Tri Satya Putri Naipospos
Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian
Pendahuluan
Perkembangan yang begitu cepat di bidang teknologi dan
perdagangan global telah menempatkan posisi otoritas veteriner di pemerintahan
sebagai kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat
(public health). Otoritas veteriner dalam administrasi publik bukan hanya harus
mampu menjawab persoalan yang dikemukakan oleh otoritas yang menangani
pertanian, akan tetapi juga oleh otoritas yang menangani kesehatan
masyarakat.
Dalam setiap persoalan yang dikemukakan, otoritas veteriner
harus mampu menerapkan ketrampilan, pengetahuan, dan sumberdaya yang dimiliki
profesi kedokteran hewan untuk memberikan perlindungan dan perbaikan terhadap
kesehatan masyarakat dan hewan.
Otoritas veteriner berkontribusi secara
langsung dan nyata terhadap fisik, mental dan kesejahteraan sosial masyarakat,
baik dengan cara melindungi kesehatan manusia melalui pencegahan penyakit
zoonosis dan pengendalian higiene pangan hewani maupun dengan cara meningkatkan
produksi ternak primer dan sekunder. Dengan demikian otoritas veteriner
berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat.
Dalam perjalanannya, otoritas veteriner telah menghadapi
berbagai tantangan. Tantangan ini berkaitan dengan transformasi global dimana
bidang veteriner dituntut untuk mampu memenuhi permintaan dan peluang yang
timbul sebagai akibat pembangunan yang dilakukan masyarakat.
Horizon dan Tantangan
Baru Untuk Otoritas Veteriner
Sejarah di abad yang lalu telah mendorong perubahan nyata di
bidang veteriner dari peran tradisional yang hanya mengobati hewan dan
melindungi kesehatan manusia ke peran modern yang lebih menekankan kepada
keterkaitan antara bidang veteriner dengan manusia dan lingkungan.
Peran
otoritas veteriner harus mengikuti perubahan peran bidang veteriner dari terapi
individual ke massal, dari pencegahan individual ke implementasi rencana aksi
menyeluruh untuk pemberantasan penyakit hewan, munculnya penyakit sebagai
akibat aplikasi teknologi di bidang produksi ternak, dan pengembangan nutrisi
ternak.
Selain itu terjadi pergeseran dari yang semula hanya pengendalian
patologik ternak di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ke arah konsep RPH sebagai
tempat pengamatan epidemiologik dimana hasil kegiatan budidaya peternakan dapat
diverifikasi.
Posisi Otoritas
Veteriner Dalam Struktur Pemerintahan
Dalam konteks struktur pemerintahan nasional, otoritas
veteriner harus memainkan peran sebagai 'penjamin' (guarantor). Pelayanan yang
diberikan otoritas veteriner harus mampu menjamin bahwa seluruh persoalan yang
berhubungan dengan kegiatan dan kompetensi bidang veteriner dikelola secara
efektif dan sedemikian rupa sehingga mengedepankan hak dan standar perlindungan
kesehatan bagi semua warga negara.
Istilah 'penjamin' berarti otoritas veteriner bertindak
sebagai pihak ketiga bagi pihak-pihak lain terkait dan dalam menjalankan fungsi
kebijakan harus bersifat independen dan transparan. Peran 'penjamin' dari
otoritas veteriner harus dianggap sebagai kewajiban institusional. Dengan
demikian otoritas veteriner harus memiliki mandat diberikan oleh pemerintah
nasional untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan hewan dengan sumberdaya
yang tersedia.
Untuk memenuhi fungsi kebijakan tersebut, otoritas veteriner
harus mampu menggambarkan transparansi dan kompetensi yang dimiliki begitu juga
kemampuan intervensi dan bertindak yang memadai dengan suatu sistem evaluasi.
Sistem evaluasi meliputi organisasi dan manajemen pelayanan, dan harus
didasarkan kepada kriteria akreditasi mutu yang mengacu kepada standar jaminan
mutu pelayanan internasional.
Tantangan Globalisasi Perdagangan, Lingkungan, Kesejahteraan
Hewan dan Bioterorisme
Hubungan otoritas veteriner dan globalisasi perdagangan
ternak dan produk ternak
Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) menetapkan bahwa
pembatasan terhadap lalu lintas ternak dan produk ternak harus dimotivasi
dengan perlindungan kesehatan komsumen dan pengamanan kekayaan sumberdaya
peternakan dari negara pengimpor.
Dengan perjanjian SPS ini, suatu negara
berhak menerapkan tindakan perlindungan apabila menganggap perlu untuk
melindungi lingkungan dan kesehatan populasi manusia, hewan dan tumbuhan dari
setiap bahaya (hazard) yang berasal dari impor, sepanjang negara pengimpor
tidak membuat diskriminasi antara hewan domestik dan impor. Meskipun begitu, tidak ada satu negarapun
yang diperbolehkan menerapkan tindakan perlindungan tanpa alasan ilmiah yang sah.
'Analisa risiko' (risk analysis) digunakan menetapkan dan
menjustifikasi suatu tindakan perlindungan tersebut. Analisa risiko menjadi
suatu alat yang 'indispensable', baik untuk melindungi publik maupun memastikan
bahwa industri pangan agro nasional mempunyai akses ke pasar dunia, sehingga
lebih diinginkan dan lebih menguntungkan.
Regulasi internasional menetapkan Organisasi Kesehatan Hewan
Dunia (Office International des Epizooties/OIE) dan Codex Alimentarius
Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) sebagai
kelembagaan teknis yang menerbitkan standar acuan internasional yang digunakan
untuk mengevaluasi importasi ternak atau produk ternak dalam kaitannya dengan
tingkat perlindungan yang diinginkan.
Namun demikian di sisi lain regulasi tersebut juga
menimbulkan hambatan. Tanpa tindakan pengendalian resmi yang efektif oleh
otoritas veteriner, tidak ada satu negarapun yang mampu memiliki akses ke pasar
internasional ternak, produk ternak dan bahan pangan asal ternak.
Hubungan otoritas veteriner dan lingkungan
Hubungan antara lingkungan pedesaan dan kegiatan pertanian
termasuk peternakan menunjukkan bahwa bidang veteriner dan lingkungan saling
berkaitan erat. Setiap kegiatan pertanian yang intensif akan selalu
menghasilkan degradasi lingkungan yang umum (erosi, kebakaran dlsb). Disamping
itu pengendalian yang efektif terhadap kondisi peternakan diperlukan untuk
membatasi dan mencegah polusi lingkungan. Apabila konsep populasi diperluas
mencakup bukan hanya polutan organik, akan tetapi juga obat-obatan,
disinfektan, bakteri patogenik dlsbnya, maka peran otoritas veteriner akan
menjadi semakin fundamental.
Disposal karkas dan sisa-sisa hewan kemungkinan juga
berperan sebagai vektor dalam penularan penyakit dan berdampak terhadap
lingkungan. Bentuk-bentuk polutan lain yang perlu diwaspadai seperti organisme
rekayasa genetika (Genetically modified organisms/GMO) dan residu zat-zat
berbahaya dalam karkas hewan (logam berat, dioxin dlsbnya).
Hubungan otoritas veteriner dengan kesejahteraan hewan
Pendekatan etika menyangkut hubungan hewan dengan manusia
sangat bervariasi menurut budaya dan bahkan memiliki dimensi ekonomi dan
politik. Liberalisasi perdagangan hewan menimbulkan kepentingan untuk menjamin
'tingkat minimum kesejahteraan hewan' dalam perdagangan internasional, tanpa
menimbulkan hambatan perdagangan.
Lima kriteria kesejahteraan hewan yang dianut yaitu : (1)
bebas dari rasa lapar dan haus; (2) bebas dari ketidaknyamanan; (3) bebas dari
rasa sakit, luka atau penyakit; (4) bebas mengekpresikan kelakuan yang normal;
(5) bebas dari rasa takut dan tertekan. Dengan lima kriteria ini diharapkan dapat menjamin pengembangan yang optimal dari ternak.
Hubungan otoritas veteriner dengan bioterorisme
Banyak senjata biologik sifatnya adalah zoonosis, terutama
patogenik untuk hewan. Kegiatan bioterorisme selain berdampak kepada manusia,
implikasinya juga dapat mempengaruhi ekonomi negara. Otoritas veteriner harus
mengembangkan prosedur operasional khusus untuk intervensi cepat, dekontaminasi
dan pembangunan kembali kondisi aman.
Kerjasama otoritas veteriner antar negara
diperlukan untuk berbagi keahlian, peralatan dan sumberdaya dalam upaya untuk
menahan penyebaran secara cepat dan mengurangi pengaruh dari bioterorisme
tersebut.
Mandat Otoritas Veteriner di Pemerintahan Pusat dan Daerah
Otoritas veteriner harus terdiri dari otoritas pusat
(centralized agency) yang memiliki peran sentral yang bertanggung jawab dalam
penetapan strategi umum, verifikasi dan hubungan internasional; dan otoritas
daerah (peripheral agency) yang memiliki kontak langsung dengan pemerintahan
daerah yang bertanggung jawab dalam implementasi kegiatan yang ditetapkan oleh
otoritas pusat.
Dalam sistem otonomi, otoritas veteriner daerah dapat
melakukan perencanaan kegiatannya masing-masing tetapi tetap dalam kerangka
sistem kesehatan hewan nasional (Siskeswannas). Otoritas daerah memiliki
tingkat kewenangan tertentu dalam menetapkan lokasi dan struktur, dan
bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat.
Salah satu kelemahan dari sistem otonomi apabila tidak ada
penguatan kelembagaan otoritas pusat untuk melaksanakan pengecekan di tempat
(spot checks), sehingga efisiensi daripada otoritas veteriner daerah dapat
berbeda-beda di masing-masing wilayah negara. Dengan demikian rencana aksi
hanya dapat diterapkan secara parsial atau tidak sepenuhnya efektif dan bahkan
tidak dapat diimplementasikan secara cepat.
Otoritas veteriner memegang posisi yang penting dalam
struktur pemerintahan nasional dalam hal evaluasi dan pengendalian resiko
keamanan pangan. Apabila tidak ada suatu kelembagaan khusus tertentu di tingkat
nasional untuk hal tersebut, maka diperlukan kemampuan untuk mengkoordinasikan
sejumlah kelembagaan yang memiliki fungsi yang sama. Koordinasi berbagai kelembagaan
tersebut harus mampu dilakukan untuk mencapai tingkat keamanan pangan yang
diinginkan.
*) Tulisan ini dikutip kembali untuk dimuat dalam blog ini pada tanggal 17 Januari 2019.
0 Komentar:
Posting Komentar