Selasa, 02 April 2013

Paradoks Kesehatan Daging

KOMPAS, SENIN, 1 APRIL 2013 – RUBRIK OPINI

Oleh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS

Belum pernah dalam sejarah harga daging sapi naik demikian mahalnya. Di pasar-pasar becek di Jakarta harga mencapai Rp 110.000 per kilogram.

Kalangan pebisnis daging mengatakan, dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, harga tidak akan pernah turun lagi ke harga normal, Rp 40.000-Rp 60.000. Namun, yang luput diperhitungkan adalah berapa harga yang sesungguhnya harus dibayar konsumen untuk kesehatan daging?

Kita semua tahu bahwa pola pangan orang Indonesia bertumpu pada beras. Beda dengan masyarakat di Amerika Utara, Eropa, ataupun China. Protein lebih banyak didapat dari ikan, kedelai, dan telur dibandingkan dari daging dan susu.

Konsumsi daging sapi yang 2 kilogram per kapita per tahun masih sangat rendah kalau dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Bahkan, jauh lebih rendah daripada Brazil, Rusia dan China. Orang Indonesia menyukai daging sapi, tapi lebih banyak mengonsumsi daging ayam.

Sesungguhnya yang terjadi belakangan ini pada sektor sapi potong Indonesia bukan hanya dirasakan sebagai paradoks ekonomi, melainkan juga paradoks kesehatan daging. Di negara ini, bisnis daging sapi terlanjur tercipta tanpa terlalu banyak memperhitungkan kelas (grade) ataupun karakteristik produk.

Bagi umumnya konsumen, daging sapi adalah daging merah, kenyal, tak berbau dan tak berair. Konsumen kurang berminat untuk mengetahui bagaimana daging diproduksi, bagaimana ternak sapi hidup diperdagangkan, bagaimana ternak sapi jadi daging, atau bahkan di mana tempat membeli daging.

Kesehatan daging

Daging bukan hanya komoditas pertanian yang punya nilai ekonomi, melainkan juga esensial bagi pemenuhan kebutuhan gizi rakyat Indonesia terutama generasi muda bangsa. Namun, kepedulian konsumen akan kesehatan daging masih belum terbangun dengan baik dan benar. Daging sehat adalah daging yang berasal dari pola budidaya ternak yang sehat, tidak mencemari lingkungan, dan disembelih secara “manusiawi”.

Padahal, kesehatan daging semestinya menjadi hal mendesak, dengan pergerakan industri dari sekedar komoditas menjadi “daging berkualitas” (quality meat). Kompleksnya kesehatan daging ditentukan sejak di hulu–dari  peternakan asal–sampai  ke hilir, melalui rantai suplai yang cukup panjang. Cara pemberian pakan, antibiotik, dan hormon pemacu pertumbuhan untuk ternak di hulu sangat mempengaruhi kesehatan daging. Begitu juga pestisida yang digunakan untuk penyemprotan kandang dan lahan peternakan.

Penggunaan antibiotik berlebihan pada ternak dapat memunculkan masalah kekebalan pada manusia. Penggunaan hormon pada ternak akan berakumulasi dalam daging ternak, kemudian memengaruhi sistem kekebalan endokrin manusia. Residu pestisida dalam daging ternak bisa mengganggu kesehatan manusia.

Meskipun data gangguan kesehatan daging belum banyak ditemukan di Indonesia, bukan berarti harus diabaikan begitu saja. Data yang sudah dipublikasikan mengindikasikan adanya residu hormon Trenbolon acetat dalam daging impor ataupun sapi-sapi bakalan dari Australia. Walaupun proporsi residu rendah dan kadar yang ditemukan masih di bawah ambang batas toleransi, kondisi ini tetap mengharuskan dilakukannya pengawasan kesehatan daging berkelanjutan.

Kita tetap harus ingat pada risiko lain, seperti penyakit sapi gila atau bovine spongiform encephalopathy (BSE) yang muncul akibat bagian-bagian tubuh sapi diberikan sebagai pakan sapi. BSE dianggap paling berisiko, tetapi masih banyak penyakit mikrobial asal daging lainnya, sebutlah seperti Escherichia coli O157, salmonellosis, dan staphylococcosis.

Rantai suplai

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, umumnya sapi dipelihara dan lebih banyak makan rumput dan hijauan lainnya. Sedangkan di negara-negara maju, industri sapi tidak bisa dilepaskan dari  praktik-praktik budidaya yang cenderung menimbulkan gangguan kesehatan hewan. Oleh karena itu, konsumen di sana tidak keberatan membayar harga premium untuk daging yang dijamin kesehatannya.

Pada 2010 lalu, konsumen di Amerika Serikat diperingatkan akan kemungkinan ancaman gangguan kesehatan daging pada saat jaringan waralaba McDonalds memanfaatkan daging impor asal negara-negara Amerika Selatan. Negara-negara asal daging impor itu dianggap tidak memberlakukan pengawasan ketat terhadap rantai suplai dari hulu sampai hilir.

Secara jujur harus diakui bahwa lingkungan kebijakan pasokan daging sapi–baik  lokal maupun impor–di  Indonesia saat ini dirasakan tidak mewujudkan dorongan signifikan bagi isu-isu kesehatan daging. Swasembada daging 2014,  isu kartel, dan perburuan rente impor daging yang justru mengemuka akhir-akhir ini mempertegas bahwa ambisi kecukupan dan kemudahan akses lebih banyak membungkus isu kesehatan daging yang sesungguhnya kritis bagi rakyat.

Industri sapi potong yang berdaya saing dan moderen bukanlah terbatas hanya pada efisiensi produksi, melainkan juga bergantung pada upaya membangun kepercayaan konsumen dan kepastian rantai suplai yang kompetitif dan transparan. Untuk tujuan ini, diperlukan investasi yang cukup besar dalam melakukan penelusuran (traceability) mulai dari peternak, pedagang, pengecer, konsumen, hingga regulator untuk melacak terjaminnya kesehatan daging di setiap tahapan produksi.

Jaminan kualitas

Kementerian Pertanian seharusnya bukan hanya fokus pada produksi dan penentuan kuota impor, melainkan secara holistik menawarkan jaminan kesehatan daging untuk konsumsi langsung, hotel, restoran, katering, dan industri olahan. Pengawasan dengan kemampuan penelusuran yang merupakan faktor penentu kesehatan daging sejak dari negara asal ataupun peternakan lokal menjadi tanggung jawab pemerintah.

Di satu sisi, pemerintah dihadapkan lebih pada persoalan bagaimana mengatur keseimbangan antara suplai dan permintaan serta produksi lokal versus impor. Di sisi lain, konsumen lebih fokus pada persoalan harga murah, rasa dan nutrisi dengan preferensi bahwa daging harus segar, tidak terlalu banyak lemak, dan empuk.

Citra terkait kesehatan daging yang dimulai dari peternakan sampai ke meja makan (from farm to table) seharusnya menjadi tumpuan perhatian semua pihak yang terlibat dalam bisnis daging. Pemerintah wajib melakukan verifikasi profesional untuk sampai pada sertifikasi dan akreditasi secara periodik mulai dari inspektor daging, fasilitas rumah potong hewan sampai ke logistik serta fasilitas pemasaran dan pengolahan daging. Pemerintah harus menjawab gambaran besar permasalahan daging seutuhnya sehingga masyarakat tidak perlu membayar tambahan harga untuk kesehatan daging.

TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

0 Komentar: