K O M P A S, MINGGU, 7 OKTOBER 2001 (HALAMAN 22) – Rubrik IPTEK & KESEHATAN
Oleh Tri Satya Putri N Hutabarat
Timbulnya kasus penyakit sapi gila atau bovine spongiform encephalopathy (BSE) pertama di Jepang 10 September 2001 lalu, membuat penyakit tersebut tidak bisa lagi disebut masalah Eropa. Negara-negara lain di luar Eropa tidak terkecuali Indonesia, perlu mewaspadainya karena dalam selisih 15 tahun dari sejak pertama kali dilaporkan terjadi di Inggris tahun 1986, BSE telah merambah ke Asia.
Seminggu setelah Jepang melaporkan adanya dugaan kasus penyakit sapi gila kepada Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), sejumlah negara seperti Amerika dan Australia mengumumkan pemberlakuan pembatasan impor ternak ruminansia (sapi, domba, kambing) dan produk-produknya yang berasal dari Jepang. Sebelumnya kedua negara itu telah memberlakukan larangan impor produk daging dari Jepang karena Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Beberapa negara Asia seperti Thailand, Korea, Malaysia juga mengambil tindakan serupa untuk mencegah masuknya penyakit ini. Indonesia sendiri telah melarang hal yang sama sejak timbulnya wabah PMK di Jepang tahun 2000.
Dugaan kasus BSE terjadi pada seekor sapi perah jenis Holstein berumur lima tahun yang dipelihara di peternakan Chiba dekat Tokyo. Pihak berwenang dan para ahli di Jepang mengatakan, kasus BSE itu disebabkan oleh tepung pakan ternak dari daging dan tulang atau meat and bone meal (MBM) yang diimpor dari Eropa, serupa dengan perjalanan penyebaran BSE dari Inggris ke negara-negara Eropa.
Mengingat masa inkubasi penyakit ini cukup lama, 2-8 tahun, maka diperkirakan sapi umur lima tahun tersebut sudah terinfeksi sebelum Jepang memberlakukan larangan impor MBM dari Inggris tahun 1996.
BSE dan CJD
BSE adalah penyakit yang menyerang susunan saraf sapi, berkembang perlahan, tetapi berakibat sangat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh semacam protein yang mengalami mutasi dan bertingkah laku seperti virus yang disebut sebagai prion. Sapi tertular dari makanan tepung daging dan tulang yang berasal dari ruminansia (MBM).
Sampai saat ini BSE telah menyerang lebih dari 179 ribu ekor sapi di Inggris dan sekitar 1.900 kasus BSE di Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Irlandia, Liechtenstein, Luxemburg, Belanda, Portugal, Italia dan Swiss. Sejumlah kecil kasus BSE ditemukan di Kanada, Kepulauan Falkland, Kuwait dan Oman, namun semua terjadi pada sapi yang diimpor dari Inggris. Negara-negara yang baru dua tahun terakhir ini melaporkan adanya kasus BSE yaitu Spanyol, Yunani dan Czech.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara epidemi BSE di Inggris dengan konsumsi pakan MBM. Hanya dibutuhkan MBM seukuran sebutir jagung untuk menginfeksi seekor sapi.
Creutzfeldt Jakob Disease (CJD) adalah bentuk spongiform encephalopathy pada manusia yang sakit karena makan daging sapi yang tertular BSE. CJD sendiri sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu, akan tetapi bentuk yang dinyatakan berkaitan dengan BSE disebut sebagai new variant CJD (nvCJD). Sampai dengan saat ini dilaporkan 94 orang meninggal akibat nvCJD di Inggris, tiga orang di Perancis dan satu orang di Irlandia. Sama seperti BSE, penyakit ini menimbulkan gejala saraf dan fatal. Para ahli menemukan bahwa seseorang yang makan daging secara teratur memiliki kemungkinan 13 kali lebih besar untuk meninggal karena nvCJD dibandingkan yang tidak makan daging.
Tidak semua jaringan tubuh hewan memiliki tingkat infektivitas sama, hanya beberapa bagian tubuh tertentu yang jadi pembawa agen BSE yang disebut sebagai Specified Risk Material (SRM). SRM mencakup seluruh bagian kepala hewan, termasuk otak dan mata, tonsil, sumsum tulang belakang, kelenjar limfe, thimus, ginjal dan usus. Karena itu Uni Eropa sejak Oktober 2000 mengharuskan SRM dimusnahkan saat penyembelihan ternak. Para ahli menyatakan, peraturan itu dapat menghilangkan 95% tingkat infektivitas pada sapi.
Selain melarang penggunaan MBM untuk ternak dan pemusnahan SRM, maka pemerintah Inggris juga melarang pemanfaatan daging dari sapi berumur lebih dari 30 bulan - disebut sebagai “Over Thirty Month (OTM) Rules” – untuk konsumsi manusia. Ini mengingat rata-rata BSE terjadi pada sapi berumur 60 bulan. Meskipun demikian, pelaksanaan peraturan OTM ini sulit dimonitor. Peternak dan pedagang sapi kadang mengubah dokumen identitas sapi bahkan ada laporan 90 ribu ekor sapi hilang dari daftar registrasi.
Negara yang beresiko
Data perdagangan dunia menunjukkan, sejak 1986 sampai saat ini pakan MBM dari Eropa telah diekspor ke lebih dari 100 negara. Wilayah pengimpor dalam jumlah besar adalah Timur Dekat, Eropa Timur dan Asia. Inggris sendiri dilaporkan sejak bulan Maret 1988 telah mengekspor 30 ribuan ton pakan ternak dari sapi yang berpotensi terinfeksi BSE ke negara-negara berkembang.
Juli 1988, Pemerintah Inggris secara resmi melarang penggunaan MBM di seluruh negera dan baru seminggu sesudahnya mengingatkan bahaya MBM ke Uni Eropa. Namun baru delapan tahun kemudian - Maret 1996 – resmi diberlakukan larangan ekspor MBM ke seluruh dunia. Karena itu tidak seorangpun yang tahu, berapa banyak sapi-sapi terutama di negara berkembang yang telah diberi makan MBM dan kemungkinan menginkubasi BSE.
Dari 100 negara yang paling beresiko terhadap BSE, tercatat bahwa Mesir, Iran, Irak dan India adalah negara-negara yang mengimpor MBM dari Inggris selama tahun 1980-an dan memiliki industri ternak yang intensif.
Awal tahun 2001 Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah mengingatkan negara-negara di seluruh dunia, bukan hanya Eropa Barat, terhadap ancaman penyakit sapi gila dan risiko penularannya pada manusia. Semua negara yang pernah mengimpor sapi atau pakan MBM dari Eropa Barat terutama dari Inggris sejak tahun 1980-an berisiko terhadap BSE. FAO juga menyarankan agar tiap negara mengambil langkah pencegahan awal dengan melarang pemberian pakan MBM kepada ruminansia dan segala jenis hewan.
Juni 2001, pernyataan bersama yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menegaskan mereka mendukung upaya bersama penanggulangan BSE maupun nvCJD. Semua negara diminta mengevaluasi potensi penularan melalui penilaian sistematis terhadap data perdagangan dan faktor-faktor resiko.
Akankah melanda Asia?
Indonesia, Thailand, Taiwan dan Sri Lanka telah dinyatakan sebagai kemungkinan korban berikutnya setelah membeli pakan ternak Inggris saat terjadi puncak epidemi BSE di Inggris tahun 1993. Indonesia mulai mengimpor MBM dari Inggris tahun 1991 dan tahun 1993 jumlah impornya mencapai lebih dari 20.060 ton. Jumlah MBM yang diimpor Indonesia dari Inggris sepanjang tahun 1991–1996 mencapai 60 ribu ton. Namun, di Indonesia maupun Thailand MBM impor itu banyak digunakan untuk pakan ternak unggas, ikan atau babi, bukan ruminansia yang kebanyakan diberi rumput dan atau konsentrat.
Walau begitu, para pakar kesehatan hewan khawatir bahwa impor MBM itu akan memicu timbulnya epidemi BSE di negara-negara berkembang, sementara upaya penanggulangannya sangatlah mahal. Pemerintah Inggris misalnya, telah mengeluarkan 7,5 milyar dollar atau 67,5 trilyun rupiah untuk mengatasinya.
Seorang ahli WHO mengatakan bahwa epidemi BSE tidak akan terjadi di Asia dan Afrika, karena epidemi BSE hanya terjadi di negara dengan industri peternakan besar, mempunyai industri pembuangan hasil sampingan ternak (rendering plant), dan memberikan pakan MBM kepada ruminansia. Kondisi semacam ini hanya terdapat di negara-negara yang maju.
Walau begitu, hal ini tidak bisa diabaikan mengingat sulit sekali menelusuri kemana saja ekspor daging sapi dan produk daging lainnya dari Inggris maupun negara-negara Eropa lainnya pada periode 1987–1996, karena produk umumnya telah dikemas kembali atau diiubah ke bentuk produk lain. Karena itu, munculnya kasus BSE pertama di Asia, tetap perlu diwaspadai di Indonesia. Pemerintah perlu melakukan hal-hal yang direkomendasikan FAO/WHO/OIE seperti menerapkan sistem surveilans, penilaian risiko (risk assessment) terhadap impor produk hewani, mengatur penggunaan pakan MBM, dan pengawasan karantina yang ketat terhadap impor produk-produk peternakan yang bisa menjadi media pembawa agen BSE.
• Tri Satya Putri N Hutabarat, doktor bidang epidemiologi veteriner, bekerja di Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.
0 Komentar:
Posting Komentar