Oleh: Tri Satya
Putri Naipospos (Bnagkok 2008)
Dalam dekade terakhir ini, sejumlah peristiwa wabah penyakit hewan menular
berulangkali mengganggu perdagangan ternak dan daging sehingga menciptakan
ketidakpastian di masa depan. Penyakit sapi gila dan flu burung, dua penyakit
yang paling menyebabkan gangguan perdagangan dan yang ketiga, penyakit mulut
dan kuku (PMK) bahkan dianggap bagai hantu yang membayangi pasar ekspor.
Gangguan perdagangan yang
berkaitan dengan penyakit hewan menular selain sangat merugikan industri ternak
di negara pengekspor, juga berpotensi mempengaruhi industri pangan dan konsumen
di negara pengimpor.
Dampak kerugian ekonomi akibat gangguan perdagangan tersebut dijabarkan dalam tiga kriteria. Pertama, relatif pentingnya ekspor daging bagi produsen di negara tertular. Kedua, relatif pentingnya impor daging dari negara tertular bagi konsumen di negara pengimpor. Ketiga, faktor apakah penyakit hewan menjadi ancaman bagi kesehatan manusia.
Satu
dekade bebas PMK
Sejak lama arus perdagangan
ternak dan daging di dunia ditentukan berdasarkan zona “bebas PMK” dan
“tertular PMK”. Sepanjang abad ke-20 lalu, zona bebas PMK berlangsung stabil di suatu kelompok negara
meliputi Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea
Selatan, Taiwan dan Denmark.
Mengingat kelompok negara
tersebut dikenal bebas PMK, persyaratan kesehatan hewan tidak menghambat
perdagangan diantara mereka ataupun mempengaruhi ekspor ke negara-negara yang
tidak bebas PMK. Negara-negara yang tidak bebas PMK dapat mengekspor hanya
dalam bentuk daging sudah diolah, seperti kornet, daging kaleng ke zona bebas
PMK.
Pelaksanaan ketat dari persyaratan
perdagangan tersebut merefleksikan suksesnya upaya pemberantasan PMK dekade lalu.
Jepang berhasil memberantas PMK di tahun 1907 dan Taiwan serta AS di tahun
1920an. Kesemuanya dijalankan melalui kampanye pemusnahan ternak secara masal.
Kestabilan zona bebas PMK selama
lebih dari 50 tahun berakhir menjelang akhir abad ke-20. Perdagangan baik
antara zona bebas PMK maupun diantara negara-negara yang belum mencapai status
bebas PMK, digoncang dengan terjadinya wabah hebat di awal tahun 1997.
PMK mulai menyebar secara
luas di seluruh dunia dan Taiwan mengalami wabah yang sangat parah di tahun
tersebut. Ketergantungan Taiwan kepada ekspor sangat tinggi, 40 persen dikirim
ke Jepang. Sampai dengan saat ini Taiwan hanya memiliki populasi babi dan
ekspor yang jauh lebih kecil dari sebelum terjadinya wabah.
Pada tahun 2001, sejumlah
wabah kecil terjadi di Jepang dan Korea Selatan yang bebas PMK selama satu
dekade. Suatu wabah besar juga melanda sebagian Eropa Barat yang sejak lama
berjuang untuk bebas PMK. Di Amerika Selatan, Argentina dan Brazil yang berupaya
keras untuk mencapai status bebas PMK juga mengalami beberapa kali wabah
setelah tahun 2000.
Persepsi
konsumen terhadap sapi gila
Pertama
kali penyakit sapi gila (BSE) ditemukan di Inggris pada tahun 1986. Semula
dikira hanya menyerang sapi, tetapi kemudian BSE dianggap berkaitan dengan
penyakit pada manusia. Penemuan BSE menyebabkan kekhawatiran terhadap keamanan
mengkonsumsi daging sapi di sejumlah negara.
Kasus
BSE pertama di Kanada pada sapi potong ditemukan bulan Mei 2003. Pada saat itu
seluruh negara mitra dagang utama termasuk AS langsung melarang impor sapi
hidup dan daging sapi dari Kanada. Pada bulan Agustus 2003, AS mengizinkan
impor daging tanpa tulang yang berasal dari sapi berumur dibawah 30 bulan, akan
tetapi tetap melarang impor sapi hidup dari Kanada.
Kemudian
pada bulan Desember 2003, penemuan pertama kasus BSE di AS menyebabkan 70
negara memberlakukan pelarangan impor. Termasuk Jepang dan Korea, dua negara Asia
yang sangat bergantung pada impor daging sapi AS. Ekspor daging sapi AS turun lebih dari 80 persen – dari 2,5 milyar pound
tahun 2003 menjadi 461 juta pound tahun 2004.
Konsumen di AS tidak
melakukan penolakan makan daging sapi setelah penemuan kasus BSE. Tidak seperti
halnya konsumen di Eropa dan Jepang yang menolak makan daging sapi untuk beberapa
waktu lamanya. Konsumsi daging sapi di Jepang menurun sekitar 15 persen di
tahun 2001, ketika BSE ditemukan di Jepang.
Restrukturisasi pasar unggas Asia
Wabah
flu burung atau avian influenza (AI)
strain H5N1 mulai di Asia tahun 1998. Strain ini pertama kali diidentifikasi di
Hongkong yang menyebabkan sejumlah orang meninggal dunia. Sebagai respon, jutaan
ekor unggas disembelih untuk menberantas penyakit ini. Kemudian pada tahun
2001, H5N1 muncul di China, dan di tahun 2003 dan 2004, penyakit ini menyerang
populasi unggas di sejumlah negara di Asia Tenggara.
Di
tahun 2005, AI menyebar sepanjang daratan Asia dan mencapai Eropa. Kasus
dilaporkan di Eropa dan Afrika pada permulaan tahun 2006.
Gangguan perdagangan akibat
AI H5N1 mempengaruhi dua negara pengekspor daging ayam utama dunia yaitu
Thailand dan China. Industri ayam potong Thailand sangat bergantung pada ekspor
dan terpukul sangat hebat. Sedangkan ekspor China cuma sebagian kecil dari
produksi domestik, sehingga pelarangan ekspor secara nasional kurang berdampak nyata.
Dampak langsung dari wabah AI di China dan Asia
Tenggara adalah peningkatan ekspor Brazil. Brazil yang tidak mengalami serangan
wabah AI hampir tidak menghadapi saingan dalam merebut pasar Jepang. Ekspor
daging beku Brazil ke Jepang melonjak dari 109 ribu ton di tahun 2000 menjadi 403
ribu ton di tahun 2005.
Dalam upaya untuk memulihkan ekspor, eksportir China
dan Thailand memfokuskan pada peningkatan produksi daging yang telah diolah.
Perlakuan pemanasan dari produk olahan tersebut mampu membunuh virus AI apabila
virus tersebut ada dalam daging. Ekspor Thailand untuk produk olahan meningkat
dari 28 persen di tahun 2000 menjadi 88 persen di tahun 2004 dan 98 persen di
tahun 2005.
Penyakit hewan tetap ancaman
Industri daging sejumlah negara di dunia menderita
kerusakan serius akibat wabah penyakit hewan menular. Meskipun demikian dalam
skala global, gangguan perdagangan dan reaksi ketakutan konsumen terhadap
penyakit hewan tidak nampak jelas. Produksi, konsumsi dan perdagangan global daging
babi dan unggas terus tumbuh selama episode wabah penyakit hewan, sedangkan produksi
dan konsumsi global daging sapi relatif konstan sejak tahun 1990.
Kemampuan mengidentifikasi titik-titik kritis
sepanjang rantai suplai daging makin diperlukan, sehingga perdagangan dapat dilakukan
pada tingkat risiko penularan yang rendah. Metoda pengambilan keputusan
berdasarkan risiko telah diadopsi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE)
untuk diaplikasikan oleh setiap negara pengimpor. Dengan demikian perpanjangan waktu
maupun lamanya masa larangan perdagangan dapat dikurangi.
Kemajuan teknologi dalam identifikasi strain
penyakit, penelusuran sumber daging serta peningkatan penggunaan analisa risiko
menawarkan harapan lebih baik di masa depan, bahwa wabah penyakit hewan menular
dapat dicegah atau dibatasi secara lebih cepat.
*) Penulis bekerja pada World Organization for Animal Health/Office
International des Epizooties (OIE), Regional
Coordination Unit for Southeast Asia, Bangkok
0 Komentar:
Posting Komentar