Senin, 22 Maret 2010

Faktor Risiko Masuknya Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) ke Indonesia Melalui Importasi Produk Hewan

Tri Satya Putri Naipospos

Bovine spongiform encephalopathy (BSE) adalah bentuk yang paling baru dari penyakit transmissible spongiform encephalopathy (TSE) yang selama ini dikenal menyerang sapi dewasa. Kejadian klinis BSE pertama kali dilaporkan di Inggris pada bulan April 1985.

Selain Inggris, sampai saat ini kasus BSE dilaporkan telah terjadi di Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Irlandia, Liechtenstein, Luxemburg, Belanda, Portugal, Italia dan Switzerland. Sejumlah kecil kasus BSE ditemukan di Kanada, Kepulauan Falkland, Kuwait dan Oman, namun semua terjadi pada sapi yang diimpor dari Inggris. Negara-negara yang baru dua tahun terakhir ini melaporkan adanya kasus BSE yaitu Spanyol, Yunani dan Czech.


Tingkat insidensi penyakit lebih tinggi di Inggris dibandingkan dengan negara lain yang juga pernah dilaporkan terjadi BSE, akan tetapi kejadian menurun secara drastis sebagai hasil dari pengendalian yang efektif terutama dengan mencegah infeksi baru dalam pakan ternak. Tingkat insidensi juga menurun di Switzerland dan Perancis, sebaliknya meningkat di negara-negara lain yang tercatat sebagai negara tertular meskipun kasus yang dilaporkan per tahun hanya sedikit.

BSE adalah anggota dari kelompok penyakit yang dikenal sub akut yaitu transmissible spongiform encephalopathy (TSE) atau penyakit "prion". Ini mencakup juga "Creutzfeldt-Jakob disease" (CJD) yang menyerang manusia, "scrapie" pada domba dan kambing, transmissible mink encephalopathy (TME) dan yang hanya ditemukan di Amerika Utara saja yaitu "chronic wasting disease" (CWD) pada wapiti (Cervus canadensis) dan beberapa jenis rusa. Penyakit-penyakit ini hanya dapat dikonfirmasi secara pasca mati (post mortem) dengan pemeriksaan spesimen otak.

Agen penyebab penyakit ini belum dapat ditetapkan secara jelas (mungkin prion, virinos atau virus inkonvensional lainnya). Agen tersebut tidak menimbulkan respons imunitas pada induk semang (konsekuensinya tidak ada uji yang secara praktis dan efektif yang dapat mendeteksi hewan terinfeksi) dan resisten berlebihan terhadap inaktivasi oleh panas radiasi dan kimiawi. Yang jelas semua penyakit tanpa kecuali bersifat fatal.

Titer infektivitas tertinggi yang diukur dengan metoda bioassay ditemukan pada susunan syaraf pusat (SSP) dari kasus klinis yang sudah berlangsung lama. Infektivitas kemungkian berada pada jaringan lymphoreticular dan/atau SSP selama periode inkubasi, akan tetapi tidak terdeteksi sampai beberapa bulan setelah terdedah. Pada sapi yang menderita klinis BSE, infektivitas hanya ditemukan pada otak, sumsum tulang belakang dan retina mata.

Infektivitas tidak pernah ditemukan pada susu atau daging secara alamiah pada hewan yang tertular TSE. Oleh karenanya pengendalian penyakit dapat mengurangi risiko kemungkinan terekspos BSE pada setiap spesies (termasuk manusia) dengan cara mengkonsentrasikan upaya untuk mengeliminasi hewan-hewan yang secara klinis diduga tertular BSE dari seluruh mata rantai makanan dan pakan ternak dan menghancurkan material tertentu yang berisiko (seperti jaringan tubuh hewan yang paling mungkin mengandung infeksi terutama jaringan SSP) dari semua sapi diatas umur tertentu baik yang dipotong untuk konsumsi maupun yang tidak.

