Kamis, 16 Mei 2019

Konsumsi daging anjing dan bahaya rabies

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Tidak ada data pasti mengenai seberapa besar jumlah daging anjing yang dikonsumsi di Indonesia, tetapi secara kasar sekitar 7% dari populasi Indonesia yang sekitar 260 juta jiwa mengonsumsi daging anjing. Penelitian tahun 2015 yang dikutip dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa sekitar 730.000 anjing masuk paling tidak ke ibukota Jakarta dari Jawa Barat setiap tahun untuk dikonsumsi.

Bangkokpost.com
Dalam brifing kampanyenya, Koalisi Indonesia Bebas Daging Anjing (Dog Meat Free Indonesia) menyatakan terdapat sekitar 1 juta ekor anjing yang dibunuh setiap tahunnya di Indonesia. Mereka ditangkap dan dicuri untuk diangkut ke seluruh wilayah Indonesia, guna memenuhi permintaan daging anjing. Banyak hewan peliharaan keluarga yang dicuri, serta banyak juga yang ditangkap dari jalanan dan perkampungan untuk diperdagangkan secara ilegal (DFMI, 2017). 

Anjing-anjing tersebut disembelih dengan cara yang bisa dikatakan sangat mengerikan dan kemudian diolah menjadi sate hingga makanan berbumbu pedas. Meskipun kegiatan ini tergolong sangat tidak wajar bahkan dikecam oleh banyak kalangan, penjualan daging anjing di beberapa daerah dilakukan dengan cara sangat terbuka. Anjing-anjing tersebut sebelum diolah dagingnya, terlebih dulu dibunuh dengan cara yang sangat tidak manusiawi dan sangat kejam, kebanyakan mati karena racun sianida, dipukul, hingga digantung (Malang Times, 2018).

Pasar daging anjing

Pasar daging anjing di Indonesia ditandai sebagai atraksi yang mungkin saja menarik untuk dilihat bagi wisatawan, akan tetapi keberadaannya lebih karena daging anjing dianggap sebagai suatu kuliner bagi masyarakat atau suku tertentu. Beberapa pasar bahkan memajang daging anjing dengan cara digantung seperti daging sapi yang pada umumnya ditemui di pasar-pasar tradisional. Makanan berbahan dasar daging anjing itu dijual di rumah makan sederhana pinggir jalan hingga restoran kenamaan dan mahal (Malang Times, 2018).

Lima daerah di Indonesia yang warganya banyak mengkonsumsi daging anjing adalah Manado, Karo, Bali, Jakarta dan Solo. Meskipun pemerintah dan sebagian besar masyarakat Indonesia sudah menegaskan bahwa anjing bukanlah hewan ternak yang bisa dikonsumsi, akan tetapi praktik semacam ini terus dilakukan dan sulit untuk dilarang (Malang Times, 2018). Pemerintah tidak melarang pasar semacam ini,  sebab telah menjadi budaya di masyarakat dan menjadi ciri khas daerah tertentu (Siti Faridah, 2018).

Penjualan daging anjing di Manado dilakukan dengan sangat bebas di beberapa pasar, dua terbesar adalah pasar Tomohon dan pasar Langowan. Karkas anjing yang sebelumnya disembelih kemudian dipanggang hingga kulitnya menghitam dan bulunya hilang. Daging anjing tersebut banyak digemari dan diolah menggunakan banyak rempah dan pedas.

Di Sumatera Utara umumnya dan di Kabupaten Karo khususnya, daging anjing banyak dikonsumsi warga setempat karena dengan alasan salah satunya adalah kesehatan, diantaranya untuk menyembuhkan demam tinggi seperti demam berdarah karena digigit nyamuk malaria. Di Pulau Bali, anjing-anjing banyak diperjual belikan dalam bentuk sate dan olahan lainnya dan kadang-kadang ditawarkan ke turis asing yang kebanyakan tidak mengetahui jika mereka mengonsumsi daging anjing (Malang Times, 2018).

Di Jakarta, dikatakan ada banyak warung makan pinggir jalan yang menjual daging anjing sebagai olahannya. Setidaknya dalam sebuah kawasan ada empat tempat jagal yang khusus untuk memotong anjing dan babi. Dalam dua hari, ada sekitar 15 ekor anjing yang dipotong untuk satu pengepul, artinya kurang lebih ada 50 anjing yang dipotong dalam satu minggu oleh satu pengepul untuk berbagai kebutuhan.

Sedangkan di Solo, diperkirakan terdapat sekitar 100 warung yang menjual daging anjing. Satu warung dalam satu hari setidaknya membutuhkan empat ekor anjing, maka jika dikalikan 100 setidaknya ada 400 anjing yang dipotong dalam satu hari hanya di daerah Solo saja. Jika dikalikan dalam satu tahun, maka jumlah anjing yang dipotong dan dikonsumsi mencapai 134.400 ekor (Malang Times, 2018).

Apakah anjing nampak sehat yang dipotong untuk konsumsi manusia bisa berisiko menularkan rabies?

Rabies dapat menular ke manusia selama proses pemotongan anjing atau kontak dengan daging yang terinfeksi (Associated Press, 2018). Profesor Louis Nel dari Global Alliance for Rabies Control (GARC) menyatakan: “Kita mungkin tidak begitu mudah untuk mengubah budaya atau kebiasaan, tetapi kita harus memastikan kepatuhan terhadap tindakan-tindakan pencegahan penyakit hewan yang sudah terbukti menjadi ancaman dan menghentikan penyelundupan anjing, untuk membatasi penyebaran rabies, suatu penyakit yang endemik di seluruh Asia. Perdagangan anjing semata-mata didorong oleh keuntungan dan risikonya terhadap kesehatan manusia dan hewan seringkali diabaikan.” (HIS, 2018).

Peringatan ini merefleksikan pernyataan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang secara eksplisit menyoroti perdagangan anjing untuk konsumsi manusia sebagai suatu faktor yang berkontribusi terhadap penyebaran rabies di Indonesia. Beberapa laporan menyatakan bahwa pasar-pasar daging anjing memiliki tingkat rabies yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi anjing secara umum, mengingat orang sering menjual anjing di pasar dalam keadaan sakit dan sebagian diantaranya terjangkit rabies (HSI, 2018).

Para pelaku kampanye kesejahteraan hewan di Indonesia mengungkapkan bahwa satu dari sembilan karkas anjing yang dibeli di pasar regional di Sulawesi Utara dengan satu karkas yang dibeli di Tomohon menunjukkan hasil uji positif terhadap rabies, mengindikasikan adanya risiko bagi kesehatan masyarakat. Konfirmasi penyakit dilakukan oleh laboratorium resmi. Tingkat dimana satu dari sembilan positif tersebut (11,1%) konsisten dengan penelitian yang dilakukan satu dekade yang lalu yang mengungkapkan antara 7,8% dan 10,6% anjing yang dijual untuk konsumsi manusia ternyata terinfeksi rabies (DMFI, 2017).

Deteksi antigen rabies pada otak dari anjing nampak sehat mengindikasikan adanya virus rabies dan ini merupakan faktor yang signifikan dalam penularan dan penyebaran rabies. Sejumlah hasil penelitian yang dilakukan di Nigeria (sebagai negara dengan perdagangan anjing terbesar di Afrika) mendukung indikasi tersebut, dengan kisaran presentase sampel otak anjing positif bervariasi dari yang terendah 2,63% sampai tertinggi 26% seperti yang disarikan di bawah ini.

- Antigen virus Rabies yang dideteksi pada 92 dari 532 (17,3%) sampel otak yang dikumpulkan dari dua pasar anjing komersial utama di negara bagian Plateau, Nigeria dengan menggunakan uji antibodi fluoresen langsung antara tahun 2010 dan 2011, mengindikasikan kemungkinan adanya prevalensi yang tinggi dari virus rabies pada pasar perdagangan anjing (Kia G.S.N. et al., 2018).

- Sampel otak yang dikumpulkan dari 50 ekor anjing yang nampak sehat di tempat pemotongan anjing di dua negara bagian Barat laut Nigeria menunjukkan 13 sampel (26%) positif terhadap uji antibodi fluoresen (FAT), sedangkan 10 sampel (20%) positif terhadap uji inokulasi tikus (MIT). Dari 10 sampel yang positif dengan MIT, hanya satu sampel negatif FAT, dan 14 sampel (28%) yang positif baik terhadap FAT dan MIT. Total positif dengan FAT dan MIT dikombinasikan dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik terhadap keberadaan Negri bodies (MEN), dan hasilnya menunjukkan 3 (21,4%) dari 14 sampel positif baik terhadap FAT dan MIT, juga positif dengan MEN (Garba A. et al., 2015).

- Sebanyak 203 ekor anjing dibeli dari tempat pemotongan anjing di Jos, Kanke dan Shendam di negara bagian Plateau, Nigeria untuk mendeteksi adanya antigen rabies pada sampel otak anjing dengan menggunakan uji antibodi fluoresen (FAT). Dari 203 sampel otak anjing, 10 (4,93%) dinyatakan positif terhadap antigen rabies (Konzing L. et al., 2015).

- Dari total 185 sampel otak anjing yang dikumpulkan dari tempat pemotongan anjing di Aba, negara bagian Abia, Nigeria, menunjukkan 13 sampel (7,0%) positif terhadap antigen rabies menggunakan uji antibodi fuoresen (FAT). Dari total sampel yang diuji positif tersebut, 39,5% adalah anjing jantan. Tingkat infeksi lebih tinggi pada anjing betina (8,9%) (Otolorin G.R. et al., 2014).

- Sejumlah 154 sampel otak yang dikumpulkan dari anjing yang dipotong untuk konsumsi manusia di Zaria (74 sampel) dan Kafanchan (80 sampel) di negara bagian Kaduna, Nigeria diperiksa terhadap antigen rabies menggunakan uji antibodi fluoresen langsung. Antigen rabies terdeteksi pada 6 (3,9%) sampel otak anjing yang dipotong tersebut (Odeh L.E. et al., 2014).

- Hasil dari 177 sampel otak yang dikumpulkan dari anjing-anjing yang dipotong untuk konsumsi manusia di Ogoya di negara bagian Cross River, Nigeria, menunjukkan 6 (3,39%) positif terhadap antigen rabies dengan uji antibodi fluoresen (FAT). Tingkat infeksi lebih tinggi pada anjing betina 5 (6,33%) dari anjing jantan 1 (1,02%). Semua sampel positif berasal dari anjing dewasa (Isek T.I. et al., 2013).

- Sejumlah 152 sampel otak anjing yang dikumpulkan secara random dari pasar dan restoran dimana anjing dipotong dan dikonsumsi manusia di negara bagian Enugu, Nigeria diperiksa dengan uji antibodi fluoresen (FAT) dan uji inokulasi tikus (MIT), dan hasil menunjukkan 4 sampel (2,63%) positif terhadap ke-dua uji tersebut (Eze U.U. et al., 2015).

Penyembelihan anjing

Smh.com.au
Sebagaimana disampaikan di atas, perdagangan daging anjing masih merajalela di sejumlah wilayah di Indonesia, dimana daging anjing dianggap sebagai makanan yang lezat bagi sejumlah suku dan budaya tertentu. Dalam proses perdagangan anjing, terjadi proses pengangkutan dan pengiriman anjing besar-besaran (antar kota, provinsi, dan antar pulau) yang tidak diregulasi. Meskipun daging anjing pada dasarnya tidak termasuk sebagai produk daging yang diatur dalam undang-undang pangan.

Penderitaan dari sekitar satu juta ekor anjing yang terperangkap dalam perdagangan anjing di Indonesia setiap tahun tidak pernah terbayangkan, dan setiap jam 100 ekor anjing mengalami kesakitan dan ketakutan luar biasa pada saat akan dipotong. Tidak ada aturan hukum yang mengatur tentang boleh tidaknya anjing dikonsumsi di Indonesia dan begitu juga perdagangan anjing tidak diatur.

Tetapi dengan penduduk mayoritas Muslim di Indonesia, sulit untuk menimbulkan simpati yang lebih besar untuk anjing. Banyak Muslim yang menganggap hal ini najis dan komunitas Kristen yang secara tradisional mengkonsumsi anjing menganggap ini tidak ada bedanya dengan daging sapi, daging ayam atau daging babi.

Indonesia melalui Kementerian Pertanian saat ini sudah membuat aturan mengenai persoalan daging anjing. Aturan tersebut dimuat dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 tanggal 25 September 2018. Surat edaran tersebut menyangkut tentang peningkatan pengawasan terhadap peredaran/perdagangan daging anjing.

Perdagangan daging anjing tersebut dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi semua sektor masyarakat, terutama dalam bentuk penyebaran rabies. Virus rabies telah dikonfirmasi pada anjing sehat yang akan disembelih, seperti yang dibuktikan dari sejumlah penelitian di Nigera. Padahal tukang-tukang sembelih anjing tidak menggunakan pakaian pelindung atau tidak divaksinasi terhadap rabies. Saran yang baik untuk memastikan pengendalian dan pemberantasan rabies dapat lebih efektif adalah memberikan vaksinasi kepada tukang-tukang sembelih anjing secara regular dan juga terhadap anjing-anjing secara masal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa perdagangan anjing, penyembelihan dan konsumsi daging anjing berperan dalam epidemiologi rabies dari anjing ke manusia.

Referensi:

Associated Press, 2018. Dog meat campaign say tests find rabies at Indonesia markets. https://www.news24.com/World/News/dog-meat-campaign-say-tests-find-rabies-at-indonesia-markets-20180731.

Eze U.U. et al., 2015. Risk of typical rabies in dog meat-eating human population, in Enugu, Nigeria. International Journal of Public Health and Epidemiology Vol. 4(1), pp. 107-109.

DMFI, 2017. Perdagangan Daging Anjing di Indonesia: Campaign Briefing. Dog Meat Free Indonesia (DMIF).   https://www.dogmeatfreeindonesia.org/images/PDF/DMFI_Media_ Campaign_Briefing_IND.pdf     

Garba A. et al., 2015. Rabies virus antigen in the brain of apparently healthy slaughtered dogs in Sokoto and Katsina States, Nigeria. Nigerian Journal of Parasitology, Vol 31(2): 123-125.

HSI, 2018. Humane Society International. Armed thieves, rabies-infected dog meat highlight dangers of Indonesia’s dog and cat meat trade as campaigners fear tourists could be at risk. https://www.hsi.org/news-media/indonesia-dog-meat-rabies-073118/

Isek T.I. et al., 2013. Detection of Rabies Antigen in the Brain Tissues of Apparently Healthy dogs Slaughtered in Ogoja – Cross River State, Nigeria. Nigerian Veterinary Journal, Vol. 34(2), 789-794.

Kia G.S.N. et al., 2018. Molecular characterization of a rabies virus isolated from trade dogs in Plateau State, Nigeria. Sokoto Journal of Veterinary Sciences, Vol. 16, No. 2.

Konzing L. et al., 2015. Trade dog-dog meat processors interface in rabies transmission. International Journal of Applied Research 2015; 1(11): 83-91.

Malang Times, 2018. Rubrik Peristiwa. Lima daerah di Indonesia ini warganya doyan kuliner daging anjing. https://www.malangtimes.com/baca/32660/20181030/090900/lima-daerah-di-indonesia-ini-warganya-doyan-kuliner-daging-anjing/

Odeh L.E. et al., 2014. Assessment of Risk of Possible Exposure to Rabies among Processors and Consumers of Dog Meat in Zaria and Kafanchan, Kaduna State, Nigeria. Global Journal of Health Science; Vol. 6, No. 1.

Siti Faridah, 2018. Konsumsi Masyarakat terhadap Daging Anjing dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. https://warstek.com/2018/10/21/daginganjing/

Otolorin G.R. et al., 2014. Prevalence of Rabies Antigen in Brain Tissue of Dogs Slaughtered for Human Consumption and Evaluation of Vaccination of Dogs Against Rabies in Aba, Abia State Nigeria. World J Public Health Sciences 2014;3(1):5.

0 Komentar: