Sabtu, 09 Juni 2012

Zoonosis, perjalanan dan wisata

“The movement of populations shapes the pattern and distribution of infectious diseases globally”

Wilson, M.E. (2003)

The traveler and emerging infections: sentinel, courier, transmitter. Journal of Applied Microbiology Symposium Supplement, v. 94, p. 1S-11S

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Perjalanan global telah berevolusi secara dramatis selama dua abad terakhir ini, dengan eskalasi kecepatan, jarak dan volume yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Oleh karena distribusi geografis penyakit adalah dinamis dan dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi, genetik dan orang, maka perjalanan memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan mikroba dan memperkenalkan patogen ke lokasi dan populasi baru. Kenaikan jumlah orang yang melakukan perjalanan dan mobilitas spasialnya telah mengurangi hambatan geografis dan meningkatkan potensi penyebaran penyakit menular termasuk zoonosis. [1]

Di satu sisi pergerakan dalam jumlah besar dari orang, ternak, pangan atau barang menjadi suatu hal yang lumrah, akan tetapi di sisi lain meningkatkan kesempatan bagi penyebaran patogen secara cepat. Contohnya Trichinella dalam daging kuda yang ditransportasikan menyeberangi Samudra Pasifik kemudian bisa menginfeksi konsumen yang tinggal di bagian wilayah dunia lainnya. [2] Rudolf Virchow, seorang dokter berkebangsaan Jerman (1821-1905) sedang mempelajari Trichinella di tahun 1855 pada saat dia menciptakan istilah “zoonosis”. Bekerja dengan penyakit ini meyakinkan dirinya betapa pentingnya kaitan antara ilmu kedokteran dan kedokteran hewan, sesuatu yang terus dia tekankan sepanjang kariernya. [3]

Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana perjalanan global secara signifikan berkontribusi terhadap penularan, penyebaran dan kemunculan zoonosis. Di abad ke-19 dahulu, paling tidak diperlukan berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk penyakit bertualang dari satu kontinen ke kontinen lainnya, sekarang ini penyakit dapat ditransportasikan ke lokasi-lokasi terjauh di dunia dalam waktu yang lebih pendek dari kebanyakan masa inkubasi penyakit. [3]

Perjalanan

Volume perjalanan tumbuh secara eksponensial. Wisatawan internasional meningkat dari 25,3 juta orang pada 1950 menjadi 980 juta orang pada 2011, yang berarti telah terjadi kenaikan 38 kali lipat (lihat Tabel 1). Dalam beberapa tahun terakhir, World Tourism Organization mengestimasi pertumbuhan perjalanan sekitar 6% per tahun dan mengantisipasi pertumbuhan yang sama dalam dekade mendatang. [1]

Data migrasi manusia menunjukkan indikator lain berkaitan dengan mobilitas populasi. Sekitar 2% dari penduduk dunia (>200 juta orang), termasuk imigran, pekerja migran, pengungsi, pencari suaka, dan ekspatriat/pekerja asing, sekarang ini tinggal di luar negara kelahirannya. [1]

Tabel 1: Pertumbuhan populasi dunia dan perjalanan wisatawan internasional

                 Sumber: Data dari US Census Bureau dan World Tourism Organization. Diakses di
           http://www.census.gov/population/international/ dan http://www.unwto.org/facts/menu.html

Meskipun terjadi ketidakpastian ekonomi dunia yang persisten, pada 2011 jumlah wisatawan internasional yang mengunjungi Eropa mencapai 503 juta orang, Asia dan Pasifik 216 juta orang, Amerika 156 juta orang, Afrika 50 juta orang, dan Timur Tengah 55 juta orang. [4]

Menurut laporan World Tourism Organization terakhir, pertumbuhan wisatawan internasional akan terus tumbuh di 2012, meskipun pada tingkat yang sedikit lebih lambat. Pada akhir tahun 2012 ini, jumlah wisatawan internasional akan menciptakan satu catatan sejarah tersendiri yaitu mencapai satu milyar orang. [4] Visi 2020 dari World Tourism Organization meramalkan bahwa wisatawan internasional akan mencapai hampir 1,6 milyar pada 2020 (lihat Gambar 1). Dari wisatawan seluruh dunia di 2020, 1,2 milyar merupakan wisatawan intra-regional dan 378 milyar wisatawan jarak jauh. [5]

Gambar 1. Kunjungan wisatawan internasional 1950 - 2020

Sumber: World Tourism Organization. Diakses di http://www.unwto.org/facts/eng/vision.htm

Pada umumnya orang melakukan perjalanan dengan bermacam-macam tujuan dan alasan, termasuk perjalanan untuk bersenang-senang, bekerja/bisnis, menghadiri pertemuan/konferensi, penelitian, studi, bantuan kemanusiaan, tujuan keagamaan, atau kegiatan misionaris. Tujuan perjalanan bisa untuk mengunjungi teman atau keluarga, berobat, profesional atau untuk peluang ekonomi. Meskipun demikian orang juga bisa terpaksa melakukan perjalanan atau bermigrasi karena kejadian yang berkaitan dengan bencana, termasuk bencana alam, bencana lingkungan dan pergolakan sosio-politik dalam negeri. [1]

Antara tahun 2010 dan 2011, tiga negara yang menjadi pasar kunjungan wisatawan tertinggi di wilayah ASEAN yaitu Malaysia, Singapura dan Thailand (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Jumlah wisatawan internasional yang mengujungi negara-negara ASEAN

                               Sumber: ASEAN Secretariat (2011). [6]

Dari Januari sampai November 2011, Indonesia menerima kedatangan wisatawan asing sebanyak 6.925.192 orang, naik 8,9% dibandingkan dengan 2010 dengan 6.358.723 orang untuk periode yang sama. Sampai dengan Desember 2011, diproyeksikan kedatangan wisatawan asing akan mencapai 7,6 juta orang atau naik 8,5% dibandingkan dengan 2010. Empat belas negara dengan jumlah wisatawan tertinggi menempati proporsi 76,6% dari keseluruhan wisatawan yang datang ke Indonesia sejak Januari  sampai November 2011. Pada 2011, jumlah wisatawan tertinggi yang datang ke Indonesia adalah dari negara Australia (22,1%), Filippina (20,8%) dan Timur Tengah (18,1%). [6]

Penularan penyakit

Perjalanan ke negara atau ke wilayah lain membuka peluang untuk terdedah berbagai penyakit menular termasuk zoonosis baik melalui penularan langsung maupun tidak langsung. Penularan tidak langsung terjadi lewat benda mati yang dapat menularkan agen patogen dari satu individu ke lainnya (fomites), makanan atau vektor arthropoda. [2]

Eskalasi kecepatan transportasi memperluas mobilitas global masyarakat dunia, membuat peluang bagi banyak produk dan jasa untuk diperoleh secara cepat dimanapun di dunia, dan memicu lonjakan pertumbuhan pariwisata. Industri pariwisata merupakan industri yang pertumbuhannya tercepat di dunia dan jumlah negara yang dikunjungi wisatawan diproyeksikan bertambah 2 kali lipat pada 2020 mendatang. [9]

Selama beberapa dekade, modus transportasi sudah berubah dari penggunaan kuda dan kapal layar di masa dahulu kala ke penggunaan kapal uap, kereta api, otomobil dan pesawat udara. Pada abad ke-21 ini, pesawat udara mampu mencapai hampir setiap kota besar di dunia dalam waktu 24 jam. Sebagai hasil dari peningkatan kecepatan, ruang dan transportasi moderen, mobilitas spasial dari rata-rata orang tumbuh seribu kali lipat dalam 2 abad terakhir. [1]

Pada 1998, penerbangan udara menempati pangsa terbesar (43%) dari perjalanan internasional, diikuti dengan perjalanan darat 41,4%, transportasi air 7,8%, dan kereta api 7%. Kemudian pada 2006, pangsa penerbangan udara sedikit naik yaitu 46% dari perjalanan internasional, diikuti dengan perjalanan darat 43%, transportasi air 7%, dan kereta api 4%. Angka ini mengindikasikan adanya pertumbuhan jarak jauh yang berkelanjutan, khusus terkait dengan penggunaan pesawat udara berbadan besar dan hubungan antara ekosistem yang berbeda dan beragam spesies yang menghuninya. [1]

Angkutan udara bukan hanya bertambah cepat, akan tetapi juga bertambah besar. Pesawat jumbo jet saat ini dapat mengangkut ribuan penumpang setiap kali terbang. Risiko bagi penumpang untuk mendapatkan penyakit menular diperkirakan meningkat 4 kali apabila ukuran pesawat udara dua kali lebih besar. [7] Jaringan penerbangan global (global aviation network) seperti yang terlihat pada Gambar 2 menghubungkan hampir semua wilayah di dunia, memungkinkan transit cepat dan percampuran beragam spesies. [1, 8]

Gambar 2. Jaringan penerbangan global (Global Aviation Network)

(penerbangan sipil, 500 pelabuhan udara besar, 100 negara)

                                               Sumber: PNAS 2004;101:15125 [8]

Pada umumnya infeksi yang disebarkan melalui udara (airborne diseases) atau lewat tetesan air di udara (droplet) merupakan hal yang paling dikhawatirkan apabila dikaitkan dengan penularan di pesawat udara. Infeksi yang bisa terjadi lewat udara seperti influenza, infeksi meningococcal, campak, tuberculosis dan severe acute respiratory syndrome (SARS). Meskipun demikian, infeksi yang paling umum terdokumentasi menular di pesawat udara tersebar lewat makanan yang terkontaminasi yaitu Salmonella, Staphylococcus, norovirus, dan Vibrio cholerae. [1]

Pada 2005, di seluruh dunia sekitar 11,5 juta penumpang melakukan perjalanan dengan kapal pesiar, dengan lama pelayaran setiap kapal rata-rata 7 hari. Jaringan pelayaran global (global waterways network) pada 2008 seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Para penumpang kapal pesiar bisa berasal dari berbagai negara dan kapal bisa berhenti di pelabuhan yang berbeda-beda dimana penumpang turun dari kapal atau dijemput ke kapal. Penumpang bisa saja melakukan kunjungan singkat selama kapal berhenti di setiap pelabuhan. Pola ini memperbesar potensi pendedahan orang yang melakukan perjalanan terhadap penyakit menular termasuk zoonosis.

Gambar 3. Jaringan pelayaran global (Global Waterways Network)


Sumber: University of Delaware (2008) [8]

Pada umumnya wabah penyakit yang menyerang para penumpang kapal pesiar disebabkan oleh norovirus dan influenza. Durasi pendek yang ditempuh kebanyakan kapal pesiar memungkinkan penumpang yang terinfeksi mencapai lokasi lain sebelum memperlihatkan gejala klinis. Agen patogen yang paling umum diidentifikasi pada saat wabah penyakit terjadi di kapal pesiar adalah Salmonella, Shigella, Staphylococcus, Vibrio cholera, Legionella, Corynebacterium diphtheriae dan rubella. [1]

Zoonosis: penularan langsung

Oleh karena berbagai tipe interaksi terjadi antara manusia dan hewan, maka banyak cara pendedahan terhadap zoonosis bisa terjadi pada saat orang melakukan perjalanan. Penularan langsung yang mudah dikenali dan bisa dengan mudah dikaitkan dengan penyakit tertentu, seperti kaitan antara gigitan hewan dan rabies atau gigitan nyamuk dan malaria atau demam berdarah (dengue). Namun ada banyak cara pendedahan lain yang seringkali kurang jelas dan nyata, baik oleh dokter yang memeriksa ataupun penderita sendiri tidak mengenali atau bahkan mengapresiasi faktor risiko atau potensi pendedahan yang berkaitan dengan orang-hewan domestik-lingkungan atau orang-satwa liar-lingkungan.

Dari perspektif penularan penyakit, pendedahan terhadap hewan domestik dan satwa liar lebih besar potensinya terjadi di wilayah atau lokasi yang terpencil di negara berkembang dibandingkan dengan wilayah urban di negara industri. Meskipun demikian, kemunculan dan kebangkitan kembali penyakit menular di seluruh dunia selama dekade terakhir memicu timbulnya kebutuhan untuk meningkatkan kesiapsiagaan, penilaian risiko, dan prediksi zoonosis. [9]

Kebanyakan zoonosis diperoleh bukan melalui gigitan hewan, akan tetapi akibat gigitan vektor seperti caplak, nyamuk dan kutu. Kontak langsung dengan jaringan terinfeksi, cairan tubuh dan sekresi atau ekskresi adalah bahaya primer bagi orang-orang yang bekerja sebagai investigator penyakit hewan, rehabilitator satwa liar atau pengolah bahan asal hewan (seperti jagal dan lain sebagainya). [9]

Disamping itu kontak dengan satwa liar atau kantong-kantong hewan di lingkungan alam seperti tikus gerbil, tupai, dan marmot adalah sumber yang juga potensial menimbulkan penularan dan/atau pendedahan terhadap agen patogen pada saat melakukan perjalanan. Beberapa contoh zoonosis yang pernah diidentifikasi menular lewat gigitan atau cakaran satwa liar dan menimbulkan infeksi pada manusia antara lain Acinetobacter, Aeromonas, Clostridium, Corynebacterium, Enterobacter, Erysipelothrix, Escherichia, Pasteurella, Leptospira, Micrococcus, Proteus, Pseudomonas, Staphylococcus, Streptococcus, Aspergillus, rabies, herpes type B dan monkeypox. [9]

Sedangkan contoh zoonosis yang pernah diidentifikasi menular lewat kontak langsung dengan hewan hidup atau jaringan hewan antara lain Streptothricosis, Ornithosis, Erysipelothrix, Salmonellosis, Meliodosis, monkeypox, dan acquired immune deficiency syndrome (AIDS)/human immunodeficiency virus (HIV). [9]

Zoonosis: penularan tidak langsung

Manusia juga terdedah patogen zoonosis melalui berbagai cara penularan yang tidak langsung, termasuk kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi. Jalur infeksi seperti ini acapkali terkait dengan perjalanan di hutan belantara atau pada saat melakukan petualangan di alam bebas. Leptospirosis bisa menjangkiti orang-orang yang melakukan perjalanan semacam ini lewat pendedahan yang biasanya disebabkan oleh kontak dengan atau tidak sengaja tertelan air yang terkontaminasi dengan organisme leptospira. Leptospira merupakan salah satu contoh dari perubahan pola yang terjadi pada sejumlah zoonosis yang sudah lama muncul didorong oleh faktor kegiatan manusia dan mobilitas.

Leptospirosis dianggap sebagai zoonosis dengan penyebaran geografis terluas di dunia. Berbagai macam hewan domestik dan satwa liar seperti anjing, singa laut dan tikus adalah ‘reservoir’ infeksi dan dapat mengekskresikan organisme ini lewat urin, meskipun demikian leptospira diketahui sangat sensitif terhadap kondisi kering. Organisme ini memerlukan tanah yang lembab, air yang tergenang atau permukaan air untuk mempertahankan virulensi dan persistensi di luar tubuh hospes. Kontak dengan bahan terkontaminasi menghasilkan banyak kasus leptospirosis pada manusia, terutama terjadi pada para penyelam, perenang, pekerja kanal dan wisatawan yang bertualang melintasi rawa-rawa dan hutan-hutan, begitu juga para atlit yang menantang alam dan berbagai cara pendedahan tradisional lainnya. [9]

Rute umum potensi penularan penyakit menular antara hewan dan manusia maupun sebaliknya diilustrasikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Rute umum potensi penularan penyakit menular antara hewan dan manusia maupun sebaliknya

Sumber: [9]

Satu contoh zoonosis lainnya yang disebarkan melalui perjalanan adalah severe acute respiratory syndrome (SARS). Perubahan ekologi dan meningkatnya intensitas antara manusia dengan ‘reservoir’ penyakit hewan berkontribusi terhadap zoonosis. Kemunculan SARS difasilitasi oleh meningkatnya kontak dengan satwa liar seiring dengan semakin meningkatnya perdagangan dan industri daging satwa liar dalam dekade belakangan ini. Dalam kaitannya dengan SARS, kenyataan serologis mengindikasikan bahwa penyakit tersebar lewat penularan antar spesies yang berawal dari pasar daging satwa liar di Guangdong, China. [11]

SARS dan perjalanan saling berkaitan secara komplek. SARS merupakan penyakit menular baru yang pertama kali di milenium ini yang menyebabkan kekacauan publik yang luas. Pada Juli 2003, jumlah kasus SARS mencapai 8.427 kasus yang dilaporkan dari 29 negara dengan tingkat fatalitas kasus 9,6%. Penyakit dengan gejala demam tinggi dan gangguan pernafasan menyebar ke seluruh dunia sepanjang rute perjalanan udara internasional dengan wabah terkonsentrasi pada pusat-pusat jaringan transportasi atau wilayah yang populasinya padat. Penyakit ini ditularkan dari orang-ke-orang melalui kontak langsung, kontak sebaran tetesan air di udara dan kontak tidak langsung melalui benda mati (fomites) dan tangan yang tidak bersih. [12]

Kemunculan wabah SARS menciptakan kecemasan internasional pada waktu itu, oleh karena SARS merupakan penyakit baru, penularannya sangat mudah dan kecepatan penyebarannya diamplifikasi melalui perjalanan pesawat jet serta dikombinasi dengan liputan media massa yang ekstensif. Dampak psikologis SARS, ditambah dengan pembatasan perjalanan yang diberlakukan oleh berbagai pihak berwenang baik nasional dan internasional telah membuat jumlah perjalanan internasional pada 2003 menurun drastis, jauh melebihi dampak pembatasan yang dilakukan terhadap wilayah-wilayah tertular SARS. [13]

Perjalanan alam dan eko-turisme

Perjalanan alam dan eko-turisme bertambah populer dan digemari dalam tahun-tahun belakangan ini. [10, 14] Perjalanan alam dan eko-turisme dikarakterisasi dengan kunjungan atau rekreasi ke wilayah-wilayah yang masih alami, terpencil dan eksotik, seringkali di negara-negara berkembang, untuk menikmati dan mengamati kehidupan satwa liar dan kegiatan-kegiatan orientasi di alam terbuka (outdoor). Tujuan eko-turisme yang populer dijumpai di banyak negara seperti di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, dimana penyakit-penyakit ternak endemik dan zoonosis baru cenderung muncul.

Eko-turisme merupakan salah satu segmen industri pariwisata yang berkembang cepat dengan tingkat pertumbuhan tahunan antara 10% dan 30%. Eko-turisme saat ini menempati sekitar 20% dari pangsa pasar perjalanan dunia baik darat maupun air. Sebenarnya eko-turisme dimaksudkan untuk mendukung upaya perlindungan wilayah-wilayah alam dengan memperoleh keuntungan ekonomi melalui kesempatan tenaga kerja dan peluang penghasilan bagi masyarakat lokal dan organisasi lokal yang mengelola wilayah alam tersebut. Meskipun prinsip eko-turisme dimaksudkan untuk ‘ramah lingkungan’ (environmentally friendly), akan tetapi pada kenyataannya pertumbuhan eko-turisme cenderung mengarah kepada peningkatan jumlah wisatawan dan infrastruktur, sehingga pada gilirannya akan merubah lingkungan alam pada derajat tertentu. [10]

Banyak faktor yang berkaitan dengan kemunculan penyakit pada situasi tersebut, termasuk perjalanan ke lingkungan pedesaan yang masih belum berkembang, perubahan lingkungan dan meningkatnya kontak dengan satwa liar dan vektor arthropoda. Orang-orang yang melakukan perjalanan berpotensi terinfeksi penyakit menular dan bertindak sebagai vektor biologis penyakit atau terkontaminasi penyakit yang disebabkan oleh mikroba atau vektor arthropoda (misalnya caplak) pada tubuhnya, pakaiannya atau barang-barang bawaannya dan bertindak sebagai vektor mekanis penyakit. [10]

Faktor-faktor yang menghubungkan penularan, penyebaran dan kemunculan penyakit dengan perjalanan alam dan eko-turisme dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) pergerakan orang ke lingkungan pedesaan yang belum berkembang; 2) perubahan lingkungan (seperti deforestasi, konstruksi jalan/infrastruktur), 3) peningkatan kontak orang dengan satwa liar; 4) peningkatan kontak orang dengan vektor arthropoda (seperti nyamuk, caplak, kutu); dan 5) peningkatan risiko infeksi dengan penyakit lokal untuk orang-orang yang mengunjungi suatu wilayah baru. [10]

Banyak zoonosis yang disebabkan oleh vektor yang ‘reservoir’-nya adalah satwa liar atau ternak. Sebagai contoh virus Venezuelan equine encephalomyelitis, virus West Nile dan virus Japanese encephalitis adalah virus-virus yang ditularkan oleh nyamuk yang hidup di ‘reservoir’ spesies hewan seperti rodensia, unggas dan babi. Disamping itu virus Crimean-Congo hemorrhagic fever adalah virus yang ditularkan oleh caplak yang hidup di ‘reservoir’ terwelu liar (kelinci hutan) dan burung-burung. [10]

Meskipun sumbernya tidak diketahui pasti, pergerakan baik orang, hewan atau vektor nyamuk dianggap memicu kemunculan dua penyakit zoonosis di wilayah geografis baru, seperti virus West Nile di Amerika Serikat dan virus Rift Valley fever di Arab Saudi. [10]

Penutup

Perjalanan mempengaruhi penularan, penyebaran dan kemunculan penyakit menular termasuk zoonosis. Zoonosis adalah penyakit yang diketahui menular di alam dari hewan vertebrata dan invertebrata ke manusia. Zoonosis dapat menular dalam dua arah, orang yang melakukan perjalanan tertular pada saat mengunjungi lokasi tertentu, atau orang, hewan atau vektor yang berada di lokasi tersebut tertular dari orang yang datang berkunjung. Tidak ada tempat dimanapun di dunia yang luput dari ancaman zoonosis dengan begitu tingginya kecepatan lalu lintas orang, hewan dan produk hewan di abad ini.

Dengan mudahnya orang di seluruh dunia melakukan transaksi, negosiasi dan pemesanan trans-nasional melalui layar komputer untuk melakukan perjalanan, maka cepat atau lambatnya informasi dan aksi tidak lagi ditentukan berdasarkan batasan geopolitik negara. Begitu juga globalisasi teknologi, informasi dan keuangan menciptakan kekuatan pasar yang mendorong saling keterkaitan antara industri, budaya dan organisme. [3]

Indonesia sebagai sasaran lokasi perjalanan dan wisata dari masyarakat dunia dan juga dengan semakin banyaknya orang Indonesia melakukan perjalanan keluar dari tanah airnya, maka penekanan kepada upaya terus menerus untuk membangun keterkaitan antara kesehatan dan kesehatan hewan guna mencegah penularan, penyebaran dan kemunculan zoonosis haruslah menjadi suatu pertimbangan sentral bukan hanya di sektor kesehatan dan pertanian, tapi juga di sektor perhubungan, kehutanan dan pariwisata.

Wilayah tropis seperti Indonesia merupakan wilayah yang rentan terhadap kemunculan penyakit hewan dan zoonosis baru, oleh karena keragaman biologik yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah beriklim sedang. Berbagai macam zoonosis bisa muncul dalam kondisi dimana berbagai ragam spesies hidup bercampur baur dan pada dasarnya patogen mampu menginfeksi berbagai ragam hospes (multihost). Oleh karenanya saling keterkaitan antara hewan dan orang sudah menjadi kabur sampai pada suatu titik yang tidak lagi dapat dipisahkan dan ini berarti hanya dengan pendekatan inter disiplin yang kuat dalam memahami zoonosis dan ekologi organisme penyakit, maka kita bisa bersiap diri menghadapi penularan, penyebaran dan kemunculan zoonosis.

Referensi:

[1]. Chen L.H. and Wilson M.E. (2008). The Role of the Traveler in Emerging Infections and Magnitude of Travel. Med. Clin. N. Am. 92: 1409-1432. doi:10.1016/j.mcna.2008.07.005.
[2]. Cutler S.J., Fooks A.R., and van der Poel W.H.M. (2010). Public Health Threat of New, Reemerging, and Neglected Zoonoses in the Industrialized World. Emerging Infectious Diseases, 16(1): 1-7. DOI: 10.3201/eid1601.081467.
[3]. Brown C. (2003). Virchow revisited: Emerging Zoonoses. ASM News, 69(10): 493-497.
[4]. http://media.unwto.org/en/press-release/2012-01-16/international-tourism-reach-one-billion-2012
[5]. http://www.unwto.org/facts/eng/vision.htm
[6]. http://cf05.travel-impact-newswire.com/wp-content/uploads/2012/02/IndonesiaVOLUNTARYREPORT.pdf
[7]. Cliff A. and Haggett P. (2004). Time, travel and infection. Br. Med. Bull. 69: 87-99.
[8[. Wilson M.E. (2008). Global Travel and Emerging Infections. Presented at the IOM Forum on Microbial Threats Globalization, Movement of Pathogens and the Revised IHRs, 16 December 2008.
[9]. U.S. Department of the Interior. Circular 1285 – Disease Emergence and Resurgence: The Wildlife and Human Connection. Prepared by the USGS National Wildlife Health Center in cooperation with the U.S. Fish and Wildlife Service. Chapter 4: Zoonoses and Travel. pp. 193-205. http://www.nwhc.usgs.gov/publications/disease_emergence/index.jsp
[10]. APHIS USDA (2001). Market Watch. Nature Travel and Ecotourism: Animal and Human Health Concerns. Center for Emerging Issues, October 2001.
[11]. Galvani A.P. (2004). Conference Summary. Emerging Infections: What Have We Learned from SARS? Emerging Infectious Diseases, 10(7): 1351-1351.
[12]. Venkatesh S. and Memish Z.A. (2004). SARS: the new challenge to international health and travel medicine. East Mediterr. Health J. 2004 Jul-Sep, 10(4-5):655-62.
[13]. Wilder-Smith A. (2006). The severe acute respiratory syndrome: impact on travel and tourism. Travel Med Infect Dis. 2006 Mar, 4(2):53-60. Epub 2005 Jul 11.
[14]. Naicker P.R. (2011). The impact of climate change and other factors on zoonotic diseases. Archives of Clinical Microbiology, 2(24): 1-6. doi: 10:3823/226.

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nation di Vientiane, Laos dan anggota Ecohealth Emerging Infectious Diseases Advisory Committee of International Development Research Centre (IDRC) Canada  

0 Komentar: