TROBOS, 1 Januari 2009 – Kolom & Opini
Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Ayam kampung lebih sering dikaitkan dengan kaum proletar atau pengentasan kemiskinan atau ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tetapi sangat sedikit dibicarakan dari sisi komersialisasinya atau bisnisnya. Istilah ayam keluarga (family poultry) atau ayam belakang rumah (backyard poultry) atau ayam pedesaan (village/rural poultry) menjadi begitu melekat pada ayam kampung dan diterima sebagai suatu yang sudah demikian adanya.
Akan berbeda halnya kalau kita pernah ngobrol dengan Haji Ade Zulkarnaen. Haji Ade adalah, mantan wartawan yang alih profesi jadi peternak ayam kampung di rumahnya di Cicurug, Sukabumi. Dia tidak pernah kenal lelah kalau bicara tentang bisnis ayam kampung. Meskipun ayam kampung lebih dicitrakan “lokal”, “serabutan” atau “usaha kecil”, tetapi Haji Ade menganggap peternak ayam kampung adalah tuan di negeri sendiri.
Tentu Haji Ade punya alasan untuk mengatakan demikian. Peternak ayam kampung bisa menentukan segala sesuatunya sendiri, mulai dari pakan, kandang, obat-obatan dan bahkan harga jual ayam. Permasalahan ayam kampung lebih seputar bagaimana mempertahankan ketersediaan bibit ayam usia sehari dengan kuantitas dan kualitas yang baik, sehingga kestabilan pasokan ayam kampung dapat terjaga. Hal yang menyebabkan terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dengan permintaan akan daging dan telur yang cenderung meningkat secara eksponensial.
Sepanjang sejarah perunggasan di negeri ini, belum pernah permintaan akan daging atau telur ayam kampung menurun. Malah selalu terjadi ketimpangan yang sangat besar antara kemampuan pasokan dengan tingkat permintaan. Untuk kebutuhan kota Jakarta dan sekitarnya saja, baru bisa terpenuhi 12 ribu atau 9 persen dari total permintaan sebesar 150 ribu ekor per bulan (Kontan On-line, 2008).
Atribut ”kampung”
Meskipun ayam kampung diberi nama ”ayam buras” (bukan ras) oleh pemerintah, tetapi atribut ”kampung” atau ”tabungan hidup orang desa” tetap saja tidak berhasil dihilangkan. Dilihat dari segi preferensi konsumen, daging ayam kampung jauh lebih gurih dan lezat daripada ayam ras dan telurnya punya kelebihan tersendiri. Tekstur otot yang khas dan tebal serta rendah kandungan lemak dan kolesterol menjadikan daging ayam kampung lebih unggul dari ayam ras. Ini menyebabkan harga daging maupun telur ayam kampung lebih mahal dari ayam ras.
Meskipun ayamnya dihasilkan di desa, tetapi penikmat daging ayam kampung sesungguhnya lebih banyak di kota. Lihat saja kalangan yang makan di restoran ”Ny Suharti” atau restoran lainnya yang menunya mengandalkan ayam kampung justru adalah kelas menengah ke atas yang mencirikan kemapanan dan status sosial yang lebih. Kontras dengan peternak ayam kampung yang kebanyakan kelas sosial bawah atau kelas pekerja.
Sesuai dengan lingkungannya, pada umumnya ayam kampung berkeliaran tanpa diberi pakan khusus di lahan yang sempit dengan sumberdaya terbatas. Pertumbuhan yang lambat, produksi telur rendah, daur reproduksi relatif lebih panjang serta sifat mengeram, menetaskan dan memelihara anak yang memerlukan jangka waktu tertentu. Meskipun secara umum lebih tahan penyakit daripada ayam ras, tetapi dalam hal Newcastle Disease (ND) atau tetelo kematian pada umur kurang dari 6 minggu seringkali mencapai 50-56 persen.
Gejolak perunggasan
Para pengamat mengatakan bahwa setiap kali terjadi gonjang ganjing dunia perunggasan nasional, ayam kampung tidak akan terpengaruh. Ayam kampung tetap bertahan sebagai wujudnya sekarang, di tengah berbagai gejolak situasi perunggasan yang pernah terjadi mulai dari fluktuasi harga ayam, bibit ayam atau pakan.
Namun betapapun kuatnya pukulan terhadap industri ayam ras, ayam kampung tetap tidak dilirik para pelaku usaha meskipun permintaan dan harga ayam kampung cenderung stabil. Harganya juga pasti naik menjelang hari-hari besar.
Itu juga sebabnya populasi ayam kampung di Indonesia relatif cukup stabil dibandingkan dengan ayam ras. Estimasi populasi ayam kampung di Indonesia tidak selalu mudah. Data menyebutkan ada sekitar 260-300 juta ekor ayam kampung tersebar dari perkotaan sampai pelosok negeri.
Industri perunggasan punya banyak faktor sensitif, terutama karena ketergantungannya pada pakan impor. Gejolak harga pakan paling sering terjadi dan dampak terberat dirasakan ayam ras. Untuk tidak terpengaruh dengan pakan pabrikan, maka penggunaan pakan lokal merupakan salah satu cara mengoptimalkan potensi ayam kampung.
Gejolak lain yang pernah melanda industri perunggasan adalah wabah flu burung 2003-2004 lalu. Namun demikian sulit diprediksi seberapa besar ayam kampung terpengaruh setelah timbulnya wabah. Satu hasil penelitian terbaru menyatakan secara nasional ayam kampung tidak terpengaruh flu burung, mengingat harga jual tetap tinggi, investasinya kecil dan kontribusinya tidak signifikan terhadap pendapatan rumah tangga (Rushton, 2008).
Potensi ekonomi
Secara umum ayam kampung cuma dijadikan sumber uang tunai bagi rumahtangga miskin di pedesaan, belum sebagai komoditi yang memberikan peluang bisnis menjanjikan.
Nampaknya masih dianggap terlalu banyak kendala untuk meningkatkan budidaya ayam kampung dari tradisional ke agribisnis, karena sistemnya yang ‘low input-low output’. Oleh karena itu ada hal-hal yang harus dirubah apabila ingin memberlakukan ayam kampung sebagai komoditi ekonomi sama seperti halnya ayam ras.
Pertama, yang harus dirubah adalah motivasi utama dalam memelihara ayam kampung, bukan dipandang sebagai tabungan tidak terurus dengan tidak memperhitungkan nilai ternak. Ternak dan kandang dianggap sebagai modal tetap serta pakan dan tenaga kerja sebagai modal tidak tetap.
Kedua, ayam kampung harus dibudidayakan secara besar-besaran dengan mengubah sistem pemeliharaan dari sekedarnya menjadi ‘modern’. Pemeliharaan skala kecil dengan 10 ekor ayam betina dan 1 ekor ayam jantan sebagai populasi dasar dalam program pengentasan kemiskinan sulit untuk menjadi usaha yang ekonomis dan tidak akan menjadi sumber pendapatan yang rutin bagi masyarakat. Ayam kampung tidak bisa digunakan sebagai alat memutarbalikan proses kemiskinan yang cenderung bergerak seperti spiral.
Menurut perhitungan kasar Haji Ade, satu ekor ayam kampung butuh biaya Rp 16.500 sampai Rp 18.500 untuk periode pemeliharaan selama 70 hari. Kalau di kandang bisa dijual dengan harga Rp 26 ribu saja, akan didapatkan untung antara 34–40 persen per ekor ayam. Menurutnya, profit margin beternak seribu ekor ayam kampung setara dengan beternak 30 ribu ekor ayam ras (Kontan On-line, 2008).
Ketiga, manajemen ayam kampung perlu diperbaiki agar mampu mensuplai bibit secara lebih kontinyu. Peternak sendiri perlu menggalakkan program pembibitan ayam kampung bekerjasama dengan lembaga pemerintah. Peranan seleksi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bibit dengan genetik sesuai dengan yang diharapkan. Juga mesin tetas yang ekonomis tetapi efisien harus digunakan sehingga lama pengeraman bisa diminimalkan.
Keempat, mengutak-atik ransum pakan lokal untuk meningkatkan efisiensi konsumsi dan rasio konversi pakan paling tidak mendekati ayam ras. Nilai nutrisi pakan digunakan untuk meningkatkan produktivitas ayam kampung dengan suplementasi obat-obatan serta vaksin.
Ayam kampung yang dikandangkan dengan pakan dan vaksinasi teratur akan bisa dipanen dalam waktu 70 hari dengan bobot di atas 1 kg. Ayam kampung tanpa pakan teratur baru bisa memiliki bobot 1 kg setelah berumur lebih dari tujuh bulan (Kompas Jawa Barat, 2007).
Kelima, bila taraf hidup peternak ayam kampung diinginkan naik kelas, maka yang sangat mendasar adalah faktor modal. Menurut Keputusan Presiden Nomor 99 tahun 1998, ayam kampung dicadangkan sebagai usaha peternakan rakyat, bukan untuk perusahaan besar. Justru perbankan harus diyakinkan bahwa dengan potensi ekonomi ayam kampung, peluang kredit UKM atau kredit mikro sangat layak untuk dipertimbangkan.
*) Bekerja di World Organization for Animal Health / Office International des Epizooties (OIE), Regional Coordination Unit for Southeast Asia, Bangkok.
0 Komentar:
Posting Komentar