Senin, 04 Agustus 2014

Ebola, Prahara Dunia Ketiga

KOMPAS, RABU, 30 JULI 2014 – RUBRIK OPINI

Oleh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS

Biasanya dimulai saat bangun pagi di mana korban merasa tak enak badan. Tak ada nafsu makan, kepala pusing, tenggorokan sakit, demam, dan menggigil.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada tubuh korban tidak beda dengan penyakit lain yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Namun, ternyata penyakit ebola jauh lebih agresif. Belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit ini. Ebola secara perlahan-lahan mulai menyusup dari hutan ke kota dan menembus batas-batas wilayah negara. Ebola membuat ratusan dokter frustasi dalam upaya menyelamatkan korban, tetapi masih selalu gagal menaklukkan penyakit ini.

Dari Maret sampai Juni 2014, pandemi ebola dengan angka kematian 90 persen telah membunuh hampir 400 orang di Liberia, Sierra Leone, dan Guniea. Jumlah ini lebih besar daripada 280 orang meninggal pada 1976, di mana virus ini pertama kali ditemukan di dekat Sungai Ebola, Zaire, sekarang disebut Kongo. 

Krisis ebola memang masih sebatas benua Afrika. Umumnya, yang terserang wabah adalah negara-negara sangat miskin. Dari daftar sepuluh negara termiskin di dunia 2013-14, Kongo menduduki urutan pertama, Liberia ketiga, dan Sierra Leone kedelapan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan wabah di ketiga negara itu berpotensi menyebar lewat perjalanan antarnegara. Negara yang berbatasan di Afrika barat lain, seperti Pantai Gading, Mali, Senegal, Guinea-Bissau, harus bersiap diri. WHO tidak saja mengkhawatirkan penularan lintas batas, tetapi juga lebih lanjut adalah potensi penyebaran internasional. Saat ini, wabah bukan lagi spesifik satu negara, melainkan krisis regional yang perlu aksi tegas pemerintah dan mitranya.

Ebola bukanlah suatu isu menyangkut teknologi tinggi. Persoalan mendasar menyangkut kebiasaan hidup bersih dan penanganan pasien yang benar, meliputi isolasi, karantina, dan perlindungan diri, terutama bagi para pekerja kesehatan. Ebola di suatu negara lebih merupakan refleksi kemiskinan dan sistem kesehatan yang terabaikan.

Sierra Leone telah memperingatkan warganya, menyembunyikan seseorang yang terinfeksi virus ebola merupakan pelanggaran kriminal serius. Tingkat kemiskinan, disinformasi, pendidikan yang rendah, dan lemahnya persepsi tentang wabah itu sendiri berkontribusi secara cepat terhadap apa yang disebut sebagai prahara dunia ketiga.

Lewat binatang

Virus ebola merupakan salah satu virus paling berbahaya di dunia. Virus ditularkan lewat kontak dengan darah, cairan tubuh, jaringan hewan, atau manusia yang terinfeksi. Ebola adalah salah satu penyakit zoonosis, yaitu ditularkan dari hewan ke manusia. Kelelawar diidentifikasi sebagai hospes alamiah dari virus ebola dan juga penyakit pernafasan, seperti SARS, MERS, dan hendra/nipah. Empat dari lima subtipe virus ebola asli Afrika. Mekanisme penularan dari kelelawar belum diketahui pasti.

Penyebab SARS dan MERS adalah sama, yaitu virus korona. Virus SARS bersirkulasi pada binatang hutan, seperti musang yang biasanya dikonsumsi manusia di wilayah selatan Tiongkok. Sementara virus MERS umumnya menginfeksi unta di Timur Tengah dan kemungkinan menulari manusia lewat konsumsi susu unta mentah. Bedanya, MERS menyebar tidak semudah seperti SARS.

Gorila, simpanse, dan antelop adalah binatang mamalia yang sangat besar kemungkinannya menularkan virus ebola ke manusia. Tradisi atau kebiasaan makan daging satwa liar (bushmeat), terutama di wilayah pedalaman Afrika, menjadi faktor pemicu timbulnya wabah ebola. Daging satwa liar yang berasal dari hewan berkuku, primata, dan rodensia menjadi pilihan sumber protein bagi penduduk miskin di Asia dan Afrika.

Lompatan virus

Di abad ke-21 ini, sejumlah penyakit baru muncul dan menyebabkan isu dalam skala global. Kita juga melihat kejadian wabah beberapa tahun terakhir, baik itu SARS, hendra/nipah, MERS, maupun dua virus influenza, H7N9 dan H5N1. Daerah hotspot hampir semua penyakit itu ada di negara-negara Asia dan Afrika.

Dalam 50 tahun terakhir, kasus lompatan virus dari hewan ke manusia meningkat secara dramatis. Para ahli ekologi penyakit menyatakan ada dua lompatan utama. Satunya berkaitan langsung dengan virus itu sendiri, satunya lagi berkaitan secara umum dengan ekosistem dan manusia. Sejumlah virus tertentu, contohnya rabies, dapat menular antarspesies dengan mudah. Namun, sejumlah virus lain harus bermutasi terlebih dahulu untuk membuat lompatan ke spesies lain. Banyak ahli percaya, kesempatan penyakit hewan menulari manusia kian nyata meningkat karena kerusakan alam, termasuk hutan.

Ada banyak hal dalam ilmu pengetahuan yang belum kita ketahui tentang lompatan virus di alam. Seperti halnya virus ebola, keberhasilan pencegahan dan pengendalian zoonosis ini sangat bergantung pada pemahaman kita tentang kapan dan di mana suatu lompatan terjadi, serta spesies hewan apa saja yang menjadi reservoir virus. Hanya cara ini yang dianggap ampuh menghentikan penyebaran suatu virus berbahaya ke tingkat pandemi.

Antisipasi ke depan

Indonesia sebagai negara berkembang yang integrasi sistem kesehatan dengan sistem kesehatan hewan belum memadai dalam menangani kemunculan darurat wabah penyakit, khususnya wabah zoonosis. Kita memang belum memiliki fasilitas laboratorium setara dengan laboratorium zoonosis canggih yang diakui secara global, seperti di Amerika Serikat (Plum Island) dan Australia (Geelong).

Antisipasi sangat bergantung pada visi dan misi Indonesia ke depan, terutama pembangunan kesehatan masyarakat. Indonesia harus bertahap memperkuat negara dalam memobilisasi tenaga medis, medis veteriner, dan keilmuan lain yang terhubung dengan jejaring laboratorium veteriner dan laboratorium kesehatan masyarakat pada waktu dibutuhkan. Dokter, dokter hewan, dan sarjana keilmuan lain seperti ahli mikrobiologi, ahli kesehatan masyarakat, ahli ekologi, ahli konservasi, dan sebagainya, perlu menyesuaikan perannya dalam memahami dan mempelajari irisan keterkaitan manusia, hewan, dan lingkungan.

Meskipun virus ebola muncul 38 tahun lalu di Afrika Tengah, spesies reservoirnya belum teridentifikasi secara tegas sampai saat ini. Konsekuensinya bagi negara manapun di dunia, termasuk Indonesia, adalah ketidakmampuan kita memprediksi kapan dan dimana wabah zoonosis berikutnya bakal terjadi di alam yang terus berubah. Ancaman terbesar kita adalah lompatan virus dengan potensi penularan manusia ke manusia yang efisien.

TRI SATYA PUTRI
NAIPOSPOS
Centre for Indonesian
Veterinary Analytical Studies

0 Komentar: