Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Sejak lama pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian, berpandangan bahwa perlu ada sumber pasokan baru daging sapi untuk mengurangi ketergantungan pada Australia dan Selandia Baru. Dua negara yang memiliki peluang sangat besar karena statusnya sebagai negara bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Pembukaan impor dari Amerika Serikat (AS) dan Kanada belakangan ini menjadikan persaingan para importir semakin ketat dalam mensubsitusi kebutuhan daging nasional. Salah satu negara yang dianggap bisa menjadi sumber pasokan baru adalah Brazil.
Desakan untuk mengimpor daging sapi yang datangnya dari Pemerintah Brazil kelihatannya akan sulit ditolak oleh pemerintah Indonesia di era perdagangan bebas saat ini. Brazil adalah negara dengan populasi sapi terbesar di dunia dengan 180 juta ekor, hampir menyamai jumlah penduduknya yang 190 juta orang. Pada tahun 2005, Brazil mengambil alih peran Australia sebagai pemasok daging sapi terbesar di dunia. Di tahun 2006 yang lalu, ekspor Brazil mencapai 1,2 juta ton daging sapi, 22 persen lebih besar dari Australia.
Pada tahun 2007, populasi sapi Brazil diperkirakan meningkat sekitar 3,7%. Ini berarti terobosan peluang ekspor baru harus dicari dan Indonesia dengan penduduk lebih dari 230 juta orang adalah pangsa pasar yang potensial.
Sudah barang tentu industri hilir yang tergabung dalam NAMPA dan importir daging yang tergabung dalam ASPIDI (kecuali importir Australia dan NZ), akan banyak diuntungkan dengan importasi daging Brazil yang diperkirakan harganya akan lebih murah, lebih banyak tersedia bahan baku dan kualitas yang lebih baik dari daging lokal.
Sedangkan peternakan rakyat (PPSKI, HPDKI dlsbnya) dan industri hulu terutama yang tergabung dalam APFINDO sangat menentang impor daging Brazil karena dianggap bisa membuat daya saing semakin ketat, menghancurkan peternakan lokal dan mengancam aset ternak dengan masuknya PMK lewat impor daging. Bahkan pemerintah dianggap tidak berpihak kepada peternakan rakyat, terutama dalam keseriusan mengembangkan perbibitan ternak nasional.
Keputusan mengimpor daging sapi dari Brazil merupakan kebijakan publik yang menjadi tanggung jawab politis dari penentu kebijakan. Pertimbangan kebijakan dengan menilai sejauh mana dampak impor akan memberikan keuntungan ekonomi dan sosial bagi masyarakat konsumen. Juga dengan memperhitungkan seberapa besar kerugian ekonomi dan sosial jangka pendek maupun jangka panjang akibat penutupan pasar dan terpuruknya industri peternakan nasional apabila PMK terbawa melalui impor. Begitu juga dampak berganda (multiplier effect) yang akan menyeret industri hilir dan hulu serta industri terkait lainnya.
Analisa risiko
Untuk memutuskan apakah impor daging dari Brazil akan dilakukan atau tidak, Menteri Pertanian mengandalkan kepada analisa risiko (Kompas, 24 September 2008). Dalam hal ini, pemerintah sudah berupaya untuk mengikuti aturan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yang menetapkan analisa risiko sebagai salah satu alat untuk menetapkan kebijakan importasi hewan dan produk hewan.
Sesuai OIE, analisa risiko harus berlandaskan pada dua hal. Pertama, berlandaskan pada pengetahuan yang kredibel tentang situasi PMK dan pelaksanaan pengendaliannya di negara pengekspor. Kedua, berlandaskan pada kesiapan dan kemampuan negara pengimpor untuk menangkal kemungkinan terburuk apabila PMK terbawa melalui impor daging.
Alur analisa risiko harus mencerminkan suatu mata rantai yang dimulai di Brazil sampai daging masuk dan didistribusikan di Indonesia. Alur tersebut harus logis, transparan dan berdasarkan fakta. Kalau prinsip ini tidak dijalankan, maka bisa dipertanyakan sejauh mana hasil analisa risiko mampu memberikan input yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai wujud akuntabilitas dari penentu kebijakan. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menangkal PMK masuk dengan mengelola risiko di titik-titik sepanjang mata rantai tersebut, sekalipun tingkat risiko yang diperhitungkan sangat rendah.
Situasi PMK di Brazil
OIE pada bulan Mei tahun 2008 ini telah mengesahkan 11 negara bagian sebagai zona bebas PMK dengan vaksinasi, sehingga memungkinkan bagi Brazil untuk memulihkan peluang ekspor daging dari negara-negara bagian tersebut. Zona bebas PMK tanpa vaksinasi hanya satu yaitu negara bagian Santa Catarina. Dengan jumlah keseluruhan 26 negara bagian, maka sebanyak 14 negara bagian masih dinyatakan tertular PMK.
Dalam analisis risiko, harus dicermati bahwa negara bagian Rio Grande do Sul dan Santa Catarina telah bebas PMK sejak hampir 10 tahun yang lalu. Vaksinasi telah dihentikan, tapi bulan Agustus 2000, wabah PMK meledak di Rio Grande do Sul. Sekitar 10 ribu ekor sapi, domba dan babi dimusnahkan. Diperkirakan importasi ilegal stok bibit sapi dari Argentina atau Paraguay sebagai penyebab dari wabah tersebut.
Faktor kegagalan mengendalikan penyebaran PMK dikarenakan kurangnya supervisi oleh pejabat otoritas veteriner setempat dan vaksinasi tidak dilaksanakan secara memadai. Oleh karenanya negara tetangga, seperti Argentina dan Uruguay khawatir dengan kemungkinan PMK menyebar dari Rio Grande do Sul ke wilayah negara mereka.
Kasus PMK terakhir tercatat pada bulan Oktober 2005 dimana wabah muncul di negara bagian Mato Grosso do Sul. Hal ini disebabkan peternak-peternak sapi menyelundupkan sapi-sapi yang tidak divaksin dari negara tetangga Paraguay untuk menaikkan jumlah sapi yang mereka miliki dengan harga rendah. Harga sapi 30 persen lebih murah di Paraguay daripada di Brazil sendiri.
Dalam menilai risiko di negara asal, yang paling penting adalah bagaimana upaya otoritas veteriner Brazil dalam melakukan upaya-upaya pencegahan seperti ketepatan pelaporan penyakit, registrasi peternakan, sistem identifikasi dan telusur ternak, vaksinasi serta pengendalian lalu lintas ternak.
Sikap kritis perlu dibangun untuk menganalisis apakah regionalisasi atau sistem zona di Brazil dipertahankan dengan baik. Tidak tersedianya sistem telusur balik dan lemahnya pengendalian lintas batas menyebabkan pergerakan sapi dengan bebas melewati perbatasan bukan hanya antar negara bagian, tetapi juga dari negara tertular PMK yang bertetangga seperti Bolivia dan Paraguay.
Hal yang harus disadari pula adalah potensi risiko akan bertambah apabila otoritas veteriner Brazil gagal dalam menotifikasi dan mengendalikan PMK. Dapat dipahami mengapa Brazil tidak memiliki sistem identifikasi dan telusur ternak yang dipercaya, oleh karena geografi sangat luas, populasi sapi sedemikian besarnya dibarengi dengan mutasi ternak yang tinggi.
Satu hal lagi adalah bagaimana pencampuran sapi yang divaksin dan yang tidak divaksin. Begitu juga tiga juta ekor kerbau liar di wilayah bagian utara yang bisa memperumit penyebaran PMK di Brazil. Lamanya pemerintah melakukan diagnosa apabila terjadi wabah PMK. Kemudian apakah uji yang digunakan oleh otoritas di sana sudah memadai dan apakah mampu membedakan antara hewan terinfeksi dan hewan yang divaksin.
Kesiapsiagaan darurat
Meskipun rencana impor akan dilakukan dari zona bebas PMK, akan tetapi Indonesia tetap perlu mengantisipasi risiko sekecil apapun. Selain situasi PMK di Brazil, kajian risiko juga bergantung pada kemampuan negara penerima untuk mengendalikan risiko apabila PMK masuk lewat impor daging. Dampak risiko yang muncul bisa merupakan gabungan dari kegagalan mendeteksi PMK di negara asal maupun di negara penerima.
OIE menyatakan bahwa untuk menjamin keamanan perdagangan antar negara, maka setiap negara harus melakukan investasi yang cukup untuk memperkuat sistem kesehatan hewan nasionalnya (national veterinary service).
PMK bisa saja muncul tiba-tiba dan probabilitas risiko akan meningkat seiring dengan bertambahnya volume impor. Untuk mengantisipasi itu semua negara di dunia, apalagi Indonesia yang statusnya bebas PMK, perlu mempersiapkan secara baik perencanaan kesiagaan darurat penyakit (disease emergency preparedness).
Indonesia saat ini belum memiliki reputasi atas dasar kemampuannya untuk mengelola situasi darurat penyakit. Tidak tuntasnya penanganan flu burung sebagai contoh, memperburuk penilaian internasional atas sistim kesehatan hewan nasional. Padahal banyak pemerintahan di dunia sudah memiliki prosedur tetap untuk menghadapi wabah PMK dengan prosedur kesiagaan darurat penyakit yang mirip dengan konsep pemadam kebakaran.
Pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap pentingnya penguatan sistem kesehatan hewan nasional sebagai antisipasi kemungkinan berjangkitnya kembali PMK. Alokasi dana minim, sumberdaya dokter hewan dan tenaga para-profesional sangat kurang, tidak fokus pada peningkatan profesionalisme dan lemahnya integrasi pemerintah dengan sektor swasta.
Dalam menilai konsekuensi risiko, patut dipertanyakan apakah Indonesia sudah berupaya secara memadai untuk meningkatkan kemampuan di bidang epidemiologi, komunikasi, diagnostik dan teknologi, penyediaan sumberdaya lapangan seperti dokter hewan di wilayah-wilayah terpencil dan pelatihan.
Pemerintah dengan mengikutsertakan peternak dan industri juga perlu melaksanakan suatu kesiagaan darurat dalam bentuk simulasi skala penuh dari suatu skenario wabah PMK.
*) Tri Satya Putri Naipospos, Praktisi Epidemiologi Veteriner, Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
0 Komentar:
Posting Komentar