Kamis, 05 September 2019

Tantangan Profesi Kedokteran Hewan Indonesia Menghadapi Perubahan

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik dan RUU Kesehatan Hewan Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI)

Latar Belakang

Pengalaman selama berlangsungnya epidemi avian influenza di Indonesia pada tahun 2004-2008 menunjukkan bahwa pendekatan kesehatan hewan lama yang menekankan kepada patologi klinik dan epidemiologi tidak lagi dapat dijadikan sebagai solusi yang terpisah dari pendekatan-pendekatan lain yang holistik dan terintegrasi. Epidemi avian influenza tersebut berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan yang luas.

Munculnya krisis avian influenza yang belum pernah terjadi sebelumnya mengajarkan kepada negara kita bahwa mutlak dibutuhkan suatu pendekatan multi-sektoral dan multilateral untuk memperkuat kapasitas negara dalam mencegah, mendeteksi dan merespon terhadap ancaman penyakit-penyakit menular yang menyerang manusia dan hewan.

Avian influenza adalah salah satu penyakit baru muncul (emerging infectious diseases) yang memerlukan tindakan kesiapsiagaan, deteksi dini dan respon yang efektif dan tepat waktu. Kapasitas untuk mendeteksi dan merespon setiap munculnya wabah penyakit menular merupakan satu tantangan utama dari sistim kesehatan dan kesehatan hewan terutama di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Kepentingan dan tanggung jawab untuk memperkuat kapasitas negara itulah yang memusatkan dan mengarahkan perhatian profesi kedokteran hewan kepada konsep "keamanan kesehatan” (health security). Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada pertemuan ke-4 “Global Health Security Agenda (GHSA)” yang diselenggarakan pada tahun 2014 di Washington D.C. menyatakan bahwa adanya ketergantungan yang kritis antara kesehatan hewan dengan kesehatan manusia dalam memperbaiki kesehatan manusia di seluruh dunia.

Patogen-patogen yang bersumber dari hewan adalah suatu ancaman penting dan semakin bertumbuh secara global bagi kesehatan manusia dan hewan, ketahanan pangan (food security), keamanan pangan (food safety), pengurangan kemiskinan dan biodiversitas. Evolusi dari  patogen-patogen yang baru dan muncul kembali (new and re-emerging) adalah konsekuensi dari banyak faktor dan juga berkombinasi dengan potensi ancaman yang disengaja (OIE 2019a).

Profesi kedokteran hewan menghadapi tantangan yang luar biasa dari munculnya wabah highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan rabies di Indonesia, begitu juga penyakit-penyakit zoonosis lainnya yang sudah lama terjadi seperti anthrax, leptospirosis, brucellosis, salmonellosis dlsbnya. Pentingnya patogen hewan yang potensial zoonotik diperlihatkan pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1: Pentingnya patogen hewan yang potensial zoonotik
Sumber: Office International des Epizooties (OIE)

Disamping itu profesi kedokteran hewan harus mewaspadai juga daftar panjang penyakit-penyakit zoonosis baru muncul (emerging zoonotic diseases) yang mengancam kesehatan masyarakat dunia seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Middle East respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV), virus Ebola, virus Marburg, virus Hendra (HeV), virus Nipah (NiV), avian influenza H7N9, West Nile Virus (WNV), Crimean-Congo haemorrhagic fever virus (CCHFV) dlsbnya.

Perlunya suatu sistim kesehatan hewan yang kuat di Indonesia adalah esensial dalam memitigasi ancaman-ancaman tersebut di atas dan sekaligus melindungi manusia dan industri peternakan dari wabah penyakit menular. Penguatan sistim kesehatan hewan meliputi seluruh kelembagaan, baik kelembagaan pemerintah di tingkat pusat dan daerah, perusahaan peternakan komersial, peternakan rakyat, perguruan tinggi dan individual yang terlibat dalam rantai produksi ternak, kegiatan peningkatan kesejahteraan hewan (animal welfare) dan kegiatan kesehatan masyarakat (public health).

Suatu sistim kesehatan hewan harus terdiri dari elemen-elemen fisik dan non-fisik yang membentuk satu kesatuan yaitu struktur kelembagaan, kebijakan, peraturan perundangan, prosedur dan standar, sumberdaya manusia, dan infrastruktur. OIE menyatakan bahwa peraturan perundangan kesehatan hewan di banyak negara sudah ketinggalan zaman dan tidak memadai untuk memenuhi tantangan dan ekspektasi sosial yang dihadapi saat ini maupun ke masa depan (OIE 2019b).

Peraturan perundangan atau legislasi menjadi salah satu elemen yang esensial dari sistim kesehatan hewan yang memungkinkan kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap implementasi sistim tersebut (Veterinary Services) untuk dapat melakukan fungsi-fungsi kunci, yang meliputi epidemi-surveilans; deteksi dini dan pelaporan penyakit (termasuk zoonosis); respon cepat, pencegahan dan pengendalian terhadap darurat kesehatan hewan; keamanan pangan asal hewan; kesejahteraan hewan; serta sertifikasi hewan dan produk hewan untuk ekspor.

Untuk mencegah timbulnya wabah dan masuknya penyakit-penyakit zoonosis baru muncul dari luar wilayah negara, maka profesi kedokteran hewan bertanggung jawab untuk menyiapkan dan merancang peraturan perundangan (legislasi) yang kuat dan komprehensif yang mengatur aspek kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, penelusuran (traceability), keamanan pangan (food safety) dan keamanan perdagangan hewan dan produk hewan.

Tanggung jawab dari profesi kedokteran hewan yang sangat diperlukan dalam menjamin kualitas sistim kesehatan hewan nasional, terutama menyangkut pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit, surveilans dan notifikasi penyakit, kebijakan impor/ekspor, pengendalian obat hewan, kesadaran masyarakat (public awareness), serta penyiapan peraturan perundangan kesehatan hewan.

Dalam menghadapi peningkatan perdagangan global, perubahan iklim dan munculnya penyakit-penyakit baru dan yang muncul kembali yang secara cepat dapat menyebar melampaui batas-batas internasional, kelembagaan kesehatan hewan (Veterinary Services) harus didukung oleh suatu peraturan perundangan kesehatan hewan yang efektif dan modern.

Itu sebabnya mengapa OIE mengidentifikasi perancangan dan implementasi peraturan perundangan kesehatan hewan sebagai salah satu dari 46 kompetensi kritis (critical competencies) dalam OIE PVS Tool for the Evaluation of Performance of Veterinary Services (OIE 2019b).

Pengaruh Dari Perubahan Terhadap Profesi Kedokteran Hewan

Di bawah ini diuraikan pengaruh dari perubahan terhadap profesi kedokteran hewan yang mendorong diperlukannya suatu Undang-undang Kesehatan Hewan baru yang dapat mengatur secara lebih transparan dan membantu profesi untuk lebih mampu mengamankan kesehatan hewan, kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat, termasuk memerangi resistensi antimikroba.

(1) Pengaruh perubahan sistim politik

Adanya perubahan sistim politik di Indonesia yang memberlakukan otonomi daerah atau desentralisasi sampai ke tingkat kabupaten/kota, yang saat ini diatur di bawah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada awalnya, otonomi daerah diberlakukan melalui Undang-Undang R.I. Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan Undang-Undang R.I. Nomor 32 Tahun 2004. Sampai akhirnya dibentuk Undang-Undang terbaru yang disebutkan diatas dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Pengaruh dari perubahan sistim politik tersebut menyebabkan tanggung jawab dari banyak layanan pemerintah diserahkan kepada masing-masing kabupaten/kota, termasuk anggaran dan perencanaan. Kabupaten/kota yang sekarang berjumlah 514 (416 kabupaten dan 98 kota) saat ini menerima sumberdaya lebih banyak secara langsung dari pemerintah pusat (melalui Kementerian Dalam Negeri), dan 34 provinsi dalam hal ini sebagian besar terlewati (OIE PVS 2007).

Sebagai dampaknya, prioritas dalam hal struktur organisasi dan manajemen layanan kesehatan hewan dalam hal menangani isu-isu koordinasi dan manajemen, baik horizontal dan vertikal, mengalami hambatan untuk terselenggaranya fungsi kelembagaan kesehatan hewan secara efektif.

Masalah koordinasi horizontal mengurangi efektivitas, efisiensi, dan konsistensi kebijakan dan program kesehatan hewan, dan koordinasi vertikal mempengaruhi keterkaitan dan hubungan antara kelembagaan pusat dengan kelembagaan dibawahnya, sehingga seringkali terjadi ketidak selarasan dan ketidak konsistenan dari pusat ke lapangan dan sebaliknya (OIE PVS 2007).

Salah satu dampak otonomi daerah yang menurunkan secara signifikan pengaruh pemerintah pusat terhadap pelaksanaan program-program di lapangan, seperti pelaksanaan program nasional pengendalian rabies, brucellosis dan hog cholera.

Tidak ada garis intruksi (chain of command) resmi dari Kementerian Pertanian sebagai kelembagaan pemerintah pusat ke provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini memberikan pengaruh yang merugikan terhadap perencanaan strategis dan membuat lebih sulit dalam pengorganisasian dan implementasi program-program surveilans dan pengendalian penyakit secara nasional oleh karena lemahnya garis manajemen terhadap kelembagaan kesehatan hewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Saat ini, prioritas, kebijakan dan operasional kesehatan hewan dikembangkan dan diimplementasikan di tingkat lokal dengan sedikit atau tanpa input dari Kementerian Pertanian.

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner yang sebelumnya diharapkan dapat mengakomodasi isu-isu yang disampaikan di atas ternyata masih belum berjalan secara efektif, oleh karena sudah lebih dari dua tahun keluarnya Peraturan tersebut, penetapan dokter hewan berwenang dan pejabat otoritas veteriner belum sepenuhnya diterapkan oleh kementerian, provinsi dan kabupaten/kota.

(2) Pengaruh dari perubahan ke arah pendekatan ‘One Health' 

Pendekatan ‘One Health’ semakin dipertimbangkan sebagai cara yang paling efektif untuk mengelola dan menangani ancaman penyakit-penyakit baru muncul (EID) (Degeling et al. 2015; Vandersmissen and Welburn 2014). ‘One Health’ didasarkan pada pengakuan bahwa kesehatan manusia, hewan dan lingkungan saling bergantung satu sama lain, dan spesies hewan berbagi reservoir yang sama untuk pertukaran dan penyebaran patogen, dan banyak penyakit-penyakit baru muncul dipicu oleh variasi dan dinamika interaksi manusia dan hewan (Degeling et al. 2015; Smith et al. 2010).

Implementasi pendekatan ‘One Health’ memerlukan koordinasi dan integrasi dari program-program dan kegiatan-kegiatan lintas sektor yaitu kesehatan manusia, kesehatan hewan dan lingkungan, yang dahulunya secara tradisional dikelola secara terpisah oleh kelembagaan pemerintah yang berbeda. ‘One Health’ juga memerlukan pendekatan pengambilan keputusan yang melewati keilmuan tradisional, tidak lagi berdasarkan perintah dari atas ke bawah (top-down) dan menggunakan pendekatan teknokratik semata, tetapi justru menggabungkan pendapat dan prioritas dari berbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya (Degeling et al. 2015).

Dalam kaitannya dengan kesehatan hewan, profesi kedokteran hewan menjadi pemain kunci dari konsep ‘One Health’. Deteksi dini dari penyakit dan infeksi pada sumbernya yaitu hewan dapat mencegah penularan ke manusia atau introduksi patogen ke dalam rantai pangan.

Dengan operasionalisasi ‘One Health’ diharapkan profesi kedokteran hewan dapat lebih mampu menangani tantangan-tantangan dengan “tata kelola yang baik pada irisan antara manusia dan hewan” (good governance at the human‐animal interface). Begitu juga kebutuhan untuk pindah dari pendekatan vertikal yang didorong secara eksternal, jangka pendek dan respon darurat, ke arah pendekatan horizontal yang lebih berkesinambungan dan penguatan sistim jangka panjang (WHO, OIE, dan World Bank 2014).

(3) Pengaruh dari resistensi antimikroba

Antimikroba adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengobati infeksi, terutama yang bersumber dari bakteri. Antimikroba esensial untuk melindungi kesehatan manusia dan hewan, begitu juga kesejahteraan hewan. Resistensi antimikroba terjadi jika mikroorganisme (seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit) berubah apabila terdedah antimikroba (seperti antibiotik, antijamur, antiviral, antimalaria, dan antelmintik). Mikroorganisme yang mengembangkan resistensi antimikroba disebut sebagai “superbug”.

Penggunaan antimikroba yang berlebihan atau tidak tepat dapat mengarah kepada munculnya bakteri resisten yang tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan antibiotik, seperti terlihat dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ini disebut sebagai ‘resistensi antimikroba’ (antimicrobial resistance), yang menimbulkan ancaman terhadap pengendalian penyakit di seluruh dunia, sebagai suatu kepedulian utama dari kesehatan manusia dan hewan.

Untuk itu profesi kedokteran hewan harus memastikan penggunaan yang bertanggung jawab dan bijak dari antimikroba yang tidak ternilai ini, sesuai dengan standar-standar antar negara yang disusun oleh OIE yang dapat mengamankan efikasi obat-obatan tersebut. Untuk mencapai ini, maka aksi terkoordinasi antara sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan dan lingkungan menjadi suatu hal yang sangat penting. Peresepan dan pemberian antibiotik untuk hewan harus di bawah supervisi dokter hewan yang terlatih secara baik (OIE 2019c).

Gambar 2: Rute potensial bakteri resisten antibiotik
                Sumber: Harbarth et al. 2015. Antimicrobial Resistance and Infection Control (2015) 4:49.

Orang-orang dalam komunitas atau di rumah-rumah sakit, hewan peliharaan, ternak dan peternakan ikan semuanya bergantung kepada kelas antibiotik yang sama dalam memerangi penyakit. Baik bakteria patogen dan non-patogen berevolusi atau berubah kemampuannya untuk bertahan hidup jika terdedah antibiotik-antibiotik tersebut. Antibiotik menyebar ke dalam lingkungan melalui rute-rute yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pariwisata, migrasi dan impor pangan dilaporkan sebagai cara tercepat dalam menyebarkan strain bakteri resisten lintas batas.

Tantangan Yang Dihadapi Profesi Kedokteran Hewan

(1) Ancaman penyakit ternak

Ancaman penyakit ternak yang datang dari luar negeri untuk Indonesia yang saat ini semakin meningkat adalah penyakit mulut dan kuku (PMK) dan African Swine Fever (ASF). PMK (foot and mouth disease) adalah penyakit hewan yang dikenal sebagai yang paling menular dan merupakan penyakit yang saat ini dan mendatang dapat menyebabkan ancaman global yang berkelanjutan. Dampak ekonomi PMK per tahun dalam bentuk kehilangan produksi yang nyata dan vaksinasi di wilayah-wilayah endemik di dunia diestimasi antara US$6,5–21 miliar (Rp. 92,7–300 triliun). Selain itu, wabah-wabah PMK yang muncul di negara-negara dan zona-zona bebas menyebabkan kerugian US$1.5 miliar (Rp. 21,4 triliun) per tahun (Knight-Jones and Rushton 2013).

PMK berdampak ekonomi, sosial dan lingkungan, karena menyebabkan kehilangan produktivitas yang parah, disrupsi berbagai kegiatan pertanian, industri dan sosial, ancaman utama terhadap suplai pangan, pengeluaran yang besar untuk pengendalian dan eradikasi, dan biaya yang tinggi untuk surveilans dan kesiapsiagaan darurat.

African swine fever (ASF) adalah suatu penyakit menular pada babi yang menyebabkan dampak ekonomi yang besar pada tingkat yang berbeda-beda. ASF merupakan ancaman terbesar saat ini dan mendatang bagi industri babi di seluruh dunia. Meskipun ASF tidak menular ke manusia, akan tetapi pengendalian sangat sulit dilakukan bergantung kepada situasi epidemiologi dan juga karena belum tersedia vaksin.

ASF merupakan penyakit yang wajib dilaporkan (notifiable disease) ke OIE, mengingat notifikasi menyebabkan peningkatan segera restriksi perdagangan. Begitu juga, apabila ASF dinotifikasi pada suatu peternakan babi, maka seluruh babi harus disembelih dan tindakan sanitari yang ketat harus dijalankan. Seluruh tindakan ini mengarah pada kerugian ekonomi secara langsung dan tidak langsung dan konsekuensi sosial bagi wilayah yang tertular (OIE 2019f).

(2) Ancaman penyakit aquatik

Aquakultur diakui sebagai sektor produksi hewan pangan yang tercepat pertumbuhannya di dunia, dengan hampir 50% suplai global hewan pangan aquatik untuk konsumsi manusia sekarang ini berasal dari aquakultur (OIE 2019d).

Dengan pertumbuhan permintaan dan produksi yang cepat di sektor aquakultur di sejumlah negara di dunia termasuk juga di Indonesia menyebabkan semakin besar kemungkinan risiko penyakit dan tantangan kesehatan. Penyakit-penyakit hewan akuatik (aquatic animal diseases) mengancam kesinambungan ekonomi dan lingkungan aquakultur.

Hewan-hewan aquatik berada dalam ancaman. Oleh karena pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam volume dan diversitas perdagangan dunia produk-produk hewan aquatik laut (marine) dan air tawar (freshwater), pencegahan penyakit dan pengendalian kesehatan untuk peternakan hewan-hewan aquatik memerlukan perhatian yang sama seperti halnya hewan-hewan darat (terrestrial animals), jika kita ingin mencukupi kebutuhan pangan umat manusia.

Beberapa penyakit hewan aquatik yang pernah menimbulkan wabah dengan dampak ekonomi yang signifikan di Indonesia adalah: white spot syndrome virus (WSSV) pada udang windu, Taura syndome virus (TSV) pada udang putih Pacific, viral nervous necrosis (VNN) pada ikan kerapu dan kakap putih, dan koi herpesvirus (KHV) pada ikan koi dan ikan mas biasa (Sunarto et al. 2004).


(3) Ancaman penyakit satwa liar

Penyakit-penyakit satwa liar (wildlife diseases) menjadi suatu kepedulian dunia yang semakin meningkat. Selain mengancam populasi satwa liar itu sendiri, penyakit-penyakit satwa liar dapat mempengaruhi kesehatan hewan domestik dan manusia. Hal ini menjadi suatu fakta yang tidak dapat dibantah, mengingat saat ini penyakit-penyakit baru muncul yang dibagi antara hewan dan manusia menjadi perhatian bersama dalam konteks baru dimana terjadi globalisasi pergerakan komoditas dan perubahan iklim.

Perdagangan legal dan ilegal satwa liar, suatu pasar yang diestimasi bernilai minimum 6 miliar dollar, pertumbuhannya semakin cepat dan juga berkontribusi terhadap diseminasi global patogen-patogen baru dan penyakit-penyakit baru muncul. Oleh karenanya, suatu pemahaman yang lebih baik terhadap penyakit-penyakit yang ada di satwa liar dan efeknya terhadap satwa liar, hewan domestik dan manusia menjadi kunci utama dalam mengembangkan tindakan-tindakan pengendalian.

Zoonosis yang berasal dari satwa liar menjadi suatu ancaman yang semakin meningkat. Sekitar 60% dari patogen manusia yang ada dan lebih dari 75% diantaranya yang muncul dalam dua dekade terakhir dapat dilacak kembali ke hewan. Banyak diantaranya terbukti mempunyai kaitan dengan satwa liar.

Selanjutnya, faktor-faktor baru seperti meningkatnya mobilitas populasi manusia, perubahan iklim, lalulintas hewan dan produk hewan melalui perdagangan internasional, deforestasi, urbanisasi, dan kebiasaan sosial baru seperti adopsi yang semakin umum dari hewan-hewan peliharaan eksotik. Kesemuanya mendukungn multiplikasi kontak antara satwa liar, hewan domestik dan manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Peran yang dimainkan satwa liar dalam situasi epidemiologik dunia telah didemonstrasikan secara luas. Satwa liar merupakan target dan sekaligus reservoir patogen-patogen yang mampu menginfeksi hewan domestik dan manusia. Infeksi tuberculosis, virus Nipah atau virus Ebola, secara regular menjangkiti hewan domestik dan manusia, dan setiap peristiwa ini menimbulkan suatu tanda bahaya yang nyaring tentang perlunya monitoring kesehatan satwa liar yang lebih baik dan juga terhadap sumber munculnya penyakit satwa liar.

Sebagai contoh, primata besar pada suatu kesempatan tertentu mengalami penurunan populasi di alam liar yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang bersumber dari manusia. Lebih baru lagi, krisis global avian influenza jelas menunjukkan masih banyak yang perlu dipahami menyangkut perilaku strain H5N1 pada burung-burung liar serta perannya dalam penyebaran penyakit (OIE 2019e).

(4) Praktik dokter hewan yang multi-spesies

Saat ini, dokter hewan melayani di seluruh dunia dalam bentuk praktik klinik swasta dan korporasi, program-program akademik, industri swasta, layanan pemerintah, kesehatan masyarakat, dan layanan militer. Dokter-dokter hewan seringkali dibantu dalam pekerjaannya oleh profesional kedokteran hewan lainnya, seperti paramedis perawat veteriner dan paramedis teknisi veteriner.

Tantangan besar kedokteran hewan adalah bagaimana memperlakukan diversitas spesies hewan secara memadai. Dokter hewan menangani kesehatan yang diperlukan oleh hewan domestik, termasuk kucing, anjing, ayam, kuda, sapi, domba, babi dan kambing; satwa liar; hewan kebun binatang; burung peliharaan; dan ikan hias. Ukuran hewan yang harus ditangani bervariasi dari bayi hamster sampai gajah dewasa.

Begitu juga nilai ekonominya, mulai dari rasa persahabatan dari hewan peliharaan yang tidak dapat dinilai sampai pada nilai ekonomi yang tinggi dari seekor kuda pacu yang menjadi pemenang perlombaan. Mengobati beragam hewan-hewan baik yang jinak dan liar memerlukan suatu pengetahuan dan ketrampilan khusus.

Kebanyakan dokter hewan praktisi klinik hanya mengobati hewan-hewan kesayangan dan biasanya di klinik hewan atau rumah sakit hewan. Sebagian kecil dari proporsi dokter hewan mengobati hanya hewan-hewan produksi pangan atau kuda, sebagian besar seringkali melakukan perjalanan ke lokasi hewan berada dengan kendaraaan yang diperlengkapi oleh layanan veteriner lapangan.

Banyak juga dari dokter hewan yang melakukan praktik klinik adalah praktik campuran, yang menangani baik hewan domestik kecil dan besar seperti sapi atau kuda. Sejumlah dokter hewan praktik hewan kecil menawarkan layanan untuk spesies khusus seperti ikan hias, burung sangkar, dan reptil.

Sejumlah dokter hewan praktik mungkin saja membatasi pekerjaannya pada suatu area medis spesifik seperti bedah (surgery), gigi (dentistry), kulit (dermatology), atau mata (ophthalmology). Rumah sakit hewan yang dimiliki korporasi meningkat dalam jumlah dan sering dikombinasikan dengan outlet ritel untuk hewan peliharaan.

Dokter hewan akademisi mengelola program-program sains dasar dan klinik perguruan tinggi kedokteran hewan. Selain itu, mereka melakukan penelitian dasar dan klinik, yang mungkin saja melibatkan penerapan teknologi instrumentasi baru untuk diagnosis dan pengobatan penyakit hewan. Termasuk ekokardiografi, laser lithotripsy, endoskopi, skintigrafi nuklir, ultrasonografi, computed tomography (CT) scan, dan magnetic resonance imaging (MRI).

(5) Penilaian Kinerja Kelembagaan Kesehatan Hewan Indonesia

Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) merancang suatu alat untuk mengevaluasi kinerja kelembagaan kesehatan hewan suatu negara anggota yang disebut: OIE Tool for the Evaluation of Performance of Veterinary Services (OIE PVS Tool) pada tahun 2005 lalu, berdasarkan kepada Section 3 dari OIE Terrestrial Animal Health Code (Terrestrial Code) mengenai kualitas kelembagaan kesehatan hewan (the quality of Veterinary Services). Kemudian OIE juga merancang suatu alat untuk mendukung negara anggota dalam melakukan detil perencanaan berdasarkan hasil evaluasi PVS Tool yang disebut: PVS Gap Analysis Tool (PVS Costing Tool).

OIE telah melaksanakan PVS untuk mengevaluasi kelembagaan kesehatan hewan pada tahun 2007, selanjutnya diikuti dengan pelaksanaan PVS Gap Analysis pada tahun 2010/2011. Indonesia meminta kepada OIE untuk melakukan kembali misi PVS Tool pada tahun 2019 ini dengan maksud untuk mengevaluasi perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai selama ini.

Menurut OIE, perhatian khusus harus diberikan terhadap empat area kompetensi kritis (critical competencies) untuk memperbaiki tata kelola kelembagaan kesehatan hewan di Indonesia (mengacu kepada dokumen OIE PVS Tool 2019 edisi 7) sebagai berikut:

1) I-4 Independensi teknis (Technical independence) yaitu kapabilitas kelembagaan kesehatan hewan (VS) dalam menjalankan tugasnya secara otonom dan tanpa pengaruh komersial, finansial, hirarkis dan politik yang tidak semestinya yang dapat mempengaruhi  keputusan teknis dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan OIE (dan Perjanjian SPS WTO jika diperlukan).

2) I-6 Kapabilitas koordinasi kelembagaan kesehatan hewan (Coordination capability of the Veterinary Services) A. Koordinasi internal (Internal coordination) yaitu kapabilitas Otoritas Veteriner dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang menjadi mandat, dengan suatu garis instruksi dari tingkat pusat (Pejabat Otoritas Veteriner Nasional/Chief Veterinary Officer) sampai ke tingkat lapangan dari kelembagaan kesehatan hewan (VS), yang relevan dengan OIE Codes (seperti: surveilans, pengendalian penyakit, keamanan pangan, kesiapsiagaan dan respon darurat).

3) III-5 Regulasi profesi oleh ‘veterinary statutory body’ (Regulation of the profession by the Veterinary Statutory Body) yaitu otoritas dan kapasitas VSB dalam mempertahankan standar pendidikan dan standar profesional dari dokter hewan dan para-profesional veteriner secara efektif dan independen.

4) Peraturan perundangan kesehatan hewan (Veterinay Legislation) A. Kualitas hukum dan cakupan (Legal quality and coverage) yaitu efektivitas peraturan perundangan kesehatan hewan (termasuk Undang-Undang dan regulasi) (Fermet-Quinet, 2012).

Dari hasil OIE PVS Tool Indonesia, ke-empat area kompetensi kritis mendapatkan penilaian dengan selang 1 – 5 (terendah nilai 1 – tertinggi nilai 5), masing-masing sebagai berikut: I-4 Independensi teknis = 2; I-6 Kapabilitas koordinasi kelembagaan kesehatan hewan = 2; III-5 Regulasi profesi oleh VSB = 2; dan IV-1 Peraturan perundangan kesehatan hewan = 2 (OIE PVS 2007).

Tantangan bagi profesi kedokteran hewan Indonesia adalah bagaimana merespon hasil evaluasi PVS yang telah dilakukan lebih dari 11 tahun yang lalu, salah satunya adalah dengan merancang Undang-Undang Kesehatan Hewan baru yang lebih mampu menjawab pengaruh perubahan dan memperkuat kemampuan penanganan masalah-masalah penyakit yang muncul di irisan hewan, manusia dan lingkungan.

(6) Target global pengendalian dan pemberantasan penyakit

Indonesia sebagai bagian dari dunia harus selalu aktif dan turut serta dalam kolaborasi badan-badan internasional yang penting (WHO, OIE dan FAO) bersama dengan negara-negara lain untuk berkomitmen menjalankan strategi pengendalian dan pemberantasan penyakit menular di tingkat global. Ada dua penyakit zoonotik yang saat ini diprioritaskan dalam pemberantasannya secara progresif dengan target membebaskan dunia dari penyakit rabies dan tuberkulosis.

(a) Rencana Strategis Global untuk Eliminasi Rabies pada Manusia yang ditularkan oleh Anjing dengan target 2030 (Global Strategic Plan to end human deaths from dog-mediated by 2030)

Investasi pada eliminasi rabies dapat menyelamatkan jiwa manusia dan memperkuat baik sistim kesehatan manusia dan kesehatan hewan. Suatu kolaborasi respon melalui program rabies berkontribusi terhadap pencegahan penyakit dan kesiapsiagaan, sehingga berarti eliminasi rabies terintegrasi adalah suatu model ‘One Health’.

Di masa lalu, respon global terhadap rabies terfragmentasi dan tidak terkoordinasi. Untuk itu, dunia tidak lagi harus ‘status quo’ dan perlu bekerjasama dengan keinginan untuk mencapai sasaran dan perencanaan yang ditentukan bersama. Suatu yang menjadi kenyataan pada tahun 2015 lalu, yang menghasilkan panggilan global untuk aksi bersama yang menunjukkan saatnya untuk bertindak.

Pada tahun 2015, dunia melakukan panggilan untuk menetapkan suatu sasaran nol kematian manusia akibat rabies yang ditularkan oleh anjing pada tahun 2030 di seluruh dunia. Untuk pertama kalinya, ke-empat organisasi internasional yaitu Badan Kesehatan Dunia (WHO), Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Aliansi Global untuk Pengendalian Rabies (GARC) bergabung untuk menyatukan kekuatan dalam kolaborasi “United Against Rabies” (UAR) dalam upaya mencapai sasaran bersama ini.

(b) Peta Jalan Tuberkulosis Zoonotik (Roadmap for Zoonosis Tuberculosis)


Tuberkulosis (TB) zoonotik bukan merupakan suatu penyakit baru, tetapi sudah lama diabaikan (neglected disease). TB zoonotic adalah bentuk tuberkulosis pada orang yang utamanya disebabkan oleh spesies bakteri, Mycobacterium bovis, yang masuk ke dalam klasifikasi M. tuberculosis kompleks. Implikasi dari TB zoonotik ini melampaui kesehatan manusia. Organismenya beradaptasi terhadap hospes sapi, yang disebut sebagai Bovine TB, dan juga menyebabkan TB pada spesies hewan lainnya termasuk satwa liar.

Bovine TB menyebabkan dampak ekonomi dan mengancam mata pencaharian masyarakat. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi dunia untuk berani melakukan upaya bersama untuk mulai menangani dampak infeksi Mycobacterium bovis terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia dan hewan.

United Nations Sustainable Development Goals (UN SDGs) telah menentukan tahap dimana diterapkan pendekatan inklusif dan multi-disiplin untuk memperbaiki kesehatan di seluruh dunia pada tahun 2030. SDG 3 mencakup suatu target untuk mengakhiri epidemik TB secara global. Pada tahun 2014, WHO menetapkan “End TB Strategy yaitu suatu kerangka ambisius untuk mengakhiri epidemi TB pada tahun 2030. Panggilan dilakukan untuk melakukan diagnosis dan pengobatan terhadap setiap orang penderita TB.

Pada tahun 2017, ke-empat organisasi internasional yaitu WHO, OIE, FAO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union) bergabung menyusun “Roadmap for Zoonotic Tuberculosis” untuk melakukan aksi bersama yang telah dimulai saat ini guna mengakhiri epidemik TB secara global pada tahun 2030.

Penutup 

Sejalan dengan pengaruh dari perubahan-perubahan seperti yang disebutkan di atas, maka dirasa sangat penting bagi Indonesia saat ini untuk mengantisipasi seluruh perkembangan dan tantangan yang diuraikan di atas, terutama untuk meningkatkan kredibilitas dan integritas negara dalam turut serta mengamankan kesehatan global (global health security).

Pengaruh perubahan sistim politik, ‘One Health’ dan resistensi antimikroba, ditambah lagi dengan kepentingan untuk melakukan peningkatan kompetensi dan teknologi instrumentasi kedokteran yang terkait dengan praktik dokter hewan berbasis spesialisasi, serta perlunya peningkatan kualitas kelembagaan kesehatan hewan untuk lebih mampu memenuhi standar-standar internasional OIE, serta tata kelola yang lebih baik (good governance) dari penyakit-penyakit yang telah dijadikan komitmen global mempengaruhi kapasitas dan kapabilitas kelembagaan kesehatan hewan Indonesia untuk turut serta mengawal kesehatan global.

Di sisi lain, perubahan dan tantangan tersebut telah mendorong profesi kedokteran hewan Indonesia mengambil langkah terobosan ke depan untuk merancang Undang-Undang Kesehatan Hewan baru yang lebih holistik, moderen dan memberikan dasar, kekuasaan dan kewenangan hukum (legal basis, powers and authorities) yang lebih jelas dan transparan kepada kelembagaan kesehatan hewan di Indonesia dalam melaksanakan fungsi-fungsi kunci yang penting.

Referensi: 


Degeling C., Johnson J., Kerridge I., Wilson A., Ward M., Stewart C., and Gilbert G. 2015. Implementing a One Health approach to emerging infectious disease: Reflections on the socio political, ethical and legal dimensions. BMC Public Health, 15, 1307. 

Fermet-Quinet E. 2012. The OIE PVS tools and expert evaluations: key elements for improving the governance of Veterinary Services. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 2012, 31 (2), 553-559. 

Harbarth S., Balkhy H. H., Goossens H., Jarlier V., Kluytmans J., Laxminarayan R., Saam M., Van Belkum A., Pittet D. and for the World Healthcare-Associated Infections Resistance Forum participants 2015. Antimicrobial resistance: one world, one fight! Antimicrobial Resistance and Infection Control 4:49. 

Knight-Jones T. J. D. and Rushton J. 2013. The economic impacts of foot and mouth disease – What are they, how big are they and where do they occur? Prev. Vet. Med. 2013 Nov 1; 112(3-4): 161–173. 

OIE [Office International des Epizooties] 2019a. https://www.oie.int/en/for-the-media/press-releases/ detail/article/the-importance-of-animal-health-for-global-health-security/. [diakses tanggal 14 Agustus 2019]. 

OIE [Office International des Epizooties] 2019b. https://www.oie.int/solidarity/veterinary-legislation/. [diakses tangal 14 Agustus 2019]. OIE [Office International des Epizooties] 2019c. https://www.oie.int/en/for-the-media/amr/. [diakses tanggal 14 Agustus 2019]. 

OIE [Office International des Epizooties] 2019d. OIE Global Conference on Aquatic Animal Health, Santiago, Chile, 2-4 April 2019. https://www.oie.int/aquatic-conference2019/wp-content/uploads /2019/03/AAH _2019_ FLYER_EN_FINAL-Donors.pdf [diakses tanggal 14 Agustus 2019]. 

OIE [Office International des Epizooties] 2019e. Improving wildlife surveillance for its protection while protecting us from the diseases it transmits. https://www.oie.int/index.php?id=200&L=0&tx_ttnews [tt_news]=472&cHash=688077d6a1. [diakses tanggal 14 Agustus 2019]. 

OIE [Office International des Epizooties] 2019f. African Swine Fever. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/african-swine-fever/. (diakses tanggal 15 Agustus 2019). 

OIE PVS 2007. An Evaluation of the Veterinary Services of Indonesia. 30 April to 18 May 2007. A Report of the Findings of the OIE Evaluation Team. 

Smith J. W., de Hann C., Larson G., Robles S., and Sperling U. 2010. People, pathogens and our planet. Vol 1: Towards a One Health approach for controlling zoonotic diseases. World Bank Report 50833‐GLB. http://siteresources.worldbank.org/INTARD/Resources/PPP_Web.pdf (diakses tanggal 15 Agustus 2019).

Sunarto A., Widodo, Taukhid, Koesharyani I., Suproyadi H., Gardenia L., Sugianti B. dan Rukmono D. 2004. Current status of transboundary fish diseases in Indonesia: Occurrence, surveillance, research and training. In: C. R. Lavilla-Pitogo and K. Nagasawa (Eds.), Transboundary Fish Diseases in Southeast Asia: Occurrence, Surveillance, Research and Training. Proceedings of the Meeting on Current Status of Transboundary Fish Diseases in Southeast Asia: Occurrence, Surveillance, Research and Training, Manila, Philippines, 23-24 June 2004 (pp. 91-121). Tigbauan, Iloilo, Philippines: SEAFDEC Aquaculture Department. 

World Health Organization, World Organization for Animal Health, and World Bank 2014. WHO‐OIE Operational Framework for good governance Accessed at the human‐animal interface. http://www.who. int/ihr/publications/WHO‐OIE_Operational_Framework.pdf (diakses tanggal 15 Agustus 2019). 

Vandersmissen, A. and Welburn, S. C. 2014. Current initiatives in One Health: Consolidating the One Health Global Network. Rev. Sci. Tech. off. Int. Epiz., 33(2), 421–432.

0 Komentar: