Regional.Kompas.com |
84,7% dari populasi manusia hidup dengan risiko tertular rabies. Rabies pada anjing telah berhasil dieliminasi di Eropa Timur, Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang. Di Amerika Latin, 28 dari 35 negara telah melaporkan tidak ada kematian manusia akibat anjing tertular rabies.
Langkah yang baik telah dicapai dalam menurunkan tingkat kematian akibat rabies di sejumlah negara, seperti Bangladesh, Filipina, Srilangka, Tanzania, Vietnam, dan Afrika Selatan. Pengalaman ini telah menghasilkan pengetahuan kolektif yang penting untuk mengetahui apa yang bisa berjalan dan apa yang tidak. Sekaligus juga telah memperkuat kualitas data terkait rabies maupun alat yang dimiliki dunia untuk mengembangkan program-program pengendalian terkait rabies, penguatan kapasitas, edukasi, dan surveilans. Distribusi global tingkat kematian manusia akibat rabies dapat dilihat dalam Gambar 1 (WHO 2018).
Gambar 1: Distribusi global tingkat kematian manusia akibat rabies |
Masalah anjing liar
OIE mengatakan bahwa "masalah anjing
yang berkeliaran bebas atau anjing liar adalah masalah global". Gigitan dan serangan dari anjing-anjing yang berkeliaran bebas atau anjing liar merupakan risiko kesehatan yang signifikan dengan korban lebih banyak pada anak-anak (Hampson K. et al. 2015). Sekitar 40% dari korban gigitan adalah anak-anak berumur lebih muda dari 15 tahun yang hidup di Asia dan Afrika (WHO 2018).
Di Romania, pemerintah merespon perhatian media yang semakin meningkat tentang serangan anjing liar dengan melakukan
program euthanasia terhadap 80.000 ekor hewan antara 2001 dan 2003. Tetapi populasi anjing liar di ibukota Romania, Bucharest, naik kembali pada tahun 2005. Saat ini, populasi anjing liar menjadi antara 20.0000 dan 40.000 ekor.
Sejumlah program eliminasi anjing, seperti di Ekuador dan di China, dimana sebanyak 20 juta ekor anjing dibunuh dalam
jangka waktu 10 tahun di era 1970-an dan 80-an. Meskipun program-program tersebut dimaksudkan untuk mengeliminasi rabies, contohnya seperti di China, akan tetapi "rabies kembali muncul pada era 1990an".
Ada masalah etik juga dalam membunuh anjing-anjing tersebut. Euthanasia dapat dilakukan secara manusiawi, akan tetapi seringkali tidak dilakukan. OIE mengatakan eliminasi tidak berhasil untuk mengendalikan populasi anjing liar, mengingat anjing-anjing tersebut
berkembang biak secara cepat. Untuk itulah mengapa OIE mendukung solusi jangka panjang dengan vaksinasi dan sterilisasi. Tetapi mengimplementasikan program-program seperti itu masih merupakan tantangan besar bagi negara-negara berkembang.
Program yang manusiawi dalam mengendalikan anjing liar – dan dengan program peningkatan kesadaran masyarakat, akan
memperbaiki kualitas hidup manusia – telah diimplementasikan di sejumlah bagian dunia seperti di India, Thailand dan Vietnam.
Mengingat program-program seperti ini menunjukkan keberhasilan di beberapa negara berkembang, tentunya hal ini juga
dapat diimplementasikan di negara-negara berkembang lainnya, termasuk di Indonesia (Hampson K. et al. 2015).
Pemusnahan masal anjing tidak efektif sebagai alat untuk manajemen populasi anjing
Pemusnahan masal anjing tidak efektif sebagai alat untuk manajemen populasi anjing
Pemusnahan masal anjing masih digunakan sebagai respon darurat yang tidak tepat dalam menghadapi wabah rabies, berdasarkan kepercayaan yang keliru bahwa dengan mengurangi besarnya populasi anjing akan mengurangi penularan rabies (Dalla V.P. et al. 2010).
Pada kenyataannya, pemusnahan masal anjing telah terbukti tidak mempunyai dampak jangka panjang terhadap pengendalian
rabies di perkotaan (Tenzin T. et al. 2015; Khrisna C.S. 2010; Hiby E. 2013) atau di seluruh wilayah di negara-negara seperti Ekuador, Indonesia dan Bangladesh (Beran G.W. and Frith M. 1988; Windiyaningsih et al. 2004; Hossain M. et al. 2011; Putra A.A. et al. 2013).
Pemusnahan dianggap tidak efektif karena sejumlah alasan sebagai berikut:
Apakah eliminasi rabies dapat dicapai?
Pertanyaan kritis saat ini adalah apakah eliminasi rabies pada anjing dapat dicapai. Kunci jawaban terhadap pertanyaan ini mencakup 3 (tiga) hal yaitu:
• R0 > 1, artinya jumlah infeksi baru akan meningkat menurut waktu;
• R0 = 1, artinya jumlah infeksi baru akan tetap stabil menurut waktu;
• R0 < 1, artinya jumlah infeksi baru akan menurun menurut waktu.
R0 merupakan parameter epidemiologi paling penting dan digunakan sebagai suatu ukuran untuk mengevaluasi keberhasilan suatu pengendalian penyakit (Hampson K. et al. 2009).
R0 menentukan apakah virus rabies dapat bertahan dalam suatu populasi anjing atau tidak. Jika R0 < 1, rata-rata satu ekor individu anjing hanya dapat menularkan infeksi kurang dari satu individu lainnya, dan virus rabies lambat laun akan habis sama sekali dalam populasi anjing.
Sebaliknya jika R0 > 1, terjadi kenaikan eksponensial dalam jumlah anjing yang terinfeksi dari waktu ke waktu, sehingga menimbulkan wabah (epidemi).
R0 telah diestimasi dari wabah-wabah rabies di seluruh dunia, dan secara konsisten ditemukan bahwa R0 untuk rabies pada anjing berkisar antara 1 – 2. R0 diharapkan akan meningkat seiring dengan kepadatan populasi anjing.
Secara keseluruhan terdapat konsistensi dari rendahnya nilai R0 yang diestimasi (∼1,1 < R0 < 2), oleh karenanya hal ini meyakinkan dan menimbulkan optimisme para ahli bahwa pengendalian rabies pada anjing dengan metoda vaksinasi massal sangat layak untuk dilakukan.
R0 dan cakupan vaksinasi
Nilai R0 untuk rabies yang rendah (R0 = 1 - 2; lihat Tabel 1) mengindikasikan bahwa cakupan vaksinasi yang diperlukan secara kritis untuk mengendalikan rabies berkisar antara 20 dan 45% (yaitu 20-45% dari populasi anjing harus kebal pada satu waktu tertentu untuk mencegah wabah rabies bertahan). Idealnya, seluruh anak anjing yang lahir di suatu populasi harus divaksinasi apabila mencapai umur 3 bulan (untuk mencegah kemungkinan interfensi dari antibodi pasif yang berasal dari induk anjing yang divaksin) (Knobel D. et al. 2005; Hampson et al. 2009).
Hal di atas mungkin dilakukan di wilayah-wilayah dimana pemilik anjing sadar akan pentingnya vaksinasi dan memiliki akses yang terjangkau terhadap pelayanan kesehatan hewan. Situasi seperti inilah yang membuat eliminasi rabies di banyak negara maju berhasil dilakukan, termasuk di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat (meskipun virus rabies masih bertahan dalam satwa liar, termasuk kelelawar).
Sebaliknya, di negara-negara berkembang banyak pemilik anjing tidak memiliki akses yang terjangkau terhadap pelayanan kesehatan hewan, dan mungkin juga tidak sadar akan pentingnya vaksinasi. Program-program vaksinasi biasanya merupakan tanggung jawab pemerintah, dan dilaksanakan sebagai suatu kampanye vaksinasi masal yang sifatnya jangka pendek, seringkali juga sebagai respon terhadap suatu wabah rabies.
Meskipun secara teori, cakupan vaksinasi yang rendah (20-45%) diperlukan untuk mengendalikan rabies, pengendalian yang berkelanjutan dalam situasi seperti di negara-negara berkembang terkendala karena penurunan proporsi populasi yang divaksin terjadi setelah pelaksanaan suatu kampanye vaksinasi masal, mengingat adanya:
(1) anjing-anjing peka yang baru lahir dalam populasi; dan
(2) anjing yang telah divaksinasi mati.
Di banyak wilayah-wilayah endemik rabies, tingkat kelahiran anjing tinggi, oleh karenanya tingkat cakupan vaksinasi menurun secara cepat.
Jika cakupan vaksinasi hanya mencapai target ambang batas 20-45% sebelum kampanye berikutnya, maka penularan rabies dapat berkelanjutan dan wabah terus ada. Oleh karena itu, cakupan vaksinasi yang harus dicapai dalam satu kampanye vaksinasi akan bergantung pada:
(1) demografi (tingkat kelahiran dan tingkat kematian) dari populasi anjing; dan
(2) interval antara satu kampanye dengan kampanye vaksinasi berikutnya.
Bukti empiris dan studi teoritikal memperlihatkan bahwa kampanye vaksinasi rabies tahunan yang mencapai 70% dari populasi anjing adalah efektif, dan bahkan dapat mengeliminasi rabies dalam jangka panjang. Artinya cakupan vaksinasi 70% pada kampanye tahunan tetap merupakan suatu target universal untuk program-program yang bertujuan untuk mengeliminasi rabies pada anjing. Untuk meningkatkan efektivitas, anak-anak anjing yang berumur < 3 bulan termasuk yang divaksinasi dalam kampanye tersebut (Knobel D. et al. 2005).
Cakupan vaksinasi 70%
Dari sejumlah pengalaman di Asia belakangan ini, tidak ada contoh penting mengenai pemberantasan rabies yang dilakukan tanpa vaksinasi anjing yang intensif. Begitu juga, tidak ada contoh penting yang kredibel yang mendemonstrasikan bahwa pembunuhan anjing, atau bahkan penghilangan populasi anjing yang bebas berkeliaran, berkontribusi bagi sesuatu yang substansif untuk pemberantasan rabies. Justru hal ini hanya membuka celah habitat untuk generasi baru anjing-anjing yang tidak divaksinasi, yang bisa menjadi vektor rabies apabila terinfeksi. Sebaliknya, anjing-anjing yang divaksinasi tidak menjadi vektor rabies, terlepas dimana atau bagaimana mereka hidup (Clifton M. 2011).
Rabies pada anjing dapat secara efektif dikendalikan melalui vaksinasi dengan menggunakan vaksin yang tersedia secara komersial, memiliki potensi tinggi (nilai antigenik < 1 IU/ml), inaktif yang ditumbuhkan pada sel kultur. Vaksin-vaksin seperti ini harus memberikan perlindungan bagi anjing-anjing sehat dengan klaim durasi kekebalan selama dua atau tiga tahun (Morters, M.K. et al. 2014).
Hasil suatu studi kohor yang dilakukan selama 3 tahun (Maret 2008 s/d April 2011) di Afrika Selatan (dua lokasi di Provinsi Gauteng) dan di Indonesia (dua lokasi di Bali) membuktikan bahwa frekuensi kampanye vaksinasi diperlukan untuk mempertahankan cakupan diatas batas ambang kritis 20-45% (Hampson K. et al. 2009). Hal ini bergantung kepada introduksi individu anjing yang peka ke dalam populasi, baik yang diperoleh dari kelahiran dalam populasi atau datang dari luar populasi serta hilangnya individu anjing yang telah divaksinasi akibat kematian dan umur (Morters M.K. et al. 2014).
Dalam studi ini diamati adanya faktor-faktor yang menurun dari saat studi kohor dimulai mengikuti waktu dan umur anjing. Jika 100% anjing-anjing ini divaksinasi rabies, dan mengingat tingkat kelahiran, tingkat kematian dan pergerakan anjing sebagai akibat dari tindakan manusia yang tercatat dalam populasi studi, maka cakupan vaksinasi yang cukup untuk memotong penularan rabies harus dipertahankan selama 3 tahun periode studi apabila menggunakan vaksin rabies dengan durasi kekebalan 3 tahun.
Lebih realistik lagi, cakupan vaksinasi cenderung berkisar antara 60-80%, dengan 80% tercapai di wilayah-wilayah studi selama 2010, termasuk di 2 lokasi di Bali dimana anjing sangat sulit untuk ditangani. Dalam situasi ini, cakupan vaksinasi mengikuti suatu kampanye tunggal akan menurun ke batas ambang (20-45%) setelah 2 tahun.
Cakupan vaksinasi yang optimal (70-80%) juga dicapai di Afrika (Kaare M. et al. 2009; Bilinski A.M. et al. 2016) dan di Asia (Bogel K. and Joshi D.D. 1990), dan hasil tersebut menekankan bahwa keuntungan dari kampanye vaksinasi dapat bertahan lama.
Suatu studi lain yang membandingkan beberapa intervensi pengendalian rabies dilakukan di N’Djamena, Chad, di Afrika. Studi ini mensimulasikan efek dari vaksinasi masal anjing terhadap insidensi rabies pada manusia. Suatu kampanye vaksinasi masal tunggal yang mencapai cakupan paling tidak 70% dinyatakan cukup untuk menginterupsi penularan rabies pada manusia paling tidak untuk 6 tahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa vaksinasi masal 70% dari populasi anjing adalah yang paling menguntungkan dan efektif dari segi biaya (Zinsstag J. et al. 2009).
Dari studi-studi di atas, dapat dikatakan bahwa masalah rabies pada anjing seringkali dianggap sulit untuk diberantas di wilayah-wilayah pedesaan di Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia, karena lemahnya infrastruktur, kapasitas dan kapabilitas terbatas, kurangnya kesadaran dan pengetahuan serta partisipasi masyarakat dalam pengendalian rabies. Namun satu hal yang telah dibuktikan dari studi-studi tersebut adalah bahwa pengendalian rabies pada anjing sepenuhnya layak untuk dilakukan dan bahkan pemberantasan rabies pada anjing sangat mungkin dicapai karena R0 rabies yang sangat rendah dan komitmen dalam mempertahankan cakupan vaksinasi yang tinggi.
Referensi
Beran G.W. et al., 1988. Domestic animal rabies control: an overview. Rev Infect Dis, 1988. 10 Suppl 4: p. S672-7.
- Pemusnahan tidak dapat mengatasi sumber hewan baru atau hewan pengganti, dan hanya mempunyai dampak temporer terhadap besarnya populasi.
- Adanya tingkat penggantian anjing yang cepat di sejumlah wilayah setelah dilaksanakan pemusnahan, yang mengarah kepada populasi yang umumnya terdiri dari anjing-anjing peka yang lebih muda (Moreria E.D. et al 2004; Nunes C.M. et al. 2008).
- Pemusnahan anjing yang membabibuta di suatu komunitas dimana program vaksinasi rabies sedang berjalan akan cenderung menghilangkan anjing-anjing yang telah divaksinasi dari komunitas tersebut, sehingga menghasilkan cakupan vaksinasi yang lebih rendah dan kenaikan yang kontraproduktif bagi penularan rabies begitu populasi anjing pulih kembali (World Animal Protection 2015).
- Pemusnahan seringkali membuat masyarakat menjadi resisten baik bagi yang berada di dalam wilayah dimana rabies berjangkit dan juga bagi pihak luar, terutama apabila metoda yang diterapkan seringkali dilakukan dengan tidak manusiawi (Reece J.F. 2005).
- Orang-orang bahkan membawa lari anjing-anjing tersebut dari zona pemusnahan, suatu tindakan yang justru malahan akan menyebarkan rabies (Townsend S.E. et al. 2013).
- Sejumlah metoda yang digunakan untuk memusnahkan anjing, contohnya dengan memberikan racun, mungkin saja dapat menimbulkan ancaman bagi kesehatan masyarakat.
- Biaya operasi pemusnahan juga mahal (Beran G.W. and Frith M.,1988; Hossain M. et al. 2011; Wera E. et al. 2013) dan juga merugikan bagi pariwisata (Cochrane J. 2015).
Apakah eliminasi rabies dapat dicapai?
Pertanyaan kritis saat ini adalah apakah eliminasi rabies pada anjing dapat dicapai. Kunci jawaban terhadap pertanyaan ini mencakup 3 (tiga) hal yaitu:
- adanya pemahaman kuantitatif tentang dinamika penularan rabies pada populasi anjing domestik, terutama menyangkut indikator yang disebut “basic reproductive number” (R0);
- adanya pemahaman kuantitatif tentang demografi anjing; dan
- informasi mengenai kepraktisan dan efektivitas berbagai strategi vaksinasi.
• R0 > 1, artinya jumlah infeksi baru akan meningkat menurut waktu;
• R0 = 1, artinya jumlah infeksi baru akan tetap stabil menurut waktu;
• R0 < 1, artinya jumlah infeksi baru akan menurun menurut waktu.
R0 merupakan parameter epidemiologi paling penting dan digunakan sebagai suatu ukuran untuk mengevaluasi keberhasilan suatu pengendalian penyakit (Hampson K. et al. 2009).
R0 menentukan apakah virus rabies dapat bertahan dalam suatu populasi anjing atau tidak. Jika R0 < 1, rata-rata satu ekor individu anjing hanya dapat menularkan infeksi kurang dari satu individu lainnya, dan virus rabies lambat laun akan habis sama sekali dalam populasi anjing.
Sebaliknya jika R0 > 1, terjadi kenaikan eksponensial dalam jumlah anjing yang terinfeksi dari waktu ke waktu, sehingga menimbulkan wabah (epidemi).
R0 telah diestimasi dari wabah-wabah rabies di seluruh dunia, dan secara konsisten ditemukan bahwa R0 untuk rabies pada anjing berkisar antara 1 – 2. R0 diharapkan akan meningkat seiring dengan kepadatan populasi anjing.
Secara keseluruhan terdapat konsistensi dari rendahnya nilai R0 yang diestimasi (∼1,1 < R0 < 2), oleh karenanya hal ini meyakinkan dan menimbulkan optimisme para ahli bahwa pengendalian rabies pada anjing dengan metoda vaksinasi massal sangat layak untuk dilakukan.
R0 dan cakupan vaksinasi
Nilai R0 untuk rabies yang rendah (R0 = 1 - 2; lihat Tabel 1) mengindikasikan bahwa cakupan vaksinasi yang diperlukan secara kritis untuk mengendalikan rabies berkisar antara 20 dan 45% (yaitu 20-45% dari populasi anjing harus kebal pada satu waktu tertentu untuk mencegah wabah rabies bertahan). Idealnya, seluruh anak anjing yang lahir di suatu populasi harus divaksinasi apabila mencapai umur 3 bulan (untuk mencegah kemungkinan interfensi dari antibodi pasif yang berasal dari induk anjing yang divaksin) (Knobel D. et al. 2005; Hampson et al. 2009).
Tabel 1: Nilai R0 untuk rabies di beberapa wilayah di dunia
|
Hal di atas mungkin dilakukan di wilayah-wilayah dimana pemilik anjing sadar akan pentingnya vaksinasi dan memiliki akses yang terjangkau terhadap pelayanan kesehatan hewan. Situasi seperti inilah yang membuat eliminasi rabies di banyak negara maju berhasil dilakukan, termasuk di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat (meskipun virus rabies masih bertahan dalam satwa liar, termasuk kelelawar).
Sebaliknya, di negara-negara berkembang banyak pemilik anjing tidak memiliki akses yang terjangkau terhadap pelayanan kesehatan hewan, dan mungkin juga tidak sadar akan pentingnya vaksinasi. Program-program vaksinasi biasanya merupakan tanggung jawab pemerintah, dan dilaksanakan sebagai suatu kampanye vaksinasi masal yang sifatnya jangka pendek, seringkali juga sebagai respon terhadap suatu wabah rabies.
Meskipun secara teori, cakupan vaksinasi yang rendah (20-45%) diperlukan untuk mengendalikan rabies, pengendalian yang berkelanjutan dalam situasi seperti di negara-negara berkembang terkendala karena penurunan proporsi populasi yang divaksin terjadi setelah pelaksanaan suatu kampanye vaksinasi masal, mengingat adanya:
(1) anjing-anjing peka yang baru lahir dalam populasi; dan
(2) anjing yang telah divaksinasi mati.
Di banyak wilayah-wilayah endemik rabies, tingkat kelahiran anjing tinggi, oleh karenanya tingkat cakupan vaksinasi menurun secara cepat.
Jika cakupan vaksinasi hanya mencapai target ambang batas 20-45% sebelum kampanye berikutnya, maka penularan rabies dapat berkelanjutan dan wabah terus ada. Oleh karena itu, cakupan vaksinasi yang harus dicapai dalam satu kampanye vaksinasi akan bergantung pada:
(1) demografi (tingkat kelahiran dan tingkat kematian) dari populasi anjing; dan
(2) interval antara satu kampanye dengan kampanye vaksinasi berikutnya.
Bukti empiris dan studi teoritikal memperlihatkan bahwa kampanye vaksinasi rabies tahunan yang mencapai 70% dari populasi anjing adalah efektif, dan bahkan dapat mengeliminasi rabies dalam jangka panjang. Artinya cakupan vaksinasi 70% pada kampanye tahunan tetap merupakan suatu target universal untuk program-program yang bertujuan untuk mengeliminasi rabies pada anjing. Untuk meningkatkan efektivitas, anak-anak anjing yang berumur < 3 bulan termasuk yang divaksinasi dalam kampanye tersebut (Knobel D. et al. 2005).
Cakupan vaksinasi 70%
Dari sejumlah pengalaman di Asia belakangan ini, tidak ada contoh penting mengenai pemberantasan rabies yang dilakukan tanpa vaksinasi anjing yang intensif. Begitu juga, tidak ada contoh penting yang kredibel yang mendemonstrasikan bahwa pembunuhan anjing, atau bahkan penghilangan populasi anjing yang bebas berkeliaran, berkontribusi bagi sesuatu yang substansif untuk pemberantasan rabies. Justru hal ini hanya membuka celah habitat untuk generasi baru anjing-anjing yang tidak divaksinasi, yang bisa menjadi vektor rabies apabila terinfeksi. Sebaliknya, anjing-anjing yang divaksinasi tidak menjadi vektor rabies, terlepas dimana atau bagaimana mereka hidup (Clifton M. 2011).
Rabies pada anjing dapat secara efektif dikendalikan melalui vaksinasi dengan menggunakan vaksin yang tersedia secara komersial, memiliki potensi tinggi (nilai antigenik < 1 IU/ml), inaktif yang ditumbuhkan pada sel kultur. Vaksin-vaksin seperti ini harus memberikan perlindungan bagi anjing-anjing sehat dengan klaim durasi kekebalan selama dua atau tiga tahun (Morters, M.K. et al. 2014).
Hasil suatu studi kohor yang dilakukan selama 3 tahun (Maret 2008 s/d April 2011) di Afrika Selatan (dua lokasi di Provinsi Gauteng) dan di Indonesia (dua lokasi di Bali) membuktikan bahwa frekuensi kampanye vaksinasi diperlukan untuk mempertahankan cakupan diatas batas ambang kritis 20-45% (Hampson K. et al. 2009). Hal ini bergantung kepada introduksi individu anjing yang peka ke dalam populasi, baik yang diperoleh dari kelahiran dalam populasi atau datang dari luar populasi serta hilangnya individu anjing yang telah divaksinasi akibat kematian dan umur (Morters M.K. et al. 2014).
Dalam studi ini diamati adanya faktor-faktor yang menurun dari saat studi kohor dimulai mengikuti waktu dan umur anjing. Jika 100% anjing-anjing ini divaksinasi rabies, dan mengingat tingkat kelahiran, tingkat kematian dan pergerakan anjing sebagai akibat dari tindakan manusia yang tercatat dalam populasi studi, maka cakupan vaksinasi yang cukup untuk memotong penularan rabies harus dipertahankan selama 3 tahun periode studi apabila menggunakan vaksin rabies dengan durasi kekebalan 3 tahun.
Lebih realistik lagi, cakupan vaksinasi cenderung berkisar antara 60-80%, dengan 80% tercapai di wilayah-wilayah studi selama 2010, termasuk di 2 lokasi di Bali dimana anjing sangat sulit untuk ditangani. Dalam situasi ini, cakupan vaksinasi mengikuti suatu kampanye tunggal akan menurun ke batas ambang (20-45%) setelah 2 tahun.
Cakupan vaksinasi yang optimal (70-80%) juga dicapai di Afrika (Kaare M. et al. 2009; Bilinski A.M. et al. 2016) dan di Asia (Bogel K. and Joshi D.D. 1990), dan hasil tersebut menekankan bahwa keuntungan dari kampanye vaksinasi dapat bertahan lama.
Suatu studi lain yang membandingkan beberapa intervensi pengendalian rabies dilakukan di N’Djamena, Chad, di Afrika. Studi ini mensimulasikan efek dari vaksinasi masal anjing terhadap insidensi rabies pada manusia. Suatu kampanye vaksinasi masal tunggal yang mencapai cakupan paling tidak 70% dinyatakan cukup untuk menginterupsi penularan rabies pada manusia paling tidak untuk 6 tahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa vaksinasi masal 70% dari populasi anjing adalah yang paling menguntungkan dan efektif dari segi biaya (Zinsstag J. et al. 2009).
Dari studi-studi di atas, dapat dikatakan bahwa masalah rabies pada anjing seringkali dianggap sulit untuk diberantas di wilayah-wilayah pedesaan di Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia, karena lemahnya infrastruktur, kapasitas dan kapabilitas terbatas, kurangnya kesadaran dan pengetahuan serta partisipasi masyarakat dalam pengendalian rabies. Namun satu hal yang telah dibuktikan dari studi-studi tersebut adalah bahwa pengendalian rabies pada anjing sepenuhnya layak untuk dilakukan dan bahkan pemberantasan rabies pada anjing sangat mungkin dicapai karena R0 rabies yang sangat rendah dan komitmen dalam mempertahankan cakupan vaksinasi yang tinggi.
Referensi
Beran G.W. et al., 1988. Domestic animal rabies control: an overview. Rev Infect Dis, 1988. 10 Suppl 4: p. S672-7.
Bilinski A.M. et al., 2016. Optimal frequency of rabies
vaccination campaigns in Sub-Saharan Africa. Proc Biol Sci. 2016 Nov
16;283(1842). pii: 20161211.
Bogel, K., and Joshi, D.D., 1990. Accessibility of dog
populations for rabies control in Kathmandu, Nepal. Bulletin of the World
Health Organization 68: 611617.
Clifton M., 2011. Commentary: How to eradicate canine
rabies: a perspective of historical efforts. Asian Biomedicine Vol. 5 No. 4
August 2011; 559-568.
Cochrane J., 2015. Beach Dogs, a Bitten Girl and a Roiling
Debate in Bali, in The New York Times.
Dalla V.P.
et al., 2010. Free-roaming dog control among OIE-member countries. Prev. Vet.
Med. 97(1):58-63.
Hampson
K. et al., 2009. Transmission Dynamics and Prospects for the Elimination of
Canine Rabies. PLoS Biol 7(3): e1000053.
https://doi.org/10.1371/journal.pbio.1000053.
Hampson
K. et al., 2015. Estimating the Global Burden of Endemic Canine Rabies. PLOS
Neglected Tropical Diseases 9(5): e0003786.
Hiby E., 2013. Dog Population Management,
in Dogs, Zoonoses and Public Health 2nd edition,
C.L.M. Macpherson, F.-X. Meslin, and A.I. Wandeler, Editors. CAB International.
p.177-204.
Hossain
M. et al., 2011. Five-year (January 2004-December 2008) surveillance on animal
bite and rabies vaccine utilization in the Infectious Disease Hospital, Dhaka,
Bangladesh. Vaccine, 2011. 29(5): p. 1036-40.
Yoak A.J. et al., 2016. Optimizing free-roaming dog control
programs using agentbasedmodels. Ecological Modelling, 2016. 341: p. 53–61.
Kaare M. et al., 2009. Rabies control in rural Africa:
evaluating strategies for effective domestic dog vaccination. Vaccine. 2009 Jan
1;27(1):152-60.
Knobel D.L. et al., 2005.
Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull. World
Health Organ. 2005, 83, 360–368.
Krishna,
C.S. 2010. The Success of the ABC-AR Programme in India.
Moreria
E.D. et al, 2004. Assessment of an optimized dog-culling program in the
dynamics of canine Leishmania transmission. Veterinary Parasitology, 2004. 122:
p. 245-252.
Nunes
C.M. et al., 2008. Dog culling and replacement in an area endemic for visceral
leishmaniasis in Brazil. Vet Parasitol, 2008. 153(1-2): p. 19-23.
Putra
A.A. et al., 2013. Response to a rabies epidemic, Bali, Indonesia, 2008-2011.
Emerg Infect Dis, 2013. 19(4): p. 648-51.
Reece J.F., 2005. Dogs and Dog Control in
Developing Countries, in the state of the Animals III, D.J. Salem and A.N.
Rowan, Editors. Humane Society Press: Washington, DC. p. 55-64.
Tenzin
T., Ahmed R., Debnath N.C., Ahmed G., and Yamage M. 2015. Free-Roaming Dog
Population Estimation and Status of the Dog Population Management and Rabies
Control Program in Dhaka City, Bangladesh.
Townsend
S.E. et al., 2013. Designing programs for eliminating canine rabies from
islands: Bali, Indonesia as a case study. PLoS Negl Trop Dis, 2013. 7(8): p.
e2372.
Wera E.
et al., 2013. Costs of rabies control: an economic calculation method applied
to Flores island. PLoS One, 2013. 8(12): p. e83654.
WHO, 2018. New global strategic plan to eliminate
dog-mediated rabies by 2030. https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/new-global-strategic-plan-to-eliminate-dog-mediated-rabies-by-2030
WHO, 2013. WHO Expert Consultation on Rabies, Second
report, in WHO Technical Report Series 982World Health Organization: Geneva.
Windiyaningsih et al., 2004. Windiyaningsih, C., et al.
(2004), The rabies epidemic on Flores Island, Indonesia (1998-2003). J Med
Assoc Thai, 2004. 87(11): p. 1389-93.
World Animal Protection, 2015. https://www.worldanimalprotection.org/news/world-rabies-day-together-against-rabies.
Zinsstag J., 2009. Transmission dynamics and economics of
rabies control in dogs and humans in an African city. Proc Natl Acad Sci U S A.
2009 Sep 1;106(35):14996-5001.
0 Komentar:
Posting Komentar