Tek kotek kotek
Anak ayam turun sepuluh
Mati satu, turun sembilan……..
[lagu yang biasa didendangkan anak-anak di Majalengka, Jawa Barat – dikutip dari “The Political Economy of Avian Influenza in Indonesia” – Paul Forster, Working Paper 17, Brighton; STEPS Centre].
Meskipun tidak terlalu jelas kenapa lagu anak-anak Indonesia ini dikutip pada awal tulisan Paul Forster, akan tetapi mungkin juga tidak terlalu salah kalau dikatakan lagu ini menjadi satu cerminan kehidupan sosio-ekonomi dan budaya kebanyakan penduduk pedesaan di Indonesia yang sangat bergantung kepada unggas terutama ayam.
Ayam bersama dengan jenis unggas lain seperti bebek, entok, burung puyuh dan lain sebagainya menjadi sumber protein hewani termurah dan sekaligus penghasilan yang bisa diperoleh secara cepat bagi masyarakat miskin khususnya di pedesaan. Baik untuk dikonsumsi sendiri maupun diperjualbelikan. Kejadian flu burung yang melanda Indonesia sejak 2003 lalu, telah membuat posisi unggas menjadi rentan dan tersandera dengan isu-isu kebijakan yang tidak utuh dan tidak tuntas sampai dengan saat ini.
vivanews.com, 12 Februari 2009 |
Sebagai negara besar dengan geografi yang luas, dibarengi dengan faktor-faktor sosial, budaya dan politik yang komplek, sudah jelas tidak begitu mudah bagi Indonesia untuk merespon persoalan flu burung. Meskipun sebagai negara yang semakin matang dalam berdemokrasi, Indonesia mengalami berbagai peristiwa yang tidak bisa begitu saja dilupakan dalam sejarah seperti krisis ekonomi 1997, wabah penyakit menular maupun berbagai kejadian bencana alam maupun non alam yang silih berganti. Begitu juga agitasi separatis dan kerusuhan sektarian yang sewaktu-waktu di masa yang akan datang masih mungkin muncul kembali (Forster P., 2009).
Secara politis, Indonesia muncul sebagai negara demokrasi yang masih muda dan dinamis, setelah 40 tahun lamanya dibawah rezim otoriter. Suatu keadaan yang mendorong timbulnya politik yang tidak lagi terlalu represif dan kekuasaan yang cenderung berpindah ke tangan rakyat. Meskipun demikian situasi yang kemudian dinamakan sebagai era reformasi masih menyisakan persoalan laten berupa jurang perbedaan yang lebar antara kelompok masyarakat kaya dan miskin.
Dengan otonomi yang dimiliki oleh 496 kabupaten dan kotamadya, pada kenyataannya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah sangat rendah. Administrasi pemerintahan setelah 1997 masih mengalami derajat keberlanjutan tertentu dengan apa yang terjadi di periode sebelumnya. Administrasi pemerintahan yang dikarakterisasi dengan korupsi yang terstruktur, proses-proses pengambilan keputusan yang kabur dan kolusi demi kepentingan bisnis.
Lingkungan politik yang diwarnai dengan demokrasi saat ini menjadikan protes masyarakat sebagai sesuatu hal yang biasa dan banyak persoalan bangsa diatasi dengan kompromi politik. Hal yang dianggap sangat menantang dalam bagaimana Indonesia merespon kejadian penyakit menular berpotensi pandemik seperti flu burung.
Tanggung jawab pengendalian flu burung diletakkan lebih besar di pundak pemerintah daerah kabupaten dan kotamadya yang otonom. Petunjuk pusat dilaksanakan apabila pemerintah daerah menganggap hal tersebut diperlukan dan tersedia dukungan dana maupun tenaga lokal. Suatu pengalaman pahit yang akhirnya membuat Indonesia tidak berdaya menyaksikan bagaimana flu burung sudah menyebar ke 33 provinsi dengan cepat dan sampai saat ini belum ditemukan jawaban metoda penanggulangan yang efektif untuk mengatasi flu burung pada unggas.
Tidak bisa disangkal terjadi variasi dalam bagaimana pemerintah merespon kejadian flu burung di 33 provinsi, 363 kabupaten dan 93 kotamadya. Sejak berlakunya otonomi, di tingkat provinsi dijumpai adanya dinas yang menangani fungsi peternakan, akan tetapi di tingkat kabupaten tidak selalu ada. Fungsi peternakan ada yang berada di bawah supervisi dinas pertanian atau perikanan. Dalam struktur seperti ini, fungsi peternakan diposisikan menjadi sub atau berada dibawah arahan sektor lain. Malahan fungsi kesehatan hewan mau tidak mau diposisikan lebih jauh di bawah lagi. Suatu situasi yang menyebabkan kesulitan tersendiri bagi pemerintah dalam menyampaikan dan melaksanakan komando dalam penanggulangan flu burung dari pusat sampai ke daerah-daerah. Begitu juga menjadi isu sensitif apabila menyangkut permintaan dana memadai yang diperlukan untuk mengatasi persoalan flu burung.
Meskipun di tengah kondisi politik dan birokrasi pemerintahan yang tidak mudah, dalam perjalanannya tercatat sejumlah keberhasilan dalam penanggulangan flu burung pada unggas di beberapa provinsi seperti Lampung dan wilayah Kalimantan yang wabahnya sporadik. Begitu juga Bali dimana wabah menurun secara signifikan dan sudah hampir tidak ditemukan lagi sejak pertengahan 2006 dan kemudian Sulawesi Selatan yang dahulunya dianggap daerah flu burung dengan jumlah kasus tinggi (Forster P., 2009).
Hubungan industri perunggasan dan pemerintah
Dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, sektor perunggasan komersial di Indonesia termasuk besar, dengan menyerap tenaga kerja lebih dari satu juta orang (Padmawati and Nichter, 2008). Dalam sejarahnya, produksi perunggasan rata-rata meningkat 15% per tahun sejak 1989 sampai timbulnya krisis ekonomi 1997. Pasca krisis, pertumbuhan mulai meningkat kembali. Industri perunggasan terkonsentrasi sangat kuat di Pulau Jawa dan perusahaan-perusahaan besar menikmati keuntungan yang signifikan. Meskipun demikian secara umum bisnis perunggasan tetap dianggap sebagai bisnis yang berisiko, terutama bagi peternak kecil.
Memang tidak selalu mudah untuk memahami sektor perunggasan di Indonesia. Situasinya sangat dinamis dan beragam, dimulai dari segmen perunggasan yang sangat terindustrialisasi, kemudian perusahaan ayam pedaging atau petelur skala kecil dan semi intensif sampai kepada unggas yang berkeliaran di belakang rumah serta unggas hobi. Seringkali perusahaan-perusahaan ini saling kait mengait dan memainkan peranan penting dalam penyediaaan protein hewani bagi mayoritas penduduk Indonesia dan berkontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Seluruh produksi unggas di Indonesia dikonsumsi pasar domestik dan pada dasarnya impor dapat diabaikan. Daging ayam adalah favorit masyarakat dan sangat popular di Indonesia. Sekitar 10 perusahaan perunggasan konglomerasi mengendalikan seluruh produksi industri, dengan 70% penguasaan pangsa pasar domestik. Hampir semua perusahaan integrator tersebut beroperasi sebagian besar dengan cara sub-kontrak dengan pihak ketiga. Suatu skema yang menyebabkan baik bibit ayam, berbagai material yang dikaitkan dengan produksi ayam maupun produk sampingannya terdistribusi secara meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Secara khas, antara 500 dan 5.000 ekor bibit ayam disuplai kepada sekitar 20–200 peternak yang kemudian memelihara anak ayam tersebut sampai berumur antara 33–40 hari sebelum mengembalikannya kepada distributor atau menjualnya kepada pedagang ayam (Forster P., 2009).
Pada kenyataannya sampai saat ini pemerintah masih menghadapi kendala dalam membangun hubungan kemitraan yang ideal dengan industri perunggasan maupun juga dengan jutaan peternak skala menengah dan kecil. Industri perunggasan dan peternakan rakyat yang terbiasa otonom dan mandiri dan tidak terlalu berharap kepada pemerintah. Hubungan yang labil ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi pemerintah, negara donor maupun organisasi internasional yang terlibat dalam penanggulangan flu burung di Indonesia.
Peran internasional
Tidak bisa disangkal adanya peran penting dari organisasi internasional seperti Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam penanganan flu burung pada unggas di Indonesia. FAO yang beroperasi dengan modus darurat di sejumlah negara yang diterpa krisis flu burung di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Indonesia dalam hal ini merupakan negara yang menerima bantuan dana flu burung terbesar dari berbagai donor internasional, baik bilateral maupun multi-lateral.
Sejak Januari 2006, inti penanggulangan flu burung pada unggas di Indonesia dilaksanakan melalui program ‘Participatory Disease Surveillance and Response’ (PDSR). Suatu program yang merupakan kerjasama Kementerian Pertanian, pemerintah daerah dan FAO, dengan dukungan dana dari Amerika Serikat, Australia dan Jepang. Untuk kepentingan kesinambungan program ini ke depan, maka PDSR diberi nama dalam bahasa Indonesia dengan sebutan ‘Pelacakan dan Gerak Cepat’.
Selama periode 2006-2008, fokus awal dari tim PDSR adalah melacak kasus-kasus AI pada ayam belakang rumah dan kemudian melakukan tindakan cepat untuk mengatasi kasus tersebut. Pada kenyataannya, laporan kejadian di Indonesia masih terus mendominasi keseluruhan kejadian flu burung di negara-negara lain di seluruh dunia (lihat Gambar 1). Kejadian yang dalam tiga tahun terakhir ini masih tetap berlangsung dan belum mampu dielakkan.
Gambar 1: Wabah flu burung pada unggas di Indonesia (dibandingkan dengan seluruh dunia) antara April 2009 dan Juni 2010
Sumber: H5N1 HPAI Global Overview – May and June 2010 (FAO EMPRES/GLEWS)
Jumlah kejadian yang dilaporkan tersebut sebagian besar dapat diterangkan dengan keberadaan petugas-petugas PDSR yang beroperasi di 349 (70%) dari 496 kabupaten di 27 (83%) dari 33 provinsi di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi dan Kalimantan. Jumlah petugas PDSR yang sudah dilatih mencapai lebih dari 2.000 orang, kebanyakan pegawai negeri atau tenaga yang dikontrak oleh pemerintah daerah setempat (Perry B.J. et al, 2009).
Sejak Maret 2008, petugas PDSR telah mengunjungi setidaknya 49,4% dari seluruh desa dimana program beroperasi yang mencapai 59.882 desa. Selama 12 bulan terakhir, sekitar 8,1% dari desa-desa tersebut diklasifikasikan sebagai desa tertular. Kasus flu burung pada unggas yang dilaporkan terkonsentrasi di pulau Sumatera dan Jawa (Azhar M. et al, 2010; FAO H5N1 HPAI Global Overview, 2010).
Beberapa kalangan dalam negeri berpandangan bahwa penanggulangan flu burung di Indonesia lebih diperankan oleh organisasi internasional yang lebih banyak mengambil inisiatif terutama dalam menetapkan arah dan pelaksanaan rencana strategis nasional atau cetak biru penanggulangan di Indonesia. Suatu perencanaan yang seharusnya sejak awal diambil alih pemerintah Indonesia dan kemudian berkomitmen penuh serta secara sistematis menjadikannya sebagai program pemerintah jangka menengah dan panjang.
Meskipun demikian harus diakui bahwa FAO bersama dengan Kementerian Pertanian telah berupaya berada di garis terdepan dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang luar biasa artinya bagi penanggulangan flu burung. Keberhasilan program PDSR dalam upaya mengatasi flu burung bisa dijustifikasi dari peningkatan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap skala penyebaran flu burung di tingkat kabupaten. Hasil surveilans mengindikasikan adanya tren musiman dan spasial yang kuat, dimana setiap tahun jumlah kasus flu burung tertinggi terjadi pada bulan Agustus, kemudian selama musim hujan mulai bulan Desember sampai Maret.
Kelemahan program PDSR terletak pada mekanisme respon yang harus dilakukan petugas, dimana pendanaan untuk kompensasi dan vaksinasi tidak tersedia. Pada kenyataannya harus diakui bahwa upaya untuk memadamkan dan mengeliminasi flu burung tidak dapat sepenuhnya hanya mengandalkan kepada program PDSR. Begitu juga titik berat program PDSR yang lebih terfokus kepada ayam-ayam belakang rumah (sektor 4) mengindikasikan bahwa perjalanan penanggulangan flu burung di Indonesia masih panjang dan berliku.
Tantangan nyata bagi pemerintah Indonesia adalah bagaimana mampu mempertahankan kesinambungan program PDSR ini ke depan. Disadari bahwa program ini belum sepenuhnya menyentuh sektor 3 yaitu sektor peternakan unggas komersial pedaging dan petelur skala menengah dan kecil yang harus juga diperhitungkan secara teknis apabila tujuan akhirnya adalah memberantas flu burung.
Salah satu tujuan besar dan ideal program PDSR adalah untuk memperkuat kapasitas sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas). Tujuan yang akan sulit dicapai apabila program PDSR tidak berhasil di institusionalisasikan ke dalam struktur pemerintahan daerah. Suatu tantangan yang perlu difikirkan secara serius dalam meletakkan peran para petugas PDSR tersebut dalam konteks kesehatan hewan yang lebih luas di masa yang akan datang dan tidak lagi semata-mata bergantung kepada dukungan dana eksternal (Perry B.J. et al, 2009).
Tantangan internal
Disadari atau tidak, pada kenyataannya arsitek penanggulangan flu burung di Indonesia berhadapan dengan tantangan internal yang tidak begitu mudah diatasi. Mulai dari penetapan prioritas, pengaruh sosial budaya, sektarianisme, koordinasi dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Kendala dijumpai disana sini dalam membangun hubungan koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Begitu juga hubungan kemitraaan antara pemerintah dengan organisasi-organisasi non-pemerintah dan termasuk juga dengan masyarakat sipil. Suatu peperangan terhadap flu burung yang dijalankan dalam suatu atmosfir politik yang komplek.
Suatu tantangan multi-dimensi yang tidak begitu mudah untuk dihadapi. Pertama, kepentingan untuk melibatkan keseluruhan komponen pemerintah, mulai dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai ke tingkat lapangan. Begitu juga, proses keputusan di sektor perunggasan yang melibatkan unsur di seluruh mata rantai pasar (value chain) mulai dari input, pensuplai, produser, prosesor, retailer sampai ke konsumen.
Kedua, diversitas yang terjadi baik pemerintah maupun rantai pasar yang senantiasa beradaptasi mengikuti perubahan lingkungan strategis baik politik, sosial maupun ekonomi yang dipengaruhi berbagai aspek dan bukan hanya flu burung. Pencampuran industri perunggasan komersial (sektor 1 dan 2), peternakan unggas skala menengah dan kecil (sektor 3) dan ayam belakang rumah (sektor 4) di pedesaan dan peri-urban menyebabkan rantai pasar saling kait mengait (McLeod A. et al, 2009). Realitanya 70% produksi komersial diarahkan kepada kurang lebih 13 ribu pasar unggas hidup atau dikonsumsi langsung oleh rumah tangga. Di Jakarta saja, pasar ayam memegang peran 80% dari jumlah ayam-ayam yang dikonsumsi setiap hari (Forster P., 2009).
Ketiga, lingkungan kebijakan yang cenderung protektif terhadap sektor perunggasan dengan pemberlakuan tarif impor, akan tetapi lemah dalam investasi bagi dukungan bisnis, seperti regulasi dan sertifikasi (McLeod A. et al, 2009).
Penutup
Tantangan penanggulangan flu burung di Indonesia harus dijelaskan dari konteks geografis, ekonomi, ekologi, budaya, dan historis. Hubungan yang komplek antara negara dengan birokrasi – dimana jaringan pemerintah daerah terdesentralisasi dan berkembang cepat serta sistem hukum yang berlaku membuat suatu tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam merespons persoalan flu burung.
Begitu juga manusianya, apakah itu peternak rakyat atau industriawan, adalah titik sentral dalam memahami proses kebijakan seputar munculnya flu burung di Indonesia dan bagaimana respon diberikan terhadap persoalan tersebut. Realitanya hubungan tersebut tidak mulus, tidak menentu dan menjadi suatu tantangan yang luar biasa besarnya bagi rencana ideal penanggulangan flu burung yang ingin dilaksanakan oleh pemerintah, negara donor maupun organisasi internasional.
Pertanyaannya sekarang, dalam situasi politik dan hubungan negara dengan birokrasi yang komplek seperti digambarkan diatas, apakah bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian saat ini maupun ke depan dalam mendeterminasi aktivitas yang konsisten dalam memerangi penyakit menular seperti flu burung yang sudah mendekam dalam jutaan ternak ayam di Indonesia? Apakah proses politik yang berlangsung sudah memadai untuk tujuan ini? Apakah proses ini membantu atau malahan menghalangi respon? Cuma waktu dan kemauan keras pemerintah bersama-sama dengan para aktor yang memegang peranan kunci di sektor perunggasan yang akan mampu menjawab keseluruhan tantangan sebagaimana disebutkan diatas.
Referensi:
1. Forster P. (2009). The Political Economy of Avian Influenza in Indonesia. Working Paper 17, Brighton; STEPS Centre. http://www.steps-centre.org/PDFs/Indonesia.pdf
2. McLeod A., Rushton, J., and Michiels S. (2009). ECTAD Strategy for HPAI Control in Egypt and Indonesia – Comparing Approaches. Powerpoint presentation. http://www.fao.org/docs/eims/upload/238951/ai286e.pdf
3. Perry B.J., Md. Isa K., and Tarazona C. (2009). Independent Evaluation of FAO’s Participatory Disease Surveillance and Response Programme in Indonesia (Final Report). FAO Evaluation Service.
http://aitoolkit.org/site/DefaultSite/filesystem/documents/Annex%202a%20PDSR%20Indonesia%20Evaluation%20Report%20pdf.pdf
4. Azhar M., Lubis A.S., Siregar E.S., Alders R.G., Brum E., McGrane J., Morgan I. and Roeder P. (2010). Participatory Disease Surveillance and Response in Indonesia: Strengthening Veterinary Services and Empowering Communities to Prevent and Control Highly Pathogenic Avian Influenza. AVIAN DISEASES 54:749-753.
5. Padmawati S. and Nichter M. (2008). Community response to avian flu in Central Java, Indonesia. Anthropology & Medicine, 15(1):31-51.
6. FAO (2010). H5N1 HPA Global Overview – May and June 2010. Issue No. 23.
http://www.fao.org/docrep/012/ak775e/ak775e00.pdf
*) Bekerja di Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nation di Vientiane, Lao PDR.
2 Komentar:
Hallo..Bu...Gimana kabarnya?
Tulisan yang komprehensif bu..
Sekedar usul bu..Gimana kalau Ibu mempunya Account di KOMPASIANA biar lebih banyak yang baca bu..
Terima kasih
Salam,
Andro- Bogor
Hi, Andro. Rasanya perlu keberanian untuk tampil di Kompasiana (yang spektrum pembacanya jauh lebih lebar).
Salam,
Tata
Posting Komentar