Tri Satya Putri Naipospos
Suatu penyakit hewan eksotik yang sangat menular seperti penyakit mulut-dan-kuku (PMK) mampu menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat luar biasa besarnya baik bagi produsen ternak, industri terkait maupun konsumen. Oleh karena itulah pemerintah Indonesia berupaya keras untuk melakukan tindakan-tindakan perlindungan dan pengamanan yang diperlukan terhadap sumber daya ternak yang dimiliki untuk mencegah masuknya kembali PMK ke Indonesia.
Dengan semakin meningkatnya arus lalu lintas orang dan barang serta semakin derasnya arus perdagangan antar negara di era globalisasi, maka upaya untuk memperkirakan tingkat kemungkinan terulangnya kembali kejadian wabah PMK di Indonesia merupakan suatu hal yang perlu dilakukan. Ekboir (1999) mengatakan jalur masuk potensial PMK ke negara-negara yang statusnya bebas telah mulai berubah dalam tahun-tahun terakhir ini.
Secara tradisional dahulu diasumsikan bahwa sumber penularan yang paling mungkin adalah importasi hewan dan produk hewan, akan tetapi penerapan peraturan impor dan pengawasan lalu lintas hewan dan produk hewan yang ketat telah berhasil mengurangi risiko sampai ke tingkat yang dapat diabaikan. Di lain pihak, peningkatan jumlah wisatawan internasional, peningkatan volume perdagangan dan percepatan transportasi telah membentuk sumber penularan baru yang potensial.
Disamping itu perubahan pola perdagangan serta juga perubahan peraturan perdagangan dunia dianggap juga telah menyebabkan meningkatnya kemungkinan timbulnya wabah PMK. Kecepatan lalu lintas perjalanan internasional semakin meningkat dalam tahun-tahun terakhir dan pertumbuhan jumlah penumpang internasional yang mengunjungi Indonesia semakin tinggi.
Virus PMK dapat bertahan selama 24 jam dalam sistem pernafasan manusia dan dalam kondisi yang memungkinkan selama beberapa minggu pada pakaian. Jadi sangat mungkin untuk seseorang yang mengunjungi suatu negara endemik PMK dan secara kurang berhati-hati membawa virus tersebut ke Indonesia.
Jalur masuk lain yang mungkin menyebabkan virus PMK masuk ke suatu negara bebas adalah melalui penyelundupan daging (pemasukan daging ilegal) yang tidak diolah dan produk hewan lainnya, terorisme ekonomi dan sampah tidak dimasak yang ditransportasikan dengan pesawat terbang dan kapal laut (Donaldson dan Doel, 1994). Oleh karena sangat tidak mungkin untuk melakukan pemblokiran seluruh jalur masuk yang mungkin menyebabkan masuknya PMK ke Indonesia, maka kemungkinan terjadinya wabah harus tetap dipertimbangkan.
Tindakan pencegahan terhadap kemungkinan masuknya kembali PMK
Sejak Indonesia dinyatakan bebas PMK pada tahun 1986 dan status kebebasan ini telah diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE), maka selama 15 tahun terakhir ini pemerintah Indonesia telah menetapkan pelarangan importasi yang ketat terhadap hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang berasal dari negara-negara yang dinyatakan tertular dalam upaya untuk mencegah masuknya kembali PMK ke Indonesia.
Bahkan sejak timbulnya wabah PMK Pan Asia yang mula-mula di India Utara, kemudian melanda negara-negara Timur Tengah dan merambat sampai ke Inggris, maka pada bulan Februari 2001 pemerintah Indonesia mulai memberlakukan pelarangan menyeluruh terhadap masuknya 31 komoditi impor yang berasal dari negara yang statusnya sedang wabah sebagai upaya “pengamanan maksimum” (maximum security).
Komoditi impor tersebut bukan hanya menyangkut hewan dan produk hewan, akan tetapi menyentuh komoditi lain di luar peternakan itu sendiri seperti jagung, kedelai, obat-obatan untuk manusia yang mengandung bahan yang berasal dari ruminansia dan babi dlsbnya. Dunia industri kita telah mengalami cukup banyak kerugian akibat ditolaknya komoditi bahan baku impor baik yang berasal dari ternak maupun yang bukan berasal dari ternak.
Faktor Risiko (Risk Factor)
Faktor risiko (risk factor) adalah faktor yang mendorong kemungkinan timbulnya infeksi akibat importasi hewan atau produk hewan ke suatu negara. Dibawah ini adalah daftar jalur penularan yang merupakan faktor risiko yang berpotensi sebagai penyebar virus PMK (lihat Tabel 1).
Tabel 1: Faktor Risiko PMK
Sumber: Sutmoller, P. (2001)
Suatu studi yang mempelajari introduksi risiko PMK ke benua Eropa menemukan bahwa dari keseluruhan faktor risiko tersebut diatas, impor ternak dan hasil ternak ilegal merupakan jalur yang paling tinggi kemungkinannya untuk mengintroduksikan virus PMK ke benua Eropa (Ryan and Gallagher, 2000). Tabel 2 memperlihatkan hasil studi tersebut.
Tabel 2: Jalur penularan PMK ke benua Eropa
Sumber: Sutmoller, P. (2001)
Faktor risiko yang paling nyata masuknya PMK ke suatu negara adalah melalui impor produk daging dan susu ilegal. Virus PMK dapat bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama dalam berbagai kondisi seperti daging segar, setengah matang, diawetkan, diasap, dan juga susu yang tidak dipasteurisasi secara memadai. Produk-produk ini bisa saja dibawa oleh penumpang pesawat udara atau kapal laut, atau bahkan dikirim melalui pos. Begitu juga faktor risiko seperti sampah kapal seperti kapal penangkap ikan atau kapal pesiar.
Penilaian Risiko (Risk Assessment)
Badan Perdagangan Dunia (WTO) telah menunjuk Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) sebagai organisasi yang menetapkan standar dan mengembangkan pedoman untuk keamanan lalu lintas hewan dan produk hewan internasional, baik yang berasal dari negara atau zona bebas PMK maupun yang tertular PMK.
Rekomendasi OIE untuk importasi daging sapi dari negara atau zona yang bebas PMK dengan vaksinasi adalah sebagai berikut: (1) daging harus berasal dari sapi yang dipelihara di negara atau zona asal paling tidak 3 bulan sebelum dipotong; (2) rumah pemotongan hewan (RPH) harus disetujui secara resmi dan sapi harus melalui pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem; (3) daging harus berasal dari karkas yang telah dilepaskan dari tulang (deboned carcass) dimana juga kelenjar limfe utamanya telah dihilangkan; dan (4) sebelum pelepasan tulang, karkas harus mengalami proses maturasi (maturation) pada temperatur lebih dari 20C untuk jangka waktu minimum 24 jam setelah pemotongan, dimana selama jangka waktu tersebut nilai pH daging harus berada dibawah 6 apabila dilakukan pengujian di bagian tengah daripada kedua belah otot longgissimus dorsi.
Apabila importasi daging dilakukan dari negara atau zona tertular PMK, maka rekomendasi OIE adalah sebagai berikut: (1) daging harus berasal dari sapi yang divaksinasi secara teratur dan paling sedikit sudah divaksinasi 2 kali, dengan pelaksanaan vaksinasi terakhir tidak lebih dari 12 bulan dan tidak kurang dari satu bulan sebelum pemotongan; (2) sapi harus dipelihara di negara paling tidak 3 bulan sebelum pemotongan; (3) sapi harus dipelihara di suatu lokasi dalam 30 hari terakhir dan PMK tidak terjadi dalam radius 10 km dari lokasi tersebut selama jangka waktu tersebut.
Penilaian risiko (risk assessment) untuk impor daging sapi dari suatu negara tertentu ditunjukkan pada Gambar 1 (Sutmoller, 2001).
Gambar 1: Skenario pathway risiko daging terkontaminasi dengan virus PMK
Gambar 1 memperlihatkan kejadian berbeda (E) yang mengarah kepada terjadinya kontaminasi daging oleh virus PMK. Menurut skenario ini, produk akhir terkontaminasi virus PMK, dengan kejadian suatu kelompok sapi tertular terseleksi untuk pemotongan (E1), penyakit tidak terdeteksi pada setiap tahapan pemeriksaan (E2, E3, E4), karkas terkontaminasi (E5) dan virus bertahan pada proses maturasi dan tidak hilang dengan proses pelepasan tulang (E6).
Untuk menilai risiko akibat produk akhir (daging sapi untuk ekspor) terkontaminasi, maka perkiraan kualitatif atau kuantitatif harus dibuat untuk setiap kejadian dalam skenario sehingga memungkinkan virus untuk tetap hidup sepanjang rangkaian kejadian tersebut.
Probabilitas menseleksi suatu kelompok ternak tertular sebagai sumber daging sapi untuk ekspor (P1) adalah fungsi situasi epidemiologi dan insidens PMK dari zona dimana peternakan asal berlokasi. Probabilitas mendeteksi PMK melalui sistem kesehatan hewan (P2), pada saat pemeriksaan di peternakan maupun di RPH (P3, P4), bergantung kepada efisiensi sistem kesehatan hewan dan pelayanan pemeriksaan tersebut. Probabilitas karkas terkontaminasi (P5) adalah fungsi dari jumlah ekor sapi yang mengalami viraemia dalam kelompok ternak yang dipotong.
Hasil dari proses maturasi dan pelepasan tulang (P6) bergantung kepada beberapa faktor. Cottral et al. (1969) mencatat bahwa tidak semua virus dalam karkas dapat dihilangkan melalui proses maturasi atau pelepasan tulang. Efektivitas maturasi bergantung kepada inaktivasi virus PMK dengan menurunkan pH daging. Perubahan pH bergantung kepada jumlah glikogen dalam otot pada saat pemotongan, dimana juga dipengaruhi oleh kesehatan ternak secara keseluruhan dan jangka waktu istirahat yang diperlukan oleh hewan.
Disamping itu tingkat pH yang diinginkan tidak selalu dapat dicapai dalam kelenjar limfe, sumsum tulang atau dalam kandungan pembuluh darah besar. Oleh karenanya seluruh bagian ini harus dilepaskan selama proses pelepasan tulang, akan tetapi kemungkinan terjadi “human error” dalam pengukuran pH atau dalam melepaskan bagian-bagian yang diperlukan harus juga dipertimbangkan. Sebagai contoh, gumpalan darah, patahan tulang dan bagian pembuluh darah atau bagian kelenjar limfe mungkin saja tidak sepenuhnya dapat dihilangkan. Selain itu, virus cenderung bertahan dalam darah yang melekat pada tumpukan lemak, yang tidak terpengaruh dengan turunnya pH, atau dalam organ seperti hati atau ginjal.
Perkiraan probabilitas kegagalan dalam mendeteksi sapi tertular sangat bergantung kepada tingkat infeksi dalam kelompok ternak. Dalam hal ini ada 4 tahap penyakit yang bisa dibedakan yang berdampak secara berbeda dalam risk assessment. Tahapan ini adalah masa inkubasi, masa gejala klinis, masa penyembuhan dan status karier. Untuk kelompok ternak yang memiliki sapi karier PMK, jawaban untuk pertanyaan setiap kejadian pada Gambar 1 disajikan dalam Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3: Jawaban pertanyaan untuk setiap kejadian pada skenario pathway
Masa inkubasi. Umumnya berlangsung antara 2 – 7 hari, selama masa ini virus mulai bereplikasi dalam naso-pharyngeal. Viraemia dimulai beberapa jam setelah infeksi, tetapi biasanya tidak lebih dari 24 – 26 jam pasca infeksi. Viraemia menghasilkan adanya virus PMK di otot, kelenjar limphe, sumsum tulang, organ dlsbnya. Apabila tidak ada sapi dalam kelompok yang memperlihatkan lesi makroskopik, kelompok ini cenderung untuk lolos dalam pemeriksaan di peternakan dan di RPH.
Masa gejala klinis. Segera setelah berlangsungnya viraemia, sapi memperlihatkan gejala demam tinggi dan dalam 12 – 24 jam timbul vesikel atau lepuh yang khas pada lidah, moncong, lubang hidung, mulut dan kaki. Salivasi yang berlebihan dan sapi terlihat tidak mau berdiri atau sulit berjalan. Gejala seperti ini mudah dikenali sehingga sulit lolos dari pemeriksaan di peternakan. Kalaupun lolos, maka lesi seperti ini bisa terdeteksi pada pemeriksaan ante/post mortem di RPH.
Masa penyembuhan. Sebagian besar sapi akan sembuh dalam waktu kira-kira 2 minggu. Selama masa ini, penyembuhan lesi lidah atau kaki akan terjadi selama 30 hari setelah infeksi dan hal ini biasanya secara jelas dapat terdeteksi pada pemeriksaan post mortem. Antibodi yang mulai berkembang setelah 5 – 14 hari akan menghilangkan virus PMK dalam darah dan jaringan, sehingga probabilitas virus dalam karkas menjadi rendah.
Status karier. Selama 3 bulan pertama pasca infeksi, proporsi hewan karier dengan sejumlah kecil virus PMK tetap berada dalam tenggorokannya dapat mencapai 50% dari jumlah hewan yang sembuh. Jumlah ini akan terus berkurang dengan berjalannya waktu dan persentase hewan karier yang tersisa setelah 2 tahun pasca infeksi umumnya rendah. Sapi yang divaksinasi yang terekspos virus PMK dapat menjadi hewan karier tanpa menunjukkan gejala klinis. Sapi karier sangat tidak mungkin memperlihatkan bekas-bekas lesi pada epithelium mulut dan kakinya sehingga bisa saja lolos dalam pemeriksaan di peternakan atau di RPH. Hewan karier memiliki tingkat antibodi terhadap PMK yang tinggi dalam darahnya akan tetapi tidak ditemukan virus PMK dalam darah, sumsum tulang, kelenjar lymphe atau jaringan otot.
Pengurangan Risiko (Risk Mitigation)
Pertanyaan dalam Gambar 1 untuk setiap tingkatan penyakit telah dijawab secara kualitatif pada Tabel 3. Jawaban ini dapat juga dinyatakan dalam bentuk tingkatan risiko (risk levels), berselang dari mulai tinggi (high), sedang (moderate), rendah (low), sangat rendah (very low), sangat tidak mungkin (very unlikely), dapat diabaikan (negligible) sampai tidak berlaku (not applicable), menurut kemungkinan berlangsungnya setiap kejadian. Tingkatan risiko untuk setiap kejadian untuk ke-empat tahapan penyakit dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tingkatan risiko untuk setiap kejadian dalam skenario pathway
Selama masa gejala klinis dan penyembuhan, empat kejadian pertama dalam skenario (seleksi, peternakan dan dua pemeriksaan ante dan post mortem di RPH) hanya menunjukkan tingkatan risiko sedang sampai rendah. Surveilans penyakit dan sistem kesehatan hewan yang efisien, dikombinasikan dengan pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem terhadap semua sapi di RPH akan menekan secara efektif risiko PMK dalam perdagangan daging internasional.
Penemuan hanya satu ekor sapi tertular saja pada tingkatan kejadian mana saja dalam skenario akan menghasilkan penghentian proses ekspor daging dari negara atau zona asal daging. Dengan demikian pada kasus dimana sapi menunjukkan gejala akut atau penyembuhan, gagal mendeteksi PMK tetap memberikan akumulasi risiko dari rendah sampai sedang, dan ini berarti virus sangat tidak mungkin untuk tetap bertahan dalam rangkaian kejadian.
Tindakan pengurangan risiko (risk mitigation) tidak efektif pada saat sapi berada pada masa inkubasi. Sapi dapat saja terseleksi dan akan mengandung virus dalam jumlah sangat besar yang beredar dalam aliran darahnya dan kemudian juga dalam otot, kelenjar limfe, sumsum tulang dan organ. Dalam keadaan dimana lesi tidak terlihat, ternak semacam itu tidak bisa terdeteksi pada saat di peternakan atau pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem di RPH.
Mengingat risiko untuk seluruh kejadian adalah tinggi selama masa inkubasi, karkas sangat mungkin untuk terkontaminasi PMK. Maturasi dan pelepasan tulang dari karkas akan menghilangkan sebagian besar virus, akan tetapi sapi yang dipotong dalam masa inkubasi cukup berisiko sebagai pembawa penyakit.
Meskipun penerapan tindakan “risk mitigation” dinyatakan efektif, namun demikian pengurangan risiko sulit dilakukan apabila sapi dalam masa inkubasi terseleksi untuk pemotongan dan pemrosesan. Maturasi tidak sepenuhnya efektif untuk menghilangkan virus PMK dalam daging sapi dan produk daging yang berasal dari sapi yang mengalami viraemia.
Pengurangan risiko sebagaimana diuraikan untuk sapi dengan gejala klinis PMK atau bagi yang sedang dalam masa penyembuhan tidak berlaku untuk sapi dalam status karier. Ternak seperti itu sangat besar kemungkinannya untuk diseleksi dan melewati seluruh pemeriksaan di peternakan maupun di RPH. Oleh karena itu ancaman risiko tertular dari hewan karier yang menunjukkan gejala sehat tetap ada.
Sapi karier memiliki tingkat antibodi yang tinggi dan tidak memiliki virus dalam aliran darahnya, otot, kelenjar limfe atau organ lainnya. Meskipun demikian, kontaminasi daging secara mekanik superfisial oleh virus yang ada dalam tenggorokan tetap harus dipertimbangkan sebagai suatu risiko.
Kesimpulan
Dari skenario pathway yang diuraikan diatas, penyelundupan daging (pemasukan daging ilegal) harus tetap menjadi suatu faktor risiko tinggi (high risk factor) yang harus diwaspadai mengingat beberapa kemungkinan sebagai berikut: (1) ternak impor dipotong pada saat sapi dalam masa inkubasi, atau (2) ternak impor dipotong pada saat sapi dalam status karier.
Dari uraian diatas secara jelas dapat dinyatakan bahwa: (1) Risiko masuknya PMK ke suatu negara atau zona bebas PMK dapat dikurangi dengan keberadaan pengendalian yang efektif dan nyata di peternakan asal dan pemeriksaan daging di negara asal; dan (2) Kepercayaan negara pengimpor dalam pelaksanaan surveilans penyakit di negara pengekspor harus menjadi faktor yang paling penting dalam mempertimbangkan importasi daging dari negara atau zona tertentu.
REFERENSI
Ekboir, J.M. (1999). Potential Impact of Foot-and-mouth Disease in California. The Role and Contribution of Animal Health Surveillance and Monitoring Service. Agricultural Issues Centre, Division of Agriculture and Natural Resources, University of California, U.S.A.
Donaldson, A.I. and Doel, T.R. (1994). “La Fievre Aphteuse: Le Risque pour la Grande-Bretagne apres 1992”, Ann. Med, Vet., Vol. 138, pp. 283-293.
Cotrral, G.E. (1969). Persistence of Foot-and-mouth Disease Virus in Animals, Their Products and the Environment. Bull. Off. int. Epiz., 71 (3-4), 549-568
Sutmoller, P. (2001). Importation of Beef From Countries Infected with foot and mouth Disease: a Review of Risk Mitigation Measures. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 20 (3), 715-722
0 Komentar:
Posting Komentar