Pada dasarnya kesehatan hewan memiliki implikasi sangat luas, mulai dari
kesehatan individu hewan, kesejahteraan masyarakat sampai kepada isu keamanan
global. Akan tetapi justru menjadi
satu hal mengkhawatirkan, apabila pemerintah dan sebagian besar masyarakat Indonesia belum
memberikan prioritas memadai kepada bidang kesehatan hewan.
www.kabarsumbar.com |
Pencegahan dan pengendalian penyakit hewan menular adalah sangat kritis bagi
kepentingan meningkatkan kesehatan masyarakat dalam skala nasional dan global. Belum
lagi besarnya kerugian ekonomi dan sosial yang terjadi di negara-negara
pengekspor ternak di seluruh dunia, akibat penolakan perdagangan hewan hidup
dan produk hewan dengan alasan berjangkitnya penyakit hewan menular.
Lagipula, di era dimana kekhawatiran tentang ancaman terorisme semakin
bertambah, dampak potensial penggunaan secara sengaja agen penyakit hewan bukan
hanya menimbulkan penderitaan dan kematian, bahkan sampai kepada kerusakan
ekonomi yang dahsyat.
Tantangan baru
Kerangka sistem kesehatan hewan nasional di Indonesia meliputi pusat,
propinsi, dan kabupaten/kota yang secara umum memiliki mandat berbeda-beda
sesuai dengan dasar hukum di masing-masing daerah, serta pihak swasta dan organisasi
masyarakat yang melakukan upaya pemeliharaan kesehatan hewan dengan sasaran dan
tujuannya masing-masing.
Di masa sebelum berlakunya otonomi daerah, sistem ini boleh dikatakan
cukup efektif dalam merespons berbagai kendala dan tantangan kesehatan hewan.
Salah satu tonggak sejarah kesehatan hewan Indonesia adalah keberhasilan
membebaskan seluruh wilayah negeri ini dari penyakit mulut dan kuku (PMK) di tahun
1986. Status ini kemudian
diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) tahun 1990.
Sebagian besar negara-negara Asia Pasifik memuji Indonesia
karena keberhasilan ini. Suatu perjuangan panjang yang harus dijadikan catatan bagi
kemenangan dokter hewan Indonesia
dalam mengatasi suatu penyakit hewan menular yang paling ditakuti di seluruh
dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, tantangan kesehatan hewan semakin
sulit dan bahkan muncul hal-hal yang tidak pernah dialami sebelumnya. Salah
satu yang benar-benar menjadi tantangan baru adalah munculnya avian influenza
(flu burung) secara tidak terduga di tahun 2003 dan belakangan menjadi kerikil
bagi kesehatan hewan Indonesia mengingat penyebarannya pada populasi unggas
sudah bersifat endemik dan meluas ke 31 provinsi.
Dampak avian influenza (AI) menimbulkan kematian manusia pertama kali di
tahun 2005 dan berkembang terus sampai kwartal pertama tahun 2008 ini. Meninggalkan
jejak bahwa ancamannya belum bisa diabaikan dan menjadi refleksi dari perlunya
respons terfokus pada sumbernya yaitu hewan.
Di simpang jalan
Saat ini kesehatan hewan ada di simpang jalan.
Risiko penyakit datang dari berbagai arah, meliputi pengaruh globalisasi
perdagangan, restrukturisasi dan konsolidasi pangan dan produksi pertanian
global menuju skala komersial besar, interaksi manusia dan hewan kesayangan,
keterlibatan manusia ke dalam habitat satwa liar, ancaman bio-terorisme dan
pemanasan global.
Dampak dari sumber
risiko tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja, 75% dari penyakit baru muncul di dunia adalah
zoonosis. Munculnya penyakit mulut dan kuku (PMK), penyakit sapi gila (BSE),
SARS, West Nile, Nipah, Ebola, dan AI merupakan satu peringatan bahwa
penyakit-penyakit tersebut dapat mengakibatkan ancaman terhadap penyediaan
pangan, ekonomi global, kesehatan masyarakat dan tingkat kepercayaan konsumen
terhadap keamanan pangan hewani.
Pada umumnya
penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) merupakan
satu diagram dari interaksi satwa liar, hewan domestik dan populasi manusia
(lihat Gambar).
Dengan melihat
perubahan alamiah dari risiko yang harus diatasi dalam kaitannya dengan
penyakit hewan, sangat tidak mungkin filosofi yang ada saat ini tentang pola
penanganan kesehatan hewan dianggap memadai untuk dibawa ke masa depan.
Risiko penyakit hewan harus ditangani tidak hanya dengan melindungi
spesies hewan dari agen patogen spesifik secara individual dan terfokus pada
hewan produksi, akan tetapi juga dalam konteks lebih luas meliputi antisipasi
munculnya dan menyebarnya penyakit dalam skala lokal dan global dan mengenali secara
baik hubungan antara penyakit hewan dengan kesehatan manusia, lingkungan dan
kehidupan satwa liar.
Untuk mengatasi penyakit hewan dalam konteks diatas, kerangka kesehatan
hewan harus lebih fleksibel dan terpadu dengan beragam keahlian yang tersedia
dari unsur penelitian, kedokteran dan kesehatan masyarakat, serta diantaranya
ilmu-ilmu lingkungan dan kebijakan publik. Dengan demikian kesehatan hewan terkait
erat dengan isu-isu kesehatan masyarakat dan kedokteran, sosial, budaya, ekonomi,
perdagangan global dan keamanan nasional serta internasional.
Dua puluh tahun mendatang adalah masa paling penting
dalam sejarah kesehatan hewan di Indonesia. Suatu tantangan bagi profesi dokter
hewan untuk memperbaharui tanggung jawab sosialnya. Tidak hanya dalam bentuk
mengamankan kesehatan hewan, tetapi juga berperan dalam penelitian-penelitian
biomedik, kesehatan masyarakat, sistem pangan, ekosistem dan lingkungan.
Tantangan kontemporer abad ke-21 tidak lagi hanya
tentang hewan dan pertanian, tetapi menyangkut keseluruhan sistem ekonomi.
Sudah waktunya peran dokter hewan Indonesia saat ini merintis jalan bagi generasi
penerus untuk mulai memperhitungkan keseluruhan interaksi diatas dengan
memulainya dari sistem pendidikan kedokteran hewan kita.
Episoda flu burung adalah suatu contoh dimana implikasi wabah
melampaui batas kapasitas yang dimiliki oleh Departemen Pertanian dan pemerintah
daerah dalam merespons keadaan darurat. Ke depan perlu difikirkan kemungkinan
penyakit zoonosis baru lain yang muncul dengan asumsi skenario terburuk.
Tanggung jawab ini bukan hanya pemerintah semata,
tetapi seluruh jejaring yang terkait dengan profesi dokter hewan dan semua pihak
yang bergerak di bidang kesehatan hewan dan peternakan, termasuk industri,
organisasi profesi, asosiasi komoditi dan LSM. Semua mempunyai tanggung jawab
dalam mencegah timbulnya ancaman wabah penyakit hewan.
Begitu juga kepercayaan dan spirit kerjasama antara
dokter hewan dan dokter perlu dibangun, karena zoonosis tidak dapat diperangi
dari satu garda saja – perlu diperangi
bersama-sama.
Adaptasi terhadap realita baru ini akan merupakan
tantangan bagi kepentingan nasional kita. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu
meng-upgrade sistem dan infrastruktur kesehatan hewan yang ada dengan
mengadopsi pendekatan yang dapat memperkirakan risiko penyakit berdasarkan kapasitas
sumberdaya dan wilayah. Termasuk didalamnya kebutuhan untuk memiliki fasilitas
laboratorium ‘biosafety’ tingkat III yang canggih dan mampu berperan dalam
penanganan dan kesiapsiagaan apabila terjadi wabah baru.
*) Regional Consultant, Office International des Epizooties (OIE),
Regional Coordination Unit for South East Asia
0 Komentar:
Posting Komentar