Kamis, 17 Januari 2019

Peran Otoritas Veteriner Dalam Pembangunan Sistem Ketahanan Pangan Nasional

Disampaikan pada acara "Pertemuan Ilmiah dan Pos Kesehatan Hewan Nasional" di Hotel Mirah, Bogor, tanggal 13-14 Desember 2004

Tri Satya Putri Naipospos
Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian

Pendahuluan

Perkembangan yang begitu cepat di bidang teknologi dan perdagangan global telah menempatkan posisi otoritas veteriner di pemerintahan sebagai kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat (public health). Otoritas veteriner dalam administrasi publik bukan hanya harus mampu menjawab persoalan yang dikemukakan oleh otoritas yang menangani pertanian, akan tetapi juga oleh otoritas yang menangani kesehatan masyarakat. 

Dalam setiap persoalan yang dikemukakan, otoritas veteriner harus mampu menerapkan ketrampilan, pengetahuan, dan sumberdaya yang dimiliki profesi kedokteran hewan untuk memberikan perlindungan dan perbaikan terhadap kesehatan masyarakat dan hewan. 

Otoritas veteriner berkontribusi secara langsung dan nyata terhadap fisik, mental dan kesejahteraan sosial masyarakat, baik dengan cara melindungi kesehatan manusia melalui pencegahan penyakit zoonosis dan pengendalian higiene pangan hewani maupun dengan cara meningkatkan produksi ternak primer dan sekunder. Dengan demikian otoritas veteriner berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat. 

Dalam perjalanannya, otoritas veteriner telah menghadapi berbagai tantangan. Tantangan ini berkaitan dengan transformasi global dimana bidang veteriner dituntut untuk mampu memenuhi permintaan dan peluang yang timbul sebagai akibat pembangunan yang dilakukan masyarakat.

Horizon dan Tantangan Baru Untuk Otoritas Veteriner

Sejarah di abad yang lalu telah mendorong perubahan nyata di bidang veteriner dari peran tradisional yang hanya mengobati hewan dan melindungi kesehatan manusia ke peran modern yang lebih menekankan kepada keterkaitan antara bidang veteriner dengan manusia dan lingkungan. 

Peran otoritas veteriner harus mengikuti perubahan peran bidang veteriner dari terapi individual ke massal, dari pencegahan individual ke implementasi rencana aksi menyeluruh untuk pemberantasan penyakit hewan, munculnya penyakit sebagai akibat aplikasi teknologi di bidang produksi ternak, dan pengembangan nutrisi ternak. 

Selain itu terjadi pergeseran dari yang semula hanya pengendalian patologik ternak di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ke arah konsep RPH sebagai tempat pengamatan epidemiologik dimana hasil kegiatan budidaya peternakan dapat diverifikasi.      

Posisi Otoritas Veteriner Dalam Struktur Pemerintahan

Dalam konteks struktur pemerintahan nasional, otoritas veteriner harus memainkan peran sebagai 'penjamin' (guarantor). Pelayanan yang diberikan otoritas veteriner harus mampu menjamin bahwa seluruh persoalan yang berhubungan dengan kegiatan dan kompetensi bidang veteriner dikelola secara efektif dan sedemikian rupa sehingga mengedepankan hak dan standar perlindungan kesehatan bagi semua warga negara.

Istilah 'penjamin' berarti otoritas veteriner bertindak sebagai pihak ketiga bagi pihak-pihak lain terkait dan dalam menjalankan fungsi kebijakan harus bersifat independen dan transparan. Peran 'penjamin' dari otoritas veteriner harus dianggap sebagai kewajiban institusional. Dengan demikian otoritas veteriner harus memiliki mandat diberikan oleh pemerintah nasional untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan hewan dengan sumberdaya yang tersedia. 

Untuk memenuhi fungsi kebijakan tersebut, otoritas veteriner harus mampu menggambarkan transparansi dan kompetensi yang dimiliki begitu juga kemampuan intervensi dan bertindak yang memadai dengan suatu sistem evaluasi. Sistem evaluasi meliputi organisasi dan manajemen pelayanan, dan harus didasarkan kepada kriteria akreditasi mutu yang mengacu kepada standar jaminan mutu pelayanan internasional.     

Tantangan Globalisasi Perdagangan, Lingkungan, Kesejahteraan Hewan dan Bioterorisme

Hubungan otoritas veteriner dan globalisasi perdagangan ternak dan produk ternak

Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) menetapkan bahwa pembatasan terhadap lalu lintas ternak dan produk ternak harus dimotivasi dengan perlindungan kesehatan komsumen dan pengamanan kekayaan sumberdaya peternakan dari negara pengimpor. 

Dengan perjanjian SPS ini, suatu negara berhak menerapkan tindakan perlindungan apabila menganggap perlu untuk melindungi lingkungan dan kesehatan populasi manusia, hewan dan tumbuhan dari setiap bahaya (hazard) yang berasal dari impor, sepanjang negara pengimpor tidak membuat diskriminasi antara hewan domestik dan impor.  Meskipun begitu, tidak ada satu negarapun yang diperbolehkan menerapkan tindakan perlindungan tanpa alasan ilmiah yang sah.

'Analisa risiko' (risk analysis) digunakan menetapkan dan menjustifikasi suatu tindakan perlindungan tersebut. Analisa risiko menjadi suatu alat yang 'indispensable', baik untuk melindungi publik maupun memastikan bahwa industri pangan agro nasional mempunyai akses ke pasar dunia, sehingga lebih diinginkan dan lebih menguntungkan. 

Regulasi internasional menetapkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) dan Codex Alimentarius Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) sebagai kelembagaan teknis yang menerbitkan standar acuan internasional yang digunakan untuk mengevaluasi importasi ternak atau produk ternak dalam kaitannya dengan tingkat perlindungan yang diinginkan.

Namun demikian di sisi lain regulasi tersebut juga menimbulkan hambatan. Tanpa tindakan pengendalian resmi yang efektif oleh otoritas veteriner, tidak ada satu negarapun yang mampu memiliki akses ke pasar internasional ternak, produk ternak dan bahan pangan asal ternak.

Hubungan otoritas veteriner dan lingkungan

Hubungan antara lingkungan pedesaan dan kegiatan pertanian termasuk peternakan menunjukkan bahwa bidang veteriner dan lingkungan saling berkaitan erat. Setiap kegiatan pertanian yang intensif akan selalu menghasilkan degradasi lingkungan yang umum (erosi, kebakaran dlsb). Disamping itu pengendalian yang efektif terhadap kondisi peternakan diperlukan untuk membatasi dan mencegah polusi lingkungan. Apabila konsep populasi diperluas mencakup bukan hanya polutan organik, akan tetapi juga obat-obatan, disinfektan, bakteri patogenik dlsbnya, maka peran otoritas veteriner akan menjadi semakin fundamental. 

Disposal karkas dan sisa-sisa hewan kemungkinan juga berperan sebagai vektor dalam penularan penyakit dan berdampak terhadap lingkungan. Bentuk-bentuk polutan lain yang perlu diwaspadai seperti organisme rekayasa genetika (Genetically modified organisms/GMO) dan residu zat-zat berbahaya dalam karkas hewan (logam berat, dioxin dlsbnya).

Hubungan otoritas veteriner dengan kesejahteraan hewan

Pendekatan etika menyangkut hubungan hewan dengan manusia sangat bervariasi menurut budaya dan bahkan memiliki dimensi ekonomi dan politik. Liberalisasi perdagangan hewan menimbulkan kepentingan untuk menjamin 'tingkat minimum kesejahteraan hewan' dalam perdagangan internasional, tanpa menimbulkan hambatan perdagangan.

Lima kriteria kesejahteraan hewan yang dianut yaitu : (1) bebas dari rasa lapar dan haus; (2) bebas dari ketidaknyamanan; (3) bebas dari rasa sakit, luka atau penyakit; (4) bebas mengekpresikan kelakuan yang normal; (5) bebas dari rasa takut dan tertekan. Dengan lima kriteria ini diharapkan dapat menjamin pengembangan yang optimal dari ternak. 

Hubungan otoritas veteriner dengan bioterorisme

Banyak senjata biologik sifatnya adalah zoonosis, terutama patogenik untuk hewan. Kegiatan bioterorisme selain berdampak kepada manusia, implikasinya juga dapat mempengaruhi ekonomi negara. Otoritas veteriner harus mengembangkan prosedur operasional khusus untuk intervensi cepat, dekontaminasi dan pembangunan kembali kondisi aman. 

Kerjasama otoritas veteriner antar negara diperlukan untuk berbagi keahlian, peralatan dan sumberdaya dalam upaya untuk menahan penyebaran secara cepat dan mengurangi pengaruh dari bioterorisme tersebut.

Mandat Otoritas Veteriner di Pemerintahan Pusat dan Daerah

Otoritas veteriner harus terdiri dari otoritas pusat (centralized agency) yang memiliki peran sentral yang bertanggung jawab dalam penetapan strategi umum, verifikasi dan hubungan internasional; dan otoritas daerah (peripheral agency) yang memiliki kontak langsung dengan pemerintahan daerah yang bertanggung jawab dalam implementasi kegiatan yang ditetapkan oleh otoritas pusat.

Dalam sistem otonomi, otoritas veteriner daerah dapat melakukan perencanaan kegiatannya masing-masing tetapi tetap dalam kerangka sistem kesehatan hewan nasional (Siskeswannas). Otoritas daerah memiliki tingkat kewenangan tertentu dalam menetapkan lokasi dan struktur, dan bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat.

Salah satu kelemahan dari sistem otonomi apabila tidak ada penguatan kelembagaan otoritas pusat untuk melaksanakan pengecekan di tempat (spot checks), sehingga efisiensi daripada otoritas veteriner daerah dapat berbeda-beda di masing-masing wilayah negara. Dengan demikian rencana aksi hanya dapat diterapkan secara parsial atau tidak sepenuhnya efektif dan bahkan tidak dapat diimplementasikan secara cepat.

Otoritas veteriner memegang posisi yang penting dalam struktur pemerintahan nasional dalam hal evaluasi dan pengendalian resiko keamanan pangan. Apabila tidak ada suatu kelembagaan khusus tertentu di tingkat nasional untuk hal tersebut, maka diperlukan kemampuan untuk mengkoordinasikan sejumlah kelembagaan yang memiliki fungsi yang sama. Koordinasi berbagai kelembagaan tersebut harus mampu dilakukan untuk mencapai tingkat keamanan pangan yang diinginkan.

*) Tulisan ini dikutip kembali untuk dimuat dalam blog ini pada tanggal 17 Januari 2019.

0 Komentar: