Rabu, 27 Maret 2013

Daging satwa liar: Faktor budaya, sosio-ekonomi dan potensi sumber penyakit zoonosis

"In the past couple years, a new mode of transmission for zoonotic diseases has emerged. Human handling and consumption of bushmeat, defined as “the use of wild animals for food, ranging from cane rats to gorillas,” has been cited as a source for several zoonotic diseases in Africa." [5]

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa sekitar 60% dari penyakit-penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) adalah zoonotik (ditularkan dari hewan ke manusia). Dari jumlah ini, 72% diantaranya bersumber dari satwa liar, meliputi Anthrax, Ebola, Hendra, HIV/AIDS dan monkey pox, begitu juga Nipah, rabies, SARS, simian foamy virus dan West Nile virus.

Kemunculan penyakit-penyakit ini mencemaskan banyak pemerintahan, pemimpin dan masyarakat dunia mengingat kemampuannya dalam menimbulkan dampak yang sifatnya multidimensional terhadap pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, serta juga menimbulkan gangguan sosial, gangguan perdagangan dan perjalanan internasional, maupun pendapatan dari pariwisata. [1]

Dalam alam yang komplek, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemunculan penyakit hewan menular mencakup perubahan ekosistem yang dihubungkan dengan kenaikan populasi penduduk, kenaikan permintaan protein hewani, konsumsi sumberdaya alam yang tidak akan bertahan dan kehilangan biodiversitas, serta fragmentasi dan gangguan habitat. Pada dasarnya perubahan sistem kehidupan alamiah tersebut merusak fungsi ekosistem dan memperbesar kemungkinan penyakit untuk mempengaruhi semua spesies yang hidup dalam ekosistem, termasuk hewan domestik, satwa liar, manusia dan tumbuh-tumbuhan. [1]

Tulisan ini mencoba menggambarkan tentang apa dan bagaimana peran daging satwa liar atau satwa hutan (bushmeat) sebagai sumber penyakit zoonosis dengan contoh-contoh yang terjadi di negara-negara Asia dan Afrika yang diperoleh dari literatur. Untuk memberikan gambaran yang lebih relevan dengan negara kita, maka tulisan ini dilengkapi juga dengan faktor budaya dan sosio-ekonomi yang melatarbelakangi konsumsi daging satwa liar.

Daging satwa liar

Sudah ratusan tahun lamanya, masyarakat di negara berkembang memanfaatkan satwa liar sebagai makanan. Daging satwa liar merupakan sumberdaya penting bagi banyak penduduk miskin di pedesaan di Afrika, Asia dan Amerika Selatan. [2] Di banyak daerah di dunia, daging satwa liar adalah sumber protein yang penting. [3]

Istilah daging satwa liar berlaku bagi seluruh spesies satwa liar, termasuk yang terancam dan langka, seperti gajah, gorila, chimpanzee dan satwa primata lainnya, kijang hutan (antelope), buaya, landak, babi hutan, tikus hutan, trenggiling, biawak, ayam hutan (guinea fowl) dan lain-lain. [4] Sumber lain mengatakan bahwa orangutan juga termasuk yang dikonsumsi di Asia Tenggara. [6]

Di Indonesia, kebiasaan menjadikan daging satwa liar sebagai makanan tradisional sudah lama merupakan kebudayaan setempat (lihat kotak 1). [3] Kebutuhan akan daging satwa liar tersebut mendorong terjadinya perburuan satwa liar dengan niat untuk mendapatkan dagingnya atau diambil bagian tubuhnya untuk dikonsumsi atau diperdagangkan. Perburuan yang bisa mengancam kepunahan banyak spesies hutan dan pada akhirnya akan berdampak kepada ekosistem hutan itu sendiri.

Kotak 1. Perdagangan daging satwa liar di Indonesia

Di Indonesia, perdagangan daging satwa liar jarang ditemukan, namun berlangsung cukup intensif di bagian utara Pulau Sulawesi (Leo, 1999). Tidak kurang dari 27 spesies satwa telah diburu untuk dijadikan makanan, termasuk berbagai mamalia endemik dan terancam punah seperti Kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), tiga spesies monyet endemik Sulawesi (Macaca hecki, M. Nigra, dan M. Nigrescens), Anoa (Bubalus spp.) dan Babirusa (Babyrousa babyrussa). Daging satwa liar tersebut merupakan makanan penting (menu tradisional) bagi penduduk setempat. Permasalahan ini mungkin tidak terlalu besar bila perburuan dilakukan pada tingkat subsisten, dan bila kepadatan penduduk yang mengonsumsinya tidak tinggi. Nyatanya, daging satwa liar tersebut telah memasuki ekonomi pasar. Daging satwa liar telah menjadi komoditas perdagangan yang sesungguhnya, sehingga penangkapanpun semakin meluas dan mencapai Gorontalo, bahkan Sulawesi Tengah (Leo, 1999).

Dikutip dari buku [3] Biologi Konservasi (Indrawan M., Primack R.B. dan Supriatna J., 2007).

Di Afrika, menurunnya populasi satwa liar akibat perburuan yang intensif menimbulkan situasi yang disebut “krisis daging satwa liar” (bushmeat crisis). Suatu krisis yang dianggap muncul akibat tingkat kemiskinan luar biasa yang mendorong pencarian alternatif makanan, sehingga memunculkan ancaman terhadap kehidupan satwa liar. Krisis meluas dengan cepat ke banyak negara dan spesies yang sebelumnya dianggap tidak berisiko. Sebagian besar disebabkan oleh peningkatan penebangan hutan komersial, dengan infrastruktur jalan dan truk-truk yang menghubungkan hutan dan pemburu satwa hutan dengan kota dan konsumen. [4]

Krisis daging satwa liar di Afrika juga merupakan tragedi manusia, dimana kepunahan satwa liar mengancam kesejahteraan dan ketahanan pangan dari penduduk asli dan pedesaan yang hidupnya bergantung pada satwa liar sebagai bahan pokok atau untuk suplementasi diet. Begitu juga konsumsi daging satwa liar semakin banyak berkaitan dengan penyakit-penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, Ebola dan penyakit mulut dan kuku (PMK). [4]

Faktor budaya

Preferensi daging satwa liar ditentukan oleh alasan budaya, terutama bagi penduduk asli. Banyak budaya masih memanfaatkan obat-obatan tradisional termasuk yang berasal dari satwa liar dan seringkali memenuhi dua peran sekaligus baik peran nutrisi maupun peran pengobatan. Barangkali yang paling terkenal diantaranya adalah orang-orang China yang menggunakan hewan untuk berbagai pengobatan. Banyak vertebrata meliputi harimau, beruang, badak, kura-kura, ular, tokek, trenggiling, monyet dan burung walet diperdagangkan sebagai bahan baku untuk pengobatan tradisional China. [17]

Dengan lebih dari 300 suku bangsa dan 17 ribu pulau, tidak heran bila Indonesia banyak memiliki kebiasaan makan yang unik. Satwa liar yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah kelelawar. Selain itu satwa lain yang tidak biasa menjadi menu makanan akan tetapi prakteknya dijumpai di berbagai daerah di Indonesia antara lain darah ular cobra, cakar beruang, telur penyu, daging orangutan, penis buaya dan harimau, tokek, kuda laut kering, biawak, testikel kambing, tulang rawan hiu, ular sanca, sperma ikan paus, tanduk badak dan otak monyet yang dikonsumsi sebagai obat kesehatan, penyembuhan impotensi atau penambah tenaga. [7]

Seperti disampaikan diatas, Sulawesi Utara adalah salah satu wilayah di Indonesia yang terkenal dengan kuliner aneka satwa dan disana bisa didapatkan pasar kuliner terekstrim yang pernah ada di negeri ini. Misalnya di Pasar Beriman, Tomohon [8] dan di Pasar Dumoga, Bolaang Mongondow [13], Sulawesi Utara dimana aktivitas jual beli melibatkan binatang-binatang yang tidak lazim untuk dikonsumsi, seperti kelelawar, tikus, ular, anjing sampai kucing. [8, 13] 

Sumber: [12]
Kebiasaan memakan daging berbagai jenis satwa sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dan diajarkan sejak kanak-kanak di Sulawesi Utara. Satwa-satwa itu dijual bebas di sejumlah pasar tradisional di Tomohon dan Manado. [9]  Di Manado bahkan ada sebuah rumah makan yang menyajikan menu monyet dan kuskus pada hari tertentu setiap minggunya. Ketagihan memakan beragam satwa hutan terus berlangsung setelah menginjak remaja sampai dewasa. Menurut sejarah, kebiasaan memakan segala jenis satwa ini dipengaruhi oleh tradisi kuliner China yang masuk ke Sulawesi Utara pada abad ke-17. [9]

Dalam kaitannya dengan budaya setempat, satwa-satwa itu seringkali dihidangkan dalam berbagai pesta seperti pembaptisan, perkawinan, hingga ulang tahun. ”Biasanya satwa yang aneh-aneh menjadi rebutan di pesta-pesta. Kalau tidak ada daging monyet atau anjing justru dianggap tidak mewah,” ujar seseorang bernama Boang yang mengaku pernah memakan daging dari 21 jenis satwa. [9]

Meskipun Sulawesi Utara merupakan provinsi yang paling terkenal dalam hal budaya kuliner aneka satwa, akan tetapi penjualan semacam ini juga bisa didapatkan di berbagai pasar hewan tradisional di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia baik secara terang-terangan maupun tersamar. Daging babi hutan (celeng) yang dipasok dari Lahat, Sumatera Selatan, disinyalir beredar dan dijual di pasar-pasar tradisional di Yogyakarta. [10]

ProFauna, suatu organisasi perlindungan satwa liar, menyatakan bahwa saat ini ada 50 restoran besar dan beberapa warung makanan yang menjual dengan bebas daging satwa liar di kota-kota seperti Denpasar, Surabaya, Malang, Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Medan, dan Batam. Daging yang dijual seperti monyet, lutung, ular, tokek, biawak, trenggiling, landak, dan penyu. [11]

Menurut ProFauna, telah terjadi peningkatan besar terhadap konsumsi daging satwa liar di Indonesia. Hal ini bisa mengancam kelestarian satwa. Dicontohkan, baru-baru ini ditemukan pengiriman 50 ton daging ular ke Bali yang berasal dari Jawa Timur. Jika ini tidak dihentikan, dalam waktu dekat satwa liar tersebut akan mendekati punah karena tidak diketahui berapa populasinya saat ini. [11]

Di berbagai wilayah Afrika, pemicu daging satwa liar sebenarnya bervariasi antar komunitas. Ada masyarakat yang memakannya karena dirasakan lebih terjangkau, sudah terbiasa, budaya tradisional atau bergengsi (karena dianggap makanan mewah). Masyarakat lain melakukan hal yang sama oleh karena rasanya enak bagi mereka dan menambah variasi pola makan rumah tangga. Meskipun demikian upaya untuk mendapatkan dagingnya bukan merupakan satu-satunya alasan untuk melakukan perburuan. Upaya untuk memperoleh bagian-bagian lain dari binatang sebagai artefak budaya atau perhiasan pribadi (misalnya bulu, kulit, gigi, tanduk dlsbnya) merupakan suatu praktek yang sudah menyebar luas di wilayah-wilayah hutan tropis. [2]

Sumber: Antara Foto
Praktek yang sama terjadi di Indonesia, dimana kuliner daging satwa liar sering dikaitkan juga dengan hal-hal yang bernilai mistis. Menurut ProFauna, tingginya konsumsi daging satwa liar di Indonesia selama ini akibat adanya mitos yang menyesatkan di masyarakat yang menyatakan daging satwa liar bisa memberikan efek kesehatan. [14]

Misalnya di Magelang, Jawa Tengah dimana tersedia menu makanan yang berbahan baku daging satwa landak seperti sate atau rica-rica landak. Tak hanya dagingnya, hampir semua bagian tubuh landak dianggap memiliki khasiat bila dimakan. Hati landak jika dibakar berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit asma, kemudian kulitnya dapat dibuat masakan asem-asem, sedangkan daging dan ekornya baik untuk meningkatkan vitalitas. [15]

Banyak sebenarnya contoh lain tentang mitos daging satwa liar yang dipercaya oleh masyarakat tertentu di Indonesia. Misalnya, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, satwa trenggiling (Manis javanica) diperdagangkan secara ilegal. Trenggiling-trenggiling itu dipasok dari daerah-daerah lainnya di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Setelah sisiknya dikelupas, daging trenggiling lalu diolah jadi makanan atau diawetkan untuk diekspor ke China. Sejumlah kalangan meyakini bahwa daging trenggiling dapat menyembuhkan penyakit jantung dan paru-paru. Bahkan, ada orang yang percaya bahwa daging tersebut bisa menjadi obat kuat, sedangkan kulitnya bisa dimanfaatkan untuk kosmetik. [16]

ProFauna dan International Primate Protection League (IPPL) melaporkan bahwa puluhan ekor satwa primata dibunuh untuk dikonsumsi daging dan otaknya setiap bulan di Jakarta dan Palembang. Jenis satwa primata yang paling banyak dikonsumsi adalah monyet ekor panjang (Macaca facicularis). Perdagangan daging monyet di Jakarta terpusat di Jalan Mangga Besar dan di Palembang terpusat di Pasar 16 Ilir. Konsumen yang makan daging atau otak monyet percaya bahwa daging dan otak monyet mempunyai khasiat untuk meningkatkan vitalitas, bahkan bisa menyembuhkan impotensi. [21]

Faktor sosio-ekonomi

Budaya kuliner seperti yang disampaikan diatas juga bisa ditemukan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Filippina dan Malaysia. Seperti halnya di Indonesia, permintaan akan daging satwa liar bukan hanya didorong oleh faktor budaya, akan tetapi juga faktor sosio-ekonomi.

Di Asia Tenggara, banyak spesies diburu sampai hampir punah. Daging satwa liar sampai saat ini masih dikonsumsi dalam jumlah besar – bukan hanya untuk konsumsi masyarakat di pedesaan atau pinggiran hutan, tapi juga sebagai makanan mewah bagi segelintir penghuni kota. [23] Di wilayah-wilayah hutan yang lokasinya jauh, konsumsi daging satwa liar masih tetap tinggi dengan harga seringkali setengah dari harga daging hewan domestik. [17]

Sumber: [22]
Akibat pengaruh pasar-pasar konsumen utama, terutama di China, yang dibarengi dengan perbaikan infrastruktur transportasi menyebabkan meningkatnya permintaan berbagai spesies satwa liar di Asia Tenggara. Trenggiling dan penyu yang dimanfaatkan dagingnya dan juga dalam tradisional pengobatan China, merupakan dua satwa mamalia yang paling sering disita dari pedagang ilegal di wilayah ini dengan pasar utamanya di Hongkong, China, Singapura dan Malaysia. [18]

Di Afrika, perburuan satwa liar menjadi sumber pendapatan penting, seringkali lebih penting dari pendapatan yang diperoleh dari perdagangan produk pertanian. Rumah tangga pemburu bukan satu-satunya yang memperoleh keuntungan dari perdagangan satwa liar ini. Di semua negara yang memiliki hutan tropis, daging satwa liar menghasilkan pendapatan bagi berbagai pihak yang terlibat, termasuk yang mentransportasikannya ke seluruh titik sepanjang rantai suplai yang berbeda-beda. Begitu juga pendapatan bagi mereka yang menjualnya di lokasi-lokasi pinggir jalan, pasar-pasar, dari pintu ke pintu (door to door), atau di restauran-restauran dan warung-warung. [17]

Akses pasar adalah faktor kunci dalam mendapatkan nilai ekonomi dari produk-produk satwa liar, termasuk daging satwa liar. Jika dirasakan harga dan keuntungan cukup tinggi, pedagang lokal akan berusaha sedapat mungkin untuk menggunakan jaringan transportasi yang tersedia dan melalui jarak cukup jauh untuk membawa produk yang mudah rusak (perishable) tersebut ke pasar. [17]

Pada dasarnya, dari mulai penangkapan satwa liar sampai penjualan akhir, perdagangan daging satwa liar baik dalam skala lokal, nasional ataupun regional dianggap sebagai bagian penting dari apa yang disebut “ekonomi tersembunyi” (hidden economy) sektor informal. Pendapatan dari perburuan dan perdagangan satwa liar ini, meskipun banyak diabaikan dalam statistik perdagangan dan nasional resmi, akan tetapi dipercaya memainkan peran penting dalam ekonomi di banyak negara. Meskipun demikian, sebagai bagian dari “hidden economy”, perdagangan semacam ini bukan merupakan sumber pendapatan pemerintah. [17]

Meskipun perdagangan satwa liar dianggap sebagai fenomena mendunia, akan tetapi krisis daging satwa liar terkonsentrasi di wilayah hutan tropis di Afrika Barat dan Tengah. Masyarakat hutan baik di Asia maupun Afrika lebih memilih daging satwa liar daripada hewan domestik. Namun demikian, dengan wilayah hutan yang semakin menyusut dan populasi penduduk yang terus meningkat di Asia, maka masyarakat hutan memilih beralih ke daging hewan domestik. [23] Tabel 1 memperlihatkan perbandingan antara kepadatan penduduk dan produksi daging satwa liar di wilayah Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Tabel 1: Perbandingan antara kepadatan penduduk dan produksi daging satwa liar
antar kontinen
 
Sumber: [23] The Bushmeat Trade, Postnote. Parliamentary Office of Science and Technology. February 2005 Number 236.

Sumber zoonosis

Perdagangan satwa liar adalah salah satu contoh anthropogenik yang memberikan peluang penularan penyakit dari satwa liar ke manusia. Ekspansi perdagangan daging satwa liar dalam dua dekade terakhir telah menimbulkan suatu tempat peristiwa bagi kemunculan penyakit-penyakit zoonosis lewat peluang yang tersedia baik bagi penularan organisme penyakit yang penyebabnya sudah diketahui maupun organisme/patogen yang belum diketahui dampaknya ke manusia. [19]

Pemasaran daging satwa liar di seluruh dunia yang diperkirakan melibatkan bisnis milyaran dollar, bukan hanya memungkinkan terjadinya penyebaran daging satwa liar terinfeksi tetapi juga meningkatnya frekuensi pendedahan manusia terhadap penyakit-penyakit zoonosis lewat kontak langsung dengan daging satwa liar segar. [5]

Pembunuhan dan konsumsi satwa primata diketahui dapat mengintrodusir penyakit ke populasi manusia seperti yang terjadi di Afrika dalam dua dekade terakhir ini. Misalnya, suatu wabah Ebola muncul pada 1996 di Gabon pada saat sejumlah orang jatuh sakit setelah menyembelih dan mengonsumsi chimpanzee yang ditemukan sudah mati. Kejadian awal dari infeksi virus Ebola ini sebenarnya pada 1994 di Ivory Coast, ketika seorang peneliti melakukan otopsi terhadap bangkai chimpanzee, dan kemungkinan bagian tangannya teriris tanpa sengaja selama prosedur otopsi. [24]

Contoh diatas menunjukkan bahwa penanganan daging satwa liar segar pada saat penyembelihan, terutama satwa primata, bisa membawa risiko penularan penyakit zoonosis baru. Patogen-patogen yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada hospes alamiahnya, ternyata berevolusi sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan penyakit pada hospes barunya, seperti yang terjadi pada simian immunodeficiency virus (SIV) dan human immunodeficiency virus (HIV) (lihat Kotak 2). [23]

Kotak 2. Zoonosis dan potensi zoonosis

Penyakit-penyakit zoonosis baru muncul merupakan salah satu ancaman kesehatan publik penting yang dihadapi oleh manusia. Meskipun demikian, sedikit sekali diketahui tentang apa yang membuat suatu penyakit hewan menjadi zoonosis (patogenik bagi manusia) dan kemungkinan yang menyebabkannya menjadi suatu wabah dengan proporsi epidemik atau pandemik. Berikut ini adalah contoh-contoh yang terjadi di Afrika.

  • Beberapa strain simian immunodeficiency virus (SIV) secara sendiri-sendiri telah menyeberang dari monyet-monyet dan kera-kera Afrika ke manusia, dan setelah melalui periode inkubasi yang lama, berevolusi menjadi human immunodeficiency virus (HIV). Masing-masing strain memiliki patogenisitas berbeda. HIV-1 berasal dari chimpanzee Afrika Tengah merupakan strain yang paling virulen, dan strain ini telah menyebar ke jutaan orang di seluruh dunia.
  • Simian foamy virus (SFV) adalah suatu virus retro seperti halnya SIV dan HIV. Antibodi terhadap SFV baru-baru ini ditemukan pada orang-orang Cameroon yang terdedah dengan daging satwa liar segar, tetapi belum terbukti bersifat patogenik ke manusia.
  • Ebola haemorrhagic fever bersifat endemik di Afrika. Cara penularan virus ini mirip dengan virus-virus retro yaitu lewat cairan tubuh dan menyebabkan kematian yang cepat. Virus ini bersifat mematikan (lethal) pada spesies yang berbeda-beda dan telah memusnahkan gorilla, chimpanzee dan juga manusia dalam jumlah signifikan. Namun demikian satwa pembawa (carrier) dan reservoir alamiahnya belum diketahui sampai saat ini.

Dikutip dari The Bushmeat Trade. Postnote. Parliamentary Office of Science and Technology. February 2005 Number 236.

Virus Ebola menyebabkan terjadinya Ebola haemorrhagic fever pada manusia. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada 1976 saat terjadi wabah di dekat sungai Ebola, Zaire (sekarang negara tersebut berubah nama menjadi Congo). Sampai saat ini diketahui ada lima strain yaitu virus Ebola Zaire, Sudan, Ivory Coast, Reston dan Bundibugyo. [26, 28] Semua wabah Ebola terjadi di benua Afrika, kecuali strain Ebola-Reston. [27] Strain Ebola-Zaire nampaknya yang paling ganas dengan 89% kasus adalah fatal. [26, 27] Manusia tertular Ebola dari sejumlah sumber berbeda mencakup kontak dengan chimpanzee, gorilla, monyet, kijang kecil dan landak tertular. Semua mamalia ini adalah sumber daging satwa liar. [26]

Wabah Ebola terakhir kali terjadi di Uganda dan Congo pada 2012 lalu yang meyebabkan angka mortalitas pada manusia cukup tinggi. Ebola menular dari manusia ke manusia lewat kontak fisik atau cairan tubuh. Kemungkinan penyebab dari wabah di Congo terkait dengan daging satwa liar tercemar dari hasil buruan penduduk desa. [28]

Virus yang bisa ditularkan dari daging satwa liar lainnya adalah virus monkeypox. Kasus manusia pertama kali tercatat di Congo pada 1970. Virus monkeypox sekarang ini bersifat endemik di Afrika Tengah dan Barat dan wabah dilaporkan terjadi di Congo, Cameroon, Gabon dan Sierra Leon. Reservoir virus monkeypox ini adalah sejumlah tupai, satwa primata dan rodensia Afrika. [26]

Virus severe acute respiratory syndrome (SARS) juga dapat ditularkan dari daging satwa liar. Kasus pertama SARS terjadi di Provinsi Guangdong, China pada akhir 2002. SARS kemudian menyebar dari manusia ke manusia dan akhirnya menjadi pandemik dimana sejumlah 28 negara melaporkan kasus SARS pada pertengahan 2003. Reservoir virus SARS diidentifikasi pada sejumlah karnivora kecil meliputi musang teledu China, rakun, dan musang luwak yang didapatkan di pasar-pasar becek di Provinsi Guangdong, China. Kebanyakan dari satwa ini dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional atau sumber daging satwa liar. Satwa-satwa semacam ini juga dimanfaatkan sebagai sumber daging satwa liar di Afrika. [26]

Pada kenyataannya sejumlah orang merupakan bagian dari rantai pasokan yang menangani daging satwa liar sebelum sampai ke konsumen. Para pemburu, pedagang dan bahkan juru masakpun dianggap tetap memiliki risiko terhadap infeksi SARS. Oleh karenanya dalam kasus SARS, menangani daging satwa liar dan satwa terinfeksi adalah hal yang lebih banyak dikaitkan dengan terjangkitnya SARS dibandingkan dengan mengonsumsi daging satwa liar. [26]

Sumber: http://forum.kompas.com
Simian foamy virus (SFV) juga terkait dengan daging satwa liar. Di Asia, kontak antara manusia dan satwa primata berlangsung secara luas baik dalam berbagai konteks pekerjaan maupun bukan. [25] SFV adalah penyakit zoonotik yang ditularkan dari satwa primata ke manusia melalui air liurnya baik lewat gigitan atau jilatan. Bentuk SFV pada manusia bukan strain yang berbeda, hanya merupakan strain varian dari SFV. Perburuan satwa liar dan penanganan daging satwa liar dapat menyebabkan terjadi kontak langsung antara manusia dengan darah atau cairan tubuh satwa terinfeksi. [26]

SFV ditemukan pada hampir semua spesies satwa primata (monyet, chimpanzee, gorilla, babon dlsbnya). Oleh karena itu suatu penelitian dilakukan dengan tujuan mendeterminasi prevalensi SFV pada orang-orang yang hidup atau bekerja di sekitar satwa primata di beberapa negara di Asia Selatan (Bangladesh dan Nepal) dan Asia Tenggara (Indonesia dan Thailand). Penelitian ini menyimpulkan bahwa infeksi SFV kemungkinan lazim ditemukan di antara orang-orang yang hidup atau bekerja dekat satwa primata. [20, 25]

Kejadian infeksi simian immunodeficiency virus (SIV) dilaporkan paling tidak pada 26 spesies satwa primata Afrika yang berbeda-beda, banyak diantaranya secara reguler diburu dan diperjualbelikan sebagai daging satwa liar. [24] SIV dianggap tidak menimbulkan gejala (asymptomatic) pada sebagian besar satwa primata. Penularan antar spesies satwa primata dan dari satwa primata ke manusia terjadi melalui kontak dengan darah, jaringan atau sekresi mukus (melalui gigitan) dari satwa terinfeksi. [26]

SIV adalah bentuk zoonotik dari human immunodeficiency virus (HIV) yaitu virus yang bertanggung jawab atas terjadinya pandemi acquire immunodeficiency syndrome (AIDS). Konsensus diantara komunitas ilmuwan menyatakan bahwa untuk SIV berubah menjadi HIV, penularan silang harus terjadi berkali-kali antara satwa primata dan manusia, minimal tujuh kali. HIV merupakan virus yang paling penting di abad ke-21 ini karena secara global telah menginfeksi 50 juta orang dan membunuh 16 juta orang. Sub-Sahara Afrika adalah wilayah yang memiliki prevalensi tertinggi kasus HIV dengan 25,4 juta orang dan kematian 2,3 juta orang pada 2004. [26]

Penularan antar species dari strain-strain Simian T cell lymphoma virus (STLV) pada satwa primata sudah umum ditemukan dan didokumentasi pada berbagai satwa primata Afrika (chimpanzee, gorilla, monyet dlsbnya). Banyak dari satwa primata tersebut dimanfaatkan sebagai sumber daging satwa liar dan manusia terjangkit apabila kontak dengan satwa terinfeksi. Human T cell lymphoma virus (HTLV) dianggap bersumber dari STLV mengingat adanya sejumlah sekuens gen yang homolog antara subtipe HTLV dan STLV – sehingga ke-dua virus ini saling berevolusi satu sama lain. [26]

Secara global, HTLV merupakan penyebab penyakit yang cukup penting. Sebanyak 15-20 juta orang diperkirakan terinfeksi HTLV di seluruh dunia dan sifatnya endemik di Afrika Tengah, Carribia, sebagian wilayah Amerika Selatan, Timur Tengah, Jepang, sebagian wilayah Eropa, Indonesia dan Australia. HTLV antar manusia ditularkan dengan pola yang sama seperti STLV antar satwa primata. [26]

Jangka Panjang

Indonesia sebenarnya cukup beruntung karena tidak ada kemunculan penyakit zoonosis terkait dengan daging satwa liar yang signifikan sampai saat ini, meskipun perburuan dan konsumsi daging satwa liar juga menjadi bagian dari budaya dan sosio-ekonomi masyarakat tertentu. Sayangnya perdagangan satwa liar tidak diharapkan akan menurun dalam waktu dekat. Operasi penebangan hutan dan penambangan yang masih dilakukan sampai saat ini telah dan akan terus membuka wilayah-wilayah hutan baru yang bisa dijadikan ajang perburuan komersial, sehingga meningkatkan risiko manusia untuk terdedah penyakit baru lewat daging satwa liar yang mereka konsumsi.

Kampanye ProFauna di Malang
Sumber: [30]
Untuk itu perlu dihargai upaya ProFauna yang sejak 1994 hingga sekarang gencar melakukan kampanye anti perdagangan satwa liar ilegal. ProFauna sendiri memperkirakan lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam. [29] ProFauna juga melakukan kampanye “Stop perdagangan daging satwa liar” pada 2012 lalu untuk tujuan konservasi dan menyelamatkan satwa liar dari ancaman kepunahan. Kampanye dilakukan di Malang dan Denpasar. [30, 31]

Sudah jelas juga tidak terlalu mudah mengharapkan masyarakat miskin di wilayah-wilayah Afrika, Asia dan Amerika Selatan untuk berhenti mengonsumsi daging satwa liar yang menjadi bagian dari budaya dan pola makan mereka. Begitu juga apabila perburuan satwa liar menjadi bagian dari pendapatan rumah tangga atau ekonomi pedesaan. Kecuali apabila ada substitusi produk pangan yang lebih murah atau ada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan sehingga mereka tidak lagi melakukan hal tersebut.

Meskipun risiko bahaya (hazard) penyakit dalam menangani atau mengonsumsi daging satwa liar di Indonesia sangat kecil sekali, akan tetapi untuk mencegah kemunculan penyakit-penyakit zoonosis tersebut, satu hal yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah edukasi masyarakat, terutama tentang bagaimana cara penyembelihan satwa liar dan konsumsi daging satwa liar yang aman. Kampanye edukasi tentu saja harus dilakukan dengan cara-cara yang tetap menghargai budaya setempat. Sedangkan dalam jangka panjang, perlu dilakukan upaya meningkatkan infrastruktur kesehatan publik untuk mampu mengidentifikasi dan mengelola secara lebih baik apabila wabah zoonosis terjadi (baik disebabkan oleh konsumsi daging satwa liar ataupun oleh sebab-sebab lain).

Hampir semua spesies satwa liar dapat menjadi sumber penyakit baru, dan penularan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh konsumsi daging satwa liar kemungkinan lebih banyak terjadi dari yang kita perkirakan. [24] FAO menyatakan wabah penyakit pada satwa liar seringkali tidak dilaporkan (underreported) bila dilihat dari konteks epidemiologi global yang lebih luas (termasuk laporan penyakit hewan domestik). Insiden penyakit pada satwa liar hanya kadang-kadang dilaporkan dan juga tanpa informasi epidemiologi yang jelas dan lengkap. [32]

Daging satwa liar tidak menjadi obyek pengawasan veteriner oleh dokter hewan (tidak ada pelaksanaan ante dan post mortem) dan juga tidak diatur dalam peraturan perundangan tentang satwa liar maupun konservasi. Pengawasan hampir tidak mungkin dilakukan karena pada kenyataannya banyak transaksi perdagangan daging satwa liar baru diketahui setelah produk tersebut ditransportasikan atau saat tertangkap tangan di karantina.

Mengingat perdagangan daging satwa liar sudah begitu tertanam dalam konteks budaya, politik, dan ekonomi yang komplek, maka tidak bisa tidak upaya untuk mencegah kemunculan penyakit zoonosis memerlukan pendekatan multidisipliner. [19] Pendekatan multidisipliner yang melibatkan berbagai keahlian bergantung pada kebutuhan, seperti ahli biologi satwa liar, dokter hewan, ahli epidemiologi, ahli konservasi, ahli ekologi, ahli kesehatan masyarakat dan lain sebagainya.

Upaya yang perlu dilakukan di Indonesia saat ini adalah membangun jejaring monitoring dan surveilans patogen satwa liar untuk database yang lebih lengkap dan gambaran yang lebih utuh tentang potensi ancaman penyakit zoonosis dari satwa liar. Sudah jelas ada kebutuhan jangka panjang untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang ekologi dan epidemiologi penyakit zoonosis di antara hewan domestik, satwa liar, dan manusia.

Untuk menuju ke sana, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis dan terintegrasi dengan pendekatan “One Health“ dan “Ecohealth” antar berbagai kelembagaan baik pemerintah maupun swasta dalam kegiatan penelitian maupun studi penilaian risiko (risk assessment) untuk kepentingan peringatan dini (early warning) maupun manajemen risiko apabila terjadi ancaman penyakit zoonosis dari satwa liar. Elemen "lingkungan" dan "satwa liar" perlu didalami secara kritis pada saat melakukan kegiatan penelitian/studi baik untuk bisa memahami perubahan perilaku dan epidemiologi dari patogen yang sudah diketahui sebelumnya atau memahami faktor risiko yang memicu kemunculan patogen baru pada populasi satwa liar.

Referensi:

1. FAO (2010). Bushmeat consumption, wildlife trade and global public health risks. http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/news_151010.html.
2. Olupot W., McNeilage A.J., and Plumptre A.J. (2009). An Analysis of Socioeconomis of Bushmeat Hunting at Major Hunting Sites in Uganda. Working Paper No. 38 October 2009.
3. Indrawan M., Primack R.B. dan Supriatna J. (2007). Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. xviii + 625 hlm. ISBN: 978-979-461-288-X.
4. http://www.bushmeat.org/bushmeat_and_wildlife_trade/what_is_the_bushmeat_crisis
5. Galant D. And Hawkins L. (2013). Bushmeat: a source of zoonotic disease. UMKC School of Pharmacy. http://www.moshp.com/associations/10761/files/Bushmeat.pdf.  
6. http://www.animalethics.org.uk/bushmeat.html.
7. Paddock R.C. (2003). COLUMN ONE: Monkey brains on the menu in Indonesia. Los Angeles Times. http://articles.latimes.com/2003/feb/25/world/fg-oddeats25  
8. http://foto.okezone.com/view/8796/pasar-beriman-tomohon-pasar-kuliner-terekstrem.
9. http://nasional.kompas.com/read/2012/09/01/06055531/pasar.
10. http://indonesiaindonesia.com/f/29366-daging-babi-hutan-beredar-pasar-tradisional/.
11. http://surabaya.okezone.com/read/2012/08/08/520/674971/masyarakat-diminta-puasa-makan-daging-satwa-liar.
12. http://anomali-dunia.blogspot.com/2012/03/9-makanan-khas-indonesia-paling.html.
13. http://green.kompasiana.com/penghijauan/2012/09/01/bushmeat-pemakan-segala-daging-mengancam-kelestarian-anoa-dan-babirusa-483614.html.
14. http://m.pikiran-rakyat.com/node/196012.
15. http://www.merdeka.com/peristiwa/daging-landak-bikin-039senjata039-loyo-jadi-perkasa.html.
16. http://www.antaranews.com/view/?i=1208940642&c=WBM&s=.
17. Secretariat of the Convention on Biological Diversity (2011). Livelihood alternatives for the unsustainable use of bushmeat. Report prepared for the CBD Bushmeat Liaison Group. Technical Serices No. 60, Montreal, SCBD, 46 pages.
18. TRAFFIC (2008). “What’s Driving the Wildlife Trade? A Review of Expert Opinion on Economic and Social Drivers of the Wildlife Trade and Trade Control Efforts in Cambodia, Indonesia, Lao PDR and Vietnam”. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Discussion Papers. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Department, World Bank, Washington, DC.
19. Karesh W.B. and Noble E. (2009). Abstract: The bushmeat trade: increased opportunities for transmission of zoonotic disease. Mt Sinai J Med. 2009 Oct;76(5):429-34. doi: 10.1002/msj.20139.
20. Peeters M., Courgnaud V., Bernadette A., Auzel P., Pourrut X., Bibollet-Ruche F., Loul S., Liegeois F., Butel C., Koulagna D., Mpoudi-Ngole E., Shaw G.M., Hahn B.H. and Delaporte E. (2002). Risk to Human Health from a Plethora of Simian Immunodeficiency Viruses in Primate Bushmeat. Emerging Infectious Diseases. 2002; 8(5): 451-457.
21. http://www.profauna.net/id/siaran-pers/2012/masih-tinggi-perdagangan-primata-di-jakarta-dan-palembang.
22. http://city.seruu.com/read/2012/12/10/134007/penyeludupan-daging-trenggiling-diperketat-kemenhut.
23. http://www.parliament.uk/briefing-papers/post-pn-236.pdf.
24. http://scienceblogs.com/aetiology/2006/03/29/emerging-infections-and-zoonos/.
25. Jones-Engel L., May C.C., Engel G.A, Steinkraus K.A., Schillaci M.A., Fuentes A., Rompis A., Chalise M.K., Aggimarangsee N., Feeroz M.M., Grant R., Allan J.S., Putra A., Wandia I.N., Watanabe R., Kuller L., Thongsawat S., Chaiwarith R., Kyes R.C., and Linial M.L. (2008). Diverse Contexts of Zoonotic Transmission of Simian Foamy Viruses in Asia. Emerging Infectious Diseases • www.cdc.gov/eid • Vol. 14, No. 8, August 2008. DOI: 10.3201/eid1408.071430.
26. http://www.microbiologybytes.com/virology/bushmeat/bush4.html.  
27. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Ebola_outbreaks.  
28. http://en.wikipedia.org/wiki/Ebola_virus_disease.  
29. http://greenpressnetwork.blogspot.com/2012/04/profauna-stop-perdagangan-satwa-liar.html.  
30. http://mediacenter.malangkota.go.id/2012/08/profauna-stop-makan-satwa-liar/.
31. http://beta.natanews.com/57//.  
32. http://www.glews.net/about-glews/wildlife-health/.

*) Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

2 Komentar:

togelmarket2 [Reply] mengatakan...

makasih gan infonya dan semoga bermanfaat

medantoto [Reply] mengatakan...

ok mantap bos artikelnya dan sangat menarik