Infeksi BSE Bersumber Dari Pakan

Tidak diragukan bahwa BSE (dan penyakit lain yang berkaitan pada kucing domestik dan hewan liar yang ditangkap) adalah penyakit yang ditularkan melalui pakan (feed-borne disease). Pada sapi dan bovidae liar yang ditangkap, unsur pembawa adalah "meat and bone meal" (MBM) yang mengandung protein ruminansia berasal dari jaringan terinfeksi (material tertentu yang berisiko) dimana yang paling penting adalah jaringan SSP.

Spesies yang menjadi sumber asli penularan untuk BSE kemungkinan adalah sapi, tetapi adalah lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa domba yang menderita scrapie bertanggung jawab sebagai sumber penularan sejak ditemukan bahwa hanya domba satu-satunya yang diketahui sebagai hewan "reservoir" untuk infeksi TSE.

Apapun sumber penularan, kejadian epidemik penyakit selalu diikuti dengan siklus berulang daripada jaringan sapi terinfeksi melalui pakan ternak. Pakan yang terekspos dengan BSE atau agen scrapie dapat menyebabkan kasus scrapie pada domba dan/atau kambing meskipun tidak ada kenyataan langsung yang menyatakan bahwa hal praktis terjadi.

Apabila agen BSE menginfeksi domba dan/atau kambing maka hal ini dapat menjadi ancaman bagi manusia. Beberapa negara telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah hal ini dengan bentuk larangan terhadap daging tetelan (offal) domba dan kambing sebagai bagian dari strategi mengurangi risiko. Larangan ini menekankan pada SSP dan mencegahnya untuk dikonsumsi oleh manusia dan hewan.

Penilaian Risiko (Risk Assessment) BSE

Risk assessment BSE mencakup 2 (dua) hal yaitu: (1) Risiko 'exogenous' (exogenous risks) dari importasi hewan hidup, embryo atau ova atau dari importasi bahan campuran/tambahan pakan ternak (compounded feed concentrate) atau tepung daging dan tulang (meat and bone meal/MBM); dan (2) Risiko 'endogenous' (endogenous risk) dari pakan ternak terkontaminasi, dari prosedur 'rendering' yang tidak memadai atau dari transmisi maternal dari hewan impor.

Risiko 'exogenous' (exogenous risks)
Risiko dapat bersifat 'exogenous' - datang dari luar negeri - dan ini berarti dapat dicegah melalui kontrol importasi sapi hidup dan produknya yang datang dari negara-negara yang mempunyai risiko (at-risk countries) seperti yang direkomendasi dalam OIE Code. Yang diperlukan bukan mencegah importasi akan tetapi lebih kepada memastikan bahwa risiko dapat ditekan seminimum mungkin dengan menetapkan standar untuk sertifikasi. Risiko utama yang timbul dari importasi hewan hidup (termasuk keturunan/generasi berikut dari hewan yang terinfeksi BSE) atau bahan pakan yang mengandung MBM yang berasal dari ruminansia.

Penting diperhatikan risiko kontaminasi silang yang timbul secara tiba-tiba pada diet ruminansia pada pabrik pakan ternak dan pada peternakan, meskipun bahan pakan ternak impor tersebut tidak dimaksudkan untuk dimakan oleh ruminansia. Sampai dengan saat ini, tidak ada data yang menyatakan bahwa embryo yang berasal dari hewan tertular BSE menyebabkan infeksi BSE. OIE Code menguraikan bagaimana cara untuk mengurangi resiko yang timbul dari importasi embryo dan ova sapi sampai pada tingkat yang dapat diterima sambil tetap melaksanakan upaya perbaikan gentika ternak.

Risiko 'endogenous' (endogenous risks)
Risiko dapat juga bersifat 'endogenous' - timbul dari dalam negeri. Dalam hal ini ada 3 (tiga) risiko utama yaitu: (1) Terhadap sapi (dan ruminansia lain) dari pakan yang terinfeksi; (2) Terhadap manusia dan hewan dari material yang mempunyai risiko khusus (specified risk materials/SRM) atau produk yang dibuat dari SRM untuk dikonsumsi; dan (3) Berasal dari produk hasil 'rendering' dengan proses yang tidak menginaktivasi agen.

Pengalaman menunjukkan bahwa risiko 'exogenous' biasanya dapat berespons, tetapi risiko 'endogenous' tidak diperhitungkan secara serius sehingga bisa menyebabkan situasi yang berpotensi untuk berbahaya apabila agen BSE timbul sewaktu-waktu.

Gambar 1 memperlihatkan adanya 2 (dua) kemungkinan alur masuknya BSE ke suatu negara yaitu melalui impor sapi tertular BSE atau impor MBM yang terkontaminasi BSE.

Gambar 1: Skema penularan BSE melalui impor MBM dan impor sapi

Sumber: Final Opinion of the Scientific Steering Committee on the Geographical Risk of BSE (GBR), 2000

Faktor Risiko BSE

Faktor-faktor yang digunakan dalam menganalisa risiko BSE mencakup: (1) Importasi MBM atau pakan yang terkontaminasi dengan TSE atau bahan baku pakan yang mengandung salah satu dari keduanya; (2) Importasi hewan, embryo atau ova yang potensial terinfeksi TSE; (3) Konsumsi MBM atau pakan yang mengandung bahan asal ruminansia; (4) Asal hasil sampingan ternak, parameter proses ‘rendering’ dan metoda produksi pakan ternak; (5) Situasi epidemiologi seluruh hewan TSE di negara atau wilayah negara; dan (6) Struktur dan dinamika populasi sapi, domba dan kambing di negara atau wilayah negara.

Gambar 2: Total Ekspor MBM dari Inggris ke berbagai negara 1988 – 1993


Indonesia bersama-sama dengan negara lainnya di Asia Tenggara dinyatakan sebagai negara-negara yang kemungkinan mendapat masalah dengan BSE. Dari Gambar 3 dapat dilihat bagaimana Indonesia memiliki faktor risiko dimana Indonesia melakukan impor MBM dari Inggris sejak tahun 1991 - 1993 dimana jumlahnya mencapai lebih dari 20.060 ton.

Jumlah MBM yang diimpor Indonesia dari Inggris sepanjang tahun 1991–1996 mencapai 60 ribu ton. Namun faktor risiko ini bisa saja dapat diabaikan mengingat MBM impor tersebut di Indonesia bukan digunakan untuk ruminansia, akan tetapi hanya digunakan untuk pakan ternak unggas, ikan atau babi. Disamping itu Indonesia tidak mempunyai industri pembuangan hasil sampingan ternak (rendering plant).

Kesimpulan

Meskipun sampai dengan saat ini BSE belum dilaporkan terjadi di Indonesia, akan tetapi dengan munculnya kasus BSE pertama di Asia yaitu di Jepang, maka BSE tetap perlu diwaspadai.

Pemerintah perlu melakukan hal-hal yang direkomendasikan FAO/WHO/OIE seperti: (1) Ketentuan pelaporan yang mewajibkan notifikasi dan penyidikan terhadap semua sapi yang menunjukkan gejala klinis kompatibel dengan BSE; (2) Menerapkan sistem surveilans dan monitoring dengan pemeriksaan otak dan jaraingan lainnya di laboratorium yang telah mendapatkan pelatihan; (3) Melakukan studi penilaian risiko (risk assessment study) terhadap impor MBM dan produk hewani lainnya yang kemungkinan menjadi media pembawa BSE; (4) Mengatur penggunaan pakan MBM; dan (5) Melakukan pengawasan karantina yang ketat terhadap impor produk-produk peternakan yang bisa menjadi media pembawa agen BSE.

REFERENSI

Scientific Steering Commitee (2000). Final Opinion of the Scientific Steering Committee on the Geographical Risk of Bovine Spongiform Encephalophaty (GBR). Adopted on 6 July 2000.

Cohen, J.T. , Duggar, K., Gray, M. and Kreindel, S. (2001). Evaluation of the Potential for Bovine Spongiform Encephalophaty in the United States. Harvard Center for Risk Analysis, Harvard School of Public Health, U.S.A.

0 Komentar: