Minggu, 17 Juni 2012

Kemunculan zoonosis: Dimensi orang, hewan dan lingkungan

Microbial View

"Emerging Infectious Diseases: Confronting the Triple Threat - Humans, Animals, and the Environment" 


Dr. Lonnie J. King
College of Veterinary Medicine, Michigan State University, East Lansing, Michigan 48824-1314, USA

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Pada dasarnya ada banyak faktor dan kekuatan pendorong yang saling berkonvergensi atau saling bergabung untuk menciptakan era munculnya penyakit baru dan penyakit lama yang muncul kembali (emerging and re-emerging diseases). Kekuatan pendorong seperti globalisasi, teknologi, restrukturisasi sistem pertanian, konsumerisme, dan isu-isu sosial kontemporer yang telah membawa kita memasuki abad ke-21 bukan hanya dengan kecepatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya tapi juga menambah kompleksitas yang sudah ada sebelumnya. [1]

Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa dampak dari kekuatan ini akan mengubah fondasi dasar dan operasional kesehatan hewan dan bagaimana hal ini harus dipertimbangkan dan dipersiapkan ke masa depan. Saling pengaruh antara kesehatan dan kesehatan hewan bukanlah suatu fenomena baru bagi dokter hewan dan petugas kesehatan hewan lainnya, hanya sayangnya ruang lingkup, skala dan dampak global zoonosis sekarang ini tidak memiliki preseden historis. [1]

Tulisan ini mencoba mengkarakterisasi faktor pendorong utama dari kemunculan zoonosis yang bisa membantu para dokter hewan dalam memahami interaksi antara dimensi orang, hewan dan lingkungan. Kemunculan zoonosis (emerging zoonosis) adalah fenomena global, oleh karenanya paling tidak harus dipahami dalam konteks global ataupun dikelola dengan strategi global. [2]

Model konvergensi

Peningkatan interaksi antara hewan domestik, satwa liar dan manusia adalah faktor kritis dan penting secara progresif dalam dinamika kemunculan penyakit dan penularan patogen zoonosis. Suatu model konvergensi yang disajikan dibawah ini membantu untuk mengkonseptualisasikan bagaimana faktor-faktor yang mendorong kemunculan penyakit baru dan penyakit lama yang muncul kembali bergabung satu sama lain dan menyatu serta merubah keterkaitan antara hewan-manusia-mikroba, sehingga kemudian mampu memproduksi dan menularkan penyakit. [1]


Gambar 1: Model konvergensi kemunculan penyakit baru dan penyakit lama yang muncul kembali. Sumber: [1]

Model konvergensi ini mengorganisasikan faktor-faktor potensial ke dalam suatu rangkaian ranah yang luas meliputi (1) faktor-faktor biologik dan sosio-ekonomi; (2) faktor-faktor ekologik dan lingkungan; dan (3) keterkaitan antara mikroba dengan faktor-faktor hewan domestik, satwa liar dan manusia (lihat Gambar 1). Faktor-faktor spesifik dari kemunculan penyakit seluruhnya dikandung dalam ranah tersebut dan membentuk secara kolektif suatu lingkungan yang komplek, yang senantiasa berubah dan pada gilirannya membantu terjadinya perubahan dinamika hewan-manusia-mikroba.

Faktor-faktor kritis terdiri dari adaptasi dan perubahan mikroba; tingkat kepekaan hospes; iklim dan cuaca; perubahan ekosistem, demografi dan populasi, termasuk isu-su menyangkut satwa liar dan hewan eksotik; pembangunan ekonomi dan pemanfaatan lahan; perdagangan dan perjalanan internasional; teknologi dan industri; rendahnya kualitas pelayanan atau infrastruktur sistem kesehatan dan kesehatan hewan; kemiskinan dan ketidakadilan sosial; perang dan dislokasi; kurangnya kemauan politik; dan perbuatan yang cenderung merugikan pihak lain. [3]

Masing-masing faktor tersebut diatas dapat bertindak sendiri-sendiri atau bergabung dengan faktor lainnya atau saling tumpah tindih satu dengan lainnya dalam mempengaruhi interaksi hewan-manusia-mikroba dan interaksi tersebut menghasilkan pengaruh yang non-linier atau sinergistik terhadap penularan penyakit. [7]

Manusia-hewan-lingkungan

Gambar 2 dibawah ini mengkarakterisasi faktor-faktor pendorong dari kemunculan zoonosis yang ditampilkan dalam bentuk matriks dan interaksi antara “manusia”, “hewan” dan “lingkungan”. Faktor “manusia” yang berkontribusi terhadap kemunculan zoonosis mencakup elemen seperti perilaku dan gaya hidup, mobilitas (perjalanan dan keimigrasian), serta kondisi kehidupan ekonomi dan teknologi. Skala populasi manusia dan kepadatan habitat juga mempengaruhi kemunculan zoonosis.

Faktor “hewan” meliputi keragaman geografis, perdagangan legal dan ilegal hewan domestik dan satwa liar, biodiversitas, keseimbangan predator/pemangsa hewan lain, habitat dan kesehatan hewan. [2]

Faktor “lingkungan” beragam mulai dari tanah dan vegetasi, cuaca dan musim, perubahan iklim jangka panjang, serta kondisi lokal seperti ketinggian tempat, temperatur, kelembaban yang mempengaruhi populasi hewan dan vektor.

Gambar 2: Matriks dan interaksi antara faktor-faktor pendorong dengan patogen yang berkontribusi terhadap kemunculan zoonosis baru dan yang muncul kembali. Sumber: [2]

Secara khusus diuraikan faktor-faktor pendorong yang terjadi pada persimpangan dari ke-tiga dimensi kunci tersebut diatas. Pada “keterkaitan manusia-hewan”, seperti contohnya produksi pangan industrial, kepemilikan hewan kesayangan, manajemen satwa liar, praktek-praktek budidaya ternak, pasar hewan hidup, preferensi makanan (misalnya daging satwa liar), dan perambahan oleh manusia terhadap habitat hewan.

Pada “keterkaitan manusia-lingkungan” muncul faktor-faktor seperti urbanisasi dan kepadatan populasi, sifat lingkungan yang dibangun manusia, manajemen air dan limbah, polusi (udara, air, cahaya, limbah padat); pengembangan urban/peri-urban; dan praktek-praktek non budidaya ternak. Sedangkan pada “keterkaitan hewan-lingkungan” terdapat faktor-faktor seperti kondisi reproduksi dan ketahanan hidup (survival) vektor penyakit dan ekspansi atau hilangnya keragaman spesies.

Keterkaitan manusia dan hewan

Pada dasarnya keterkaitan antara manusia dan hewan sangat kompleks, akan tetapi merupakan persimpangan kritis dimana zoonosis baru dapat muncul dan yang lama muncul kembali. Keterkaitan ini dipengaruhi secara berkelanjutan oleh globalisasi; pertumbuhan dan pergerakan populasi orang dan hewan; urbanisasi yang cepat; ekspansi perdagangan hewan dan produk hewan; meningkatnya kecanggihan teknologi dan praktek budidaya ternak; interaksi yang lebih dekat dan lebih intensif antara ternak dan satwa liar; meningkatnya perubahan ekosistem, perubahan ekologi vektor dan ‘reservoir’; perubahan pemanfaatan lahan, termasuk perambahan hutan; dan perubahan pola perburuan dan konsumsi satwa liar. [4]

Fenomena globalisasi merupakan satu perubahan yang paling luar biasa dalam kehidupan kita selama seperempat abad terakhir ini. Globalisasi telah menjadi kekuatan pendorong yang berdampak secara mendalam terhadap perdagangan internasional, ekonomi dan interaksi budaya. Jumlah orang yang melakukan perjalanan internasional mencapai 925 juta orang pada 2009 lalu dan diharapkan meningkat menjadi 1,3 milyar pada 2014. [10] Bukan hanya lebih banyak orang melakukan perjalanan, akan tetapi perjalanan itu sendiri menjadi lebih cepat dan lebih menyebar secara budaya dan merambat ke wilayah-wilayah dunia yang dahulunya belum pernah dikunjungi orang. Tidak dapat dihindarkan bahwa orang, hewan, dan produk secara global bergerak lebih cepat dari masa inkubasi hampir setiap patogen yang pernah dikenal sampai saat ini. [1]

Urbanisasi ditandai dengan perpindahan atau relokasi penduduk pedesaan secara massal ke wilayah-wilayah perkotaan (urban). Hal ini menandai salah satu kecenderungan demografi penting yang dimulai sejak abad ke-20 lalu. Penduduk urban dunia berjumlah sekitar 3,3 milyar (52,1%) pada 2011 dan diperkirakan akan mencapai 6,2 milyar pada 2050. [11] Interaksi antara perubahan dan pertumbuhan populasi urban dengan hewan dan produk hewan juga meningkat dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga prospek kemunculan zoonosis baru dan yang muncul kembali terus berlanjut. [1]

Ekspansi perdagangan global produk-produk pangan hewani pada beberapa dekade terakhir ini telah menggiring ke suatu era dimana terjadi kenaikan yang signifikan dari ruang lingkup dan keragaman penyakit-penyakit yang ditularkan melalui makanan (food-borne diseases). [1] Produksi dan konsumsi daging dunia terus menunjukkan kenaikan. Produksi daging dunia naik tiga kali lipat dalam empat dekade terakhir dan meningkat 20% hanya dalam 10 tahun belakangan ini. Jumlah produksi daging ternak (sapi, babi dan unggas) global berjumlah 238,9 juta metrik ton pada 2011 [12] dan diproyeksikan akan mencapai 368,3 juta metrik ton pada 2020 dan 624,5 juta metrik ton pada 2050. [13] Sistem pangan itu sendiri adalah kompleks dan mengglobal, sehingga menyediakan peluang lain bagi pergerakan patogen memasuki hospes dan populasinya yang baru. [1]

Keterkaitan manusia dan lingkungan

Kebanyakan kemunculan penyakit termasuk zoonosis didorong oleh kegiatan manusia yang memodifikasi lingkungan (anthropogenik) atau sebaliknya penyebaran patogen ke ekologinya yang baru. [8] Contoh faktor pendorong anthropogenik yang mempengaruhi risiko penyakit termasuk kerusakan habitat satwa liar, konversi atau perambahan hutan, terutama melalui deforestasi dan reforestasi; perubahan distribusi dan permukaan air, seperti melalui konstruksi bendungan, irigasi, dan pengalihan aliran air; perubahan pemanfaatan lahan pertanian, termasuk pengembangbiakan atau proliferasi baik ternak maupun tanaman; pengendapan polutan kimia, termasuk zat gizi, pupuk (fertilizer) dan pestisida; urbanisasi yang tidak terkontrol; agregasi perkotaan; banjir/kekeringan, keragaman dan perubahan iklim; migrasi serta perjalanan dan perdagangan internasional; dan introduksi patogen ke manusia baik yang tidak disengaja ataupun punya tujuan tertentu. [9]

Gangguan habitat yang disebabkan oleh perubahan permukaan lahan atau perubahan iklim dianggap sebagai faktor terbesar yang mampu mengubah risiko penyakit antara lain dengan mempengaruhi tempat pengembangbiakan vektor penyakit atau biodiversitas vektor atau ‘reservoir’ hospes. Contoh kemunculan penyakit yang diakibatkan oleh gangguan habitat dapat terjadi pada berbagai ekosistem mencakup lahan pertanian, lahan kering, hutan, urban dan lahan pesisir. [9]

Pada kenyataannya kecenderungan yang semakin tumbuh dalam pengembangan sumberdaya air telah menghasilkan perubahan kualitatif dan kuantitatif dari biodiversitas alam dan pada gilirannya mengubah tingkat interaksi antara manusia, vektor dan patogen. [9] Tanah irigasi pertanian meningkat dari 138 juta hektar pada 1961 menjadi 271 juta hektar pada 2000 dan kemudian menjadi 277 juta hektar pada 2011. [9, 14] Pada 1950, diperkirakan ada sekitar 5 ribu bendungan dengan irigasi yang luas dan multiguna di seluruh dunia dan saat ini meningkat menjadi sekitar 48 ribu bendungan dan separuh dari jumlah tersebut terletak di China. [15]

Bendungan-bendungan besar yang ada saat ini diperkirakan menghasilkan 19% suplai energi listrik dunia. Sepertiga dari negara-negara di dunia bergantung pada tenaga air (hydropower) untuk menghasilkan lebih dari separuh suplai energi listriknya. Separuh dari jumlah bendungan-bendungan yang ada di dunia dibangun secara eksklusif dengan tujuan primernya untuk irigasi. Sekitar 30-40% dari 277 juta hektar lahan irigasi di seluruh dunia bergantung kepada bendungan. Dari sekitar 227 sungai terbesar di dunia, 60% diantaranya terfragmentasi secara ekstrim oleh karena adanya bendungan, pengalihan aliran air dan kanal-kanal yang mengarah kepada degradasi ekosistem. [15]

Pemukiman kembali penduduk dalam skala besar yang seringkali berbarengan dengan pembangunan irigasi berpotensi meningkatkan pendedahan terhadap penyakit terutama bagi populasi yang tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit tertentu. [9] Diestimasi sekitar 40-80 juta orang harus direlokasi akibat konstruksi bendungan di seluruh dunia. Begitu juga, panen berganda telah mengubah pola pergerakan buruh tani, yang pada gilirannya meningkatkan risiko penularan dan penyebaran penyakit. Sedangkan kepadatan populasi dan status rendah gizi yang umum dijumpai pada saat pemukiman kembali akan meningkatkan kepekaan orang terhadap infeksi. [9]

Tingkat deforestasi dunia meningkat secara eksponensial sejak awal abad ke-20. Dipicu oleh pertumbuhan yang cepat dari populasi manusia, berbagai hutan tropis dan hutan beriklim sedang yang kaya sumber hayati maupun juga padang rumput dan lahan basah telah mengalami konversi menjadi lahan pertanian yang miskin sumber hayati dan areal peternakan. Deforestasi hutan tropis secara global terus berlangsung pada tingkat yang mengejutkan dengan hampir 2-3% hilang setiap tahunnya. Paralel dengan perusakan habitat ini adalah pertumbuhan eksponensial interaksi manusia dan satwa liar dan juga konflik antar keduanya. Suatu hal yang memungkinkan untuk terjadinya pendedahan patogen baru ke manusia, ternak dan satwa liar. [16]

Deforestasi dan proses yang mengarah ke deforestasi menimbulkan berbagai konsekuensi bagi ekosistem. Dampak deforestasi telah mengurangi keseluruhan habitat yang sebenarnya diperuntukkan bagi spesies satwa liar. Deforestasi juga merubah struktur lingkungan dengan memecah habitat menjadi lahan-lahan kecil yang dipisahkan oleh kegiatan-kegiatan pertanian atau populasi manusia. Peningkatan dampak dari berbagai lahan kecil tersebut bisa memicu lebih lanjut interaksi antara patogen, vektor dan hospes. [16]

Keterkaitan hewan dan lingkungan

Upaya untuk mengidentifikasi proses-proses yang menghantarkan transformasi produksi ternak dan intensifikasinya menjadi suatu hal sentral dalam pemahaman tentang kekuatan pendorong yang mempengaruhi kemunculan penyakit dan penyebarannya. Di sebagian besar wilayah dunia, mayoritas produksi ternak berlangsung dengan sistem ekstensif, bervariasi mulai dari ternak pastoral yang dipelihara di lahan kering dan lingkungan yang keras, sampai kepada ternak yang bebas berkeliaran, skala kecil dan dipelihara di belakang rumah. [18] Di sisi lain, proses intensifikasi ternak dalam bentuk produksi ternak moderen (terutama ternak ayam dan babi) berkembang begitu cepat sebagai akibat dari permintaan daging dunia yang meningkat secara eksponensial.

Sebagai konsekuensinya terjadi ketidakseimbangan geografik yang nyata dalam kaitannya dengan konsentrasi produksi, dimana peran ternak skala kecil dan tradisional semakin terpinggirkan. Hal ini ditunjukkan dengan baik sekali lewat sejarah perkembangan industri unggas dalam beberapa puluh tahun belakangan ini. Kebanyakan permintaan akan protein unggas berasal dari bermunculannya secara global kelas masyarakat berpendapatan menengah yang tinggal di kota-kota besar di negara-negara yang mengalami transisi ekonomi dan sedang berkembang. Hal ini memicu terbentuknya industri unggas peri-urban skala besar yang mensuplai daging dan telur ke pusat-pusat kota di berbagai belahan dunia. [18] Pertumbuhan produksi daging hewan menurut spesies secara global (1961-2025) dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3: Proyeksi produksi daging hewan menurut spesies, 1961-2025
Sumber: Center for Global Food Issues [2]

Revolusi peternakan” yang ditunjang oleh kemajuan di bidang bioteknologi dan pengembangan hayati (agregasi produksi, vaksinasi, berbagai tahapan sistem produksi ternak) dibarengi dengan perubahan global dan faktor risiko terkait lainnya telah mengubah secara nyata kondisi dimana patogen muncul dan menyerang ternak, kemudian berevolusi, menyebar dan setelahnya timbul konsekuensi bagi populasi manusia. Dalam keterkaitan hewan dan lingkungan, perubahan praktek-praktek pertanian sebagaimana disampaikan diatas dianggap sebagai faktor yang paling dominan dalam kemunculan zoonosis. [18]

Intensifikasi produksi ternak juga mengakibatkan kemunculan anti-mikrobial yang resisten terhadap berbagai bakteri akibat penggunaan anti-mikroba yang tidak terkontrol. Begitu juga mendorong terjadinya evolusi patogen bakteri yang ditularkan lewat pangan asal ternak dan patogen yang dikeluarkan ke lingkungan sekitarnya baik melalui sistem ventilasi maupun pembuangan limbah ternak untuk akuakultur dan pupuk. [20]

Keterkaitan hewan dan lingkungan dalam bentuk ekspansi atau hilangnya keragaman spesies, spesies invasif, pengaruh lingkungan terhadap kekebalan, dampak kondisi lingkungan terhadap lama hidup dan reproduksi (terutama vektor) merupakan faktor-faktor yang juga dianggap berkontribusi terhadap kemunculan penyakit termasuk zoonosis. [1]

Kemunculan dan penyebaran zoonosis

Tabel dibawah ini memuat beberapa contoh zoonosis baru muncul dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemunculan dan penyebarannya.


Tabel 1. Beberapa contoh zoonosis baru muncul dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemunculan dan penyebarannya
Sumber: Diolah dari [2, 16, 6, 17, 19, 21]

Tantangan dan peluang

Pentingnya zoonosis dalam kehidupan manusia saat ini maupun ke depan harus ditekankan terus menerus, karena dampak politik, sosial dan ekonominya yang nyata bagi masyarakat. Patogen zoonosis merupakan penyebab paling signifikan dari penyakit-penyakit menular baru muncul yang mempengaruhi manusia, baik ditinjau dari skala serangan maupun magnituda dampak yang ditimbulkannya. Sekitar 1.415 spesies organisme penular diketahui bersifat patogenik dan 61% diantaranya merupakan zoonosis. Dari patogen baru muncul dalam beberapa dekade terakhir ini, 75% adalah zoonotik. Patogen zoonotik yang dikaitkan dengan penyakit menular baru muncul adalah dua kali lebih banyak dibandingkan dengan patogen non-zoonotik. [16, 1]

Untuk mengantisipasi timbulnya zoonosis baru muncul yang tidak bisa diprediksi sebelumnya, maka para dokter dan dokter hewan haruslah menyadari bahwa bukan hanya sejumlah zoonosis tertentu seperti HPAI H5N1, rabies, anthrax, brucellosis, Japanese encephalitis dan yang umum lainnya saja yang perlu diketahui publik. Ada banyak sekali zoonosis kurang dikenal yang terjadi dalam siklus terbatas di belahan dunia lainnya yang tidak terliput dalam layar radar dari banyak para profesional di bidang kesehatan, kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan di seluruh dunia [21], termasuk di Indonesia. Gambar 4 dibawah ini memperlihatkan peta global penyakit-penyakit baru muncul dan yang muncul kembali.


Gambar 4: Peta global penyakit-penyakit baru muncul dan yang muncul kembali.
(merah menunjukkan penyakit baru muncul, biru menunjukkan penyakit yang muncul kembali dan hitam menunjukkan penyakit yang sengaja dimunculkan)
Sumber: Morens D.M., Folkers G.K., and Fauci A.S. (2004) [22]

Sejumlah faktor dan kekuatan pendorong yang saling berkonvergensi atau saling bergabung untuk menciptakan era penyakit baru muncul dan yang muncul kembali sebagaimana diuraikan diatas akan terus berlanjut dan memberikan implikasi baik terhadap kesehatan dan kesehatan hewan. Suatu era dimana diperlukan pula konvergensi atau penggabungan yang lebih erat bukan hanya antara para pekerja (dokter, dokter hewan, ahli kesehatan masyarakat dlsbnya) dan organisasi-organisasi yang menangani kesehatan dan kesehatan hewan, akan tetapi juga program-program yang didisain khusus untuk mengkoordinasikan upaya kesiapsiagaan kesehatan masyarakat (public health preparedness) dan penanggulangan zoonosis.

Saat ini profesi dokter dan dokter hewan memiliki tantangan dan peluang yang besar dalam menghadapi zoonosis. Konvergensi kesehatan dan kesehatan hewan selama dekade terakhir ini telah menciptakan permintaan dan kebutuhan sosial kemasyarakatan baru. Ke-dua profesi tersebut bukan hanya harus mampu merespon permintaan dan kebutuhan tersebut, akan tetapi juga harus mampu menciptakan strategi baru ke depan untuk memperbaiki kesehatan maupun kesehatan hewan.

Surveilans, penelitian dan pengembangan (R&D), pelatihan, bantuan teknis dan peningkatan kapasitas baik dalam kaitannya dengan sumberdaya manusia dan infrastruktur haruslah merupakan elemen kunci terprogram yang perlu diperkuat dan diperbaiki. Begitu juga peluang terobosan yang memerlukan kemitraan lebih kuat dengan organisasi-organisasi terkait kesehatan masyarakat di tingkat nasional maupun internasional, selain dengan universitas dan pihak swasta.

Dokter hewan dan organisasi profesi sesungguhnya tidak akan mampu mentransformasi profesi lain atau organisasi lain sebelum berhasil mentransformasi dirinya sendiri. Satu hal yang sudah pasti adalah dokter hewan harus terus melakukan transformasi dan evolusi dalam menjawab tantangan dan peluang dalam kaitannya dengan zoonosis baru muncul dan yang muncul kembali, terutama untuk merespon horizon kesehatan hewan yang telah dan terus akan berubah di masa yang akan datang.

Referensi:
1. King L.J. (2004). Emerging and re-emerging zoonotic diseases: Challenges and opportunities. OIE document 72 SG/9. 72nd OIE General Session, Paris, 23-28 May 2004.
2. Fineberg H.V. and Wilson M.E. (2010). Emerging Infectious Diseases. Paper accompanies the International Risk Governance Council (IRGC) report “The Emergence of Risks: Contributing Factors”.
3. Hamburg M.A. and Lederberg J. (2003). Microbial threats to health. Institute of Medicine of the National Academies. National Academy Press, Washington D.C., USA, 53-55.
4. FAO/OIE/WHO Joint Scientific Consultation Writing Committee (2011). Influenza and other emerging zoonotic diseases at the human-animal interface. Proceedings of the FAO/OIE/WHO Joint Scientific Consultation, 27-29 April 2010, Verona (Italy). FAO Animal Production and Health Proceedings, No. 13. Rome, Italy.
5. WHO/FAO/OIE (2004). Report of the WHO/FAO/OIE Joint Consultation on emerging zoonotic diseases, in collaboration with the Health Council of the Netherlands. 3–5 May 2004, Geneva, Switzerland.
6. Cutler S.J., Fooks A.R., and van der Poel W.H.M. (2010). Public Health Threat of New, Reremerging, and Neglected Zoonoses in the Industrialized World. Emerging Infectious Diseases, January 2010, 16(1): 1-7.
7. King L.J., Marano N., and Hughes J.M. (2004). New partnerships between animal health services and public health agencies. Rev. sci. tech. Off. Int. Epiz., 23(2): 717-726.
8. Taylor L.H. Latham S.M., and Woolhouse M.E.J. (2001). Risk factors for human disease emergence. Phil. Trans. Soc. Lond. B., 356: 953-989.
9. Patz J.A., Confalonieri U.E.C., Amerasinghe F.P., Chua K.B., Daszak P., Hyatt A.D., Molyneux D., Thomson M., Yameogo L., Lazaro M.M., Vasconcelos P., Rubio-Palis Y., Campbell-Lendrum D., Jaenisch T., Mahamat H., Mutero C., Waltner-Toews D., and Whiteman C. (2012). Ecosystems and Human Well-being: Current State and Trends. Chapter 14. Human Health: Ecosystem Regulation of Infectious Diseases. Eds. Epstein P., Githeko A., Rabinovich J., and Weinstein P. http://www.maweb.org/documents/document.283.aspx.pdf
10. http://www.iata.org/pressroom/pr/pages/2011-02-14-02.aspx
11. http://www.un.org/esa/population/
12. http://www.fas.usda.gov/psdonline/circulars/livestock_poultry.pdf
13. http://www.farmecon.com/Documents/Projections_of_Global_Meat_Production_Through_2050.pdf 
14. http://www.un.org/esa/sustdev/csd/csd16/LC/presentations/irrigation.pdf
15. http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/water/dams_initiative/quick_facts/
16. Patz J.A., Daszak P., Tabor G.M., Aguirre A.A., Pearl M., Epstein J., Wolfe N.D., Kilpatrick A.M., Foufopoulos J., Molyneux D., Bradley D.J., Bradley D.J. and Members of the Working Group on Land Use Change and Disease Emergence (2004). Unhealthy Landscapes: Policy Recommendations on Land Use Change and Infectious Disease Emergence. Environmental Health Perspectives, 112(10): 1092-1098.
17. Brown C. (2004). Emerging zoonoses and pathogens of public health significance – an overview. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 23(2): 435-442.
18. Slingenbergh J., Gilbert M., de Balogh K., and Wint W. (2004). Ecological sources of zoonotic diseases. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 23(2): 467-484.
19. Morse S.S. (1995). Perspectives. Factors in the Emergence of Infectious Diseases. Emerging Infectious Diseases 1(1): 7-15.
20. Jones B., Mutua F., Kock R., Alonso S., Rushton J., Njuki J., Said M., Ericksen P., McKeever D., Pfeiffer D., McDermott J., and Grace D. (2005). The effect of agricultural intensification and environmental changes on the risk of zoonoses that have a wildlife-livestock interface. Presentation for the CGIAR Science Forum 2011 The Agriculture-Environment Nexus. Session 6. Animal protein: increased production and a healthy environment in conflict? International Livestock Research Institute, Kenya & Royal Veterinary College, University of London
21. Artsob H. (2007). Influence of biodiversity and environmental factors on zoonoses. Presentation to the First International Symposium on “The Role of the Environment in the Interface between Microorganisms and Humans”, Saint Etienne, France, April 13, 2007.
22. Morens D.M., Folkers G.K., and Fauci A.S. (2004). Insight review articles. The challenge of emerging and re-emerging infectious diseases. Nature, 430: 242-249, 8 July 2004.

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nation di Vientiane, Laos.

0 Komentar: