Oleh: Tri Satya Putri Naipospos (Bangkok, 2008)
Resah dan panik, itulah situasi yang terjadi begitu konfirmasi rabies
atau penyakit anjing gila berjangkit di pulau Bali. Secara historis belum
pernah ada rabies di pulau Bali dan ini berarti jumlah provinsi tertular rabies
di Indonesia semakin bertambah. Menimbulkan pertanyaan: mungkinkah Indonesia
terbebas dari rabies?
Memang rabies bukan penyakit yang
dianggap sama dahsyatnya dengan flu burung yang berpotensi menimbulkan kematian
berjuta orang apabila terjadi pandemi, tetapi rabies tetap dianggap satu
ancaman yang mengerikan bagi dunia. Rabies adalah penyakit yang sejarahnya sudah
sangat tua, sudah ada sejak mulainya peradaban dunia.
Sifat penyakit yang fatal dan
belum ada obatnya membuat masyarakat harus waspada terhadap rabies. Menurut WHO
(2008), rata-rata 55 ribu orang meninggal dunia per tahun akibat rabies di
seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 31 ribu terjadi di Asia dan 24 ribu di
Afrika. Ini berarti lebih dari 99% kematian manusia karena rabies terjadi di
negara-negara berkembang.
India, negara dengan kasus rabies
tertinggi di Asia dimana 19 ribu orang meninggal dunia setiap tahun, diikuti
Bangladesh 2 ribu orang. Sisanya sekitar sebelas ribu kasus rabies terjadi di
Asia Tenggara. Di Indonesia, per tahun sekitar 50-100 orang meninggal dunia
karena rabies.
Sangat mengagetkan data
menunjukkan secara global, rabies di Asia dan Afrika sesungguhnya jauh lebih
tinggi kasusnya dari polio, meningococcal meningitis, Japanese encephalitis,
demam kuning, SARS, dan fu burung yang banyak menarik perhatian publik.
Masalah dunia ketiga
Sejak abad ke-20, tatanan kehidupan
masyarakat modern dituntut untuk menjadi semakin teratur dan terpola dengan
baik. Hubungan berkelanjutan antara manusia dengan hewan yang sudah terbentuk sejak
berabad-abad lamanya telah mendidik masyarakat untuk mempertahankan agar secara
alamiah hubungan tersebut tidak menimbulkan gangguan bagi kehidupan dan
ketentraman batin masyarakat.
Peradaban sering dikaitkan dengan
tingkat kesadaran masyarakat dalam mematuhi peraturan yang berlaku. Di masyarakat
modern, keluarga yang memelihara hewan kesayangan wajib meregistrasi dan
memvaksin hewannya secara teratur. Dengan keteraturan masyarakat, secara berangsur-angsur
rabies di negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara baik pada hewan maupun
orang sudah tidak lagi menjadi masalah. Rabies di kedua wilayah ini sekarang hanya
terkait dengan hewan liar, seperti serigala, rubah, kelelawar dan lain
sebagainya.
Seiring pula dengan kemajuan
pembuatan vaksin rabies baik untuk hewan maupun manusia telah meyakinkan banyak
negara, bahwa rabies adalah penyakit yang sangat mungkin untuk diberantas.
Jepang, Korea, Taiwan, Malaysia dan Singapura pernah terjangkit rabies, tetapi kemudian
berhasil memberantas penyakit ini. Lain halnya dengan India, Bangladesh, Nepal,
Thailand, Indonesia, Philippina, Myanmar yang masih terus bergumul dengan rabies.
Dengan perkembangan ini, rabies di
dekade ini dianggap lebih sebagai masalah dunia ketiga. Suatu pameo yang
mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat dimana masih ada manusia terjangkit
rabies, mencirikan bahwa wujud masyarakat modern belum sepenuhnya tercapai.
Sosio-ekonomi dan ekologi
Seperti halnya di wilayah lain di
dunia, kejadian rabies di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berkaitan dengan umur, sosio-ekonomi dan ekologi. Data menunjukkan bahwa secara
umum 50% kejadian rabies pada manusia terjadi pada anak-anak berumur dibawah 15
tahun. Rabies terjadi lima kali lebih banyak di wilayah pedesaan daripada di
perkotaan.
Hampir 98% penularan rabies ke
manusia terjadi melalui gigitan anjing. Anjing yang tiba-tiba berubah menjadi
beringas, keluar air liur, mulut berbusa dan cenderung menyerang setiap benda
atau orang yang ada didekatnya selalu harus diwaspadai telah terjangkit rabies.
Rabies seringkali dikaitkan
dengan tingkat pendidikan, kesukuan serta mitos dan kepercayaan yang berlaku di
lingkungan masyarakat tertentu.
Ekologi anjing menjadi satu aspek
yang sangat terkait dengan pengendalian rabies. Sama halnya dengan di
negara-negara lain, masalah rabies di Indonesia terutama pengalaman di Pulau
Flores sewaktu muncul wabah tahun 2001 menunjukkan bahwa penyebaran rabies
berkaitan erat dengan kepadatan dan pergerakan populasi anjing. Ekologi akan memberikan
gambaran tentang struktur populasi anjing dan kecepatan perkembangbiakannya.
Sifat anjing mirip kelinci karena
keduanya adalah pembibit yang baik, mudah berkembangbiak apabila tersedia cukup
pakan, air dan penampungan. Anjing mudah beradaptasi terhadap lingkungan
sekalipun hidup terlantar di jalanan atau di tempat pembuangan sampah. Pemahaman
tentang faktor sosio-ekonomi dan ekologi akan membantu para perencana untuk
membuat program pemusnahan anjing liar maupun vaksinasi masal yang lebih
optimal dan tepat sasaran.
Vaksinasi rutin
Baik Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) maupun Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengatakan kunci utama
dalam menangani rabies adalah mencegah pada sumbernya yaitu hewan. Titik berat
aksi harus ditekankan kepada sistem kesehatan hewan yang baik, kapasitas
diagnosa laboratorium yang akurat dan kampanye vaksinasi pada hewan
domestik.
Contohnya di Meksiko, Thailand
dan Srilangka, dimana terbukti dengan upaya terkoordinir dalam memvaksin masal
populasi anjing, kasus rabies pada manusia sangat nyata jauh berkurang. Pasien sangat
menderita dan lebih banyak tidak tertolong apabila sudah terjangkit rabies,
sehingga upaya terbaik harus ditekankan sedapat mungkin mencegah kasus pada
manusia.
Pada umumnya pemberian vaksin untuk manusia dilakukan setelah orang tersebut digigit anjing tersangka rabies (post exposure treatment). OIE menyatakan biaya yang dikeluarkan akan 100 kali lebih efektif apabila dialokasikan untuk program vaksinasi hewan.
Atas dasar pertimbangan etika,
ekologi dan ekonomi, OIE tidak menyarankan agar pengendalian dan pemberantasan
wabah rabies hanya dilakukan dengan cara menerapkan kampanye pembunuhan hewan
berpotensi menulari rabies. Dalam hal ini vaksinasi hewan tetap merupakan
metoda pilihan utama. Cakupan vaksinasi setidaknya 70% populasi anjing harus mendapatkan kekebalan
untuk menghilangkan atau mencegah wabah rabies.
Beberapa hambatan dalam memerangi
rabies terjadi di negara-negara seperti India, Bhutan, Nepal, Srilangka, Myanmar
dan Indonesia dimana rabies belum dianggap prioritas. Termasuk sumberdaya tidak
memadai, lemahnya konsensus terhadap strategi yang digunakan, lemahnya
koordinasi lintas sektoral dan struktur manajemen serta kurangnya kerjasama masyarakat.
Kalau Indonesia ingin mengurangi
ancaman rabies di masa depan, maka registrasi dan vaksinasi rutin hewan harus
menjadi kewajiban warga negara dengan sanksi yang jelas apabila aturan tidak
dipenuhi. Dengan demikian pemerintah bersama masyarakat harus mempertimbangkan
investasi yang lebih memadai di sektor kesehatan hewan sebagai cara terbaik
untuk mencegah rabies tidak menular ke manusia.
0 Komentar:
Posting Komentar