Rabu, 05 September 2018

Kesehatan Hewan di Simpang Jalan

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos (Bangkok, 2008)

Pada dasarnya kesehatan hewan memiliki implikasi sangat luas, mulai dari kesehatan individu hewan, kesejahteraan masyarakat sampai kepada isu keamanan global. Akan tetapi justru menjadi satu hal mengkhawatirkan, apabila pemerintah dan sebagian besar masyarakat Indonesia belum memberikan prioritas memadai kepada bidang kesehatan hewan.

www.kabarsumbar.com
Seperti diketahui, penyakit hewan memiliki pengaruh besar terhadap kecukupan pangan untuk memenuhi kebutuhan populasi manusia yang semakin bertambah, dan juga implikasinya yang besar pada perdagangan dunia dan bisnis. Terlebih lagi banyak agen penyakit hewan adalah zoonosis – artinya dapat ditularkan ke manusia – jadi implikasi dramatis dapat terjadi pada kesehatan dan ketentraman manusia.

Pencegahan dan pengendalian penyakit hewan menular adalah sangat kritis bagi kepentingan meningkatkan kesehatan masyarakat dalam skala nasional dan global. Belum lagi besarnya kerugian ekonomi dan sosial yang terjadi di negara-negara pengekspor ternak di seluruh dunia, akibat penolakan perdagangan hewan hidup dan produk hewan dengan alasan berjangkitnya penyakit hewan menular.

Lagipula, di era dimana kekhawatiran tentang ancaman terorisme semakin bertambah, dampak potensial penggunaan secara sengaja agen penyakit hewan bukan hanya menimbulkan penderitaan dan kematian, bahkan sampai kepada kerusakan ekonomi yang dahsyat.

Tantangan baru

Kerangka sistem kesehatan hewan nasional di Indonesia meliputi pusat, propinsi, dan kabupaten/kota yang secara umum memiliki mandat berbeda-beda sesuai dengan dasar hukum di masing-masing daerah, serta pihak swasta dan organisasi masyarakat yang melakukan upaya pemeliharaan kesehatan hewan dengan sasaran dan tujuannya masing-masing.

Di masa sebelum berlakunya otonomi daerah, sistem ini boleh dikatakan cukup efektif dalam merespons berbagai kendala dan tantangan kesehatan hewan. Salah satu tonggak sejarah kesehatan hewan Indonesia adalah keberhasilan membebaskan seluruh wilayah negeri ini dari penyakit mulut dan kuku (PMK) di tahun 1986. Status ini kemudian diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) tahun 1990.

Sebagian besar negara-negara Asia Pasifik memuji Indonesia karena keberhasilan ini. Suatu perjuangan panjang yang harus dijadikan catatan bagi kemenangan dokter hewan Indonesia dalam mengatasi suatu penyakit hewan menular yang paling ditakuti di seluruh dunia.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, tantangan kesehatan hewan semakin sulit dan bahkan muncul hal-hal yang tidak pernah dialami sebelumnya. Salah satu yang benar-benar menjadi tantangan baru adalah munculnya avian influenza (flu burung) secara tidak terduga di tahun 2003 dan belakangan menjadi kerikil bagi kesehatan hewan Indonesia mengingat penyebarannya pada populasi unggas sudah bersifat endemik dan meluas ke 31 provinsi.

Dampak avian influenza (AI) menimbulkan kematian manusia pertama kali di tahun 2005 dan berkembang terus sampai kwartal pertama tahun 2008 ini. Meninggalkan jejak bahwa ancamannya belum bisa diabaikan dan menjadi refleksi dari perlunya respons terfokus pada sumbernya yaitu hewan.

Di simpang jalan

Saat ini kesehatan hewan ada di simpang jalan. Risiko penyakit datang dari berbagai arah, meliputi pengaruh globalisasi perdagangan, restrukturisasi dan konsolidasi pangan dan produksi pertanian global menuju skala komersial besar, interaksi manusia dan hewan kesayangan, keterlibatan manusia ke dalam habitat satwa liar, ancaman bio-terorisme dan pemanasan global.

Dampak dari sumber risiko tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja, 75% dari penyakit baru muncul di dunia adalah zoonosis. Munculnya penyakit mulut dan kuku (PMK), penyakit sapi gila (BSE), SARS, West Nile, Nipah, Ebola, dan AI merupakan satu peringatan bahwa penyakit-penyakit tersebut dapat mengakibatkan ancaman terhadap penyediaan pangan, ekonomi global, kesehatan masyarakat dan tingkat kepercayaan konsumen terhadap keamanan pangan hewani.

Pada umumnya penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) merupakan satu diagram dari interaksi satwa liar, hewan domestik dan populasi manusia (lihat Gambar).

Dengan melihat perubahan alamiah dari risiko yang harus diatasi dalam kaitannya dengan penyakit hewan, sangat tidak mungkin filosofi yang ada saat ini tentang pola penanganan kesehatan hewan dianggap memadai untuk dibawa ke masa depan.

Risiko penyakit hewan harus ditangani tidak hanya dengan melindungi spesies hewan dari agen patogen spesifik secara individual dan terfokus pada hewan produksi, akan tetapi juga dalam konteks lebih luas meliputi antisipasi munculnya dan menyebarnya penyakit dalam skala lokal dan global dan mengenali secara baik hubungan antara penyakit hewan dengan kesehatan manusia, lingkungan dan kehidupan satwa liar.

Untuk mengatasi penyakit hewan dalam konteks diatas, kerangka kesehatan hewan harus lebih fleksibel dan terpadu dengan beragam keahlian yang tersedia dari unsur penelitian, kedokteran dan kesehatan masyarakat, serta diantaranya ilmu-ilmu lingkungan dan kebijakan publik. Dengan demikian kesehatan hewan terkait erat dengan isu-isu kesehatan masyarakat dan kedokteran, sosial, budaya, ekonomi, perdagangan global dan keamanan nasional serta internasional.

Tanggung jawab sosial

Dua puluh tahun mendatang adalah masa paling penting dalam sejarah kesehatan hewan di Indonesia. Suatu tantangan bagi profesi dokter hewan untuk memperbaharui tanggung jawab sosialnya. Tidak hanya dalam bentuk mengamankan kesehatan hewan, tetapi juga berperan dalam penelitian-penelitian biomedik, kesehatan masyarakat, sistem pangan, ekosistem dan lingkungan.

Tantangan kontemporer abad ke-21 tidak lagi hanya tentang hewan dan pertanian, tetapi menyangkut keseluruhan sistem ekonomi. Sudah waktunya peran dokter hewan Indonesia saat ini merintis jalan bagi generasi penerus untuk mulai memperhitungkan keseluruhan interaksi diatas dengan memulainya dari sistem pendidikan kedokteran hewan kita.

Episoda flu burung adalah suatu contoh dimana implikasi wabah melampaui batas kapasitas yang dimiliki oleh Departemen Pertanian dan pemerintah daerah dalam merespons keadaan darurat. Ke depan perlu difikirkan kemungkinan penyakit zoonosis baru lain yang muncul dengan asumsi skenario terburuk.

Tanggung jawab ini bukan hanya pemerintah semata, tetapi seluruh jejaring yang terkait dengan profesi dokter hewan dan semua pihak yang bergerak di bidang kesehatan hewan dan peternakan, termasuk industri, organisasi profesi, asosiasi komoditi dan LSM. Semua mempunyai tanggung jawab dalam mencegah timbulnya ancaman wabah penyakit hewan. 

Begitu juga kepercayaan dan spirit kerjasama antara dokter hewan dan dokter perlu dibangun, karena zoonosis tidak dapat diperangi dari satu garda saja – perlu  diperangi bersama-sama.

Adaptasi terhadap realita baru ini akan merupakan tantangan bagi kepentingan nasional kita. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu meng-upgrade sistem dan infrastruktur kesehatan hewan yang ada dengan mengadopsi pendekatan yang dapat memperkirakan risiko penyakit berdasarkan kapasitas sumberdaya dan wilayah. Termasuk didalamnya kebutuhan untuk memiliki fasilitas laboratorium ‘biosafety’ tingkat III yang canggih dan mampu berperan dalam penanganan dan kesiapsiagaan apabila terjadi wabah baru.

*)   Regional Consultant, Office International des Epizooties (OIE), Regional Coordination Unit for South East Asia

0 Komentar: