Sabtu, 02 April 2011

Rabies di muka rumah kita

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Mengingat dampaknya yang mengerikan bagi manusia, kisah tentang rabies selalu menjadi plot cerita atau tema nyata dalam banyak fiksi. Pertama kali yang mengangkat kisah rabies dalam bentuk film adalah film drama televisi Swedia masih hitam putih berjudul “Rabies” diproduksi tahun 1958 dan disutradarai almarhum Ingmar Bergman, seorang pengarah, penulis dan produser film berkebangsaan Swedia terkenal pada zamannya. Sepanjang sejarahnya yang panjang, virus rabies dikenal karena sifat alamiahnya yang neurotropik (menyerang sel syaraf), sehingga rabies menjadi simbol kegilaan, irasional atau suatu wabah penyakit hebat yang tidak pernah dapat dihentikan [1, 2, 3].

Tentunya harus disadari bahwa rabies sampai saat ini belum ada obatnya. Begitu korban sudah memperlihatkan gejala klinis, maka dapat dikatakan bahwa 100% kematian akan terjadi. Akan tetapi korban rabies masih bisa diselamatkan apabila vaksin anti rabies (VAR) diberikan sesegera mungkin setelah kejadian penggigitan oleh hewan tertular rabies. Para ilmuwan mengatakan tingkat bertahan hidup terhadap serangan rabies secara nominal hanya sekitar 8% [4]. Sampai saat ini hanya ada 6 kasus rabies pada manusia di seluruh dunia yang diketahui bertahan hidup setelah muncul gejala klinis [5].

Rabies di abad ke-21

Di abad ke-21 ini, sekitar 50-55 ribu orang meninggal dunia setiap tahunnya akibat rabies di seluruh dunia dan dari jumlah tersebut sekitar 25-30 ribu orang meninggal hanya di India saja. Lebih dari 3 milyar penduduk dunia akan terus mengalami ancaman risiko tertular rabies di lebih 100 negara dan sebagian besar adalah negara-negara berkembang [6, 7].

Meskipun demikian sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya rabies dapat dibasmi, seperti yang terjadi di Amerika Utara, Eropa barat, Jepang dan sejumlah negara di Amerika Selatan. Selama tiga dekade terakhir, penurunan kasus rabies pada manusia yang sangat signifikan berhasil dicapai di Amerika Selatan, Amerika Tengah, Kepulauan Karibia dan sebagian kecil negara-negara di Asia melalui program pemberantasan rabies pada anjing [7, 8].

Sebaliknya, selama tiga dekade terakhir pula kasus rabies pada manusia justru meningkat di berbagai wilayah di sub-Sahara Afrika dan Asia yang dipicu oleh cepatnya pertumbuhan populasi anjing dan meningkatnya urbanisasi, kepadatan dan mobilitas populasi penduduk [7].

Indonesia sendiri telah berupaya untuk mengendalikan dan memberantas rabies sejak zaman Hindia Belanda. Upaya pengendalian dan pemberantasan terus dilakukan di era kemerdekaan dan bahkan intensitasnya diperkuat di era 1980-an. Meskipun ada sejumlah propinsi yang berhasil dibebaskan, namun sampai saat ini Indonesia belum berhasil mengatasi masalah rabies secara tuntas di semua wilayah negara dan belum mampu menghentikan penyebaran dan perluasan rabies ke daerah-daerah tertular baru.

Mengingat ancaman rabies yang masih terus menerus terjadi di abad ke-21 ini dan bahkan dirasakan muncul kembali (re-emerging disease) dan kasusnya semakin meningkat seperti di Afrika Selatan, China, Costa Rica dan negara-negara berkembang lainnya. Bahkan juga di Amerika Serikat dan Kanada, meskipun anjing di ke-dua negara ini umumnya bukan merupakan sumber penular utama.

Untuk merespon kejadian yang tragis ini dan menghilangkan anggapan bahwa rabies merupakan penyakit yang terlupakan (neglected disease), maka suatu organisasi internasional nirlaba Global Alliance for Rabies Control (GARC) memprakarsai apa yang kemudian dikenal sebagai “World Rabies Day” (WRD) pada bulan September 2007. Prakarsa ini dianggap cukup sukses karena untuk pertama kalinya berhasil melibatkan sekitar 400 ribu peserta di 74 negara.

Setelah itu WRD berlangsung setiap tahun dan dirayakan setiap tanggal 28 September. Tanggal yang dipilih ini untuk memperingati kematian Louis Pasteur yang bersama-sama dengan sejawatnya berhasil mengembangkan vaksin anti rabies yang cukup efektif untuk pertama kalinya. WRD dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia tentang dampak rabies bagi manusia dan hewan, menyediakan informasi dan advis cara pencegahan terhadap rabies dan bagaimana individu maupun organisasi di seluruh dunia dapat turut secara sukarela berpartisipasi dalam mengeliminasi rabies di muka bumi ini pada sumber utamanya yaitu anjing [9].

Puncak gunung es

Sebenarnya angka 50-55 ribu yang disebutkan diatas cukup menyentak bagi dunia, terutama apabila diingat bahwa mereka merepresentasikan individu-individu manusia dimana proporsi terbesar adalah anak-anak. Hampir 50% dari seluruh kejadian rabies adalah anak-anak berumur dibawah 15 tahun. Anak-anak adalah sasaran yang paling banyak atau berpeluang besar untuk mendapat serangan anjing tertular rabies. Anjing tetap berperan sebagai sumber penularan rabies utama yang belum berhasil dikendalikan sampai saat ini.

Meskipun angka tersebut diatas cukup valid dimana dari keseluruhan kasus 56% terjadi di Asia dan 44% di Afrika [10], akan tetapi para ahli percaya bahwa pada kenyataannya masih sangat banyak kasus rabies yang tidak dilaporkan (under-reported) di negara-negara berkembang [11] dan mungkin saja juga di Indonesia. Dengan demikian kasus rabies yang dilaporkan pada manusia diibaratkan sebagai ‘puncak gunung es’ (tip of the iceberg) dimana jumlah kasus sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan [12].

Fenomena puncak gunung es ini berhasil dibuktikan oleh suatu studi yang dilakukan terhadap insidensi kasus gigitan rabies di Tanzania, Afrika. Dari studi ini diperoleh indikasi bahwa ekstrapolasi jumlah kasus rabies pada manusia 100 kali melampaui jumlah yang dilaporkan. Angka yang cukup mengejutkan ini kemungkinan didorong oleh faktor rendahnya komitmen politik dalam mengendalikan penyakit ini pada hewan dan terbatasnya ketersediaan, aksesibilitas dan kesadaran secara umum terhadap bahan biologik atau vaksin moderen untuk pengobatan pasca gigitan (post exposure prophylaxis) pada manusia [11].

Jumlah kasus rabies pada manusia yang hanya di puncak gunung es tersebut sangat besar kemungkinannya menutupi dampak sebenarnya dari penyakit ini. Faktor yang berkontribusi terhadap pengaburan masalah rabies diantaranya korban gigitan hewan gagal memperoleh fasilitas pengobatan, hasil diagnosa laboratorium gagal dilakukan dan penyakit gagal dilaporkan. Faktor lain yang juga dianggap berkontribusi terhadap endemisitas rabies di negara berkembang adalah rendahnya cakupan vaksinasi pada populasi hewan, sehingga gagal dalam menciptakan tingkat kekebalan yang memadai pada populasi sumber penular utamanya yaitu anjing [13].

Surveilans rabies

Surveilans rabies adalah dasar dan kunci sukses dari setiap program pengendalian dan pemberantasan rabies. Disamping pentingnya pelaksanaan surveilans rabies pada hewan, penyampaian laporan hasil laboratorium kasus hewan tersangka rabies juga sangat esensial bagi dokter untuk melakukan upaya penatalaksanaan klinis bagi orang yang tergigit hewan tersangka rabies dan juga bagi dokter hewan untuk menerapkan tindakan terhadap hewan yang kontak dengan hewan tersangka rabies tersebut [7].

Rabies seharusnya bersifat sebagai ‘penyakit yang wajib dilaporkan’ (notifiable disease) baik bagi sistem kesehatan maupun kesehatan hewan nasional. Surveilans rabies masih belum dilaksanakan secara memadai di banyak negara termasuk Indonesia, dan kelemahan ini seharusnya mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah.

Rabies hanya dapat didiagnosa secara pasti oleh uji laboratorium. Oleh karenanya sangat dianjurkan di negara atau wilayah negara dimana fasilitas laboratorium kurang memadai atau bahkan sangat tidak memadai, maka kapasitas laboratoriumnya harus dibangun atau diperkuat untuk memastikan surveilans rabies dapat diimplementasikan secara efektif [7].

Surveilans rabies mencakup pengumpulan data yang esensial digunakan untuk menentukan situasi rabies pada saat dimulainya program, memonitor dan mengevaluasi kemajuan dan dampak dari intervensi yang dilakukan dan juga tata laksana penanganan klinis orang yang berpotensi terekspos rabies. Apabila di saat awal pengendalian surveilans tidak dilakukan, maka sangat dianjurkan untuk melaksanakannya secara cepat dan stratejik [14].

Mekanisme sistem surveilans pasif di banyak negara berkembang termasuk Indonesia pada umumnya berlangsung kurang efektif. Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa banyak kasus rabies tidak terlaporkan (under-reported) yang mengakibatkan dampak rabies tidak pernah diapresiasi secara benar [15].

Kunci parameter epidemiologi dan ekonomi yang diperlukan untuk menilai dampak rabies meliputi prakiraan insidensi kasus yang potensial atau dikonfirmasi rabies pada manusia dan anjing, distribusi kasus menurut waktu (temporal) dan lokasi (spasial) pada manusia dan anjing, proporsi kasus yang berhasil didiagnosa dan kualitasnya, jumlah post-exposure prophylaxis (PEP) bagi korban gigitan dan jumlah biaya yang dikeluarkan serta biaya pengendalian pada anjing [16].

Meskipun pelaksanaan sistem surveilans aktif yang komprehensif dalam penanganan rabies sudah jelas membutuhkan biaya besar, akan tetapi kepentingannya dapat dijustifikasi secara teknis maupun ekonomis. Seperti yang diamati dalam setiap kejadian wabah rabies termasuk juga yang terjadi saat ini di Bali, jumlah pemberian PEP akan terus meningkat selama 2-3 tahun sejak awal munculnya wabah. Hampir setiap orang yang kena gigitan anjing menginginkan diberikan PEP dan seringkali dipenuhi oleh petugas kesehatan untuk memberikan rasa aman dan menghilangkan dampak psikologis yang ditimbulkan. Seperti diketahui biaya PEP sangat mahal, sehingga pemerintah harus menyediakan dana yang besar untuk pembelian PEP.

Oleh karenanya intensitas pemberian PEP harus disertai dengan pelaksanaan surveilans aktif yang mampu secara efektif mendeteksi residual fokus infeksi pada populasi hewan penular rabies. Dibarengi dengan kampanye peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya rabies, maka kesimpulan epidemiologis yang diperoleh dari surveilans pada hewan dapat digunakan sebagai dasar kebijakan untuk menurunkan tingkat pemberian PEP secara bertahap terutama setelah 5 tahun pelaksanaan kampanye pengendalian. Penurunan tingkat pemberian PEP ini akan menekan keseluruhan biaya pengendalian yang harus dialokasikan apabila dibandingkan pada saat awal wabah [17].

ASEAN bebas tahun 2020

Di era reformasi sekarang ini, perhatian terhadap upaya pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia dirasakan semakin berkurang. Pengaruh berbagai faktor seperti rendahnya komitmen politik baik di tingkat nasional maupun lokal, tidak memadainya pengadaan dan suplai vaksin anti rabies secara masal, kurang efektifnya koordinasi dan supervisi antar sektor menyebabkan ketidakberhasilan dan ketidaksinambungan upaya pengendalian dan pemberantasan rabies. Selain itu pengorganisasian program kurang berjalan baik oleh karena kurang memadainya kerjasama inter-sektoral, rendahnya partisipasi masyarakat dan kurang kuatnya dukungan publikasi media.

Untuk pertama kalinya, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) bersama-sama dengan 3 negara (China, Jepang dan Korea) menyelenggarakan pertemuan membahas tentang rabies pada tanggal 23-25 April 2008 di Hanoi, Vietnam. Pertemuan ini menyerukan suatu kesepakatan bersama untuk memberantas rabies dan membebaskan wilayah Asia Tenggara dari penyakit ini dengan pencanangan target bebas rabies tahun 2020.

Seruan bersama ini menjadi momentum yang sangat penting bagi negara-negara anggota ASEAN untuk menyatukan tekad dan memperkuat kerjasama untuk upaya kolektif dalam menghadapi rabies yang hampir terlupakan (neglected disease) dan jumlah kasus sebenarnya seringkali tidak dilaporkan (under-reported).

Pertemuan ke-dua dalam kerangka strategis pencapaian wilayah ASEAN bebas rabies 2020 tersebut dilaksanakan pada tanggal 7-8 September 2009 di Hanoi, Vietnam dan yang ke-tiga di Denpasar, Bali pada tanggal 7-9 April 2010. Indonesia harus bisa memetik manfaat yang besar dari kesepakatan ASEAN dan menjadikannya sebagai dukungan untuk memperkuat komitmen politik dalam menuntaskan pengendalian dan pemberantasan rabies bukan hanya di Bali dan Flores, akan tetapi juga wilayah-wilayah endemik rabies lainnya di Indonesia.

Di era reformasi dimana desentralisasi sistem kesehatan dan kesehatan hewan berperan sangat kuat, maka pemerintah Indonesia perlu menjalankan strategi institusional dimana tanggung jawab penanganan rabies dijabarkan secara jelas dan terarah. Meskipun di setiap propinsi maupun kabupaten sudah terbentuk tim koordinasi (tikor) rabies, akan tetapi untuk meraih keberhasilan dalam upaya pembebasan rabies perlu ditunjuk petugas pemerintah pengendali rabies (Rabies Control Officer). Petugas tersebut memimpin langsung dan mengorganisasikan kampanye vaksinasi, memobilisasi tim lapangan dan bertindak sebagai penghubung seluruh institusi dan organisasi yang terlibat [18].

Disamping juga memperbaiki mekanisme pengiriman sampel dari hewan tersangka rabies, memberikan informasi umpan balik ke lapangan serta mengorganisasikan pelatihan-pelatihan dan program-program peningkatan kesadaran masyarakat [18].

Ancaman di muka rumah kita

Satu hal yang harus terus diingat adalah bahwa rabies masih menjadi ancaman di muka rumah kita. Penyakit ini masih akan terus menghantui wilayah-wilayah dunia yang masih bebas saat ini, termasuk juga di negara kepulauan seperti Indonesia dimana masih banyak terdapat pulau-pulau terutama di wilayah timur yang rentan tertular rabies.

Penyebaran rabies di Indonesia dikhawatirkan akan semakin mengarah ke timur melalui kapal ikan maupun kapal dagang antar pulau. Dua tahun lalu, rabies menyebar dari pulau Flores ke pulau Bali dan satu langkah lagi bukan tidak mungkin menyebar ke pulau Timor atau Papua Barat. Sebagai negara tetangga yang bebas rabies, Australia sangat khawatir apabila rabies sampai di Papua Barat, maka mungkin hanya persoalan waktu saja rabies akan mengancam wilayah Australia bagian utara melalui Selat Torres [20].

Indonesia perlu mengambil peran yang lebih aktif untuk mempersiapkan upaya-upaya pencegahan terhadap rabies yang sesungguhnya adalah penyakit kuno akan tetapi masih menjadi persoalan besar di era modern ini [19]. Pemerintah perlu secara tegas menetapkan rabies sebagai penyakit strategis dengan prioritas tinggi dan didukung oleh kemauan politik dan komitmen di tingkat pusat dan daerah terhadap penguatan logistik dan penerapan peraturan. Diskoneksitas yang terjadi antara rabies pada manusia dan rabies pada hewan umumnya di negara berkembang termasuk di Indonesia merefleksikan rendahnya tingkat kesadaran para profesional kesehatan dan kesehatan hewan tentang konsep ‘satu kesehatan’ (one health) tanpa perlu mengaitkannya dengan spesies dalam pendekatan penanganan rabies [13].

Kampanye pengendalian dan pemberantasan rabies tidak bisa diserahkan kepada masyarakat begitu saja dan memerlukan campur tangan pemerintah dalam tingkatan tertentu. Komitmen pemerintah tersebut dapat dinilai dari kuantitas dana yang disediakan dan bahkan komitmen tersebut dapat ditunjukkan dengan tidak mengalihkan dana tersebut untuk kepentingan kegiatan penanganan penyakit lainnya.

Sayangnya dana di sebagian negara berkembang termasuk Indonesia seringkali terhambat dan tidak memadai untuk melaksanakan program vaksinasi yang efektif dan efisien. Oleh karenanya organisasi amal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), donor internasional dan sektor swasta harus dimotivasi dan digalang pemerintah untuk berkontribusi dalam kampanye tersebut, mengingat mereka juga mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap dampak rabies [18].

Referensi:
1. http://en.wikipedia.org/wiki/Rabies_(film)
2. http://en.wikipedia.org/wiki/Rabies_in_popular_culture
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Ingmar_Bergman
4. http://www.medscape.com/viewarticle/712839_7
5. http://wiki.answers.com/Q/How_many_people_have_survived_rabies#ixzz1H7ZvAtFR
6. Wunner W.H. and Briggs D.J. (2010). Rabies in the 21st Century. PLoS Negl Trop Dis 4(3): e591. doi:10.1371/journal.pntd.0000591.
7. World Health Organization (2005). WHO Expert Consultation on Rabies, 5-8 October 2004. TRS 931 WHO Geneva.
8. Lembo T., Hampson K., Kaare M.T., Ernest E., Knobel D., Kazwala R.R., Haydon D.T., and Cleaveland S. (2010). The Feasibility of Canine Rabies Elimination in Africa: Dispelling Doubts with Data. PloS Negl Trop Dis 4(2): e626. doi:10.1371/journal.pntd.0000626.
9. http://en.wikipedia.org/wiki/World_Rabies_Day
10. http://www.who.int/rabies/epidemiology/Rabiessurveillance.pdf
11. Weyer J. and Blumberg L. (2007). Rabies: Challenge of Diagnosis in Resource Poor Countries. Infectious Diseases Journal of Pakistan, pp. 86-88.
12. Meslin F.X. (1994). The Economic burden of rabies in developing countries: Costs and benefits from dog rabies elimination. The Kenya Veterinarian 18(2): 523-527.
13. Okonko, I.O., Adedeji O.B., Babalola E.T., Fajobi E.A., Fowotade A. And Adewale O.G. (2010). Why is There Still Rabies in the World - An Emerging Microbial and Global Health Threat. Global Veterinaria 4(1):34-50.
14. http://www.rabiesblueprint.com/spip.php?article88
15. Kitala P.M., McDermot J.J., Kyule M.N. and Gathuma J.M. (2000). Community-based active surveillance for rabies in Machakos District, Kenya. Preventive Veterinary Medicine 44: 73-85.
16. World Health Organization (1992). Report of the WHO Expert Committee on Rabies. WHO Technical Report Series No. 824. World Health Organization, Geneva.
17. Bogel K. and Meslin F.X. (1990). Economics of human and canine rabies elimination: guidelines for programme orientation. Bulletin of the World Health Organization, 68(3): 281-291.
18. De Balogh K.K.L.M. (2008). Two day Rabies Vaccination Campaign: A Sustanaible Intervention? http://searg.info/fichiers/articles/1995126134L.PDF
19. http://thenationshealth.aphapublications.org/content/39/9/1.2.full
20. http://nqr.farmonline.com.au/news/nationalrural/agribusiness-and-general/general/rabies-on-our-doorstep/1829017.aspx

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations, di Vientiane, Laos.

2 Komentar:

Anonim [Reply] mengatakan...

selama hewan masih menjadi komoditas ekonomi, dan berada di bawah kementrian pertanian, maka penanganan rabies akan tetap seperti itu-itu saja.sudah saatnya penyakit zoonosa ini dipayungi kementrian kesehatan, dan dibentuk direktorat jenderal penanggulangan penyakit zoonosa.

Tata [Reply] mengatakan...

Rabies is essentially a public health issue, but a neglected public health issue (WHO, 2007). The Ministry of Health should focus their attention on canine rabies first, as it incurs endless expenses for treating humans that have been exposed to dog bites. This Ministry should use the competence of Veterinary Services, and all other bodies involved in dog rabies control, and contribute all necessary resources to support them to control reservoir.(Blancou J., 2008)