Jumat, 02 April 2010

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYAKIT ZOONOSIS BERDASARKAN PRIORITAS DEPARTEMEN PERTANIAN

Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, p. 23-27
Balai Penelitian Veteriner
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Bogor, 15 September 2005

DOWNLOAD FILE

TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Direktur Kesehatan Hewan
Direktorat Jenderal Peternakan

ABSTRAK
Zoonosis didefinisikan sebagai penyakit infeksi yang dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia. Saat ini dikenal emerging zoonoses yang merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul seperti Avian Influenza dan re-emerging zoonoses yang merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul di masa-masa sebelumnya dan mulai menunjukkan peningkatan seperti rabies. Penyakit zoonosis yang masuk ke dalam daftar penyakit hewan menular strategis di Indonesia yaitu rabies, anthrax, avian influenza, salmonellosis dan brucellosis. Untuk mengakomodir semua permasalahan dan isu-isu mutakhir yang ada terutama berkaitan dengan ‘emerging and re-emerging zoonoses’, maka sudah saatnya seluruh peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang penyakit zoonosis yang ada di Indonesia dikaji ulang dan direvisi. Ada 4 subsistem yang sangat penting peranannya untuk pengendalian dan pemberantasan zoonosis yaitu sistem surveilans dan monitoring nasional, kewaspadaan dini dan darurat penyakit (early warning system and emergency preparedness), informasi kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. Untuk memberdayakan pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi munculnya ’emerging dan reemerging zoonoses’, maka perlu ditetapkan sejumlah agenda untuk memperkuat kapasitas dan strategi kemitraan antara pemerintah dan swasta antara lain dengan penelitian terintegrasi antara kesehatan manusia dan kesehatan hewan, pendirian pusat penelitian penyakit zoonosis, surveilans yang terstruktur pada hewan domestik, satwa liar, dan manusia, pembentukan tim respon kesehatan dan kesehatan hewan, pembangunan infrastruktur, pembangunan tenaga kerja, dan peningkatan koordinasi dan penguatan fokus bagi kelembagaan yang terkait dengan penanganan masalah penyakit zoonosis.

Kata kunci: Emerging zoonoses, re-emerging zoonoses, kebijakan, penanggulangan, Indonesia

PENDAHULUAN
Penyakit zoonosis didefinisikan sebagai penyakit menular yang ditularkan secara alamiah dari hewan domestik atau hewan liar ke manusia. Dunia menyaksikan bahwa dalam seabad belakangan ini muncul apa yang disebut sebagai “emerging and re-emerging diseases”. ‘Emerging zoonoses’ merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul, dapat terjadi dimana saja di dunia, dan dampaknya berpotensi menjadi begitu parah. Sedangkan ‘re-emerging zoonoses’ merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul di masa-masa sebelumnya, akan tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat kembali saat ini.

Menurut BROWN (2004), pada dasarnya ‘emerging and re-emerging zoonoses’ dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: (1) penyakit zoonosis yang baru diketahui (newly recognised); (2) penyakit zoonosis yang baru muncul (newly evolved); dan (3) penyakit zoonosis yang sudah terjadi sebelumnya tetapi akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan insidensi atau perluasan ke wilayah geografis, induk semang atau keragaman vektor yang baru.

Suatu kajian ulang komprehensif yang dilakukan oleh CLEAVELAND et al. (2001) berhasil mengidentifikasi adanya 1.415 spesies organisme penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia, meliputi 217 virus dan prion, 538 bakteri dan rickettsia, 307 fungi, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing. Dari jumlah ini, 872 (61,6%) spesies patogen bersumber dari hewan. Kemudian dari jumlah tersebut, 616 (70,6%) spesies patogen berasal dari ternak dan diantaranya 476 (77,3%) dapat menyerang multi spesies. 175 spesies patogen dianggap berkaitan dengan penyakit yang baru muncul (emerging diseases). Dari 175 spesies patogen tersebut, 132 (75%) adalah zoonosis.

Emerging zoonoses’ yang timbul dalam 20 tahun terakhir adalah ebola virus, bovine spongiform encephalopathy (BSE), Nipah virus, rift valley fever (RVF), alveolar echinococcosis, severe acute respiratory syndrome (SARS), dan monkeypox (BROWN, 2004).

Beberapa tahun belakangan ini, dunia mengalami sejumlah kejadian munculnya ‘emerging zoonoses’ yang mengkhawatirkan, seperti highly pathogenic avian influenza (HPAI), hantavirus pulmonary syndrome, West Nile fever (di Amerika Serikat), lyme disease, haemolytic uraemic syndrome (Escherichia coli serotipe O157:H7), dan Hendra virus (MORSE, 2004).

Kemunculan ‘re-emerging zoonoses’ dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi yang mempengaruhi induk semang, patogen atau vektor. Seringkali menyebabkan peningkatan secara alamiah dan penurunan aktivitas penyakit di suatu wilayah geografis tertentu dan selama berbagai periode waktu. Penyakit yang termasuk dalam ‘re-emerging zoonoses’ adalah rabies dan infeksi virus Lyssa, rift valley fever (RVF), virus Marburg, bovine tuberculosis, brucella sp. pada satwa liar, tularemia, plaque, dan leptospirosis (ANGULO et al., 2004).

Disamping itu dunia perlu waspada sejalan dengan semakin meningkatnya globalisasi dan perdagangan bebas akan memunculkan agen bio-warfare dan bio-terorisme yang sifatnya zoonosis, seperti anthrax, plague, tularemia dan berbagai virus haemorrhagic fever (MORSE, 2004).

Faktor yang mempengaruhi ‘emerging zoonoses’
Kemunculan suatu ‘emerging zoonoses’ tidak mungkin untuk diprediksi, dan setiap penyakit baru muncul dari sumber yang tidak disangka sebelumnya. Namun, satu hal yang diketahui pasti adalah penyakit zoonosis akan lebih banyak lagi terjadi di masa depan dan masyarakat veteriner dan masyarakat kesehatan harus dipersiapkan secara baik untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya ‘emerging zoonoses' diantaranya meliputi lalu lintas hewan, gangguan ekologi, mikroorganisme yang tidak dapat ditumbuhkan, penyakit kronis, peningkatan surveilans, dan terorisme (BROWN, 2004).

Faktor-faktor yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan ‘emerging zoonoses’ termasuk pertumbuhan populasi manusia, globalisasi perdagangan, intensifikasi pemeliharaan satwa liar, dan mikroba yang berkaitan dengan satwa liar memasuki produsen ternak yang intensif (BROWN, 2004).

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian 'emerging zoonoses' diantaranya peningkatan yang cepat dari pergerakan manusia dan produk sebagai hasil dari globalisasi, perubahan lingkungan, perluasan populasi manusia ke wilayah yang sebelumnya tidak dihuni, perusakan habitat hewan, dan perubahan peternakan dan teknologi produksi (THIERMANN, 2004).

Sifat penyakit zoonosis
Beberapa sifat penyakit zoonosis bervariasi bergantung kepada sifat agen patogen sebagai berikut:
1. Agen patogen berada pada hewan sebagai ‘reservoir’, akan tetapi kasus manusia jarang terjadi atau infeksinya bersifat ‘dead-end’ (misalnya: anthrax, rabies, West Nile dan Nipah/Hendra).
2. Agen patogen tumbuh dengan baik pada hewan dan manusia (misalnya: tuberculosis sapi, salmonellosis).
3. Agen patogen berada pada situasi antara (intermediate) dimana hewan hanya bertindak sebagai induk semang utama, tetapi wabah pada manusia sering terjadi dan mata rantai penularan mengarah pada (misalnya: monkeypox, Hanta, Lassa dan Ebola).
4. Agen patogen yang secara bertahap beradaptasi terhadap penularan dari manusia ke manusia dan saat ini dapat menular antar manusia (misalnya: tuberculosis pada manusia).
5. Agen patogen yang sumbernya dari hewan akan tetapi secara tiba-tiba muncul pada populasi manusia (misalnya: HIV, influenza tipe A dan kemungkinan SARS).

Aspek regulasi di bidang penyakit zoonosis
Untuk mengakomodir semua permasalahan dan isu-isu mutakhir yang ada terutama berkaitan dengan ‘emerging and re-emerging zoonoses’, maka sudah saatnya seluruh peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang penyakit zoonosis dikaji ulang dan direvisi. Dibawah ini adalah peraturan perundangan yang ada di Indonesia sampai dengan saat ini.
1. Staatblad Tahun 1912 mengatur Campur Tangan Pemerintah Dalam Bidang Kehewanan.
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967.
a. Urusan kesehatan hewan yaitu meningkatkan produksi dengan memperbaiki kesehatan hewan dan mengurangi kerugian karena penyakit.
b. Urusan kesehatan masyarakat veteriner yaitu menjaga agar kesehatan masyarakat jangan terganggu karena penularan penyakit anthropozoonosa atau kontak dengan bahan yang tertular maupun mengkonsumsi makanan asal hewan.
3. Peraturan Pemerintah.
a. Urusan kesehatan hewan (Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan).
b. Urusan kesehatan masyarakat veteriner (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner).
4. Peraturan Pelaksanaan (Keputusan Menteri Pertanian).

Penyakit zoonosis di Indonesia
Sejumlah penyakit zoonosis yang masuk ke dalam daftar penyakit hewan menular strategis di Indonesia yaitu rabies, anthrax, avian influenza, salmonellosis dan brucellosis. Penyakit zoonosis yang penting lainnya dan perlu mendapatkan perhatian adalah schistosomiasis, cysticercosis/taeniasis, tuberculosis, leptospirosis, toxoplasmosis, Japanese encephalitis, streptococosis/staphylococosis, dan clostridium (tetanus).

Penyakit zoonosis yang berkaitan dengan keamanan pangan (food borne disease) di Indonesia adalah camphylobacteriosis, salmonellosis, shigella, yersinia, verocyto toxigenic Escherichia coli (VTEC), dan listeriosis. Penyakit zoonosis eksotik untuk Indonesia adalah bovine spongiform encephalopathy (BSE), Nipah/Hendra virus, ebola, dan rift valley fever (RVF).

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis
Ada 4 (empat) subsistem yang sangat penting dalam perannya sebagai pendukung dari sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) terutama dalam kaitannya dengan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis yaitu:
1. Sistem surveilans dan monitoring nasional terhadap penyakit zoonosis pada ternak dan satwa liar.
2. Sistem kewaspadaan dini dan darurat penyakit (early warning system and emergency preparedness).
3. Sistem informasi kesehatan hewan (Sikhnas).
4. Sistem kesehatan masyarakat veteriner (Siskesmavet).

Beberapa kegiatan surveilans yang dilaksanakan sebagai salah satu strategi pendukung dalam penanggulangan penyakit zoonosis di Indonesia adalah:
1. Surveilans anthrax (monitoring pre dan pasca vaksinasi).
2. Surveilans rabies (monitoring pre dan pasca vaksinasi).
3. Surveilans avian influenza (deteksi dini, penentuan subtipe, monitoring pasca vaksinasi, epidemiologi molekuler, sentinel dan kompartemen/zona bebas).
4. Surveilans brucellosis (penentuan prevalensi/zoning, pemotongan reaktor, monitoring vaksinasi).
5. Surveilans salmonellosis (monitoring pullorum dan enteritidis di peternakan pembibitan unggas/petelur).
6. Surveilans BSE (pengambilan sampel otak dari Rumah Pemotongan Hewan atau hewan yang menunjukkan gejala syaraf).

Kebijakan pengendalian penyakit anthrax didasarkan pada azas perwilayahan (zoning). Bagi daerah bebas anthrax, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan ternak ke daerah tersebut. Bagi daerah endemik anthrax, dilaksanakan vaksinasi ternak secara rutin dan mencakup seluruh populasi hewan rentan. Bagi ternak tersangka sakit, dilakukan penyuntikan antibiotika dan 2 minggu kemudian disusul dengan vaksinasi anthrax.

Begitu juga kebijakan pengendalian dan pemberantasan rabies didasarkan pada azas perwilayahan. Bagi daerah bebas rabies, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan hewan penular rabies (HPR) ke daerah tersebut dan rencana kesiagaan darurat penyakit (disease emergency preparedness plan). Bagi daerah endemik rabies, dilaksanakan vaksinasi HPR secara rutin mencakup seluruh populasi HPR dan eliminasi/depopulasi HPR liar dan yang tidak berpemilik.

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan avian influenza (AI) dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk juga perwilayahan. Bagi daerah bebas AI, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan unggas dan limbah peternakan unggas ke daerah tersebut. Bagi daerah endemik AI, dilaksanakan biosekuriti, vaksinasi unggas secara reguler mencakup seluruh populasi unggas rentan, dan depopulasi (pemusnahan unggas sekandang dengan yang tertular). Sedangkan bagi daerah tertular baru, dilaksanakan ‘stamping-out’ peternakan tertular dengan radius 1 km.

Kebijakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis didasarkan kepada tingkat prevalensi penyakit suatu wilayah. Bagi daerah dengan prevalensi kurang dari 2% dilaksanakan metoda ‘test and slaughter’ atau pemotongan ternak reaktor (hasil uji positif CFT) dengan pemberian kompensasi. Bagi daerah dengan prevalensi diatas 2% dilaksanakan vaksinasi semua populasi sapi dan kerbau. Pengawasan lalu lintas ternak dengan persyaratan uji negatif CFT yang dilaksanakan pertama kali di lokasi asal dan kedua kali di lokasi penerima dengan masa berlaku 1 (satu) tahun.

Kebijakan pengendalian salmonellosis didasarkan kepada pelaksanaan uji pullorum dan enteritidis, terutama wajib pada perusahaan pembibitan unggas dan peternakan ayam ras petelur (layer). Operasional pengujian dilakukan bekerjasama dengan negara mitra dagang (seperti Singapura) terutama dalam pelaksanaan uji pullorum dan enteritidis pada peternakan ekspor (export farm) dalam rangka akreditasi dan sertifikasi bebas salmonellosis.

Kebijakan pencegahan BSE dilakukan dengan berbagai macam cara terutama untuk tetap mempertahankan status Indonesia bebas BSE berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/TN.530/12/2002 tentang Pernyataan Negara Indonesia Bebas BSE. Sejumlah ketentuan ditetapkan untuk mencegah penyakit eksotik ini muncul di Indonesia seperti kebijakan pembatasan impor dari negara yang tertular BSE berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 445/Kpts/TN.540/7/2002 tentang Pelarangan Pemasukan Ternak Ruminansia dan Produknya dari Negara Tertular Penyakit BSE (sedang direvisi mengikuti standar OIE yang baru).

Kebijakan pelarangan penggunaan tepung daging, tepung tulang, tepung darah, tepung tulang dan daging dan bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/TN.530/7/2002. Untuk membuat langkah guna mengantisipasi masuknya penyakit ini, maka dilakukan sosialisasi dan distribusi informasi kesiagaan darurat penyakit dan penerapan analisa risiko BSE terhadap setiap aplikasi impor hewan dan produk hewan terutama dari negara-negara tertular BSE.

Hal ini masih ditambah dengan penetapan kewajiban laporan setiap 3 (tiga) bulan bagi perusahaan pakan tentang realisasi pemasukan dan distribusi/penggunaan bahan baku pakan asal hewan ruminansia. Disamping itu ditetapkan pula penetapan kewajiban bagi perusahaan pakan untuk setiap tahun membuat surat pernyataan tentang tanggung jawab pengamanan bahan baku pakan asal ruminansia sehingga tidak masuk rantai pakan ruminansia.

AGENDA KE DEPAN
Untuk memberdayakan pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi munculnya ’emerging dan re-emerging zoonoses’, maka perlu ditetapkan sejumlah agenda ke depan untuk memperkuat kapasitas dan strategi kemitraan antara pemerintah dan swasta. Strategi tersebut antara lain dengan melakukan penelitian terintegrasi yang lebih intensif antara kesehatan manusia dan kesehatan hewan, pendirian pusat penelitian penyakit zoonosis, surveilans yang terstruktur pada hewan domestik, satwa liar, dan manusia, pembentukan tim respon kesehatan dan kesehatan hewan, pembangunan infrastruktur, pembangunan tenaga kerja, dan peningkatan koordinasi dan penguatan fokus bagi kelembagaan yang terkait dengan penanganan masalah penyakit zoonosis.

DAFTAR PUSTAKA
ANGULO F.J., NUNNERY J.A., and BLAIR H.D. (2004). Antimicrobial resistance in zoonotic enteric pathogens. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 485- 496.

BROWN C. (2004). Emerging zoonoses and pathogens of public health significance – an overview. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 435- 442.

CLEAVELAND S., LAURENSON M.K., and TAYLOR L.H. (2001). Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergency. Philos. Trans. roy. Soc. Lond., B, biol. Sci., 356 (1411), 991-999.

MORSE S. (2004). Factors and determinants of disease emergence. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 443- 451.

THIERMAN A. (2004). Emerging diseases and implication for global trade. Rev. sci. tech. off. Int. Epiz., 23 (2), 701- 708.

0 Komentar: