Sabtu, 11 Mei 2019

Strategi global untuk membendung ancaman Resistensi Antimikroba pada hewan: mulai dari niat jadi nyata

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

www.lifestyle.kompas.com
Commitment is important, but commitment alone will not stop the spread of multiresistant bugs

Sumber:
EU Antimicrobial Resistance One Health ministerial conference 2016

Untuk beberapa dekade, resistensi antimikroba merupakan suatu masalah kesehatan global. Saat ini, masalah resistensi antimikroba sudah tereskalasi menjadi salah satu tantangan kesehatan terbesar yang dihadapi di abad ke-21 (1).

Di negara-negara berkembang, patogen resisten antimikroba secara umum ditemukan pada hewan, produk hewan dan lingkungan pangan-agro, tetapi dari sistim surveilans yang masih lemah tidak ada data yang dapat diandalkan untuk mendeskripsikan tingkat resistensi antimikroba pada hewan dan produknya. Suatu keniscayaan bahwa patogen resisten antimikroba pada hewan dan produknya berkontribusi terhadap infeksi resisten antimikroba pada manusia. Namun demikian, literatur yang tersedia di negara-negara berkembang belum memadai untuk dapat secara pasti menyimpulkan sejauh mana tingkat kontribusi tersebut (2).  

Kunci pemicu timbulnya resistensi antimikroba terkait pertanian adalah kuantitas dan kualitas penggunaan antimikroba di produksi ternak dan aquakultur. Saat ini belum ada informasi akurat mengenai penggunaan antibiotik di negara-negara berkembang, tetapi penggunaan di pertanian dianggap melebihi penggunaan di kedokteran manusia. Kebanyakan penggunaan antibiotik adalah di sistim produksi intensif, dan penggunaannya meningkat sangat cepat (2). 

Antimikroba yang diberikan ke hewan dengan berbagai alasan, termasuk pengobatan, pencegahan, pengendalian, dan pemicu pertumbuhan/efisiensi pakan. Antimikroba pemicu pertumbuhan (antimicrobial growth promotants) pertama kali diadvokasi pada pertengahan tahun 1950-an dimana antibiotik subterapeutik dalam jumlah kecil seperti procaine penicillin dan tetracycline (sejumlah 1/10 s/d 1/100 sebagai suatu dosis terapeutik), diberikan kepada hewan dalam pakan, dan mampu meningkatkan rasio pakan terhadap berat badan ternak unggas, babi dan sapi potong (1). 

Infeksi antimikroba resisten pada hewan adalah risiko yang paling potensial bagi kesehatan manusia karena sangat mungkin antimikroba tersebut adalah patogen zoonosis yang ditularkan melalui makanan, terutama Salmonella dan Campylobacter. Ternak yang dikaitkan dengan methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan perluasan spektrum beta lactamase E. coli (ESBL E. coli) merupakan masalah resistensi antibiotik yang muncul di seluruh dunia (2).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dikenal sebagai organisasi ‘three sistersdengan mandat kesehatan global. Begitu juga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Codex Alimentarius Commission (CAC) dan Organisasi Perlindungan Tanaman (IPPC) dikenal sebagai organisasi ‘three standard setting’ (penentu standar).

WHO mulai menangani masalah resistensi antimikroba sejak tahun 2001 dan saat ini merupakan organisasi yang memimpin upaya pengendalian secara global. Sejumlah kegiatan telah dilakukan termasuk penilaian tingkat resistensi antimikroba, pembangunan kapasitas surveilans resistensi antimikroba, mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan resistensi antimikroba, dan mengembangkan strategi dan rencana aksi. Pada tahun 2015, WHO meluncurkan “Global Action Plan for Antimicrobial Resistance (AMR)”.

Kerjasama tripartit FAO, WHO dan OIE dalam menyediakan advis, memperbaiki kerangka regulasi, peningkatan kesadaran dan mendukung penelitian dalam upaya membantu dunia dalam memperoleh data yang lebih akurat tentang tingkat resistensi dan konsumsi antimikroba secara global (2). 

Strategi OIE

Menyadari pentingnya isu ini bagi dunia, maka OIE mengharapkan agar negara-negara anggota OIE berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap otoritas negara di bidang kesehatan hewan memenuhi tanggungjawabnya dan apabila diperlukan, mencari bantuan melalui OIE PVS Pathway untuk menyesuaikan sistim kesehatan hewan nasionalnya dengan standar-standar OIE.

OIE dengan dukungan dari semua organisasi dan donor yang relevan, bekerja sama dengan negara-negara anggota mendukung implementasi standar-standar dan pedoman-pedoman OIE menggunakan pendekatan PVS pathway’ dan mekanisme pengembangan kapasitas  OIE lainnya, termasuk program ‘kembaran’ (twinning) dan seminar-seminar regional.  

OIE mengembangkan suatu prosedur dan standar untuk mengumpulkan data tahunan dari negara-negara anggota OIE mengenai penggunaan antimikroba pada hewan penghasil pangan dengan tujuan menciptakan suatu database global yang dapat dkelola paralel dengan ‘World Animal Health Information System (WAHIS)’.

OIE akan terus mengembangkan dan memperbaharui standar-standar dan pedoman-pedoman terkait dengan resistensi antimikroba dan penggunaan yang bijak dari antimikroba termasuk memperbaharui secara reguler ‘OIE List of Antimicrobial Agents of Veterinary Importance’ yaitu suatu daftar komprehensif dari seluruh antimikroba yang digunakan pada hewan penghasil pangan yang terbagi menjadi: antimikroba kritis penting (critically important), antimikroba sangat penting (highly important) dan antimikroba penting (important).

Dalam hal ini, OIE mendukung pengembangan dan transisi negara-negara anggota untuk memperkuat sistim kesehatan hewan nasionalnya dalam mengimplementasikan tata kelola yang baik (good governance) dan legislasi terkait dengan antimikroba yang memenuhi standar-standar OIE dan CAC, dan untuk membantu mereka dalam memerangi penggunaan yang tidak berizin atau produk-produk palsu.

OIE memperkuat kerjasamanya dengan organisasi-organisasi internasional, seperti World Customs Organisation dan Interpol, dan pemangku-pemangku kepentingan lainnya untuk memerangi produk-produk palsu dengan tujuan memastikan akses terhadap antimikroba yang terbukti kualitasnya.

OIE juga mendorong agar setiap negara anggota dapat menunjuk, mendukung dan mempertahankan ‘National OIE Focal Points for Veterinary Products’ sesuai tugasnya dan memastikan kontak yang dekat dengan ‘contact points’ dari WHO, FAO dan CAC.

OIE mengadvokasi bagaimana setiap negara anggota untuk dapat meregulasi profesi veteriner melalui aturan hukum, dalam upaya untuk memastikan etik profesional dan tata kelola dari sistim kesehatan hewan nasional. Untuk itu OIE mengembangkan standar dan program antar pemerintah dalam menciptakan dan mengoperasikan suatu ‘Veterinary Statutory Bodies’ (VSB) nasional dan daerah yang didasarkan pada aturan hukum dengan kekuasaan untuk mengendalikan kualifikasi, etik, keunggulan profesional (professional excellence) dan aturan yang ketat bagi praktisi yang melakukan praktik di bawah standar (5). 

Kewajiban Indonesia

Sebagaimana halnya dengan negara-negara anggota OIE lainnya, Indonesia perlu menerapkan standar-standar dan pedoman-pedoman internasional OIE dan CAC berkaitan dengan penggunaan antimikroba yang bertanggungjawab dan bijak dan rekomendasi ‘OIE List of Antimicrobial Agents of Veterinary Importance’, termasuk rekomendasi mengenai fluoroquinolones dan generasi ketiga dan keempat cephalosporins yang penting dianggap kritis baik untuk kesehatan manusia dan hewan.

Negara-negara anggota OIE termasuk Indonesia juga perlu mengikuti pedoman ‘WHO Global Action Plan on Antimicrobial Resistance’, yang dikembangkan dengan dukungan dari OIE dalam spirit pendekatan “One Health. Setiap negara diharuskan untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional (National Action Plans), dengan dukungan FAO dan WHO, sehubungan dengan penggunaan antimikroba pada hewan dan memastikan kerjasama yang erat dengan pejabat-pejabat di bidang kesehatan masyarakat. 

Dalam mempelajari secara lebih mendalam mengenai data konsumsi antimikroba, maka setiap negara anggota OIE perlu mengembangkan dan membangun suatu sistem harmonisasi nasional resmi untuk pengumpulan data dalam memonitor resistensi antimikroba pada patogen hewan yang relevan dan kuantitas antimikroba yang digunakan pada hewan penghasil pangan di tingkat nasional berdasarkan standar-standar OIE.

Dengan pembangunan sistim pengumpulan data dalam memonitor resistensi antimikroba, maka upaya ini berkontribusi terhadap inisiatif OIE untuk mengumpulkan data mengenai antimikroba yang digunakan pada hewan penghasil pangan (termasuk lewat pakan terapi) dengan demikian berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan database global.

Setiap negara anggota OIE bertanggungjawab untuk mengembangkan atau memperbaharui legislasi dan regulasi secara tepat terutama yang menyangkut impor, pemasaran, otorisasi, produksi, distribusi (termasuk pengangkutan dan penyimpanan) dan penggunaan produk-produk obat hewan berkualitas tinggi. Upaya ini berhasil untuk dilakukan tentunya melalui interaksi dengan otoritas kompeten yang relevan lainnya dan juga dengan pihak-pihak swasta terkait, dan memastikan implementasi yang efektif.

Disamping itu, setiap negara perlu mempromosikan praktik-praktik pertanian dan akuakultur yang baik (good agriculture and aquaculture practices), termasuk penggunaan vaksin hanya apabila diperlukan, dan berinteraksi dengan seluruh pihak-pihak terkait sambil memastikan terpenuhinya kepatuhan terhadap standar-standar OIE dan CAC untuk meminimalkan pengembangan dan penyebaran resistensi antimikroba.

Negara-negara anggota OIE termasuk Indonesia perlu memperbaiki legislasi dan pendidikan veteriner, jika diperlukan, dalam rangka memfasilitasi implementasi standar-standar dan pedoman-pedoman OIE dan CAC terkait dengan resistensi antimikroba dan pengawasan veteriner terhadap penggunaan antimikroba.

Negara-negara anggota OIE juga perlu meningkatkan investasi pada penelitian yang relevan untuk memperbaiki pemahaman tentang efikasi antimikroba yang beredar saat ini dengan tujuan memperpanjang penggunaannya sambil meminimalkan pengembangan resistensinya, mengembangkan molekul-molekul baru dan mencari alternatif-alternatif yang dapat digunakan dalam produksi ternak untuk substitusi antimikroba. 

Peran penelitian juga diharapkan untuk dapat mengembangkan ‘penilaian risiko' (risk assessment) dan mengevaluasi secara hati-hati praktik-praktik penggunaan antimikroba yang tidak ditujukan untuk melawan penyakit-penyakit hewan. Begitu juga dalam mempromosi penelitian untuk memperbaiki alat diagnostik cepat yang digunakan pada hewan dan mengeksplorasi alternatif-alternatif penggunaan antimikroba pada hewan, termasuk pengembangan vaksin-vaksin dan alat-alat lainnya untuk penyakit-penyakit bakteri prioritas.

Sebagai upaya untuk memperkuat upaya membendung ancaman resistensi antimikroba, maka setiap negara anggota OIE termasuk Indonesia perlu mengadvokasi pentingnya kurikulum pendidikan kedokteran hewan (Day 1 competencies) dengan memasukkan pengetahuan mengenai resistensi antimikroba dan kode praktik veteriner yang baik (good veterinary practices) untuk penggunaan yang bertanggungjawab dan bijak dari antimikroba pada hewan.

Peran ‘Veterinary Statutory Body

Otoritas veteriner suatu negara perlu mendorong Veterinary Statutory Body (VSB) dan profesi veteriner secara keseluruhan untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan memastikan kepatuhan terhadap kode etik profesi kedokteran hewan dan praktik-praktik yang veteriner baik, dengan referensi utama mengenai resep dan pemberian antimikroba oleh dokter hewan yang terlatih dan paraprofesional veteriner dibawah penyeliaannya.

VSB harus memiliki kapasitas dan otoritas untuk mengembangkan dan melembagakan pengembangan profesional berkelanjutan (continuing professional development) dan program-program pendidikan berkelanjutan yang ditujukan secara khusus tentang penggunaan antimikroba yang bertanggungjawab dan bijak pada hewan (termasuk hewan kesayangan dan satwa liar) dan pada teknologi-teknologi baru terkait yang perlu disediakan, termasuk uji-uji diagnostik.

Referensi:
1.     Marshall B.M. and Levy S.B. (2011). Food Animals and Antimicrobials: Impacts on Human Health. Clin. Microbiol. Rev. 2011, 24(4):718. DOI: 10.1128/CMR.00002-11.
2.     Grace D. (2015). Review of Evidence on Antimicrobial Resistance and Animal Agriculture in Developing Countries. International Livestock Research Institute (ILRI). DOI:http://dx.doi.org/10.12774/eod_cr.june2015.graced.
3.     OIE (2013). OIE Global Conference on the Responsible and Prudent Use of Antimicrobial Agents for Animals. International Solidarity To Fight Against Antimicrobial Resistanc. Paris, France, 13-15 March 2013.
4.     OIE (2015). 83rd World Assembly OIE Delegates with theme ‘Combating antimicrobial resistance and promoting the prudent use of antimicrobial agents in animals’, Paris, France, 24-29 May 2015.
5.     OIE (2015). Fact sheets. Antimicrobial Resistance. Ensuring good governance of the Veterinary Services through adequate legislation. 

   



0 Komentar: