Source: Animals Australia website |
“The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated” - Mahatma Gandhi
KOMPAS, SENIN, 13 JUNI 2011 - RUBRIK OPINI
Oleh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Pemuatan mencuat setelah hasil investigasi dua organisasi penyayang binatang Australia ke 11 rumah pemotongan hewan (RPH) di Indonesia bulan Maret 2011 ditayangkan melalui televisi ABC Four Corners tanggal 30 Mei 2011.
Tayangan memperlihatkan adegan demi adegan penyiksaan yang dirasa melampaui batas pada saat sapi-sapi impor asal Australia itu disembelih di RPH. Suatu tontonan yang mengenaskan dan kejam, tapi menimbulkan beragam interpretasi bergantung pada sensitivitas individu dan faktor budaya, sosial, dan ekonominya.
Penayangan sempat menghebohkan pemerintah, produsen ternak dan industri sapi Australia, dan berdampak pada desakan untuk menunda bahkan menghentikan ekspor sapi hidup ke Indonesia. Reaksi beragam juga muncul dari anggota DPR, pejabat pemerintah, organisasi ternak, importir ternak maupun daging.
Ternak di negara berkembang
Di negara berkembang Asia dan Afrika termasuk Indonesia, kebanyakan ternak dipelihara di pedesaan dengan ladang penggembalaan terbatas. Ternak merupakan tabungan hidup masyarakat. Kekayaan budaya dan tradisi agama tidak menghindarkan ternak dari tindakan kekerasan. Tetapi di sisi lain, masyarakat juga punya tradisi mendewakan ternak atau memperlakukannya sebagai hewan suci.
Sepuluh milyar ekor ternak sapi disembelih untuk dikonsumsi penduduk dunia setiap tahun. Di Indonesia lebih dari dua juta ekor ternak disembelih per tahun di ratusan RPH di seluruh negeri. Ternak-ternak ini setiap saat menerima perlakuan manusia mulai dari peternakan sampai selama proses pengangkutan dan penyembelihan. Tak dapat disangkal, ternak-ternak itu sering mengalami penderitaan akibat malnutrisi, muatan melebihi daya tampung dan perlakuan tidak wajar.
Di RPH-RPH yang masih menjalankan sistem tradisional, sering kali ternak diperlakukan kasar, menyaksikan langsung sesamanya dibunuh dan disembelih, serta tidak dipraktekkannya proses pemingsanan ternak sebelum dipotong (stunning). Kekerasan terhadap ternak berlangsung di setiap tahapan selama proses penyembelihan berlangsung.
Ironinya, pengangkutan ternak sering kali makan waktu lama sehingga ternak mengalami stress di jalan. Kapal laut, truk maupun kereta api pengangkut ternak tidak dirancang baik dan pemuatannya melebihi kapasitas tampung. Penyediaan pakan dan minuman sepanjang pengangkutan tidak memadai. Begitu juga peralatan bongkar muat dan penanganan ternak kurang memadai dalam upaya menghindari kemungkinan ternak terluka, memar, terinjak-injak atau mengalami kecelakaan yang menyebabkan patah tulang, terkoyak atau kehilangan tanduk.
Kesejahteraan hewan
Sejarah kesejahteraan hewan dimulai abad ke-18, di mana hubungan yang sangat dekat antara manusia dan hewan memunculkan pertanyaan mendasar di benak manusia tentang hewan. Hewan dianggap tidak bisa berfikir, juga tidak bisa bicara, tetapi apakah mereka bisa menderita? Inspirasi timbul terutama dalam diri pengarang dan penyair yang menyatakan simpati mereka dan menentang tindakan kekerasan dan eksploitasi hewan.
Maka, sebagian negara di Amerika Utara dan Eropa merintis perundangan tentang kesejahteraan hewan abad ke-19. Hubungan manusia-hewan berubah sebagai hasil dari pembangunan pertanian, pertumbuhan ekonomi, ekspansi urban, dan perubahan politik. Namun, tidak bisa disangkal bahwa sampai abad ke-21, masih ada gap besar antara negara maju dan berkembang ihwal kesejahteraan hewan.
Aspek pengaturan kesejahteraan hewan mengacu pada lima prinsip (five freedoms) yang diadopsi dunia internasional pada 1979, mencakup bebas dari rasa haus dan lapar, bebas dari rasa menderita, bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit, bebas mengekpresikan perilaku normal serta bebas dari rasa takut dan tertekan.
Perlakuan manusia terhadap ternak dipengaruhi kepercayaan dan nilai-nilai budaya masing-masing. Setiap budaya juga berbeda dalam menetapkan prioritas prinsip kesejahteraan hewan, seperti kebutuhan pakan dan air menjadi lebih penting dibandingkan rasa takut dan tertekan.
Isu kesejahteraan hewan justru lebih diperankan organisasi swasta internasional yang mendapat dukungan dana dari komunitas penyayang binatang di seluruh dunia. Peranan organisasi semacam ini sangat kuat dalam melobi, mengadvokasi, mengajukan petisi, atau kampanye protes terhadap pemerintahan negara mana pun yang dituduh tidak memperhatikan hak hidup dan perlindungan hewan.
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mulai merintis pembuatan standar-standar menyangkut kesejahteraan hewan pada 2001 dan secara resmi diperkenalkan kepada negara anggota pada 2004. Pada tahun yang sama, OIE menyelenggarakan konferensi internasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran negara anggota dan menjelaskan tentang inisiatif OIE dalam menetapkan standar-standar tersebut.
Indonesia secara de facto belum mengenal dan mengapresiasi prinsip-prinsip kesejahteraan hewan dalam sistem produksi ternak dan kesehatan hewannya. Standar tinggi di negara maju tidak begitu saja mudah ditransformasi ke dalam sistem negara berkembang.
Perdagangan ternak
Sejatinya isu kesejahteraan hewan bukan monopoli negara maju. Banyak kasus di seluruh dunia selalu mengaitkan isu kesejahteraan hewan dengan perdagangan. Isu hak perlindungan hewan masuk ke dalam perjanjian perdagangan bebas, sehingga kepatuhan terhadap pemenuhan standar kesejahteraan hewan bukan hanya menjadi kesempatan promosi perbaikan teknologi, tetapi juga pembukaan akses pasar.
Perundangan dan prosedur konsultasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat di Australia telah mendorong upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan hewan di semua aspek. Australian Animal Welfare Strategy diterbitkan tahun 2004 untuk menata arah pengembangan dan landasan kebijakan kesejahteraan hewan di masa depan. Strategi ini sekaligus menyediakan kerangka yang mengaitkan kesejahteraan hewan dengan kesehatan hewan dan produksi.
Sampai akhir Juni lalu, menurut Meat & Livestock Australia, total ekspor sapi hidup Australia mencapai 873.573 ekor senilai sekitar 744 juta dollar AS. Indonesia adalah negara pangsa pasar terbesar sapi hidup Australia (60 persen dari total ekspor) sehingga penghentian ekspor akan menimbulkan kerugian ekonomi signifikan.
Perbedaan pandangan antara Australia dan Indonesia dalam meletakkan isu kesejahteraan hewan dalam konteks perdagangan dan bisnis mudah menimbulkan rasa curiga antar ke-dua negara. Tuduhan menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan politik dagang. Bagi Indonesia, dengan konsumsi protein hewani hanya 5,1 gram per kapita per hari, tantangan pencapaian sasaran swasembada daging lebih perlu diseriusi semua pihak.
Isu ke depan
Indonesia ke depan akan tetap jadi sasaran kritik tentang penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap hewan. Seperti halnya kecaman dunia internasional menyangkut pembunuhan masal anjing liar di Bali. Tindakan bertentangan dengan kesejahteraan hewan tersebut justru dipercaya tidak membantu masyarakat Bali keluar dari masalah rabies.
Seperti halnya negara berkembang lain, harus diakui Indonesia mengalami kemajuan perlahan dan sangat terbatas dalam mengembangkan, mempromosikan, dan menerapkan kaidah-kaidah kesejahteraan hewan. Keterbatasan lebih disebabkan lemahnya sistem kesehatan hewan nasional dan terbatasnya sumber daya.
Dukungan dana diperlukan untuk melaksanakan kampanye publik dan edukasi peningkatan kesadaran masyarakat, ekspos media internasional, dan pariwisata secara berkesinambungan. Tanpa kerja keras sulit rasanya mencapai kemajuan memperjuangkan pemberlakuan prinsip-prinsip kesejahteran hewan dalam konteks perdagangan, pengendalian penyakit, pemeliharaan hewan kesayangan, pemanfaatan hewan laboratorium dan penelitian, maupun konservasi satwa liar.
Dalam menangani masalah kesejahteraan hewan di negara berkembang, tidak tepat apabila standar internasional diadopsi begitu saja. Setiap negara berkembang, tentunya juga Indonesia, harus mengembangkan standar mereka sendiri mengacu pada lima prinsip diatas dan berdasarkan prioritas yang dibutuhkan.
TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Bekerja di Food and Agriculture Organization for the United Nations di Vientiane, Laos
3 Komentar:
Selamat petang Dok,
Jadi bagaimana menrut Dr. Tata
dengan penolakan Australia untuk mengekspor sapinya? Terlepas dari itu, perlakuan petugas 11 RPH yang dilaporkan Animals Australia sangat memprihatinkan, seolah profesi veteriner tidak ada (atau memang tidak ada) disana. Saya membaca berita, beberapa RPH yang disebutkan memang tidak memiliki sertifikat NKV.
Viva Veteriner.
Salam,
Danang D. Cahyadi
Terima kasih kolega Danang. Saya mencoba menulis dari sisi kesejahteraan hewannya (belum diposting). Hampir lupa dengan yang disampaikan, betul sekali perlu dilihat juga sisi kesehatan masyarakat veterinernya. Kalaupun RPH punya sertifikat NKV tapi tidak ada pengawasan. Di Thailand dan Malaysia, dokter hewan pemerintah ditugaskan di RPH-RPH.
Salam veteriner,
Tata
muhammad aroza
saya merupakan Alumni dari salah satu SMK peternakan. saya sangat berharap bisa menyelesaikan masalah seperti ini melalui penyuluhan langsung ke beberapa RPH. tapi sayang untuk melakukan ITU saya harus menjadi seorang dokter hewa terlebih dahulu, saya mencoba mendaftar menjadi mahasiswa kedokteran hewan salah satu universitas. tapi sayang lulusan SMK terlihat sangat berat untuk masuk FAkULTAS itu karena perbedaan materi belajar. tapi seandainya lulusan SMK dipermudah untuk bisa masuk perguruan tinggi yang sesuai dengan jurusanya sepertinya bisa menciptakan SDM yang sip menuju lapangan. saya ingin sekali menyampaikan ini kepada pemerintah tapi sepertinya tidak mungkin,jadi hanya lewat posting ini saya berharap lulusa SMK bisa dipermudah untuk masuk perguruan tinggi agar bisa mengabdi kepada masyarakat, tidak hanya bekerja di industri saja.terimakasih
Posting Komentar