Senin, 01 Mei 2017

Mempertanyakan Arah Kebijakan Perdagangan Ternak

OPINI – Trobos Livestock – Edisi 210●Tahun XVIII●Maret 2017

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

http://www.voaindonesia.com/a/kemendag-hapus-ternak-
Sebagian di antara kita mungkin tidak mengira bahwa pemahaman terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji perkara Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah disampaikan ke publik pada tanggal 7 Februari 2017, bakal menjadi cukup rumit dan meninggalkan tanda tanya. Ke arah mana pemerintah akan mengembangkan kebijakan perdagangan ternak dan produk hewan? Kerugian konstitusional pemberlakuan zona dalam uji perkara yang diajukan ke MK perlu dikaji dengan pendekatan teknis dan ekonomi secara komprehensif, bukan hanya dari kepentingan proteksi produksi dalam negeri dan bisnis.

Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengembangkan konsep zona dan kompartementalisasi dengan dasar teknis yang kuat guna memfasilitasi dan mengamankan perdagangan antar negara-negara anggota OIE. OIE menetapkan bahwa negara, zona atau kompartemen bebas penyakit merupakan opsi tindakan mitigasi risiko. Konsep zona tidak seharusnya digunakan untuk membatasi importasi ternak dan produk hewan sepanjang negara yang memiliki zona tersebut bisa membuktikan bahwa penetapan zona di wilayahnya telah memenuhi kaidah-kaidah teknis OIE dan dapat diverifikasi secara transparan oleh negara mitra dagangnya.

Selain itu, konsep zona mengandung prinsip-prinsip perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) mengenai regionalisasi, ekuivalensi dan transparansi. Justru kontradiktif dengan apa yang dipercaya selama ini, bahwa importasi ternak dan produk hewan yang berasal dari zona bebas penyakit akan merugikan kesehatan ternak dalam negeri karena masuknya penyakit.

Pengamanan maksimum

Seperti diketahui, kebijakan teknis kesehatan hewan guna memfasilitasi dan mengamankan perdagangan selalu mengacu kepada OIE sebagai badan dunia yang menetapkan standar-standar kesehatan untuk perdagangan internasional ternak dan produk hewan. OIE menetapkan standar-standar tersebut guna memberikan kesempatan bagi negara-negara anggotanya untuk melindungi wilayah negaranya dari introduksi penyakit dan patogen, tanpa menimbulkan hambatan perdagangan yang tidak perlu. Ada dua pendekatan yang digunakan OIE dalam memfasilitasi dan mengamankan perdagangan, yang pertama pendekatan wilayah bebas penyakit (disease freedom area approach), dan yang kedua pendekatan komoditi aman (safe commodity approach). Kedua pendekatan tersebut merupakan pendekatan bersifat teknis untuk memberikan pengamanan maksimum (maximum security) terhadap masuk dan menyebarnya penyakit dari luar negeri ke Indonesia.

Di bidang kesehatan, istilah “maximum security” diartikan sebagai tingkat keamanan tertinggi (highest security level) yang dapat diterapkan untuk mencegah penyebaran penyakit dengan intervensi minimum terhadap lalu lintas internasional (world traffic). Istilah ini bisa digunakan juga untuk bidang kesehatan hewan dengan memberlakukannya pada perdagangan internasional.
Pendekatan wilayah bebas penyakit diuraikan menjadi negara, zona atau kompartemen. Untuk PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) dikenal empat kategori yaitu: negara bebas PMK tanpa vaksinasi,negara bebas PMK dengan vaksinasi, zona bebas PMK tanpa vaksinasi, dan zona bebas PMK dengan vaksinasi. Untuk lebih mendorong peningkatan perdagangan yang aman, maka OIE menambahkan kategori baru pada tahun 2015 lalu yaitu negara yang belum bebas PMK akan tetapi memiliki program pengendalian resmi yang diakui OIE.

Apabila persyaratan importasi ternak dan/atau produk hewan ditetapkan berasal dari negara bebas PMK, berarti importasi dilakukan dengan penerapan “maximum security”. Apabila importasi produk hewan ditetapkan berasal dari zona bebas PMK tanpa atau dengan vaksinasi, atau dari negara belum bebas PMK tetapi telah diakui program pengendalian resminya oleh OIE, maka untuk menerapkan “maximum security” diperlukan persyaratan importasi dengan pendekatan wilayah bebas penyakit yang dikombinasikan dengan pendekatan komoditi aman. Dalam hal importasi dari negara dengan kategori belum bebas PMK seperti contohnya India, maka OIE menetapkan persyaratan yang mengharuskan penjaminan keamanan mulai dari kesehatan ternak di perternakan asal, kemudian kesehatan daging selama pemotongan, pengepakan sampai pengapalan.

Definisi “komoditi aman” menurut OIE adalah daftar produk hewan yang telah melalui suatu tindakan mitigasi risiko dan dinyatakan aman untuk diperdagangkan, tanpa memperhitungkan status penyakit tertentu di negara pengekspor. Contoh komoditi aman untuk PMK adalah daging sapi/kerbau tanpa tulang yang telah dilepaskan limpfoglandulanya (deboned and deglanded meat), dan telah melalui maturasi pada temperatur 2o C selama minimum 24 jam dan diuji pHnya 6,0 di tengah-tengah otot longissimus dorsi.

Teknis vs ekonomi 

Alasan yang digunakan untuk menolak importasi ternak dan produk hewan dari zona bebas penyakit di luar negeri dalam materi uji MK adalah karena masuknya PMK dianggap akan merugikan dan mematikan daya saing peternak lokal. Meskipun “penyakit” digunakan sebagai dasar penolakan, akan tetapi implikasinya lebih ditekankan kepada konsekuensi ekonomi daripada konsekuensi penyakit meskipun keduanya berkorelasi satu sama lain.

Dampak ekonomi importasi ternak atau produk hewan dari luar negeri (terutama apabila harganya jauh lebih murah) bukan merupakan suatu ‘probabilitas’, karena pada dasarnya konsekuensi ekonomi yang timbul tidak dapat dihindari mengingat persaingan pasar yang tidak sempurna (imperfect competitive market). Importasi sudah pasti akan mempengaruhi atau memberikan konsekuensi ekonomi baik berupa dampak terhadap harga, pasar domestik, daya saing peternak lokal maupun tenaga kerja.

Saat ini, Indonesia mengalami masalah kekurangan pasokan daging dan juga perkembangan harga daging yang fluktuatif. Situasi kondisional seperti inilah yang mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan jangka pendek dalam mencari alternatif pasokan di luar negara-negara yang selama ini dinyatakan bebas PMK. Solusi jangka pendek untuk mengatasi kekurangan pasokan dan ketidakseimbangan harga daging, bukanlah suatu kebijakan yang sepenuhnya salah dilihat dari kacamata kepentingan konsumen. Kepentingan konsumen dan produsen tidak harus dipertentangkan sepanjang ada kebutuhan yang didasarkan pada analisa permintaan dan penawaran (supply-demand), dan secara teknis kesehatan hewan dinyatakan importasi aman untuk dilakukan. Keterlibatan profesi dokter hewan terbatas pada rekomendasi teknis yang menyatakan aman tidaknya suatu importasi.

Dalam mempertimbangkan masalah produksi dan importasi, maka perlu diingat kebijakan publik harus memenuhi empat dimensi ketahanan pangan yaitu: ketersediaan (availability), keterjangkauan (accesibility), penggunaan (utilisation), dan stabilitas pasokan (stability). Harga bahan baku yang lebih murah akan memperkuat ketahanan industri pengolahan daging karena menjadi lebih kompetitif dalam mengisi pasar dalam negeri. Aspek stabilitas pasokan dan harga juga perlu diperhatikan untuk membantu tercapainya kecukupan pangan. Meskipun pencarian alternatif importasi daging dari negara India, Brazil, atau negara pengekspor lainnya belum tentu dapat menurunkan harga daging, akan tetapi dengan alternatif substitusi diharapkan harga menjadi lebih kompetitif dan konsumen dapat memilih (consumer preference). Dengan demikian daya beli dan keterjangkauan konsumen semakin meningkat dan pada gilirannya tentu saja dapat membantu meningkatkan tingkat ketahanan pangan.

Perubahan paradigma

Keputusan Pemerintah Indonesia untuk memgimpor daging kerbau beku tanpa tulang dari India pada akhir tahun 2016 lalu telah menimbulkan penolakan dan kontroversi di kalangan masyarakat peternakan dan kalangan dokter hewan. Perubahan paradigma diperlukan untuk bisa memahami kebijakan pemerintah terutama dari aspek sosio-ekonomi dan teknis kesehatan hewan. Di sisi lain, keputusan final MK terutama yang terkait dengan Pasal 36E ayat (1) bisa dikatakan bersifat ambivalen, karena sulit untuk diterapkan dalam keadaan biasa. Pada akhirnya kebijakan pemerintah harus disesuaikan dengan kondisi bersyarat yang ditetapkan MK. Meskipun kondisi bersyarat tersebut sesungguhnya sudah sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 yang mengatur tentang importasi dari zona dalam hal tertentu.

Indonesia akan sulit mencukupi kebutuhan daging sapi dengan harga terjangkau apabila negara-negara yang belum bebas PMK tetapi memiliki zona bebas PMK seperti Brazil, Argentina dll mampu berproduksi lebih banyak dan berpotensi ekspor, sementara negara konsumen yang bebas PMK seperti Indonesia tidak memiliki potensi ekspor. Membiarkan kebijakan zona tidak jelas dalam penerapannya akan merugikan kepentingan konsumen dan kemajuan perdagangan ternak dan produk ternak Indonesia ke depan, serta juga pelemahan kewajiban Indonesia dalam mematuhi ketentuan-ketentuan SPS. Kesiapan Indonesia mengakui konsep zona akan diuji dalam perundingan perjanjian perdagangan bilateral yang sedang berlangsung saat ini antara Indonesia dengan Uni Eropa dan juga antara Indonesia dengan Australia.

Prediksi daya beli masyarakat Indonesia terutama kelas menengah akan semakin tumbuh seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita sebesar US$ 3.834 pada tahun 2016 dan diproyeksikan akan menjadi US$ 4.311 pada tahun 2020. Tanpa adanya perubahan paradigma terutama dalam membuat kebijakan teknis yang lebih akuntabel dan profesional, maka strategi terpenuhinya kecukupan daging dengan penguatan industri ternak melalui pembangunan peternakan skala menengah dibarengi dengan importasi terbatas akan sulit dilaksanakan tanpa mendapatkan prioritas.

Investasi harus lebih besar ditanamkan bagi penguatan otoritas veteriner dan sistem kesehatan hewan nasional termasuk perkarantinaan dan respon darurat yang merupakan prasyarat mutlak untuk menjaga dan mempertahankan seluruh wilayah negara tetap bebas PMK. Tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi bukan hanya untuk kepentingan pengamanan importasi, tetapi juga pengamanan kesehatan populasi ternak untuk keberhasilan peningkatan produksi dalam negeri.

*) Drh. Tri Satya Putri Naipospos MPhil, PhD, Praktisi Epidemiologi Veteriner

0 Komentar: