Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Usaha ternak sapi (agribisnis.co.id) |
MERS-CoV, Ebola, virus West Nile atau Avian influenza adalah contoh penyakit-penyakit yang muncul dalam dekade terakhir ini yang kesemuanya bersumber dari hewan. Kemunculan penyakit-penyakit tersebut telah memperlihatkan bahwa kapasitas negara-negara di dunia dalam mencegah, mendeteksi dan merespon wabah tidaklah sama.
Seperti diketahui, 60 persen dari penyakit-penyakit menular yang ada saat
ini berdampak kepada manusia, dan lebih dari 75 persen adalah penyakit-penyakit
yang baru muncul (newly emerging diseases).
Ebola, influenza, dan virus West Nile semuanya muncul pertama kali di
negara-negara berkembang yang tidak memiliki kapasitas cukup untuk
mengimplementasikan standar-standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE)
dalam mendeteksi, mencegah dan merespon penyakit-penyakit yang bersumber dari
hewan.
Kita berada di dunia yang saling terhubung dan saling bergantung. Kerentanan terhadap suatu penyakit yang ada di satu negara mewakili kerentanan semua negara. Penyakit tidak menghormati batas-batas negara, begitu juga penyakit yang masih asing bagi negara kita atau yang biasa kita kenal sebagai penyakit eksotik bisa saja suatu waktu menjadi ancaman domestik.
Kita berada di dunia yang saling terhubung dan saling bergantung. Kerentanan terhadap suatu penyakit yang ada di satu negara mewakili kerentanan semua negara. Penyakit tidak menghormati batas-batas negara, begitu juga penyakit yang masih asing bagi negara kita atau yang biasa kita kenal sebagai penyakit eksotik bisa saja suatu waktu menjadi ancaman domestik.
Kesehatan global tidak akan dapat tercapai apabila tidak ada perhatian
diberikan kepada sistim pencegahan dan pengendalian penyakit hewan.
Pengendalian penyakit yang efektif bukan hanya merupakan tanggung jawab antara
kesehatan manusia dan hewan yang ada di pemerintahan dan sektor swasta, tetapi
juga sejumlah sektor dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat nasional,
regional dan global.
Pertumbuhan populasi dunia
Populasi dunia diproyeksikan akan mencapai 9,8 miliar penduduk pada tahun
2050, suatu lompatan jauh dari populasi 7,6 miliar saat ini. Kenaikan produksi
daging diprediksi menjadi dua kali lipat pada tahun 2050 seiring dengan
pertumbuhan penduduk dunia, dibarengi dengan perubahan preferensi diet dan kenaikan
tingkat pendapatan.
Pertumbuhan ekspor daging pada tahun 2018 kebanyakan terjadi di negara-negara
seperti Amerika Serikat, Australia, Argentina, Thailand dan Uni Eropa,
sedangkan impor daging meningkat di negara-negara seperti China, Jepang,
Meksiko dan Korea Selatan.
Konsumsi daging pada tahun 2050 diproyeksikan akan meningkat hampir 73
persen, sedangkan konsumsi susu diprediksi tumbuh sebesar 58 persen. Permintaan
produksi ternak ke depan terutama akan banyak terjadi di kota-kota besar di
seluruh dunia, dimana pertumbuhan populasi paling banyak terjadi. Kebutuhan yang
sebagian besar dipenuhi oleh operasi pemeliharaan ternak skala besar dan
intensif.
Tidak ada pilihan bagi sektor peternakan selain merespon kebutuhan
global. Tekanan terhadap peternak dan industri peternakan untuk menyediakan pangan
hewani bagi lebih banyak penduduk dunia, dalam kondisi dimana ketersediaan air
dan tanah terbatas, serta lingkungan berkelanjutan yang tetap harus
dipertahankan.
Namun demikian produksi ternak yang semakin meningkat terseebut akan
tetap menghadapi hambatan dari penyakit-penyakit menular dan parasit, terutama
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dimana dana yang tersedia untuk
pengendalian penyakit terus menurun selama puluhan tahun belakangan ini.
Pengendalian penyakit-penyakit pada ternak akan tetap menjadi komponen
sangat penting dalam produksi pangan hewani yang efisien dan terhubung secara
pasti dengan agenda ketahanan pangan global. Sejumlah penyakit pada ternak yang
berpengaruh terhadap rantai pangan seperti penyakit mulut dan kuku (PMK),
African swine fever (AFS), bovine spongiform encephalopathy (BSE), avian
influenza (AI). Koordinasi dan kerjasama internasional dibutuhkan dalam upaya untuk
mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.
Pertumbuhan populasi hewan
peliharaan
Klinik hewan Jogya (news.harianjogya.com) |
Di negara-negara maju seperti Inggris, diperkirakan ada 8 sampai 10 juta
ekor anjing yang hidup di 31 persen rumah tangga, di Amerika Serikat ada 72
juta ekor anjing di 37 persen rumah tangga. Saat ini hubungan antara orang
dengan anjing dan kucing sebagai hewan peliharaan semakin intim, dimana hewan
peliharaan berbagi lingkungan ruang yang sama dengan manusia.
Meskipun data rumah tangga yang memiliki hewan peliharaan di Indonesia
tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi diasumsikan jumlah hewan peliharaan
cukup tinggi. Pangsa pasar hewan peliharaan di Indonesia mencapai 15,6 persen
di Asia Tenggara. Pertumbuhan hewan peliharaan di Indonesia diperkirakan akan
mencapai 7,1 persen hingga tahun 2020.
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat terutama kelas menengah di
Indonesia memicu lahirnya komunitas-komunitas pecinta hewan peliharaan sebagai
bagian dari gaya hidup masyarakat. Produk-produk hewan peliharaan alami akan
menjadi suatu industri yang meningkat pesat. Pemilik hewan dari kalangan kelas
menengah bahkan rela mengeluarkan ekstra rupiah untuk memberikan kepada
hewannya suatu pola hidup organik, sama seperti yang mereka harapkan untuk keluarganya.
Perkembangan pakan hewan kesayangan, penangkis nyamuk dan kutu yang
sifatnya alami (natural repellent),
sampai ke mainan hewan yang terbuat dari serat non-sintetik. Begitu juga dengan
prosedur bedah yang semakin canggih, piranti digital dan pelayanan hewan
peliharaan secara khusus memperlihatkan seberapa besar uang yang bersedia
dikeluarkan oleh pemilik hewan bagi hewan teman setianya tersebut.
Keuntungan dari kepemilikan hewan peliharaan bagi kesehatan manusia,
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi tidak perlu dipertanyakan lagi.
Nyatanya pola kehidupan anjing dan kucing saat ini yang terus bergerak di
lingkungan manusia, dari kandang, ke rumah, ke sofa, ke tempat tidur dan lain
sebagainya menyebabkan potensi penyebaran penyakit ke manusia meningkat.
Meskipun diketahui kebanyakan penyakit-penyakit baru yang menjangkiti
manusia utamanya bersumber dari ternak, akan tetapi hewan peliharaan juga
berpotensi menjadi sumber penyakit-penyakit baru muncul. Kita ketahui bahwa infeksi
virus rabies pada anjing diperkirakan membunuh minimum 50 ribu orang setiap
tahun di Afrika dan Asia. Di Indonesia sendiri, rabies menyebabkan sekitar 100
orang meninggal dunia setiap tahun.
Integrasi antara orang dengan hewan peliharaan yang sangat dekat memicu
kepentingan adanya suatu sistim monitoring penyakit global yang dibangun oleh
para dokter hewan yang bekerja sebagai dokter hewan praktik. Pembangunan sistim
seperti ini tentu memerlukan kemauan politik, aplikasi saintifik dan dukungan
finansial yang akan dapat dicapai apabila ada kemitraan antara pemerintah dan
sektor swasta.
Pengetahuan yang diperoleh melalui sistim surveilans seperti ini akan
memberikan peluang kepada kita untuk lebih efektif dalam mengendalikan zoonosis
pada hewan peliharaan, sehingga mengurangi risiko yang melekat pada hubungan
paling mendasar antara manusia dan hewan.
Keamanan kesehatan global
Peternakan babi (www.padarnews.com) |
Indonesia menjadi anggota Global
Health Security Agenda (GHSA) yang merupakan suatu inisiatif global dan kolaborasi
antar negara yang saat ini sudah mencapai 50 negara, antara lain Amerika
Serikat, Canada, China, Uni Eropa, India, Indonesia, Jepang dan Thailand, serta
organisasi-organisasi internasional termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), dan Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO).
GHSA bertujuan untuk mempercepat kemajuan menuju dunia yang terjaga dan
aman dari ancaman-ancaman penyakit menular dan mempromosikan keamanan kesehatan
global sebagai suatu prioritas keamanan internasional.
Sebagai negara yang berkomitmen dalam GHSA, maka Indonesia perlu berkomitmen
dan mematuhi standar-standar internasional yang dibangun oleh OIE tentang kualitas
dan efisiensi sistim nasional kesehatan hewan. OIE merupakan badan antar
pemerintah penentu standar kesehatan hewan dan sebagai sumber unggulan untuk
peringatan dini dan monitoring penyakit hewan.
Indonesia harus sedapat mungkin untuk mengikuti dan menjalankan 5 (lima) platform yang ditetapkan oleh OIE untuk suksesnya GHSA, sebagai berikut:
Pertama, Indonesia perlu mematuhi standar-standar internasional OIE untuk metoda pencegahan dan pengendalian penyakit dan kualitas sistim kesehatan hewan nasional (siskeswannas). Siskeswannas yang mematuhi standar-standar internasional OIE mengenai kualitas, dan berfungsi sesuai prinsip-prinsip tatacara pemerintahan yang baik (good governance) akan berkontribusi lebih baik dalam suatu sistim kesehatan global yang efektif dan berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan yang ada di masyarakat dunia saat ini maupun ke depan.
Kedua, Indonesia perlu menjalankan semaksimal mungkin prinsip-prinsip yang tertuang dalam ‘OIE PVS Pathway’ (Performance Veterinary Services Pathway) dalam upaya mengidentifikasi tingkat performans, kesenjangan dan kelemahan dalam kapasitas siskeswannas untuk memenuhi standar-standar internasional OIE. Perbaikan performan siskeswannas akan membantu Indonesia dalam upaya mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan dalam kapasitas siskeswannas secara menyeluruh, termasuk pendidikan kedokteran hewan, kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnerships), serta kapasitas dalam mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman-ancaman penyakit hewan menular.
Meskipun kesadaran tentang
kesehatan global menjadi tantangan bagi semua pihak tanpa terkecuali, namun
masih tetap dibutuhkan upaya harmonisasi beragam pendekatan di tingkat
multilateral. Masih banyak pendapat di kalangan negara-negara anggota OIE yang
menganggap kurangnya transparansi dalam pelaksanaan tindakan-tindakan sanitary yang
menyebabkan kurangnya kepercayaan antara negara mitra dagang.
Indonesia harus sedapat mungkin untuk mengikuti dan menjalankan 5 (lima) platform yang ditetapkan oleh OIE untuk suksesnya GHSA, sebagai berikut:
Pertama, Indonesia perlu mematuhi standar-standar internasional OIE untuk metoda pencegahan dan pengendalian penyakit dan kualitas sistim kesehatan hewan nasional (siskeswannas). Siskeswannas yang mematuhi standar-standar internasional OIE mengenai kualitas, dan berfungsi sesuai prinsip-prinsip tatacara pemerintahan yang baik (good governance) akan berkontribusi lebih baik dalam suatu sistim kesehatan global yang efektif dan berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan yang ada di masyarakat dunia saat ini maupun ke depan.
Kedua, Indonesia perlu menjalankan semaksimal mungkin prinsip-prinsip yang tertuang dalam ‘OIE PVS Pathway’ (Performance Veterinary Services Pathway) dalam upaya mengidentifikasi tingkat performans, kesenjangan dan kelemahan dalam kapasitas siskeswannas untuk memenuhi standar-standar internasional OIE. Perbaikan performan siskeswannas akan membantu Indonesia dalam upaya mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan dalam kapasitas siskeswannas secara menyeluruh, termasuk pendidikan kedokteran hewan, kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnerships), serta kapasitas dalam mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman-ancaman penyakit hewan menular.
Ketiga, Indonesia perlu mengikuti
dan menjalankan pedoman yang ditetapkan oleh OIE dan WHO secara bersama-sama dalam
memperbaiki kepatuhan terhadap International
Health Regulations (IHR) yang diterbitkan oleh WHO dan standar-standar
mengenai kualitas siskeswannas (PVS
Pathway) yang diterbitkan oleh OIE. Dalam hal ini, Indonesia perlu
menerapkan pendekatan ‘One Health’
yang dapat digunakan untuk memahami secara lebih baik penyebab dari muncul dan
menyebarnya penyakit-penyakit bersumber dari hewan. Indikator-indikator yang
ditetapkan dalam IHR dan PVS Pathway tersebut, dapat digunakan untuk membangun
suatu sistim koordinasi antara kesehatan dan kesehatan hewan nasional yang
komprehensif dan paralel dalam upaya mengelola risiko pada keterkaitan antara
hewan dan manusia (animal-human interface).
Keempat, Indonesia ikut
serta aktif dalam menjalankan pelaporan penyakit global yang ditetapkan dalam World Animal Health Information System
(WAHIS) OIE. Indonesia harus sedapat
mungkin memanfaatkan WAHIS sebagai suatu sumber terkemuka yang komprehensif
untuk deteksi dini, monitoring dan pelaporan secara transparan
penyakit-penyakit hewan, termasuk zoonosis. Indonesia harus menyadari bahwa pelaporan
global secara cepat sesuai waktu sebenarnya (real time) adalah prasyarat dan kritis untuk komunikasi yang efisien
dan respon cepat terhadap kejadian-kejadian penyakit.
Kelima, Indonesia harus memanfaatkan
semaksimal mungkin keberadaan jejaring global OIE yang terdiri dari 296 Laboratorium
Referensi (Reference Laboratories) dan
Pusat-pusat Kerjasama (Collaborating
Centres) dan begitu juga dengan keberadaan ‘Focal Point’ di tingkat nasional dan yang menjadi penyedia
informasi ilmiah berkelanjutan dan permanen dalam suatu sistim respon darurat
global. ‘Focal point’ yang ada di
masing-masing negara termasuk Indonesia, terdiri dari 6 (enam) kategori yaitu
(1) notifikasi penyakit hewan ke OIE; (2) hewan aquatik; (3) satwa liar; (4) produksi
ternak dan keamanan pangan; (5) produk-produk veteriner; dan (6) kesejahteraan
hewan.
Perlunya perbaikan transparansi antar negara
Peternakan ayam rakyat (kompas.com) |
Isu-isu transparansi yang seringkali dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah (1) transparansi
dalam pelaporan penyakit dan (2) transparansi dalam penerapan standar-standar
internasional hewan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan hewan
serta keamanan perdagangan.
Transparansi dalam pelaporan penyakit berarti setiap negara anggota OIE melaksanakan pelaporan penyakit
hewan yang terdeteksi di wilayah teritorialnya. OIE mendesiminasi informasi
tersebut ke seluruh dunia melalui websitenya, sehingga setiap negara dapat
mengambil aksi pencegahan yang diperlukan. Informasi ini termasuk juga penyakit-penyakit
yang dapat ditularkan ke manusia dan introduksi patogen baru.
Seperti halnya negara lain, Indonesia menganggap penting dan seringkali memanfaatkan standar-standar kesehatan hewan
internasional yang dimuat dalam OIE
Terrestrial dan Aquatic Animal Health
Code. Upaya membangun kepercayaan dan transparansi dengan
mengimplementasikan standar-standar internasional sangat penting dalam mencapai
kesetaraan dan keadilan antar negara. Data dan informasi ilmiah serta
standar-standar internasional keamanan pangan merupakan barang publik yang
sifatnya global (global public goods)
yang bergantung kepada proses transparan dan memiliki tujuan.
Transparansi dimanfaatkan secara berbeda-beda oleh masing-masing pemangku kepentingan. Transparansi bagi organisasi
internasional dan anggota-anggotanya digunakan untuk mendukung adanya suatu
sistim pengaturan multilateral yang efektif dan inklusif. Transparansi bagi sektor
swasta berkontribusi bagi terjadinya persaingan yang sehat dan lingkungan yang
stabil, sehingga memungkinkan sektor swasta untuk berkembang, dan pada
gilirannya menciptakan lapangan pekerjaan, mempromosikan pertumbuhan ekonomi,
ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan. Sedangkan transparansi bagi masyarakat
awam (civil society) berkontribusi dalam
membangun kepercayaan dalam melaksanakan aksi-aksi publik dan aksi-aksi dalam
sistim multilateral.
Resistensi antibiotik
Kecenderungan timbulnya
resistensi antibiotik memunculkan suatu ancaman global terhadap manusia dan
hewan. Kebanyakan literatur menyatakan konsekuensi dari munculnya bakteri yang
resisten terhadap antibiotik dan penyebarannya di antara hewan memiliki dampak
potensial terhadap kesehatan masyarakat.
Suatu studi memperkirakan bahwa
sekitar 33 ribu orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia sebagai
konsekuensi langsung dari infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten
terhadap antibiotik. Sementara itu, suatu laporan dengan profil yang tinggi
memperkirakan bahwa pada tahun 2050, 10 juta orang akan meninggal dunia setiap
tahun disebabkan oleh resistensi antibiotik apabila tidak ada respon global
terhadap masalah ini.
Meski demikian perkiraan global tentang
beban masalah resistensi antibiotik yang sebenarnya dianggap tidak terlalu
informatif. Sampai saat ini masih diperlukan data yang detil dan dapat
diandalkan dalam upaya untuk memperbaiki tindakan-tindakan pengendalian
resistensi antibiotik berdasarkan surveilans berbasis populasi di negara-negara
berpendapatan rendah, menengah dan tinggi.
Pada dasarnya, selama ini area penggunaan
antibiotik ditargetkan untuk promosi pertumbuhan kelompok ternak (growth promotants), pencegahan penyakit
dan pengobatan penyakit. Produk-produk
alternatif — misalnya: vaksin, prebiotik, probiotik dan modulator kebal —
menyediakan suatu opsi baru bagi dokter hewan dan peternak untuk mengurangi
penggunaan antibiotik.
Pada ternak produksi, beragam
penyakit bakterial menyebabkan ternak sakit dan penderitaan bagi ternak,
sehingga timbul kerugian ekonomi akibat gangguan produksi. Penyakit-penyakit
pernafasan dan pencernaan merupakan yang terpenting pada beberapa spesies, dan
mastitis adalah yang paling utama pada ternak yang dipelihara untuk produksi
susu.
Pada ternak produksi semacam ini
dimana kepadatan ternak tinggi, risiko wabah penyakit juga tinggi. Sebagai
contoh peternakan feedlot dimana anak sapi digemukkan untuk produksi daging
sapi. Penyakit-penyakit bakterial juga penting di sektor aquakultur dimana
hewan aquatik, seperti ikan dan udang dibudidayakan dalam jumlah besar dengan
kontak antar individu yang sangat dekat.
Ternak unggas, babi penggemukan,
dan ikan paling banyak diobati dengan antibiotik secara oral per kelompok
melalui pakan atau air, sedangkan pada ternak sapi, kerbau, dan babi pembibitan
diobati secara individual menggunakan formulasi yang diinjeksikan ke tubuh
hewan.
Akses, rasional dan motif
penggunaan antibotik untuk produksi hewan pangan secara global sangat
bervariasi. Di beberapa negara terdapat sejumlah pembatasan terhadap akses dan
penggunaan antibiotik bagi ternak produksi, tetapi di negara-negara lain
penggunaan antibiotik diatur secara ketat dan antibiotik hanya dapat diberikan
setelah ada resep dari dokter hewan.
Disamping penggunaan teurapetik
dan profilaksis, antibiotik juga digunakan untuk memperbaiki pertumbuhan ternak
produksi dengan menyertakan antibiotik dosis rendah dalam pakan. Penggunaan
semacam ini dianggap kontroversial mengingat risiko munculnya resistensi
antibiotik dan seleksi bakteri resisten, sehingga dainggap menjadi ancaman utama
bagi kesehatan hewan maupun kesehatan manusia.
Penggunaan antibiotik sebagai
pemacu pertumbuhan (growth promoters)
sudah dilarang di sejumlah negara di dunia. Pertama kali oleh Swedia pada tahun
1986, diikuti oleh negara-negara lain, dan pada tahun 2006 sudah dilarang di
seluruh negara-negara Uni Eropa. Indonesia juga sudah melarang penggunaan
antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan sejak tahun 2018.
Untuk memitigasi dampak
penyakit-penyakit bakterial tersebut, antibiotik haruslah digunakan secara
teurapetik untuk mengobati hewan sakit dan untuk profilaksis untuk
mengantisipasi jika terjadi wabah penyakit pada individu ternak atau kelompok
ternak.
Di Amerika Serikat, industri
peternakan besar seperti Tyson dan Perdue telah melakukan respon terhadap permintaan
konsumen untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan antibiotik dalam
pemeliharaan ternak. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan
makanan cepat saji raksasa seperti McDonald’s, Subway, Kentucky Fried Chicken
(KFC) dan lainnya berkomitmen untuk menghentikan pembelian daging ayam dan
daging sapi yang dipelihara dengan menggunakan antibiotik yang penting bagi
kedokteran manusia.
Dalam pelayanan kesehatan hewan,
anjing dan kucing adalah hewan yang paling banyak hadir di klinik dan rumah
sakit hewan. Di rumah sakit hewan yang modern, peralatan diagnostik yang
canggih biasanya tersedia, dan terdapat peluang yang terbaik untuk dilakukan perawatan
intensif dan bedah. Dalam hal semacam ini, ada kepadatan hewan yang tinggi dan
penggunaan antibiotik sering terjadi, terutama untuk infeksi nosokomial.
Dalam dekade terakhir terdapat
jumlah laporan yang meningkat dari rumah sakit mengenai infeksi pada orang
dengan bakteri gram negatif multiresisten, yang terkait dengan resistensi
terhadap generasi ketiga cephalosporin atau carbapenems pada anjing.
Meskipun konsekuensi resistensi
sebagian besar adalah negatif, akan tetapi pendalaman terhadap bobot masalah
dan fokus dari kalangan masyarakat ilmiah dan media terhadap isu ini juga
memberikan aspek yang positif. Kemunculan resistensi telah menjadi suatu
insentif bagi pengembangan, evaluasi dan adaptasi dari rejim-rejim lain yang
digunakan untuk pengobatan atau pencegahan.
Upaya Indonesia ke depan
Upaya Indonesia dalam pencegahan
dan pengendalian penyakit hewan menular harus didasarkan atas tatacara
pemerintahan yang baik dengan menerapkan legislasi, kebijakan dan metoda yang
tepat. FAO, OIE dan WHO telah
mengidentifikasi aksi-aksi prioritas ‘One
Health’, yaitu rabies, influenza zoonotik, resistensi antimikroba, begitu
juga pengendalian penyakit-penyakit zoonotik pada sumbernya yaitu hewan.
Siskeswannas yang dibangun dan
dikembangkan Indonesia harus mematuhi prinsip-prinsip tatacara pemerintahan
yang baik, sehingga mampu melakukan deteksi dini, respon cepat, pertukaran
data, dan transparansi dalam notfikasi penyakit dan komunikasi antar negara.
Sistim nasional tersebut akan menjadi efisien apabila setiap negara menghormati
dan mengimplementasikan perjanjian-perjanjian, regulasi dan standar-standar
antar negara yang sudah ada.
Penghormatan terhadap kewajiban seperti itu akan memungkinkan terjadinya harmonisasi global dalam
kebijakan-kebijakan dan metoda-metoda pencegahan dan pengendalian penyakit
hewan, serta juga sangat relevan dengan kepentingan surveilans dan pencegahan
resistensi antimikroba.
Disamping itu, inovasi dan bioteknologi menjanjikan suatu dukungan di masa depan bagi upaya meningkatkan
diagnostik dan genomik yang diaplikasikan untuk pengembangan vaksin-vaksin
generasi baru untuk mencegah penyakit dan juga pengembangan alternatif
antibiotik untuk menangani resistensi penyakit.
Untuk mempromosikan penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab oleh dokter hewan, maka pedoman-pedoman
internasional dan nasional harus diterbitkan dan dipatuhi untuk mendapatkan
tujuan ganda yaitu memastikan efikasi teurapetik dan memitigasi resistensi.
Di masa depan, perawatan kesehatan hewan peliharaan dan ternak produksi harus memiliki tujuan yang sama yaitu
mengurangi insidensi penyakit-penyakit hewan menular dengan mengurangi kebutuhan
antibiotik. Hal ini bahkan menjadi relevan, mengingat saat ini sangat tidak
mungkin kelas antibiotik baru akan tersedia untuk penggunaan pada hewan.
Apabila kelas antibiotik baru tersedia dan akan dipasarkan di masa depan,
antibiotik tersebut mungkin terbatas hanya untuk penggunaan pada manusia
saja.
Selanjutnya hal ini akan mendorong upaya-upaya untuk memitigasi muncul dan menyebarnya resistensi
terhadap antibiotik yang saat ini ada di dunia kedokteran hewan melalui program-program
penatalaksanaan antibiotik (antibiotic
stewardship), termasuk tindakan-tindakan seperti biosekuriti dan lainnya untuk
mempertahankan agar ternak tetap sehat tanpa penggunaan antibiotik.
0 Komentar:
Posting Komentar