Minggu, 07 Maret 2010

Satire Dokter Hewan Indonesia

Empat Tahun Flu Burung

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Dokter hewan tidak populer, tetapi bukan berarti tidak diperlukan. Lebih populer barangkali anekdot tentang dokter hewan, yang katanya lebih pintar dari dokter karena bisa mendiagnosa penyakit tanpa pernah bicara sekalipun dengan pasiennya.

Untuk mengiyakan bahwa sebagian dokter-dokter hewan di negeri ini merasa dikucilkan dalam penanggulangan flu burung – seperti pernah dilansir dalam salah satu pemberitaan media – rasanya juga tidak terlalu persis seperti itu. Sejak zaman penjajahan Belanda dokter hewan sudah ada, namun masyarakat Indonesia mungkin kurang memahami peran dokter hewan – yang sama halnya dengan dokter – mempunyai kewajiban untuk menyejahterakan dan menyehatkan manusia. Hanya dalam hal ini dokter hewan melakukannya melalui upaya penyehatan hewan dan lingkungannya, keamanan produk hewan dan pencegahan penyakit-penyakit yang bersumber hewan yang dapat menular ke manusia (zoonosis).

Dokter hewan dalam bahasa Inggris disebut ’veterinarian’. Bidang yang ditangani dokter hewan disebut veteriner. Veteriner merupakan saduran dari kata dalam bahasa Belanda ’veterinair’ yang diartikan sebagai bidang yang berkaitan dengan hewan dan penyakit-penyakitnya.

Semestinya yang perlu dikemukakan dari profesi ini adalah bagaimana masyarakat dapat diberi pemahaman yang benar dan utuh mengenai tugas dan tanggung jawab dokter hewan. Perannya yang sangat strategis dalam ketahanan pangan dan gizi, terutama dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani melalui upaya penjaminan kesehatan hewan dan keamanan daging, susu dan telur. Bahkan kontribusinya yang signifikan dalam turut mempertahankan keamanan negara, ekonomi nasional dan penyelamatan jiwa manusia melalui upaya penolakan penyakit hewan menular yang terbawa melalui importasi hewan hidup dan produk hewan.

Dokter hewan bertanggung jawab terhadap berbagai kegiatan yang terkait dengan kesehatan manusia secara individuil maupun populasi. Pada tingkat individuil, yang harus ditangani adalah penyakit-penyakit yang ditularkan ke orang yang hidup atau yang bekerja dengan hewan. Mengingat pekerjaannya, seseorang memiliki risiko tertular penyakit hewan. Sedangkan pada tingkat populasi, yang harus ditangani adalah penyakit-penyakit yang ditularkan ke orang melalui pangan asal hewan (foodborne), yang ditularkan melalui air (waterborne), atau yang ditularkan melalui perantara (vectorborne).

Peran dokter hewan harus dikaitkan dengan perkembangan global saat ini, dengan munculnya berbagai wabah penyakit zoonosis. Data menunjukkan bahwa dari seluruh penyakit menjangkiti manusia yang muncul akhir-akhir ini, sekitar 60 persen bersumber dari hewan. Sebut saja anthraks, rabies, flu burung, sapi gila, SARS, HIV, Nipah dan masih banyak lagi. Hampir di seluruh negara, peran dokter hewan menjadi simpul kritis, terutama bila dikaitkan dengan bagaimana keberhasilan suatu negara dalam mengatasi kemunculan wabah zoonosis tersebut.

Begitu juga peran dokter hewan yang sangat penting bagi ketahanan nasional dan pertahanan negara adalah melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman bioterorisme yang sebagian besar bersumber dari agen penyakit hewan dan invasi spesies asing. Penguasaan teknologi oleh dokter hewan mengenai sifat-sifat alamiah agen penyakit hewan seperti misalnya Bacillus anthracis perlu diperhitungkan dalam setiap indikasi keterlibatan agen penyakit hewan sebagai senjata biologis yang dapat mengancam kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan yang bersifat massal.

Flu burung jadi momentum

Bukti berbicara, sepanjang hampir empat tahun kasus flu burung pada unggas di negeri ini belum pernah tuntas. Sejak munculnya Juli 2003 sampai dengan saat ini penyebaran semakin meluas dan terus menerus menjadi sorotan dunia. Pernyataan ibu Menteri Kesehatan Siti Fadila Supari di media massa yang setiap saat mengingatkan bahwa selama sumber infeksi pada unggas masih ada, selama itu pula akan ada ancaman bagi manusia.

Tak dapat dipungkiri, fakta terkini ’memaksa’ fenomena wabah flu burung beserta kompleksitasnya menjadi parameter baik buruknya peran dokter hewan dalam menjalankan tanggung jawabnya, mulai dari pengambilan kebijakan, penyampaian kebijakan ke daerah-daerah, sampai kepada pelaksanaan teknis operasional yang sesungguhnya di lapangan. Dalam lingkup yang lebih luas, kenyataannya peran tersebut tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keterkaitannya bukan hanya pada pemerintah, organisasi profesi, dan masyarakat sebagai pengguna jasa, akan tetapi juga pada sistem dan peraturan yang ada.

Indonesia sebagai negara dengan kasus manusia yang meninggal akibat flu burung tertinggi di dunia dan daerah endemis pada unggas hampir menjangkiti seluruh wilayah, dinilai sangat buruk dalam cara-cara penanganan wabah flu burung pada unggas. Bukan suatu rahasia lagi, bahwa antara kebijakan yang ditetapkan dengan pelaksanaan di lapangan seringkali belum mampu memadamkan masalah. Pada dasarnya salah satu penyebabnya adalah kekurangberdayaan dokter hewan dalam memainkan perannya secara profesional dan sistematik dengan kewenangan dan legalitas yang jelas dan tegas.

Terlebih kalau tindakan tersebut bersifat darurat dan memerlukan kerjasama dari pemilik hewan dalam bentuk yang terkait hak kepemilikan (property right). Seperti halnya dalam tindakan memusnahkan unggas atau sejumlah besar unggas dalam kejadian wabah flu burung sebagai satu-satunya alternatif keputusan teknis yang harus diambil.

Pemusnahan unggas bukan dianggap sekedar kesukarelaan pemilik hewan, akan tetapi lebih kepada keputusan darurat yang dianggap perlu. Pertimbangan pemusnahan hanya bisa dilakukan oleh seorang dokter hewan berdasarkan kewenangan medik yang diembannya dan dijalankan sesuai dengan kaidah ilmu keprofesian yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

Dokter hewan jadi simpul kritis

Siapapun tidak bisa menyangkal bahwa keberadaan dokter hewan di negeri ini tidak memadai baik dari sisi jumlah orangnya maupun institusi pendidikannya, dibandingkan dengan jumlah satuan ternak yang harus dilayani. Jumlah dokter hewan di Indonesia yang saat ini bekerja di pemerintahan maupun swasta diperkirakan sekitar 12.000 orang. Dengan lima fakultas kedokteran hewan yang ada, maka cuma dihasilkan kurang lebih 250 – 400 lulusan dokter hewan setiap tahunnya. Dalam sepuluh tahun ke depan, kecepatan untuk menghasilkan lulusan tidak bisa menandingi kebutuhan dokter hewan.

Layaknya dokter yang punya kewenangan medik, maka seorang dokter hewanpun adalah profesi medik yang punya sumpah dan kode etik. Kaidah-kaidah keprofesian harus diberlakukan dengan tegas dan adil dalam setiap tindakan yang dilakukan. Bahkan sanksi harus diberikan apabila seorang dokter hewan ditetapkan telah melakukan perbuatan mala praktek seperti kesalahan diagnosa, kesalahan pengobatan, bahkan kelalaian mengambil tindakan darurat medik yang diperlukan.

Padahal dokter hewan seharusnya menjadi simpul kritis dalam operasi penanggulangan flu burung secara keseluruhan. Salah satu signifikansi ketidakberdayaan dokter hewan dalam menangani kasus flu burung ditandai dengan kurang lancarnya operasi penanggulangan di lapangan, terutama menyangkut tindakan pemusnahan dan vaksinasi. Faktor kesulitan yang tinggi dalam menangani unggas-unggas belakang rumah (sektor 4), yang pada umumnya tidak dikandangkan, berkeliaran cari makan sendiri di siang hari, dan tinggal diatas pohon di malam hari. Pendekatan harus dilakukan dari rumah ke rumah yang tentunya akan memerlukan banyak dana, waktu, enerji, disamping juga dukungan logistik rantai dingin dan kemampuan mobilisasi.

Kebijakan pengendalian flu burung terpusat perlu didelegasikan ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk keseragaman langkah teknis pengendalian dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia. Pada dasarnya pelaksanaan pengendalian terhalang struktur pemerintahan yang sangat otonomous.

Prinsip pengendalian wabah penyakit hewan menular tidak lain adalah instruksi atau kebijakan dari atas yang bersifat top-down dan memerlukan rantai komando (chain of command) ke bawah dengan mekanisme koordinasi terpusat. Sebuah pengendalian penyakit menular, tidak akan berjalan efektif karena tidak ditopang oleh sebuah payung hukum yang kuat. Dampaknya, kebijakan jadi setengah hati diaplikasikan di lapangan, karena dokter hewan tidak memiliki kekuatan legal dalam menjalankannya.

Penyakit flu burung bisa menulari berbagai jenis spesies hewan (multi host), sehingga langkah-langkah untuk mengatasinya jauh lebih kompleks daripada penyakit yang menulari satu spesies saja (single host species). Bahkan dalam kasus dimana unggas air atau satwa liar bertindak sebagai ‘reservoir’ virus flu burung, maka dapat menimbulkan konflik antara manusia dan hewan. Kaitan segitiga antara manusia, satwa liar dan hewan domestik mempunyai dampak yang melebar kepada isu-isu tentang kesehatan masyarakat, ekonomi peternakan, kesehatan lingkungan dan konservasi satwa liar.

Simpul penanggulangan yang memiliki benang merah ke berbagai bidang tersebut mendorong kebutuhan untuk mempertajam spesialisasi dokter hewan, seperti ahli produksi unggas, ahli virulogi, ahli biomolekuler, ahli epidemiologi, ahli ekonomi veteriner, ahli satwa liar dan lain sebagainya. Dokter hewan harus mampu mengendalikan setiap simpul dengan berlandaskan kepada kemampuan analisis teknis dan profesionalismenya, sehingga beragregasi menjadi suatu kekuatan yang mampu secara progresif membuat perbaikan terhadap konsepsi dan strategi pengendalian penyakit.

Undang Undang Veteriner

Kompleksitas masalah zoonosis seperti halnya flu burung menggambarkan mengapa perlu adanya penyatuan dan koordinasi upaya antara kesehatan (medicine), kesehatan hewan (veterinary medicine) dan kesehatan masyarakat (public health). Kemampuan penyakit ini menyebar melampaui batas wilayah dan batas antar spesies menuntut perlunya tanggung jawab medik dokter hewan untuk menentukan alternatif tindakan terbaik yang harus dilakukan.

Dalam setiap kejadian wabah penyakit zoonosis, dokter hewan harus mampu meletakkan tanggung jawab medik tertinggi pada perlindungan kehidupan dan kesehatan manusia diatas kepentingan ekonomi dan bisnis. Untuk melaksanakan tanggung jawab ini, sudah jelas tidak bisa dipertentangkan antara profesi dengan kedudukan seorang dokter hewan dalam suatu unit pekerjaan di pemerintahan maupun swasta. Sepanjang menyangkut penyakit yang wajib dilaporkan menurut peraturan perundangan, maka dokter hewan berdasarkan sumpah dan kode etiknya tidak perlu takut kehilangan pekerjaan kalau melaporkan kejadian kasus flu burung kepada pemerintah.

Keniscayaan memenuhi tanggung jawab medik tersebut sudah jelas memerlukan legalitas dalam satu kerangka hukum yang jelas dan tegas. Dibandingkan dengan sejawatnya dokter, bidang kedokteran sudah memiliki tiga buah peraturan perundangan yang mendukung penerapan tanggung jawab medik yaitu Undang Undang Kesehatan, Undang Undang Praktek Dokter dan Undang Undang Wabah Penyakit Menular.

Untuk itulah upaya bersama para dokter hewan yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) mengajukan usulan demi kepentingan negeri ini untuk memiliki sebuah Undang Undang Veteriner. Upaya yang harus dipandang bukan hanya sekedar keinginan mengangkat harkat dokter hewan semata, akan tetapi lebih kepada memposisikan kembali peran dokter hewan secara tepat dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab medik yang diembannya.

Dengan demikian terwujud suatu peraturan perundangan yang akomodatif dan komprehensif mengatur tentang ruang lingkup hewan yang harus ditangani dan simpul penanganan yang terkait dengan manusia, hewan dan lingkungan dalam satu ekosistem, serta pengawasan produk hewan dalam konteks keamanan pangan mulai dari peternakan sampai ke meja makan (from farm to table).

*) DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS MPHIL PHD, Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI)

0 Komentar: