Sabtu, 05 Juli 2014

Apa yang akan terjadi seandainya wabah PMK muncul saat ini?

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

"Rapid diagnosis of foot-and-mouth disease is of paramount importance, especially in countries that are usually free of infection, so that quarantine and eradication programs can be implemented as quickly as possible.

Murphy,F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C. & Studdert, M.J., 1999


Apa dan bagaimana reaksi kita apabila wabah penyakit mulut-dan-kuku (PMK) tiba-tiba meletup di salah satu daerah di Indonesia sekarang ini? Siapkah pemerintah dan masyarakat peternakan kita menghadapinya? Setelah kita mengenyam status bebas PMK selama kurang lebih 28 tahun, apakah semua sumberdaya dan infrastruktur sudah memadai untuk menangkal kalau terjadi serangan wabah?

Tulisan ini ingin mengajak kita untuk membayangkan sesuatu peristiwa yang mungkin saja terjadi hari ini, bulan depan, tiga tahun atau sepuluh tahun yang akan datang. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan dimana wabah PMK bakal terjadi, karena kemunculan suatu wabah penyakit menular sangatlah sulit diprediksi.

Sesuatu yang pasti bisa kita ketahui adalah potensi kerugian ekonominya seandainya wabah PMK muncul. Meskipun belum ada publikasi yang sahih dan resmi mengenai berapa kerugian PMK di Indonesia. Angka yang dikutip dari berita harian Kompas tanggal 30 November 2004 menyatakan bahwa biaya dan kerugian ekonomi yang akan menimpa Indonesia apabila ditemukan kasus PMK bisa mencapai Rp 11,6 trilyun.

Kejadian berulang

Kejadian berulang wabah PMK adalah suatu dilema atau masalah global. [2, 5] Saat ini, PMK endemik di Afrika, di banyak negara di Asia, dan sebagian Amerika Selatan. [5] Lebih dari 100 negara di dunia masih dihantui penyakit ini, dan distribusinya secara kasar merefleksikan pembangunan ekonomi di negara-negara tertular. [6]

Menurut sejarah, kasus FMD pertama kali ditemukan pada sapi oleh seorang biarawan Italia bernama Hieronymus Fracastorius di Venice pada tahun 1514. Sapi-sapi tersebut tidak mau makan, mukosa mulut memperlihatkan tanda kemerahan, dan hewan memiliki lepuh-lepuh pada rongga mulut dan kaki. Kebanyakan dari sapi-sapi yang terinfeksi kemudian sembuh. Gambaran yang dibuat hampir 600 tahun lalu tersebut, masih tetap mirip dengan gejala PMK yang terlihat sampai dengan saat ini. [6]

Sampai sekarang, PMK masih merupakan penyakit yang paling penting dari hewan berkuku belah, seperti sapi, kerbau, babi, domba, kambing, dan sekitar 70 spesies satwa liar (termasuk kerbau Afrika). [6]

Hampir sebagian besar negara-negara maju berhasil memberantas penyakit ini, terutama di negara-negara yang memiliki industri sapi potong yang signifikan dengan potensi ekspor. Namun demikian serangan penyakit ini ke negara-negara yang biasanya bebas PMK tetap saja dapat terjadi dan menyebabkan kerugian ekonomi yang luar biasa besarnya. [7]

Kejadian berulang adalah realita PMK, disebabkan oleh adanya beragam strain (multiple strain) dan perbedaan alamiah dari setiap kejadian wabah. [7] Sampai akhir 1990-an, negara-negara di Asia Timur, seperti Taiwan, Jepang dan Korea Selatan sebenarnya sudah dianggap bebas PMK selama beberapa dekade, namun wabah tetap kembali terjadi. [10]

Taiwan mengalami kejadian wabah PMK pada tahun 1913-14 dan 1924-29, tetapi setelah itu negara tersebut berhasil terhindar dari wabah dan menganggap negaranya bebas PMK sampai dengan munculnya wabah pada tahun 1997 yaitu setelah 68 tahun. Wabah tahun 1997 tersebut disebabkan oleh satu strain virus PMK yang hanya menyerang babi. [8, 10]

Wabah PMK di Jepang dan Korea Selatan berulang kembali pada tahun 2000 dan 2010-11. Wabah sebelumnya terjadi di Jepang pada tahun 1908, dan di Korea Selatan pada tahun 1934. Munculnya kembali PMK di Jepang setelah 92 tahun dan Korea Selatan setelah 66 tahun masih tetap tidak jelas sampai sekarang. [9, 10]

Dalam catatan sejarah, Uruguay mengalami wabah PMK pertama kali pada tahun 1870-71, dimana pada saat yang sama negara tetangganya seperti Argentina dan Chili juga mengalami wabah yang sama. [12] Setelah wabah terakhir pada tahun 1986, Uruguay kemudian dinyatakan bebas PMK tanpa vaksinasi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada tahun 1996. Sampai akhirnya wabah muncul kembali pada tahun 2000 setelah 11 tahun tidak ada kasus. [11]

PMK pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1839 dan sejumlah epidemi dengan derajat keparahan yang beragam terjadi setelahnya. Wabah terakhir sebelum 2001 terjadi antara tahun 1967 dan 1968 yaitu setelah 34 tahun bebas, dan hasil penelusuran menunjukkan bahwa penyebabnya adalah daging domba yang diimpor dari Argentina. [7] Tabel 1 memuat kejadian berulang wabah PMK di beberapa negara sebagaimana diuraikan di atas.

Tabel 1: Kejadian berulang wabah PMK di beberapa negara


Kiatvetindo

Mengingat potensi kejadian wabah berulang PMK ke depan mungkin saja terjadi, maka mau tidak mau Indonesia harus tetap waspada dan mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menghadapi ancaman tersebut. Salah satu alat esensial yang perlu dipersiapkan oleh suatu negara dengan status bebas PMK seperti Indonesia yaitu apa yang disebut sebagai “Rencana darurat: (Contingency Plan) atau “Rencana Kesiapsiagaan Darurat Penyakit Hewan Menular” (Animal Disease Emergency Preparedness Plan).

Rencana darurat tersebut merupakan suatu acuan dan pedoman yang siap dioperasikan sewaktu-waktu dalam keadaan darurat apabila muncul wabah penyakit hewan menular yang bersifat eksotik terjadi atau apabila timbul wabah penyakit hewan menular yang tadinya bersifat endemik. [13]

Untuk maksud tersebut Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian telah menerbitkan panduan “Kewaspadaan Darurat Veteriner Indonesia Seri: Penyakit Mulut dan Kuku” (Kiatvetindo PMK) Edisi 2.2 tahun 2009. [14] Meskipun sudah banyak perbaikan dilakukan sejak pertama kali diterbitkan (Kiatvetindo PMK Edisi 1 dan Edisi 2.1), akan tetapi tentunya pedoman ini tidak terlepas dari beberapa kekurangan yang perlu terus diperbaiki untuk lebih memperkuat kemampuan Indonesia dalam menghadapi kemungkinan munculnya wabah PMK.

Untuk melatih para dokter hewan dalam mengimplementasikan kesiagaan darurat terhadap PMK, maka telah dilakukan beberapa kali simulasi di wilayah yang berbeda. Pertama kali dilakukan di Pakanbaru (2006), kemudian berturut-turut setiap tahun di Pontianak (2012), Makassar (2013), dan Mataram (2014). Untuk seterusnya simulasi akan dilakukan secara berkala dan terprogram.

Namun demikian, beberapa pertanyaan yang masih sulit dijawab dalam kaitannya dengan implementasi Kiatvetindo PMK seandainya nanti timbul wabah yang tidak bisa diduga sebelumnya adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana ‘definsi kasus’ (case definition) yang ditetapkan untuk penetapan wabah? Definisi kasus PMK sangat penting untuk meminimalkan perbedaan pandangan dan keilmuan antar para ahli dan para pengambil keputusan dalam menginterpretasikan hasil diagnosa, terutama dalam situasi dimana keputusan harus diambil secepat mungkin.
  2. Bagaimana kesiapan dan kecepatan pengiriman sampel? Sampel terduga PMK harus dikirimkan dari lapangan ke Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya sebagai laboratorium referensi nasional. Pengaruh jarak, transportasi dan logistik di negara yang sangat luas seperti Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan pengiriman sampel, terutama apabila kejadian dugaan wabah terjadi di daerah yang jauh dan terisolasi.
  3. Bagaimana kesiapan deteksi virus atau antigen? Saat ini kapasitas Pusvetma adalah pemeriksaan sampel dengan metoda Elisa Liquid Phase Blocking untuk mendeteksi antibodi struktural PMK. Peningkatan kapasitas harus segera diupayakan dengan metoda deteksi antigen, baik itu Enzyme-linked Immunosorbent Assays (ELISA) dan/atau Real-time Polymerase Chain Reaction (qPCR) yang dapat mendeteksi antigen virus PMK dalam cairan vesikular, swab atau jaringan epitel dari lesi.
  4. Bagaimana kesiapan dan kecepatan pengiriman sampel infeksius? Kapasitas perlakuan terhadap sampel infeksius termasuk pengepakannya ke luar negeri sangat mempengaruhi kesiapan dan kecepatan sampel yang harus dikirimkan ke World Reference Laboratory (WRL) untuk PMK di Pirrbright, Inggris, atau ke Regional Reference Laboratory (RRL) South East Asia (RRLSEA) di Pakchong, Thailand untuk konfirmasi dan sekaligus penentuan/karakterisasi strain virus PMK.
  5. Bagaimana kecepatan penetapan wabah? Dalam prakteknya, penetapan resmi berjangkitnya wabah PMK melalui Keputusan Menteri Pertanian sangat menentukan kecepatan tindakan atau aksi yang dilakukan di lapangan. Kecepatan sangat ditentukan oleh birokrasi pemerintahan yang akuntabel, responsif, dan efisien.
  6. Bagaimana kebijakan pemberantasan wabah yang rasional untuk menghentikan wabah secepat mungkin? Pada prinsipnya wabah dapat dikendalikan secara cepat dengan strategi utama yaitu pemusnahan menyeluruh (stamping out) atau dibarengi dengan vaksinasi darurat (emergency vaccination). Penerapan strategi secara tegas harus didukung dengan dasar hukum yang kuat dan kewenangan administrasi pemerintahan yang efektif.
  7. Bagaimana kecepatan pengadaan vaksin? Indonesia harus mendapatkan vaksin PMK dari luar negeri baik melalui bantuan organisasi internasional ataupun dibeli langsung oleh pemerintah dari perusahaan obat hewan internasional. Kecepatan pengadaan sangat bergantung kepada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu strain virus dari wabah tersebut sudah diketahui sebelumnya untuk mengatasi masalah diversitas antigenik dari serotipe dan topotipe virus PMK yang sangat luas.
Definisi kasus

Apabila wabah PMK muncul di suatu daerah di Indonesia, maka sesungguhnya yang terpenting adalah apa yang disebut sebagai ‘definisi kasus’ (case definition). ‘Definisi kasus’ inilah yang menjadi acuan dan pedoman bagaimana pemegang kebijakan dalam hal ini otoritas veteriner dapat memastikan bahwa situasi yang dihadapi adalah benar-benar kasus infeksi PMK. ‘Definisi kasus’ belum ditetapkan secara jelas dan tegas dalam Kiatvetindo PMK.

Tidak adanya penetapan ‘definisi kasus’ akan memperlambat konfirmasi diagnosa dan bahkan bisa mempersulit otoritas veteriner dalam mengambil keputusan. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menetapkan ‘definisi kasus’ untuk PMK adalah: “seekor hewan atau ternak yang terinfeksi dengan virus PMK, baik dengan atau tanpa gejala klinis”. [15, 16]

OIE menetapkan lebih lanjut bahwa kejadian infeksi virus PMK didefinisikan sebagai berikut (lihat OIE Terrestrial Code Bab 8.5.):
  1. Virus PMK diisolasi dan diidentifikasi dari seekor ternak atau suatu produk ternak; atau
  2. Antigen virus atau viral ribonucleic acid (RNA) spesifik terhadap satu atau lebih serotipe virus PMK diidentifikasi dari sampel satu atau lebih ekor ternak, dengan atau tanpa memperlihatkan gejala klinis konsisten dengan PMK, atau secara epidemiologis terkait dengan suatu wabah PMK baik yang sudah dikonfirmasi atau masih terduga, atau disebabkan oleh kecurigaan bahwa sebelumnya ada keterkaitan atau kontak dengan virus PMK; atau
  3. Antibodi terhadap protein struktural atau non-struktural (structural or non-structural protein) dari virus PMK yang bukan merupakan konsekuensi dari vaksinasi, diidentifikasi dari satu atau lebih ekor ternak yang memperlihatkan gejala klinis konsisten dengan PMK atau secara epidemiologis terkait dengan suatu wabah PMK yang sudah dikonfirmasi atau masih terduga, atau disebabkan oleh kecurigaan bahwa sebelumnya ada keterkaitan atau kontak dengan virus PMK. [15, 16]
Meskipun standar OIE mengenai ‘definisi kasus’ seperti dikutip diatas cukup sulit diterapkan di Indonesia dalam kondisi keterbatasan fasilitas diagnosa, akan tetapi tetap perlu dipertegas dan disepakati untuk menghindari keterlambatan dalam menganalisa situasi lapangan apabila wabah PMK terjadi. Bisa dengan menggunakan contoh dibuat oleh Uni Eropa melalui Council Directive 2003/85/EC mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kasus terduga’ (suspected case) dan ‘kasus terkonfirmasi’ (confirmed case). [17] Untuk kepentingan tulisan ini, maka diusulkan definisi yang telah dimodifikasi di bawah ini.

Kasus terduga (suspected case) adalah:
“Adanya tanda-tanda klinis atau lesi post-mortem pada hewan peka yang konsisten dengan PMK, dan telah dilakukan pengambilan sampel untuk dikirimkan ke laboratorium berwenang”.

Kasus terkonfirmasi (confirmed case) adalah:
“Apabila sampel telah diperiksa di laboratorium berwenang dan berhasil diidentifikasi antigen virus/RNA, atau antibodi terhadap non-structural protein (NSP) dari sejumlah ekor ternak.”

Kecepatan tindakan

Kecepatan tindakan sangat menentukan kemampuan untuk mengatasi kemunculan wabah PMK. Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan membentuk suatu unit yang disebut Unit Respon Cepat (URC) di tingkat pusat. URC diamanatkan juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Apabila URC dapat berfungsi dengan baik, kecepatan tindakan mengatasi wabah PMK sangat bergantung kepada aktivasi URC dan rantai komando (chain of command) yang berjalan efektif dari tingkat pusat sampai ke kabupaten/kota dimana lokasi wabah terjadi.

Dari sisi kesiagaan darurat dan kecepatan tindakan, apabila ada dugaan gejala klinis yang mengarah kepada PMK maka sesegera mungkin atau setidaknya diperlukan waktu singkat untuk mengirimkan seorang atau sejumlah dokter hewan dari URC di tingkat kabupaten/kota untuk melakukan penyidikan ke lokasi wabah. Hasil penyidikan tersebut harus dilaporkan ke pimpinan/Otoritas Veteriner paling lama dalam waktu 6 jam. Selama kurun waktu tersebut, seluruh sistem respon cepat harus dinyatakan dalam status siaga.

Apabila dokter hewan tersebut yang dikirimkan pertama kali tidak bisa menetapkan penyebab wabah secara definitif adalah PMK, maka diperlukan seorang atau sejumlah dokter hewan yang menguasai prosedur tetap penyidikan wabah penyakit eksotik untuk melakukan pengambilan sampel. Dokter hewan tersebut bisa berasal dari Balai Besar atau Balai Veteriner terdekat. Apabila waktu memungkinkan dapat dilakukan bersama-sama dengan dokter hewan dari Pusvetma.

Pada saat ini diperlukan suatu kapasitas yang sangat fundamental dari pemerintah berwenang untuk melakukan investigasi lapangan yang sistematis, khususnya pada saat kejadian awal wabah dan terutama dalam kaitan dengan penuaan lesi, serta informasi esensial tentang penelusuran balik dan ke depan (backward and forward tracing). [4]

Sampel langsung dikirimkan ke Pusvetma sebagai laboratorium rujukan nasional untuk diagnosis cepat. Sampel juga harus langsung dikirimkan untuk konfirmasi ke Pakchong RRL dan/atau Pirbright WRL dan sekaligus juga untuk final ‘typing’ virus dalam upaya menetapkan strain PMK secara tepat. Meskipun pilihan strategi vaksinasi belum dipastikan pada awal wabah, akan tetapi strain virus PMK secepatnya harus dapat diidentifikasi, bukan hanya untuk menentukan penyidikan epidemiologi, tetapi juga yang paling penting untuk menentukan dan menseleksi strain vaksin yang paling tepat untuk digunakan. [3]

Banyak negara telah memiliki rencana darurat (contingency plans) untuk mengatasi wabah PMK di lapangan, akan tetapi sangat sedikit sampel yang dapat disediakan untuk kepentingan pengujian laboratorium sebagaimana disebutkan diatas. [4] Kondisi yang sama sangat mungkin juga dialami Indonesia, mengingat banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan laboratorium kita.

Virus PMK terdiri dari tujuh serotipe yang secara immunologi berbeda satu sama lain yaitu: O, A, C, Asia 1, Southern African Territory (SAT)-1, SAT-2 dan SAT-3. Setiap serotipe memiliki suatu spektrum subtipe-subtipe yang berbeda secara antigenik disebabkan oleh tingkat mutasi yang tinggi. Perlu diingat bahwa tiga dari serotipe tersebut yaitu O, A, dan C merupakan serotipe yang paling besar kemungkinannya menjangkiti Indonesia, mengingat penyebarannya yang paling luas di dunia yaitu di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan.

Proteksi silang (cross protection) antara serotipe virus PMK bahkan juga antara subtipe dalam satu strain sangat kecil terjadi atau bahkan tidak ada. Serotipe suatu virus PMK yang terlibat dalam suatu wabah tidak bisa dipastikan berdasarkan gejala klinis. Jadi penentuan serotipe virus PMK penyebab wabah harus ditentukan melalui metoda laboratorium sesegera mungkin untuk memungkinkan dilaksanakannya program vaksinasi yang tepat dan benar untuk mengendalikan wabah. [18]

Apabila timbul wabah maka vaksin spesifik untuk strain tersebut harus dipesan ke pabrik vaksin PMK internasional di luar negeri dan tentunya perlu diperhitungkan berapa lama waktu dan proses pemesanannya, begitu juga bagaimana prosedur impor untuk mempercepat vaksin PMK tersebut dapat diterima di Indonesia.

Keberhasilan pengendalian wabah

Keberhasilan mengendalikan wabah PMK apabila muncul saat ini tentu sangat ditentukan oleh kapasitas epidemiologik dan diagnostik dari Direktorat Kesehatan Hewan dan seluruh jajaran kesehatan hewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, ditambah dengan dukungan legislasi dan anggaran yang harus dipersiapkan justru pada masa sebelum terjadi wabah (peace time).

Semua prosedur pengendalian wabah yang perlu dijalankan terutama yang sangat sulit dioperasionalkan karena memerlukan dukungan infrastruktur dan logistik yang besar, seperti perintah diam di tempat (standstill) bagi hewan-hewan yang ada di lokasi wabah, pemusnahan secara cepat seluruh hewan sakit dan yang kontak dengan hewan sakit (stamping out) dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare), dan juga kemampuan untuk melakukan proses disposal dari bangkai hewan-hewan yang dimusnahkan tersebut.

Aspek lain yang juga sangat esensial dalam pengendalian wabah adalah dana kompensasi (compensation fund) atau ganti rugi ternak. Sampai saat ini belum tersedia mekanisme kompensasi yang mapan dan cepat, oleh karena isu kompensasi belum dipahami sepenuhnya oleh pihak-pihak terkait dan belum disepakati antar pemegang kebijakan di sektor pertanian. Selain itu, kepentingan pengadaan dana kompensasi juga perlu mendapatkan dukungan politik yang berpihak kepada peternak.

Indonesia sendiri belum memiliki pengalaman yang cukup dalam menangani wabah penyakit hewan menular dan kemudian berhasil mengendalikannya dan mencegah untuk tidak mengarah ke situasi endemik. Untuk itu diperlukan kesungguhan mempersiapkan diri sebelum wabah terjadi dengan meningkatkan kapabilitas dan kapasitas nasional dalam mengantisipasi wabah PMK dan menilai secara berkala rencana kesiagaan darurat (Kiatvetindo) sesuai kebutuhan.

Referensi:
  1. C:\Users\samsung\Documents\FMD\FMD Indonesia\digital_blob_F28246_Kerugian Mencapai Rp 11-Kps.htm.   
  2. CNN (2001) ‘Foot-and-mouth virus: A global dilemma’, consulted March 2002: http://edition.cnn.com/2001/WORLD/europe/02/27/farming.world/index.html. 
  3. Institute for Animal Health Pirbright Laboratory (2007). Laboratory Contingency Plan Manual for FMD (Internet version). http://www.wrlfmd.org/fmd_diagnosis/fmd_contingency/contingency%20plan%20manual%20for%20internet%20%20-%20july%2007.pdf. 
  4. Garland, A.J.M. (?). Appendix 11. Contingency Planning for Foot-and-Mouth Disease: Laboratory Aspects. http://www.fao.org/ag/againfo/commissions/docs/genses35/App11.pdf. 
  5. Cuddeford, V. (?). Foot-and-mouth control in the 21st century: regrettable precaution or senseless slaughter? https://www.cog.ca/documents/FootandMouth.pdf. 
  6. 6. Jamal, S.M. and Belsham, G.J. (2013). Foot-and-mouth disease: past, present and future. Veterinary Research 2013, 44:116. 
  7. 7. Yeoman, I., Lennon, I.J., and Black, L. (2005). Practitioner paper. Foot-and-mouth disease: A scenario of reoccurrence for Scotland’s tourism industry. Journal of Vacation Marketing. Vol. 11 No. 2, 2005, pp. 179–190. 
  8. http://en.wikipedia.org/wiki/Foot-and-mouth_disease#Taiwan_1997. 
  9. Joo, Y.-S., An, S., Kim, O.-K., Lubroth, J., and Sur J.-H. (2002). Short Communication. Foot-and-mouth disease eradication efforts in the Republic of Korea. The Canadian Journal of Veterinary Research; 66:122-124. 
  10. Sakamoto K., and Yoshida K. (2002). Recent outbreaks of foot and mouth disease in countries of East Asia. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 21(3), 459-463.
  11. United States Department of Agriculture, Animal and Plant Health Inspection Services (2000). Foot and Mouth Disease in Uruguay. https://web01.aphis.usda.gov/db/mtaddr.nsf/2f5c87c0140172cb852564bf0046d1e2/ade925f95a854724852569ba005a867c/$FILE/URFMD023.pdf. 
  12. Casas-Olascoaga, R. (2003). The history of foot-and-mouth disease control in South America. In: Foot-and-mouth disease: control strategies. Eds.: Dodet, B., and Vicari, M. pp. 55-72. http://bvs1.panaftosa.org.br/local/file/textoc/CasasHistoryFMDLyon2002.pdf. 
  13. Hutabarat, T.S.P.N. (2004). Langkah Antisipatif Penyakit Eksotis dan Zoonotis Dalam Perdagangan Internasional. WARTAZOA, Vol. 14, No. 2, Th. 2004, p. 61-64. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/wartazoa/wazo142-3.pdf. 
  14. Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (2009). Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia. Seri: Penyakit Mulut dan Kuku (Kiatvetindo PMK). Edisi 2.2. ISBN: 978-602-96386-0-8. 
  15. OIE Terrestrial Animal Health Code (2013). http://www.oie.int/eng/A_FMD2012/docs/en_chapitre_1.8.5.pdf. 
  16. Animal Health Australia (2012). Disease strategy: Foot-and-mouth disease (Version 3.3). Australian Veterinary Emergency Plan (AUSVETPLAN), Edition 3, Standing Council on Primary Industries, Canberra, ACT. 
  17. http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=celex:32003L0085.  
  18. Bari F.D., Parida S., Tekleghiorghis T., Dekker A., Sangula A., Reeve R., Haydon D.T., Paton D.J., and Mahapatra M. (2014). Genetic and antigenic characterisation of serotype A FMD viruses from East Africa to select new vaccine strains. Vaccine. 2014 Oct 7; 32(44): 5794–5800.

0 Komentar: