www.lifestyle.kompas.com |
“Commitment
is important, but commitment alone will not stop the spread of multiresistant
bugs’
Sumber:
EU Antimicrobial Resistance One
Health ministerial conference 2016
Untuk beberapa dekade, resistensi antimikroba merupakan suatu masalah
kesehatan global. Saat ini, masalah resistensi antimikroba sudah tereskalasi
menjadi salah satu tantangan kesehatan terbesar yang dihadapi di abad ke-21
(1).
Di negara-negara berkembang, patogen resisten
antimikroba secara umum ditemukan pada hewan, produk hewan dan lingkungan pangan-agro,
tetapi dari sistim surveilans yang masih lemah tidak ada data yang dapat diandalkan untuk mendeskripsikan tingkat resistensi antimikroba pada hewan dan produknya. Suatu
keniscayaan bahwa patogen resisten antimikroba pada hewan dan produknya
berkontribusi terhadap infeksi resisten antimikroba pada manusia. Namun demikian,
literatur yang tersedia di negara-negara berkembang belum memadai untuk dapat secara pasti menyimpulkan sejauh mana tingkat kontribusi tersebut (2).
Kunci pemicu timbulnya resistensi antimikroba terkait pertanian adalah kuantitas dan kualitas penggunaan antimikroba di produksi ternak dan aquakultur. Saat ini belum ada informasi akurat mengenai penggunaan antibiotik di negara-negara berkembang, tetapi penggunaan di pertanian dianggap melebihi penggunaan di kedokteran manusia. Kebanyakan penggunaan antibiotik adalah di sistim produksi intensif, dan penggunaannya meningkat sangat cepat (2).
Kunci pemicu timbulnya resistensi antimikroba terkait pertanian adalah kuantitas dan kualitas penggunaan antimikroba di produksi ternak dan aquakultur. Saat ini belum ada informasi akurat mengenai penggunaan antibiotik di negara-negara berkembang, tetapi penggunaan di pertanian dianggap melebihi penggunaan di kedokteran manusia. Kebanyakan penggunaan antibiotik adalah di sistim produksi intensif, dan penggunaannya meningkat sangat cepat (2).
Antimikroba yang diberikan ke hewan dengan berbagai alasan, termasuk
pengobatan, pencegahan, pengendalian, dan pemicu pertumbuhan/efisiensi pakan.
Antimikroba pemicu pertumbuhan (antimicrobial
growth promotants) pertama kali diadvokasi pada pertengahan tahun
1950-an dimana antibiotik subterapeutik dalam jumlah kecil seperti procaine
penicillin dan tetracycline (sejumlah 1/10 s/d 1/100 sebagai suatu dosis
terapeutik), diberikan kepada hewan dalam pakan, dan mampu meningkatkan rasio pakan
terhadap berat badan ternak unggas, babi dan sapi potong (1).
Infeksi antimikroba resisten pada hewan adalah risiko
yang paling potensial bagi kesehatan manusia karena sangat mungkin antimikroba
tersebut adalah patogen zoonosis yang ditularkan melalui makanan, terutama Salmonella dan
Campylobacter. Ternak
yang dikaitkan dengan methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan
perluasan spektrum beta lactamase E. coli (ESBL E. coli) merupakan masalah resistensi antibiotik yang
muncul di seluruh dunia (2).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan
Hewan Dunia (OIE) dikenal sebagai organisasi ‘three sisters’ dengan mandat kesehatan global. Begitu juga Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO), Codex Alimentarius Commission (CAC) dan Organisasi Perlindungan Tanaman (IPPC) dikenal sebagai organisasi ‘three
standard setting’ (penentu standar).
WHO mulai menangani masalah resistensi antimikroba
sejak tahun 2001 dan saat ini merupakan organisasi yang memimpin upaya pengendalian
secara global. Sejumlah kegiatan telah dilakukan termasuk penilaian tingkat resistensi
antimikroba, pembangunan kapasitas surveilans resistensi antimikroba,
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan resistensi antimikroba, dan mengembangkan
strategi dan rencana aksi. Pada tahun 2015, WHO meluncurkan “Global Action Plan
for Antimicrobial Resistance (AMR)”.
Kerjasama tripartit FAO, WHO dan OIE dalam
menyediakan advis, memperbaiki kerangka regulasi, peningkatan kesadaran dan
mendukung penelitian dalam upaya membantu dunia dalam memperoleh data yang
lebih akurat tentang tingkat resistensi dan konsumsi antimikroba secara global
(2).
Strategi OIE
Menyadari pentingnya isu ini bagi dunia, maka OIE mengharapkan
agar negara-negara anggota OIE berkomitmen untuk memastikan bahwa
setiap otoritas negara di bidang kesehatan hewan memenuhi tanggungjawabnya dan
apabila diperlukan, mencari bantuan melalui ‘OIE PVS Pathway’
untuk menyesuaikan sistim kesehatan hewan nasionalnya dengan
standar-standar OIE.
OIE dengan dukungan dari semua organisasi dan donor
yang relevan, bekerja sama dengan negara-negara
anggota mendukung implementasi
standar-standar dan pedoman-pedoman OIE menggunakan pendekatan ‘PVS pathway’
dan mekanisme pengembangan kapasitas OIE
lainnya, termasuk program ‘kembaran’ (twinning)
dan seminar-seminar regional.
OIE mengembangkan suatu prosedur dan standar untuk
mengumpulkan data tahunan dari negara-negara anggota OIE mengenai penggunaan antimikroba
pada hewan penghasil pangan dengan tujuan menciptakan suatu database global yang
dapat dkelola paralel dengan ‘World
Animal Health Information System (WAHIS)’.
OIE akan terus mengembangkan dan memperbaharui
standar-standar dan pedoman-pedoman terkait dengan resistensi antimikroba dan
penggunaan yang bijak dari antimikroba termasuk memperbaharui secara
reguler ‘OIE List of Antimicrobial Agents
of Veterinary Importance’ yaitu suatu daftar komprehensif dari seluruh antimikroba yang digunakan pada hewan penghasil pangan yang terbagi menjadi: antimikroba kritis penting (critically important), antimikroba sangat penting (highly important) dan antimikroba penting (important).
Dalam hal ini, OIE mendukung pengembangan dan transisi
negara-negara anggota untuk memperkuat sistim kesehatan hewan nasionalnya dalam
mengimplementasikan tata kelola yang baik (good
governance) dan legislasi terkait dengan antimikroba yang memenuhi
standar-standar OIE dan CAC, dan untuk membantu mereka dalam
memerangi penggunaan yang tidak berizin atau produk-produk palsu.
OIE memperkuat kerjasamanya dengan
organisasi-organisasi internasional, seperti World Customs Organisation dan Interpol,
dan pemangku-pemangku kepentingan lainnya untuk memerangi produk-produk palsu dengan
tujuan memastikan akses terhadap antimikroba yang terbukti kualitasnya.
OIE juga mendorong agar setiap negara anggota dapat
menunjuk, mendukung dan mempertahankan ‘National
OIE Focal Points for Veterinary Products’ sesuai tugasnya dan memastikan
kontak yang dekat dengan ‘contact points’
dari WHO, FAO dan CAC.
OIE mengadvokasi bagaimana setiap negara anggota untuk
dapat meregulasi profesi veteriner melalui aturan hukum, dalam upaya untuk memastikan
etik profesional dan tata kelola dari sistim kesehatan hewan nasional. Untuk
itu OIE mengembangkan standar dan program antar pemerintah dalam menciptakan
dan mengoperasikan suatu ‘Veterinary
Statutory Bodies’ (VSB) nasional dan daerah yang didasarkan pada aturan hukum
dengan kekuasaan untuk mengendalikan kualifikasi, etik, keunggulan profesional
(professional excellence) dan aturan yang ketat bagi praktisi yang melakukan praktik di bawah standar (5).
Kewajiban Indonesia
Sebagaimana halnya dengan negara-negara anggota OIE
lainnya, Indonesia perlu menerapkan standar-standar dan
pedoman-pedoman internasional OIE dan CAC berkaitan dengan penggunaan
antimikroba yang bertanggungjawab dan bijak dan
rekomendasi ‘OIE List of Antimicrobial
Agents of Veterinary Importance’, termasuk rekomendasi mengenai fluoroquinolones
dan generasi ketiga dan keempat cephalosporins yang penting dianggap kritis
baik untuk kesehatan manusia dan hewan.
Negara-negara anggota
OIE termasuk Indonesia juga perlu mengikuti pedoman
‘WHO Global Action Plan on Antimicrobial
Resistance’, yang dikembangkan dengan dukungan dari OIE dalam spirit
pendekatan “One Health”. Setiap negara diharuskan untuk mengembangkan Rencana
Aksi Nasional (National Action Plans), dengan dukungan
FAO dan WHO, sehubungan dengan penggunaan antimikroba
pada hewan dan memastikan kerjasama yang erat dengan pejabat-pejabat di bidang
kesehatan masyarakat.
Dalam mempelajari secara lebih mendalam mengenai data konsumsi
antimikroba, maka setiap negara anggota OIE perlu mengembangkan dan
membangun suatu sistem harmonisasi nasional resmi untuk pengumpulan data dalam
memonitor resistensi antimikroba pada patogen hewan yang relevan dan kuantitas antimikroba yang digunakan pada hewan penghasil pangan di tingkat
nasional berdasarkan standar-standar OIE.
Dengan pembangunan sistim pengumpulan data dalam memonitor
resistensi antimikroba, maka upaya ini berkontribusi terhadap inisiatif OIE
untuk mengumpulkan data mengenai antimikroba yang digunakan pada hewan
penghasil pangan (termasuk lewat pakan terapi) dengan
demikian berpartisipasi secara aktif dalam
pengembangan database global.
Setiap negara anggota OIE bertanggungjawab untuk mengembangkan
atau memperbaharui legislasi dan regulasi secara tepat terutama yang menyangkut
impor, pemasaran, otorisasi, produksi, distribusi (termasuk pengangkutan dan
penyimpanan) dan penggunaan produk-produk obat hewan berkualitas tinggi. Upaya ini berhasil untuk dilakukan tentunya melalui interaksi
dengan otoritas kompeten yang
relevan lainnya dan juga dengan pihak-pihak
swasta terkait, dan memastikan implementasi yang efektif.
Disamping itu, setiap negara perlu mempromosikan
praktik-praktik pertanian dan akuakultur yang baik (good agriculture and aquaculture practices), termasuk penggunaan vaksin
hanya apabila diperlukan, dan berinteraksi dengan seluruh pihak-pihak terkait
sambil memastikan terpenuhinya kepatuhan terhadap standar-standar OIE dan CAC untuk meminimalkan pengembangan dan penyebaran resistensi
antimikroba.
Negara-negara anggota
OIE termasuk Indonesia perlu memperbaiki
legislasi dan pendidikan veteriner, jika diperlukan,
dalam rangka memfasilitasi implementasi standar-standar dan pedoman-pedoman OIE
dan CAC terkait dengan resistensi antimikroba dan pengawasan
veteriner terhadap penggunaan antimikroba.
Negara-negara anggota OIE juga perlu meningkatkan
investasi pada penelitian yang relevan untuk memperbaiki pemahaman
tentang efikasi antimikroba yang beredar saat ini dengan
tujuan memperpanjang penggunaannya sambil meminimalkan pengembangan
resistensinya, mengembangkan molekul-molekul baru dan mencari
alternatif-alternatif yang dapat digunakan dalam produksi ternak untuk
substitusi antimikroba.
Peran penelitian juga diharapkan untuk dapat mengembangkan
‘penilaian risiko' (risk
assessment) dan mengevaluasi secara hati-hati
praktik-praktik penggunaan antimikroba
yang tidak ditujukan untuk melawan penyakit-penyakit hewan. Begitu juga dalam mempromosi penelitian untuk memperbaiki alat
diagnostik cepat yang digunakan pada hewan dan mengeksplorasi
alternatif-alternatif penggunaan antimikroba pada hewan, termasuk pengembangan
vaksin-vaksin dan alat-alat lainnya untuk penyakit-penyakit bakteri prioritas.
Sebagai upaya untuk memperkuat upaya membendung ancaman resistensi antimikroba, maka setiap negara anggota OIE termasuk Indonesia perlu mengadvokasi pentingnya kurikulum pendidikan kedokteran hewan (Day 1 competencies) dengan memasukkan pengetahuan mengenai resistensi antimikroba dan kode praktik veteriner yang baik (good veterinary practices) untuk penggunaan yang bertanggungjawab dan bijak dari antimikroba pada hewan.
Sebagai upaya untuk memperkuat upaya membendung ancaman resistensi antimikroba, maka setiap negara anggota OIE termasuk Indonesia perlu mengadvokasi pentingnya kurikulum pendidikan kedokteran hewan (Day 1 competencies) dengan memasukkan pengetahuan mengenai resistensi antimikroba dan kode praktik veteriner yang baik (good veterinary practices) untuk penggunaan yang bertanggungjawab dan bijak dari antimikroba pada hewan.
Peran ‘Veterinary Statutory Body’
Otoritas veteriner suatu negara perlu mendorong Veterinary Statutory Body (VSB) dan profesi
veteriner secara keseluruhan untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan
memastikan kepatuhan terhadap kode etik profesi kedokteran hewan dan
praktik-praktik yang veteriner baik, dengan referensi utama mengenai resep dan
pemberian antimikroba oleh dokter hewan yang terlatih dan paraprofesional
veteriner dibawah penyeliaannya.
VSB harus memiliki kapasitas dan otoritas
untuk mengembangkan dan melembagakan pengembangan profesional berkelanjutan (continuing professional development) dan
program-program pendidikan berkelanjutan yang ditujukan
secara khusus tentang penggunaan antimikroba
yang bertanggungjawab dan bijak pada hewan (termasuk hewan kesayangan dan satwa
liar) dan pada teknologi-teknologi baru terkait yang perlu disediakan, termasuk
uji-uji diagnostik.
Referensi:
1. Marshall B.M. and Levy S.B. (2011). Food Animals and Antimicrobials:
Impacts on Human Health. Clin. Microbiol. Rev. 2011, 24(4):718. DOI: 10.1128/CMR.00002-11.
2. Grace D. (2015). Review of Evidence on
Antimicrobial Resistance and Animal Agriculture in Developing Countries.
International Livestock Research Institute (ILRI). DOI:http://dx.doi.org/10.12774/eod_cr.june2015.graced.
3.
OIE (2013). OIE Global Conference on the
Responsible and Prudent Use of
Antimicrobial Agents for Animals. International
Solidarity To Fight Against Antimicrobial Resistanc. Paris,
France, 13-15 March 2013.
4. OIE (2015). 83rd World Assembly OIE Delegates with theme ‘Combating antimicrobial resistance and promoting the
prudent use of antimicrobial agents in animals’, Paris, France, 24-29
May 2015.
5.
OIE (2015). Fact sheets. Antimicrobial Resistance. Ensuring
good governance of the Veterinary Services through adequate legislation.
0 Komentar:
Posting Komentar