Empat Tahun Flu Burung
Setelah empat tahun perjalanan flu burung di negara ini, sebenarnya kita harus mampu menentukan pertanyaan mana yang paling realistis: ’apakah kita ke depan harus biasakan hidup dengan virus flu burung?’ atau ’apakah dengan tindakan yang dilaksanakan selama ini kita akan mampu membebaskan Indonesia dari flu burung?’.
Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Kita tentunya tahu bahwa wabah flu burung telah menjadi masalah global dengan 64 negara pernah melaporkan adanya kasus pada berbagai jenis hewan dalam sepuluh tahun terakhir. Kulminasi tertinggi terjadi pada tahun 2004 lalu dengan kejadian wabah hebat yang menyebabkan musnahnya hampir 200 juta ekor unggas di sembilan negara di Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia.
Situasi flu burung di Indonesia saat ini sudah menjadi endemik dengan kejadian kasus yang terus berulang tanpa pernah diketahui dengan cepat dan tepat. Pelaporan kasus flu burung pada unggas secara resmi belum bertambah baik dan masih terus cenderung ditutup-tutupi. Lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan terutama apabila terjadi di peternakan ayam komersial. Kenyataan yang terjadi adalah ayam segera dijual keluar peternakan untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
Bangsa Indonesia jelas perlu meningkatkan konsumsi protein hewani yang berasal ternak dari tingkatnya sekarang yaitu 11,6 gram per kapita. Angka ini sudah sangat jauh ketinggalan dari negara tetangga kita Malaysia yang mencapai 42 kg per kapita. Peran sektor perunggasan dalam turut serta memberikan kontribusi kepada kebutuhan protein hewani tidak terbantahkan. Untuk itu pertumbuhan industri perunggasan harus tetap didorong bahkan dipertahankan, sehingga ke depan mampu menjadi industri yang tangguh dan berdaya saing.
Namun demikian dalam konteks flu burung, pemerintah tetap harus menetapkan prioritas berdasarkan kepentingan nasional dan mencegah kontradiksi mendasar yang mungkin terjadi antara kesehatan konsumen dan pekerja dengan kepentingan bisnis perunggasan.
Di lain pihak, kekhawatiran yang terus melanda masyarakat Indonesia adalah risiko terpaparnya manusia (human risk exposure). Jumlah kasus manusia tertular flu burung terus bertambah, tanpa diketahui secara pasti faktor risiko yang melatarbelakangi timbulnya infeksi. Kasus terakhir di Pulau Bali menyisakan banyak pertanyaan mengenai apa faktor pemicu munculnya kasus pada manusia, setelah hampir 4 tahun kasus flu burung ditemukan pada populasi unggas di pulau tersebut.
Konsekuensi ekonomi
Pada awalnya kemunculan wabah flu burung tahun 2003 merupakan suatu goncangan berat bagi industri perunggasan di Indonesia. Dampak kerugian ekonomi yang cukup besar membayang-bayangi para industriawan apabila krisis flu burung pada waktu itu disampaikan secara transparan kepada umum. Merosotnya harga ayam dan produk ayam akibat konsumen takut makan daging ayam menjadi sesuatu yang menghentikan langkah setiap peternak besar dan menengah (sektor 1 dan 2), untuk membuka diri terhadap intervensi otoritas di bidang kesehatan hewan. Begitu juga upaya perebutan pangsa pasar kerap terjadi jika salah satu perusahaan unggas diketahui tertular.
Konsekuensi ekonomi jangka panjang dari kasus flu burung akan terus membebani perjalanan industri perunggasan ke depan. Meningkatkan daya saing untuk mengembalikan peluang ekspor seperti sebelum wabah flu burung tidak menjadi daya tarik bagi industri perunggasan. Boleh dikatakan selama 30 tahun industri perunggasan di negeri ini tanpa tersaingi impor, telah menikmati pangsa pasar domestik yang semakin besar dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekarang mencapai sekitar 240 juta orang.
Kisah flu burung di Indonesia mencerminkan betapa hubungan pemerintah dengan industri perunggasan dikelola tanpa dibarengi rasa saling percaya dan ketidakyakinan terhadap kompetensi pemerintah untuk mengatasi keadaan. Pemerintah dianggap tidak mampu untuk memikirkan tindakan-tindakan penanggulangan yang berpihak kepada kepentingan produsen dan bukan mengedepankan hak perlindungan konsumen semata. Dengan ancaman penularan yang persisten terhadap kehidupan dan kesehatan manusia, maka penetapan prioritas sangat bergantung kepada kemampuan analisis pemerintah terhadap tingkat bahaya yang mampu ditimbulkan.
Sebagaimana halnya di negara lain, industri perunggasan jelas perlu ikut terlibat langsung dalam mengatasi dampak ekonomi flu burung yang bahkan sudah melebar kepada aspek politik, sosial dan budaya. Oleh karenanya seluruh komponen industri perunggasan mulai dari pihak-pihak yang berkecimpung dalam pembibitan, pembudidayaan, pembesaran, dan perdagangan ayam sampai kepada pengolahan produk ayam harus berperan dalam mendukung tercapainya kondisi yang kondusif. Kondisi dimana risiko penyakit bisa dikendalikan sampai ke tingkat paling rendah yang memungkinkan untuk industri memiliki ketahanan ekonomi yang memadai.
Perlunya strategi jangka panjang
Para ahli berpendapat bahwa apabila pada awalnya kita dapat menanggulangi wabah ini dengan cepat, maka dampak ekonomi dan sosial yang merugikan dan berlarut-larut seperti ini tidak akan terjadi. Pada kondisi seperti sekarang ini sangat tidak mungkin untuk mengharapkan flu burung dapat diberantas secara nasional tanpa melakukan kajian retrospektif dan mempertimbangkan perspektif ke depan.
Meskipun kondisi geografis negara kita berupa kepulauan dengan laut sebagai hambatan alam memberikan prospek yang baik untuk keberhasilan pemberantasan, akan tetapi sangat bergantung kepada ketajaman analisis teknis untuk menetapkan prioritas wilayah pemberantasan dan potensi terulangnya kembali penularan ke wilayah tersebut. Ambisi pemberantasan mau tidak mau harus dilakukan secara bertahap dengan visi jangka panjang.
Faktor-faktor yang memberi peluang untuk virus flu burung bertahan dalam lingkungan dan yang menentukan tingkat endemisitas harus dipelajari secara seksama, mengingat Indonesia memiliki populasi unggas yang cukup besar sebagai kekayaan sumberdaya hayati. Populasi ayam kampung yang mencapai hampir 300 juta ekor dengan kepadatan rendah dan dipelihara dalam kondisi biosekuriti yang kurang memadai, memberikan potensi untuk tetap terpapar virus flu burung.
Begitu juga beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki populasi itik cukup tinggi yang dipelihara mengembara mengikuti pola panen padi menyebabkan virus mampu bertahan, dan bahkan seringkali itik tidak menunjukkan gejala sakit. Kondisi ini dibarengi dengan kurangnya insentif untuk melaporkan kasus flu burung, baik yang terjadi di peternakan ayam komersial maupun di masyarakat.
Disamping itu tingkat perlindungan yang diperoleh melalui vaksinasi baik di peternakan komersial besar (sektor 1), menengah (sektor 2) dan kecil (sektor 3), maupun ayam kampung (sektor 4) terkendala oleh faktor-faktor teknis, logistik dan ekonomi. Diperparah dengan lemahnya peraturan yang mengawasi pergerakan unggas, terutama lalu lintas yang sangat ekstensif dalam bentuk jalur perdagangan ayam dewasa hidup dari kabupaten ke kota-kota besar maupun perdagangan bibit ayam umur sehari antar pulau.
Program vaksinasi pemerintah yang dijalankan hanya terhadap sektor 4 dan sebagian kecil sektor 3 selama ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Program ini kemudian dianggap tidak ekonomis dan tidak efektif, karena banyaknya faktor penghambat. Faktor seperti jumlah vaksin yang tidak memadai, cakupan wilayah yang luas, perlunya vaksinasi ulang dan sulitnya operasionalisasi di lapangan. Ditambah rencana aksi antara pusat dan daerah tidak sinkron dan tidak memadai, terutama dalam penyediaan dana operasional, tenaga vaksinator, peralatan yang diperlukan sepanjang rantai dingin penyaluran vaksin, serta sarana transportasi.
Ubah konsep pengendalian
Analisis epidemiologi terhadap situasi flu burung yang berkembang sampai dengan saat ini mendorong perlunya perubahan menyeluruh terhadap konsep pengendalian yang telah dilaksanakan. Konsep yang dijalankan saat ini lebih menekankan kepada tindakan cepat dan responsif terhadap setiap kemunculan kasus flu burung di sektor 4 dengan mempraktekkan pemusnahan lokal (focal culling) dan vaksinasi terhadap populasi unggas disekitarnya (ring vaccination). Konsep jangka panjang ke depan harus lebih menekankan kepada tindakan pencegahan (preventive measures).
Tindakan pencegahan dilakukan dalam bentuk intervensi untuk mengurangi risiko (risk reduction) yang menyebabkan virus terus bertahan dan menyebar. Reduksi harus sampai kepada tingkat risiko yang dapat dikelola, sebelum upaya tindakan cepat dan responsif terhadap setiap munculnya kasus tertular memberikan dampak nyata. Tindakan cepat tersebut lebih ditujukan untuk pencegahan langsung terhadap kemungkinan terpaparnya manusia.
Para ahli membuat hipotesa ilmiah yang mengasumsikan bahwa penularan dalam arus bolak balik terus terjadi antar perternakan ayam komersial besar, menengah, kecil dan ayam kampung belakang rumah (sektor 1, 2, 3 dan 4). Berdasarkan asumsi ini, maka fokus tindakan pemerintah selama ini yang hanya dibatasi terhadap sektor 4 dan sebagian kecil sektor 3 tidak akan banyak mencapai kemajuan. Selama arus penularan bolak balik antar sektor tidak bisa diatasi, maka pengurangan risiko penularan ke tingkat yang paling rendah akan sangat sulit tercapai.
Tindakan pengurangan risiko memerlukan intervensi pemerintah terhadap sektor 1, 2 dan 3. Tindakan tersebut ditekankan kepada perbaikan biosekuriti yang diterapkan di peternakan ayam komersial untuk mencegah terpaparnya ayam terhadap infeksi dan perubahan praktek-praktek manajemen sepanjang mata rantai pemasaran ayam untuk mencegah penularan virus flu burung.
Untuk melaksanakan hal ini diperlukan kerjasama dan komitmen dari para pemimpin industri perunggasan. Tantangan terbesar yang dibayangkan akan dihadapi terutama berasal dari sektor 3, oleh karena keragaman di sektor ini sangat tinggi sekali. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan standar dan potensi untuk perbaikan internal sektor, jumlah peternak yang terlibat banyak, dan sebagian besar relatif memiliki kapasitas manajemen dan akses kredit yang rendah.
Sejalan dengan itu, program vaksinasi harus diterapkan untuk memenuhi tujuan tertentu dan terus dipromosikan untuk dijalankan oleh peternakan sektor 1, 2 dan 3. Perusahaan perunggasan diperbolehkan untuk tetap mengelola program vaksinasinya secara komersial atas beban finansial dari pemilik perusahaan sendiri, akan tetapi harus berada dibawah supervisi otoritas kesehatan hewan.
Pemerintah harus mempersiapkan kemampuan manajemen dan profesional, baik dalam bentuk standar, prosedur audit maupun kerangka regulasi yang diperlukan untuk mengatur industri perunggasan. Vaksinasi bukan bersifat wajib, tetapi tetap diserahkan kepada manajemen keputusan masing-masing pemilik peternakan berdasarkan penilaian risiko dan ekonomi. Pengaturan pemerintah harus meliputi lisensi untuk memastikan kualitas vaksin, kesesuaian jenis vaksin, dan kandungan antigeniknya, serta memastikan bahwa dilakukan monitoring yang memadai untuk mengevaluasi respon vaksinasi.
*) DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS MPHIL PHD, Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI)
0 Komentar:
Posting Komentar