https://bisnis.tempo.co/ |
Desakan Brazil sebagai negara yang memiliki
populasi sapi terbesar di dunia dengan 180 juta ekor untuk mengimpor daging
sapi dari negara mereka kelihatannya akan sulit ditolak oleh pemerintah
Indonesia. Pada tahun 2005,
Brazil mengambil alih peran Australia sebagai pemasok daging sapi terbesar di
dunia. Di tahun 2006 yang lalu, ekspor Brazil mencapai 1,2 ton daging sapi, 22
persen lebih besar dari Australia.
Pada tahun 2007, populasi sapi Brazil diperkirakan
meningkat sekitar 3,7 persen. Ini berarti terobosan peluang ekspor baru harus
dicari dan Indonesia dengan penduduk lebih dari 230 juta orang adalah pangsa
pasar yang potensial.
Keputusan mengimpor daging sapi dari Brazil
merupakan kebijakan publik yang menjadi tanggung jawab politis dari penentu
kebijakan.
Pertimbangan kebijakan dengan menilai sejauh
mana dampak impor akan memberikan keuntungan ekonomi dan sosial bagi masyarakat
konsumen. Juga dengan memperhitungkan seberapa besar kerugian ekonomi dan
sosial jangka pendek maupun jangka panjang akibat penutupan pasar dan terpuruknya
industri peternakan nasional apabila PMK terbawa melalui impor. Begitu juga
dampak berganda (multiplier effect) yang
akan menyeret industri hilir dan hulu serta industri terkait lainnya.
Analisa risiko
Untuk memutuskan apakah impor
daging dari Brazil akan dilakukan atau tidak, Menteri Pertanian mengandalkan kepada
analisa risiko (Kompas, 24 September 2008). Dalam hal ini, pemerintah sudah
berupaya untuk mengikuti aturan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yang menetapkan
analisa risiko sebagai salah satu alat untuk menetapkan kebijakan importasi
hewan dan produk hewan.
Sesuai OIE, analisa risiko harus berlandaskan
pada dua hal. Pertama, berlandaskan pada pengetahuan yang kredibel tentang
situasi PMK dan pelaksanaan pengendaliannya di negara pengekspor. Kedua, berlandaskan
pada kesiapan dan kemampuan negara pengimpor untuk menangkal kemungkinan
terburuk apabila PMK terbawa melalui impor daging.
Alur analisa risiko harus mencerminkan
suatu mata rantai yang dimulai di Brazil sampai daging masuk dan
didistribusikan di Indonesia. Alur tersebut harus logis, transparan dan
berdasarkan fakta. Kalau prinsip ini tidak dijalankan, maka bisa dipertanyakan
sejauh mana hasil analisa risiko mampu memberikan input yang dapat dipertanggungjawabkan
sebagai wujud akuntabilitas dari penentu kebijakan. Keseriusan pemerintah
bergantung kepada upaya kendali di titik-titik sepanjang mata rantai tersebut,
sekecil apapun tingkat risiko yang diperhitungkan.
Situasi PMK di Brazil
OIE pada bulan Mei
tahun 2008 ini telah mengesahkan 11 negara bagian sebagai zona bebas PMK dengan
vaksinasi, sehingga memungkinkan bagi Brazil untuk memulihkan peluang ekspor
daging dari negara-negara bagian tersebut. Zona bebas PMK tanpa vaksinasi hanya satu yaitu
negara bagian Santa Catarina. Dengan jumlah keseluruhan 26 negara bagian, maka
sebanyak 14 negara bagian masih dinyatakan tertular PMK.
Dalam analisis
risiko, harus dicermati bahwa negara bagian Rio Grande do Sul dan Santa
Catarina telah bebas PMK sejak hampir 10 tahun yang lalu. Vaksinasi telah
dihentikan, tapi bulan Agustus 2000, wabah PMK meledak di Rio Grande do Sul.
Sekitar 10 ribu ekor sapi, domba dan babi dimusnahkan. Diperkirakan importasi
ilegal stok bibit sapi dari Argentina atau Paraguay sebagai penyebab dari wabah
tersebut.
Faktor kegagalan
mengendalikan penyebaran PMK dikarenakan kurangnya supervisi oleh pejabat
otoritas veteriner setempat dan vaksinasi tidak dilaksanakan secara memadai.
Oleh karenanya negara tetangga, seperti Argentina dan Uruguay khawatir dengan
kemungkinan PMK menyebar dari Rio Grande do Sul ke wilayah negara mereka.
Kasus PMK terakhir tercatat
pada bulan Oktober 2005 dimana wabah muncul di negara bagian Mato Grosso do Sul.
Hal ini disebabkan peternak-peternak sapi menyelundupkan sapi-sapi yang tidak
divaksin dari negara tetangga Paraguay untuk menaikkan jumlah sapi yang mereka
miliki dengan harga rendah. Harga sapi 30 persen lebih murah di Paraguay
daripada di Brazil sendiri.
Dalam menilai risiko di negara asal, yang paling
penting adalah bagaimana upaya otoritas veteriner Brazil dalam melakukan
upaya-upaya pencegahan seperti ketepatan pelaporan penyakit, registrasi
peternakan, sistem identifikasi dan telusur ternak, vaksinasi serta
pengendalian lalu lintas ternak.
Sikap kritis kita perlu
dibangun untuk menganalisis apakah regionalisasi di Brazil dipertahankan dengan
baik. Tidak tersedianya sistem telusur balik dan lemahnya pengendalian lintas
batas menyebabkan pergerakan sapi dengan bebas melewati perbatasan bukan hanya antar
negara bagian, tetapi juga dari negara tertular PMK yang bertetangga seperti
Bolivia dan Paraguay.
Hal yang harus disadari pula adalah potensi risiko
akan bertambah apabila otoritas veteriner Brazil gagal dalam menotifikasi dan
mengendalikan PMK. Dapat dipahami mengapa Brazil tidak memiliki sistem
identifikasi dan telusur ternak yang dipercaya, oleh karena geografi sangat
luas, populasi sapi sedemikian besarnya dibarengi dengan mutasi ternak yang
tinggi.
Satu hal lagi adalah
bagaimana pencampuran sapi
yang divaksin dan yang tidak divaksin. Begitu juga tiga juta ekor kerbau liar
di wilayah bagian utara yang bisa memperumit penyebaran PMK di Brazil. Lamanya
pemerintah melakukan diagnosa apabila terjadi wabah PMK. Kemudian apakah uji
yang digunakan oleh otoritas di sana sudah memadai dan apakah mampu membedakan
antara hewan terinfeksi dan hewan yang divaksin.
Kesiapsiagaan darurat
OIE menyatakan bahwa untuk menjamin keamanan
perdagangan antar negara, maka setiap negara harus melakukan investasi yang
cukup untuk memperkuat sistem kesehatan hewan nasionalnya.
PMK bisa saja muncul tiba-tiba dan probabilitas
risiko akan meningkat seiring dengan bertambahnya volume impor. Untuk
mengantisipasi itu semua negara di dunia, apalagi Indonesia yang statusnya
bebas PMK, perlu mempersiapkan secara baik perencanaan situasi darurat (emergency
planning) dan pengelolaan tanggap darurat (response arrangement).
Indonesia saat ini tidak dianggap sebagai
negara yang memiliki reputasi atas dasar kemampuannya untuk mengelola situasi
darurat penyakit. Ketidakmampuan untuk memberantas flu burung memperburuk
penilaian internasional atas sistim kesehatan hewan nasional kita. Padahal
banyak pemerintahan di dunia sudah memiliki prosedur tetap untuk menghadapi
wabah PMK dengan teori yang mirip dengan pemadam kebakaran.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah belum
menyadari pentingnya penguatan sistem kesehatan hewan nasional sebagai
antisipasi kemungkinan berjangkitnya kembali PMK. Terbukti dari alokasi dana yang
sangat minim untuk kesehatan hewan, kurangnya sumberdaya dokter hewan dan
tenaga-tenaga para-profesional, tidak fokus pada peningkatan profesionalisme
serta lemahnya integrasi pemerintah dengan sektor swasta.
Dalam menilai konsekuensi risiko, patut
dipertanyakan apakah Indonesia sudah berupaya secara memadai untuk meningkatkan
kemampuan di bidang epidemiologi, komunikasi, diagnostik dan teknologi, penyediaan
sumberdaya lapangan seperti dokter hewan di wilayah-wilayah terpencil dan
pelatihan.
Keseriusan pemerintah dinilai juga dari apakah suatu
persiapan situasi darurat dalam bentuk simulasi skala penuh dari suatu skenario
wabah PMK sudah pernah dijalankan atau tidak.
*) Tri
Satya Putri Naipospos, Praktisi Epidemiologi Veteriner, Center for Indonesian
Veterinary Analytical Studies
0 Komentar:
Posting Komentar