaten dan Kota Bogor (Jawa Barat), Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Bima (NTB), dan Kabupaten Sikka (NTT). Dengan demikian, sangatlah perlu bagi masyarakat petani yang tinggal di daerah endemis antraks untuk memperhatikan cara-cara berternak yang baik (good husbandry practices) untuk mencegah berjangkitnya antraks kembali.

Kuman penyebab antraks yaitu Bacillus anthracis yang memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan bentuk spora. Di luar tubuh hewan atau manusia, kuman mempunyai kemampuan membentuk spora yang mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang ekstrem untuk jangka waktu yang sangat lama (50-70 tahun). Kuman antraks merupakan bagian dari flora tanah yang normal. Kuman akan menggandakan diri secara cepat pada keadaan di mana terdapat faktor lingkungan yang mendukung, seperti tanah beralkalin yang mengandung bahan organik yang tinggi, tingkat kalsium dan nitrogen yang memadai, pH netral, suhu diatas 15,5oC, dan terjadinya perubahan besar dari lingkungan mikro tanah seperti yang dihasilkan pada curah hujan tinggi.

Ekologi antraks

Dari segi ekologi, wabah antraks seringkali berkaitan dengan curah hujan tinggi dan banjir. Kebanyakan kasus antraks terjadi di daratan rendah yang mempunyai perbedaan musim dan secara langsung berkaitan dengan jumlah curah hujan. Kasus antraks juga terjadi bersamaan dengan musim hujan, di mana ternak mulai makan tanaman yang baru tumbuh. Ada suatu teori menyatakan bahwa aliran air yang terus-menerus dan berevaporasi ke wilayah lebih rendah dapat mengumpulkan spora yang berasal dari epidemik yang lalu sehingga terkonsentrasi di wilayah tersebut dan meningkatkan potensi penularan.

Praktik-praktik sosial dalam masyarakat peternakan terutama di Asia dan Afrika, termasuk tukar-menukar ternak sapi, disposal karkas yang tidak memadai, makan daging yang terkontaminasi, penggembalaan yang berlebihan, dan cakupan vaksinasi yang kurang memadai, memegang peranan penting dalam tingkat endemisitas antraks. Berlainan dengan di negara-negara maju, di mana penyebab yang lebih penting adalah kasus antraks pada pekerja industri wol yang terekspos secara aerosol.

Kejadian antraks di Desa Citaringgul mungkin bisa dihubungkan dengan musim kemarau yang panjang dan menjelang awal musim hujan seperti sekarang ini, di mana kuman menemukan kondisi yang kondusif untuk tumbuh. Setelah mengalami siklus vegetatif dalam tanah, kemudian kuman membentuk spora kembali. Proses ini akan mampu menghasilkan konsentrasi spora yang tinggi dalam tanah cukup untuk menyebabkan ternak kambing yang digembalakan atau merumput atau diberi makan kulit singkong yang terkontaminasi terjangkit antraks.

Gambar 2 berikut ini memuat siklus antraks yang menjelaskan penularan dari hewan ke manusia melalui 3 (tiga) cara, yaitu melalui luka kecil di kulit (anthrax kutaneus), melalui hidung di mana spora terhirup (anthrax pulmonum) dan melalui mulut di mana spora tertelan akibat makan daging hewan yang terkontaminasi (anthrax gastro-intestinal).

Gambar 2: Siklus antraks


Kabupaten Bogor sebagai daerah endemis antraks

Ada sembilan kecamatan di Kabupaten Bogor yang dinyatakan sebagai daerah endemis antraks, yaitu Bojong Gede, Cibinong, Citeureup, Babakan Madang, Sukaraja, Jonggol, Sukamakmur, Cileungsi, dan Kelapanunggal (lihat Gambar 3). Sepanjang tahun 2001–2004, kasus antraks pada manusia dilaporkan terjadi setiap tahun dan kebanyakan tipe kutaneus (antraks kulit). Di Kecamatan Babakan Madang sendiri dilaporkan kejadian antraks di Desa Sentul (2001) dan Desa Kadumangu (2002). Pada tahun 2003 terjadi di empat desa, yaitu Desa Sentul, Karang Tengah, Kadumangu, dan Citaringgul. Kemudian tahun 2004 di tiga desa yaitu Desa Kadumangu, Cipambuan, dan Citaringgul.

Kasus antraks pada hewan di Kabupaten Bogor dilaporkan lebih sedikit dan terutama banyak terjadi pada kambing dan domba. Pada tahun 2001 kasus antraks terjadi di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup; Desa Karadenan, Kecamatan Cibinong; sedangkan di Kota Bogor terjadi di Desa Kedung Badak dan Cimahpar. Pada tahun 2002 kasus antraks kembali terjadi di Desa Hambalang. Pada tahun 2003 kasus antraks terjadi di Kecamatan Citeureup dan Kecamatan Tanah Sareal.

Gambar 3: Peta daerah endemis antraks per kecamatan di Kabupaten Bogor


Komunikasi risiko

Secara retrospektif menunjukkan bahwa Kabupaten Babakan Madang merupakan daerah rawan antraks, dan masyarakat di sana perlu mendapatkan informasi secara meluas dan transparan tentang risiko penyakit, dampak kerugian sosial dan ekonomi yang ditimbulkan, dan cara-cara pencegahan dan penanggulangan antraks yang benar.

Upaya mencegah berjangkitnya antraks berkaitan erat dengan metoda komunikasi risiko, yaitu bagaimana pemerintah, perguruan tinggi, asosiasi profesi, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik sendiri-sendiri maupun terpadu, mampu mengomunikasikan pesan-pesan tersebut secara aktif, jelas, dan padat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness). Komunikasi harus bersifat dua arah untuk membahas risiko yang akan dialami masyarakat dan mencari solusi yang terbaik untuk wilayah tersebut.

Penyuluhan tentang antraks harus memperhitungkan sistem pertanian di Kabupaten Babakan Madang. Meskipun lokasinya sangat dekat dengan DKI Jakarta, struktur kemiskinan terlihat sangat kentara di sana. Sebagian besar petani di kabupaten tersebut adalah petani penggarap yang usahanya bertanam singkong untuk menyuplai kebutuhan pabrik tapioka yang berlokasi di sana. Sekaligus juga sebagai peternak yang menyuplai kebutuhan daging sate kambing untuk wilayah sekitarnya, terutama yang berbatasan dengan DKI Jakarta.

Di wilayah tersebut, pola pemeliharaan ternak kambing begitu menyatu dengan rumah dengan rata-rata kepemilikan 5-10 ekor. Ciri-ciri pemeliharaan masih tradisional di mana lokasi kandang dengan rumah sangat dekat, tenaga kerja berasal dari keluarga, dan belum adanya wadah kelembagaan peternak. Secara turun-temurun petani menerapkan sistim integrasi ternak-tanaman ”zero waste” dengan memberikan daun, limbah umbi, dan kulit singkong kepada ternak kambingnya, sedangkan kotoran kambing digunakan untuk pupuk tanaman singkong.

Dengan demikian, kemampuan melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan antraks bukan hanya menyangkut aspek teknis, melainkan juga aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Secara bertahap, sosialisasi tentang pentingnya cara-cara beternak yang baik dengan pelaporan dini hewan sakit, vaksinasi antraks secara teratur dua kali setahun, pemotongan ternak sesuai prosedur kesehatan masyarakat veteriner yang dikoordinasikan di bawah pengawasan Dinas Peternakan setempat, dan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum ternak kambing dijual atau dibeli. Begitu juga pemilihan bibit ternak yang baik dan pemberian pakan yang aman.

Dalam jangka panjang, perlu diberikan kesadaran pada masyarakat bahwa risiko antraks di daerah endemis pada dasarnya harus ditanggung bersama oleh semua pihak yang terkait, baik masyarakat petani, pemerintah maupun konsumen pada umumnya.

*) DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, MPHIL, PHD, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian

0 Komentar: