Sabtu, 11 Mei 2019

Kesehatan Hewan Global

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Usaha ternak sapi (agribisnis.co.id)
Tulisan ini dapat dibaca juga di VETNESIA Edisi 1 dan Edisi 2.

MERS-CoV, Ebola, virus West Nile atau Avian influenza adalah contoh penyakit-penyakit yang muncul dalam dekade terakhir ini yang kesemuanya bersumber dari hewan. Kemunculan penyakit-penyakit tersebut telah memperlihatkan bahwa kapasitas negara-negara di dunia dalam mencegah, mendeteksi dan merespon wabah tidaklah sama.
Seperti diketahui, 60 persen dari penyakit-penyakit menular yang ada saat ini berdampak kepada manusia, dan lebih dari 75 persen adalah penyakit-penyakit yang baru muncul (newly emerging diseases). Ebola, influenza, dan virus West Nile semuanya muncul pertama kali di negara-negara berkembang yang tidak memiliki kapasitas cukup untuk mengimplementasikan standar-standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam mendeteksi, mencegah dan merespon penyakit-penyakit yang bersumber dari hewan.

Kita berada di dunia yang saling terhubung dan saling bergantung. Kerentanan terhadap suatu penyakit yang ada di satu negara mewakili kerentanan semua negara. Penyakit tidak menghormati batas-batas negara, begitu juga penyakit yang masih asing bagi negara kita atau yang biasa kita kenal sebagai penyakit eksotik bisa saja suatu waktu menjadi ancaman domestik.
Kesehatan global tidak akan dapat tercapai apabila tidak ada perhatian diberikan kepada sistim pencegahan dan pengendalian penyakit hewan. Pengendalian penyakit yang efektif bukan hanya merupakan tanggung jawab antara kesehatan manusia dan hewan yang ada di pemerintahan dan sektor swasta, tetapi juga sejumlah sektor dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat nasional, regional dan global.  
Pertumbuhan populasi dunia
Populasi dunia diproyeksikan akan mencapai 9,8 miliar penduduk pada tahun 2050, suatu lompatan jauh dari populasi 7,6 miliar saat ini. Kenaikan produksi daging diprediksi menjadi dua kali lipat pada tahun 2050 seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, dibarengi dengan perubahan preferensi diet dan kenaikan tingkat pendapatan.
Pertumbuhan ekspor daging pada tahun 2018 kebanyakan terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Argentina, Thailand dan Uni Eropa, sedangkan impor daging meningkat di negara-negara seperti China, Jepang, Meksiko dan Korea Selatan.
Konsumsi daging pada tahun 2050 diproyeksikan akan meningkat hampir 73 persen, sedangkan konsumsi susu diprediksi tumbuh sebesar 58 persen. Permintaan produksi ternak ke depan terutama akan banyak terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia, dimana pertumbuhan populasi paling banyak terjadi. Kebutuhan yang sebagian besar dipenuhi oleh operasi pemeliharaan ternak skala besar dan intensif.
Tidak ada pilihan bagi sektor peternakan selain merespon kebutuhan global. Tekanan terhadap peternak dan industri peternakan untuk menyediakan pangan hewani bagi lebih banyak penduduk dunia, dalam kondisi dimana ketersediaan air dan tanah terbatas, serta lingkungan berkelanjutan yang tetap harus dipertahankan.
Namun demikian produksi ternak yang semakin meningkat terseebut akan tetap menghadapi hambatan dari penyakit-penyakit menular dan parasit, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dimana dana yang tersedia untuk pengendalian penyakit terus menurun selama puluhan tahun belakangan ini. 
Pengendalian penyakit-penyakit pada ternak akan tetap menjadi komponen sangat penting dalam produksi pangan hewani yang efisien dan terhubung secara pasti dengan agenda ketahanan pangan global. Sejumlah penyakit pada ternak yang berpengaruh terhadap rantai pangan seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), African swine fever (AFS), bovine spongiform encephalopathy (BSE), avian influenza (AI). Koordinasi dan kerjasama internasional dibutuhkan dalam upaya untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.     
Pertumbuhan populasi hewan peliharaan
Klinik hewan Jogya (news.harianjogya.com)
Segmen hewan peliharaan dapat dikatakan menghadapi tantangan yang berbeda dari sektor peternakan. Sasarannya lebih kepada bagaimana dapat melayani pemilik hewan yang cenderung memperlakukan hewannya sebagai anggota keluarga. Pemilik hewan sangat menginginkan adanya perawatan kesehatan yang memberikan jaminan agar anggota keluarganya tersebut dapat hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih nyaman.
Di negara-negara maju seperti Inggris, diperkirakan ada 8 sampai 10 juta ekor anjing yang hidup di 31 persen rumah tangga, di Amerika Serikat ada 72 juta ekor anjing di 37 persen rumah tangga. Saat ini hubungan antara orang dengan anjing dan kucing sebagai hewan peliharaan semakin intim, dimana hewan peliharaan berbagi lingkungan ruang yang sama dengan manusia. 
Meskipun data rumah tangga yang memiliki hewan peliharaan di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi diasumsikan jumlah hewan peliharaan cukup tinggi. Pangsa pasar hewan peliharaan di Indonesia mencapai 15,6 persen di Asia Tenggara. Pertumbuhan hewan peliharaan di Indonesia diperkirakan akan mencapai 7,1 persen hingga tahun 2020.
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat terutama kelas menengah di Indonesia memicu lahirnya komunitas-komunitas pecinta hewan peliharaan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat. Produk-produk hewan peliharaan alami akan menjadi suatu industri yang meningkat pesat. Pemilik hewan dari kalangan kelas menengah bahkan rela mengeluarkan ekstra rupiah untuk memberikan kepada hewannya suatu pola hidup organik, sama seperti yang mereka harapkan untuk keluarganya.
Perkembangan pakan hewan kesayangan, penangkis nyamuk dan kutu yang sifatnya alami (natural repellent), sampai ke mainan hewan yang terbuat dari serat non-sintetik. Begitu juga dengan prosedur bedah yang semakin canggih, piranti digital dan pelayanan hewan peliharaan secara khusus memperlihatkan seberapa besar uang yang bersedia dikeluarkan oleh pemilik hewan bagi hewan teman setianya tersebut.
Keuntungan dari kepemilikan hewan peliharaan bagi kesehatan manusia, kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi tidak perlu dipertanyakan lagi. Nyatanya pola kehidupan anjing dan kucing saat ini yang terus bergerak di lingkungan manusia, dari kandang, ke rumah, ke sofa, ke tempat tidur dan lain sebagainya menyebabkan potensi penyebaran penyakit ke manusia meningkat.   
Meskipun diketahui kebanyakan penyakit-penyakit baru yang menjangkiti manusia utamanya bersumber dari ternak, akan tetapi hewan peliharaan juga berpotensi menjadi sumber penyakit-penyakit baru muncul. Kita ketahui bahwa infeksi virus rabies pada anjing diperkirakan membunuh minimum 50 ribu orang setiap tahun di Afrika dan Asia. Di Indonesia sendiri, rabies menyebabkan sekitar 100 orang meninggal dunia setiap tahun.
Integrasi antara orang dengan hewan peliharaan yang sangat dekat memicu kepentingan adanya suatu sistim monitoring penyakit global yang dibangun oleh para dokter hewan yang bekerja sebagai dokter hewan praktik. Pembangunan sistim seperti ini tentu memerlukan kemauan politik, aplikasi saintifik dan dukungan finansial yang akan dapat dicapai apabila ada kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta. 
Pengetahuan yang diperoleh melalui sistim surveilans seperti ini akan memberikan peluang kepada kita untuk lebih efektif dalam mengendalikan zoonosis pada hewan peliharaan, sehingga mengurangi risiko yang melekat pada hubungan paling mendasar antara manusia dan hewan.
Keamanan kesehatan global
Peternakan babi (www.padarnews.com)
Evolusi patogen baru dan yang muncul kembali (emerging and re-emerging pathogens) adalah konsekuensi dari banyak faktor, dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut berpotensi menimbulkan ancaman bagi manusia dan hewan, yang hanya dapat ditangani melalui suatu strategi global yang multifaset dan terkoordinasi dengan baik. Untuk itu menjadi sangat penting bagi kita di Indonesia untuk turut serta mengamankan kesehatan global.
Indonesia menjadi anggota Global Health Security Agenda (GHSA) yang merupakan suatu inisiatif global dan kolaborasi antar negara yang saat ini sudah mencapai 50 negara, antara lain Amerika Serikat, Canada, China, Uni Eropa, India, Indonesia, Jepang dan Thailand, serta organisasi-organisasi internasional termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
GHSA bertujuan untuk mempercepat kemajuan menuju dunia yang terjaga dan aman dari ancaman-ancaman penyakit menular dan mempromosikan keamanan kesehatan global sebagai suatu prioritas keamanan internasional. 
Sebagai negara yang berkomitmen dalam GHSA, maka Indonesia perlu berkomitmen dan mematuhi standar-standar internasional yang dibangun oleh OIE tentang kualitas dan efisiensi sistim nasional kesehatan hewan. OIE merupakan badan antar pemerintah penentu standar kesehatan hewan dan sebagai sumber unggulan untuk peringatan dini dan monitoring penyakit hewan.

Indonesia harus sedapat mungkin untuk mengikuti dan menjalankan 5 (lima) platform yang ditetapkan oleh OIE untuk suksesnya GHSA, sebagai berikut:

Pertama, Indonesia perlu mematuhi standar-standar internasional OIE untuk metoda pencegahan dan pengendalian penyakit dan kualitas sistim kesehatan hewan nasional (siskeswannas). Siskeswannas yang mematuhi standar-standar internasional OIE mengenai kualitas, dan berfungsi sesuai prinsip-prinsip tatacara pemerintahan yang baik (good governance) akan berkontribusi lebih baik dalam suatu sistim kesehatan global yang efektif dan berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan yang ada di masyarakat dunia saat ini maupun ke depan.

Kedua, Indonesia perlu menjalankan semaksimal mungkin prinsip-prinsip yang tertuang dalam ‘OIE PVS Pathway’ (Performance Veterinary Services Pathway) dalam upaya mengidentifikasi tingkat performans, kesenjangan dan kelemahan dalam kapasitas siskeswannas untuk memenuhi standar-standar internasional OIE. Perbaikan performan siskeswannas akan membantu Indonesia dalam upaya mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan dalam kapasitas siskeswannas secara menyeluruh, termasuk pendidikan kedokteran hewan, kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnerships), serta kapasitas dalam mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman-ancaman penyakit hewan menular.

Ketiga, Indonesia perlu mengikuti dan menjalankan pedoman yang ditetapkan oleh OIE dan WHO secara bersama-sama dalam memperbaiki kepatuhan terhadap International Health Regulations (IHR) yang diterbitkan oleh WHO dan standar-standar mengenai kualitas siskeswannas (PVS Pathway) yang diterbitkan oleh OIE. Dalam hal ini, Indonesia perlu menerapkan pendekatan ‘One Health’ yang dapat digunakan untuk memahami secara lebih baik penyebab dari muncul dan menyebarnya penyakit-penyakit bersumber dari hewan. Indikator-indikator yang ditetapkan dalam IHR dan PVS Pathway tersebut, dapat digunakan untuk membangun suatu sistim koordinasi antara kesehatan dan kesehatan hewan nasional yang komprehensif dan paralel dalam upaya mengelola risiko pada keterkaitan antara hewan dan manusia (animal-human interface).

Keempat, Indonesia ikut serta aktif dalam menjalankan pelaporan penyakit global yang ditetapkan dalam World Animal Health Information System (WAHIS) OIE.  Indonesia harus sedapat mungkin memanfaatkan WAHIS sebagai suatu sumber terkemuka yang komprehensif untuk deteksi dini, monitoring dan pelaporan secara transparan penyakit-penyakit hewan, termasuk zoonosis. Indonesia harus menyadari bahwa pelaporan global secara cepat sesuai waktu sebenarnya (real time) adalah prasyarat dan kritis untuk komunikasi yang efisien dan respon cepat terhadap kejadian-kejadian penyakit.

Kelima, Indonesia harus memanfaatkan semaksimal mungkin keberadaan jejaring global OIE yang terdiri dari 296 Laboratorium Referensi (Reference Laboratories) dan Pusat-pusat Kerjasama (Collaborating Centres) dan begitu juga dengan keberadaan ‘Focal Point’ di tingkat nasional dan yang menjadi penyedia informasi ilmiah berkelanjutan dan permanen dalam suatu sistim respon darurat global. ‘Focal point’ yang ada di masing-masing negara termasuk Indonesia, terdiri dari 6 (enam) kategori yaitu (1) notifikasi penyakit hewan ke OIE; (2) hewan aquatik; (3) satwa liar; (4) produksi ternak dan keamanan pangan; (5) produk-produk veteriner; dan (6) kesejahteraan hewan.

Perlunya perbaikan transparansi antar negara

Peternakan ayam rakyat (kompas.com)
Meskipun kesadaran tentang kesehatan global menjadi tantangan bagi semua pihak tanpa terkecuali, namun masih tetap dibutuhkan upaya harmonisasi beragam pendekatan di tingkat multilateral. Masih banyak pendapat di kalangan negara-negara anggota OIE yang menganggap kurangnya transparansi dalam pelaksanaan tindakan-tindakan sanitary yang menyebabkan kurangnya kepercayaan antara negara mitra dagang.

Isu-isu transparansi yang seringkali dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah (1) transparansi dalam pelaporan penyakit dan (2) transparansi dalam penerapan standar-standar internasional hewan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan hewan serta keamanan perdagangan.

Transparansi dalam pelaporan penyakit berarti setiap negara anggota OIE melaksanakan pelaporan penyakit hewan yang terdeteksi di wilayah teritorialnya. OIE mendesiminasi informasi tersebut ke seluruh dunia melalui websitenya, sehingga setiap negara dapat mengambil aksi pencegahan yang diperlukan. Informasi ini termasuk juga penyakit-penyakit yang dapat ditularkan ke manusia dan introduksi patogen baru.

Seperti halnya negara lain, Indonesia menganggap penting dan seringkali memanfaatkan standar-standar kesehatan hewan internasional yang dimuat dalam OIE Terrestrial dan Aquatic Animal Health Code. Upaya membangun kepercayaan dan transparansi dengan mengimplementasikan standar-standar internasional sangat penting dalam mencapai kesetaraan dan keadilan antar negara. Data dan informasi ilmiah serta standar-standar internasional keamanan pangan merupakan barang publik yang sifatnya global (global public goods) yang bergantung kepada proses transparan dan memiliki tujuan.

Transparansi dimanfaatkan secara berbeda-beda oleh masing-masing pemangku kepentingan. Transparansi bagi organisasi internasional dan anggota-anggotanya digunakan untuk mendukung adanya suatu sistim pengaturan multilateral yang efektif dan inklusif. Transparansi bagi sektor swasta berkontribusi bagi terjadinya persaingan yang sehat dan lingkungan yang stabil, sehingga memungkinkan sektor swasta untuk berkembang, dan pada gilirannya menciptakan lapangan pekerjaan, mempromosikan pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan. Sedangkan transparansi bagi masyarakat awam (civil society) berkontribusi dalam membangun kepercayaan dalam melaksanakan aksi-aksi publik dan aksi-aksi dalam sistim multilateral.

Resistensi antibiotik

Kecenderungan timbulnya resistensi antibiotik memunculkan suatu ancaman global terhadap manusia dan hewan. Kebanyakan literatur menyatakan konsekuensi dari munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan penyebarannya di antara hewan memiliki dampak potensial terhadap kesehatan masyarakat.

Suatu studi memperkirakan bahwa sekitar 33 ribu orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia sebagai konsekuensi langsung dari infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Sementara itu, suatu laporan dengan profil yang tinggi memperkirakan bahwa pada tahun 2050, 10 juta orang akan meninggal dunia setiap tahun disebabkan oleh resistensi antibiotik apabila tidak ada respon global terhadap masalah ini.

Meski demikian perkiraan global tentang beban masalah resistensi antibiotik yang sebenarnya dianggap tidak terlalu informatif. Sampai saat ini masih diperlukan data yang detil dan dapat diandalkan dalam upaya untuk memperbaiki tindakan-tindakan pengendalian resistensi antibiotik berdasarkan surveilans berbasis populasi di negara-negara berpendapatan rendah, menengah dan tinggi.

Pada dasarnya, selama ini area penggunaan antibiotik ditargetkan untuk promosi pertumbuhan kelompok ternak (growth promotants), pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit.  Produk-produk alternatif — misalnya: vaksin, prebiotik, probiotik dan modulator kebal — menyediakan suatu opsi baru bagi dokter hewan dan peternak untuk mengurangi penggunaan antibiotik.

Pada ternak produksi, beragam penyakit bakterial menyebabkan ternak sakit dan penderitaan bagi ternak, sehingga timbul kerugian ekonomi akibat gangguan produksi. Penyakit-penyakit pernafasan dan pencernaan merupakan yang terpenting pada beberapa spesies, dan mastitis adalah yang paling utama pada ternak yang dipelihara untuk produksi susu.

Pada ternak produksi semacam ini dimana kepadatan ternak tinggi, risiko wabah penyakit juga tinggi. Sebagai contoh peternakan feedlot dimana anak sapi digemukkan untuk produksi daging sapi. Penyakit-penyakit bakterial juga penting di sektor aquakultur dimana hewan aquatik, seperti ikan dan udang dibudidayakan dalam jumlah besar dengan kontak antar individu yang sangat dekat.  

Ternak unggas, babi penggemukan, dan ikan paling banyak diobati dengan antibiotik secara oral per kelompok melalui pakan atau air, sedangkan pada ternak sapi, kerbau, dan babi pembibitan diobati secara individual menggunakan formulasi yang diinjeksikan ke tubuh hewan.

Akses, rasional dan motif penggunaan antibotik untuk produksi hewan pangan secara global sangat bervariasi. Di beberapa negara terdapat sejumlah pembatasan terhadap akses dan penggunaan antibiotik bagi ternak produksi, tetapi di negara-negara lain penggunaan antibiotik diatur secara ketat dan antibiotik hanya dapat diberikan setelah ada resep dari dokter hewan.

Disamping penggunaan teurapetik dan profilaksis, antibiotik juga digunakan untuk memperbaiki pertumbuhan ternak produksi dengan menyertakan antibiotik dosis rendah dalam pakan. Penggunaan semacam ini dianggap kontroversial mengingat risiko munculnya resistensi antibiotik dan seleksi bakteri resisten, sehingga dainggap menjadi ancaman utama bagi kesehatan hewan maupun kesehatan manusia.

Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoters) sudah dilarang di sejumlah negara di dunia. Pertama kali oleh Swedia pada tahun 1986, diikuti oleh negara-negara lain, dan pada tahun 2006 sudah dilarang di seluruh negara-negara Uni Eropa. Indonesia juga sudah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan sejak tahun 2018.

Untuk memitigasi dampak penyakit-penyakit bakterial tersebut, antibiotik haruslah digunakan secara teurapetik untuk mengobati hewan sakit dan untuk profilaksis untuk mengantisipasi jika terjadi wabah penyakit pada individu ternak atau kelompok ternak. 

Di Amerika Serikat, industri peternakan besar seperti Tyson dan Perdue telah melakukan respon terhadap permintaan konsumen untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan antibiotik dalam pemeliharaan ternak. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan makanan cepat saji raksasa seperti McDonald’s, Subway, Kentucky Fried Chicken (KFC) dan lainnya berkomitmen untuk menghentikan pembelian daging ayam dan daging sapi yang dipelihara dengan menggunakan antibiotik yang penting bagi kedokteran manusia.

Dalam pelayanan kesehatan hewan, anjing dan kucing adalah hewan yang paling banyak hadir di klinik dan rumah sakit hewan. Di rumah sakit hewan yang modern, peralatan diagnostik yang canggih biasanya tersedia, dan terdapat peluang yang terbaik untuk dilakukan perawatan intensif dan bedah. Dalam hal semacam ini, ada kepadatan hewan yang tinggi dan penggunaan antibiotik sering terjadi, terutama untuk infeksi nosokomial.

Dalam dekade terakhir terdapat jumlah laporan yang meningkat dari rumah sakit mengenai infeksi pada orang dengan bakteri gram negatif multiresisten, yang terkait dengan resistensi terhadap generasi ketiga cephalosporin atau carbapenems pada anjing.

Meskipun konsekuensi resistensi sebagian besar adalah negatif, akan tetapi pendalaman terhadap bobot masalah dan fokus dari kalangan masyarakat ilmiah dan media terhadap isu ini juga memberikan aspek yang positif. Kemunculan resistensi telah menjadi suatu insentif bagi pengembangan, evaluasi dan adaptasi dari rejim-rejim lain yang digunakan untuk pengobatan atau pencegahan.

Upaya Indonesia ke depan

Upaya Indonesia dalam pencegahan dan pengendalian penyakit hewan menular harus didasarkan atas tatacara pemerintahan yang baik dengan menerapkan legislasi, kebijakan dan metoda yang tepat.  FAO, OIE dan WHO telah mengidentifikasi aksi-aksi prioritas ‘One Health’, yaitu rabies, influenza zoonotik, resistensi antimikroba, begitu juga pengendalian penyakit-penyakit zoonotik pada sumbernya yaitu hewan.

Siskeswannas yang dibangun dan dikembangkan Indonesia harus mematuhi prinsip-prinsip tatacara pemerintahan yang baik, sehingga mampu melakukan deteksi dini, respon cepat, pertukaran data, dan transparansi dalam notfikasi penyakit dan komunikasi antar negara. Sistim nasional tersebut akan menjadi efisien apabila setiap negara menghormati dan mengimplementasikan perjanjian-perjanjian, regulasi dan standar-standar antar negara yang sudah ada.

Penghormatan terhadap kewajiban seperti itu akan memungkinkan terjadinya harmonisasi global dalam kebijakan-kebijakan dan metoda-metoda pencegahan dan pengendalian penyakit hewan, serta juga sangat relevan dengan kepentingan surveilans dan pencegahan resistensi antimikroba.

Disamping itu, inovasi dan bioteknologi menjanjikan suatu dukungan di masa depan bagi upaya meningkatkan diagnostik dan genomik yang diaplikasikan untuk pengembangan vaksin-vaksin generasi baru untuk mencegah penyakit dan juga pengembangan alternatif antibiotik untuk menangani resistensi penyakit.

Untuk mempromosikan penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab oleh dokter hewan, maka pedoman-pedoman internasional dan nasional harus diterbitkan dan dipatuhi untuk mendapatkan tujuan ganda yaitu memastikan efikasi teurapetik dan memitigasi resistensi.

Di masa depan, perawatan kesehatan hewan peliharaan dan ternak produksi harus memiliki tujuan yang sama yaitu mengurangi insidensi penyakit-penyakit hewan menular dengan mengurangi kebutuhan antibiotik. Hal ini bahkan menjadi relevan, mengingat saat ini sangat tidak mungkin kelas antibiotik baru akan tersedia untuk penggunaan pada hewan. Apabila kelas antibiotik baru tersedia dan akan dipasarkan di masa depan, antibiotik tersebut mungkin terbatas hanya untuk penggunaan pada manusia saja. 

Selanjutnya hal ini akan mendorong upaya-upaya untuk memitigasi muncul dan menyebarnya resistensi terhadap antibiotik yang saat ini ada di dunia kedokteran hewan melalui program-program penatalaksanaan antibiotik (antibiotic stewardship), termasuk tindakan-tindakan seperti biosekuriti dan lainnya untuk mempertahankan agar ternak tetap sehat tanpa penggunaan antibiotik.

0 Komentar: