Indonesia terletak di Asia Tenggara yang dianggap sebagai salah satu ’wilayah panas’ di dunia (global hotspot) dari penyakit-penyakit menular baru muncul (emerging infectious diseases) dan yang muncul kembali (re-emerging infectious diseases), termasuk yang berpotensi menimbulkan pandemi (lihat Gambar 1). Penyakit-penyakit menular tersebut memiliki implikasi luar biasa hebatnya terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi suatu negara. Seperti flu burung H5N1 yang berdampak ekonomi sangat merugikan bagi industri perunggasan.
Gambar 1: Wilayah panas (hotspot) zoonosis di dunia |
Penyebab mengapa wilayah Asia Tenggara berisiko terhadap penyakit-penyakit menular baru muncul sangat kompleks. Wilayah ini menjadi rumah dari sistim yang sangat dinamis dimana keterkaitan antara proses-proses biologik, sosial, ekologi dan teknologi terjadi sedemikian rupa, sehingga memungkinkan agen-agen penyakit tereksploitasi kepada ekologinya yang baru. Ekologi yang bukan hanya menjadi tempat dimana agen penyakit hidup, tetapi juga berperan sesuai dengan habitatnya. [1]
Proses-proses tersebut meliputi pertumbuhan populasi, pergerakan orang, barang dan jasa, urbanisasi, transformasi produksi pangan, intensifikasi pertanian, pemanfaatan lahan, air dan sanitasi, termasuk gangguan sistem kesehatan yang ditimbulkan resistensi obat. [1] Selain itu juga pengaruh keterkaitan lebih luas yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam bentuk ’desa global’ (global village) yang terhubung melalui intensitas perjalanan, politik, ekonomi, dan budaya internasional, serta interaksi ’manusia dengan manusia’ dan ’manusia dengan hewan’. [2]
Asia Tenggara
Wilayah Asia Tenggara merupakan tempat tinggal dari 600 juta orang yang terdiri dari negara-negara yang sangat beragam penduduknya. Sepuluh negara bergabung dalam ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang terdiri dari Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Suatu wilayah geopolitik bebas yang dikarakterisasi dan terbentuk berdasarkan perbedaan faktor-faktor lingkungan, ekologi, dan ekonomi. Mulai dari Singapura sebagai negara kota dengan pertumbuhan domestik bruto (PDB) tertinggi AS$ 37.500 per kapita sampai kepada Laos dengan PDB terendah hanya AS$ 890 per kapita. [1]
Asia Tenggara mengalami perubahan sosial, lingkungan dan demografi yang cepat. Sebagai konsekuensinya, di wilayah ini berjangkit berbagai macam penyakit menular yang berkaitan erat dengan pembangunan, terutama di negara-negara berpendapatan rendah. Penyakit-penyakit menular terutama yang berasal dari hewan (zoonosis) dan ditularkan lewat vektor (vector-borne) muncul di wilayah ini sebagai akibat interaksi banyak faktor, meliputi pertumbuhan populasi, mobilitas, urbanisasi dan perubahan lingkungan seperti intensifikasi pertanian dan peternakan, deforestasi, serta perubahan iklim. [1]
Definisi mengenai penyakit-penyakit baru muncul sebenarnya cukup beragam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mendefinisikannya sebagai 'penyakit yang baru diketahui, baru muncul atau terjadi sebelumnya akan tetapi menunjukkan peningkatan insidensi atau perluasan geografis, vektor atau hospes'. Tabel dibawah ini memuat ringkasan sejumlah penyakit baru muncul di Asia Tenggara yang menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir ini. [1]
Tabel 1: Ringkasan sejumlah penyakit baru muncul di Asia Tenggara
Sumber: [1] dengan sedikit modifikasi oleh penulis.
Faktor-faktor penting timbulnya penyakit menular
Pertumbuhan populasi di Asia Tenggara meningkat 30% sejak tahun 1990. Begitu juga urbanisasi yang cepat dimana sekitar 48% penduduk bertempat tinggal di wilayah urban dengan asumsi bahwa angka ini akan meningkat lebih dari 70% pada tahun 2050. Urbanisasi berkaitan dengan perubahan struktur sosial, peningkatan mobilitas pribadi serta perluasan dan perubahan jejaring sosial. Disamping itu urbanisasi juga menjadi kekuatan pendorong di belakang munculnya sejumlah penyakit menular yang ditularkan oleh vektor, contohnya penyakit demam dengue yang bangkit kembali di Asia Tenggara dalam jangka waktu 50 tahun terakhir. [1]
Begitu juga perpindahan penduduk melalui lintas batas negara, terutama di sub-wilayah Mekong Basin meliputi Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar dan China menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir didorong oleh faktor kemiskinan. Migrasi buruh terjadi dari negara-negara berpendapatan rendah seperti Laos, Kamboja dan Myanmar ke Thailand sebagai suatu negara berpendapatan menengah. Diperkirakan 1,5-2 juta imigran masuk ke Thailand dan sekitar 150 ribu pengungsi.
Migrasi pengungsi skala besar baik karena dorongan ekonomi dan politik, termasuk peningkatan pergerakan populasi suku terpencil beserta dengan ternaknya mendorong semakin kuatnya tantangan terhadap pengendalian penyakit lintas batas di sub-wilayah Mekong Basin tersebut. Tambahan pula, para migran yang keberadaannya tidak teregistrasi seringkali hidup di perkemahan pengungsi dalam kondisi tidak higienis dan bersesakan karena melebihi daya tampung dengan akses sangat minim terhadap pelayanan kesehatan. Kondisi dimana penyakit-penyakit menular seperti malaria mudah menyerang dan menjadi penyebab penting kesakitan dan kematian. [1]
Pergerakan manusia, ternak atau produk ternak menjadi penyebab utama dari perubahan dinamika spasial penyakit menular. Salah satu penyakit menular paling penting yang diketahui sampai sekarang yaitu penyakit mulut-dan-kuku (PMK). Wabah baru seringkali dikaitkan dengan lalu lintas ternak terinfeksi. [3]
Disamping itu peningkatan perdagangan lintas negara baik ternak maupun satwa liar menimbulkan kekhawatiran tertentu. Data mengenai perdagangan satwa liar jarang sekali bisa didapatkan, meskipun diperkirakan hampir sepuluh juta satwa liar diperdagangkan setiap tahunnya secara regional di Asia Tenggara dan ke negara-negara yang jaraknya jauh di seluruh dunia untuk dimanfaatkan sebagai makanan, hewan peliharaan atau obat tradisionil.
Angka menunjukkan bahwa ekspor berbagai macam spesies satwa liar meningkat antara tahun 1998 dan 2007, meskipun ekspor resmi unggas (termasuk burung) menurun secara substansial setelah negara-negara di Uni Eropa memberlakukan pembatasan impor sebagai respon terhadap flu burung H5N1.
Bersamaan dengan perdagangan, pergerakan alamiah burung-burung migran dan kelelawar di antara, ke dan dari wilayah Asia Tenggara merupakan juga kunci pengaruh timbulnya penyakit-penyakit baru muncul seperti flu burung H5N1, Japanese encephalitis dan virus Nipah. [1]
Perubahan pemanfaatan lahan yang dipicu perbuatan manusia merupakan kekuatan pendorong penyakit-penyakit baru muncul dan juga mengubah penularan infeksi endemik. Sektor pertanian menempati sekitar 25% dari lahan di Asia Tenggara, dengan total areal meningkat lebih dari 8% antara tahun 1998 dan 2008. Areal penanaman padi mengalami peningkatan cukup besar yaitu lebih dari 30%.
Pengembangan dan perluasan sawah tersebut dapat mendorong penularan penyakit-penyakit yang ditularkan lewat vektor seperti Japanese encephalitis (JE) melalui peranannya sebagai tempat pembibitan nyamuk dan tempat yang menarik perhatian burung air, karena keduanya merupakan reservoir alamiah dari JE. Penularan JE melalui burung air dan nyamuk diamplifikasi lebih lanjut oleh penularan melalui ternak babi. Negara-negara seperti Kamboja, Indonesia, Laos dan Myanmar berisiko terhadap peningkatan JE karena kombinasi antara intensifikasi padi dan peternakan babi serta tidak adanya program vaksinasi dan surveilans. [1]
Deforestasi berkelanjutan terjadi hampir di sebagian besar negara di wilayah ini. Perambahan hutan dan fragmentasi habitat satwa liar melalui proses seperti deforestasi akan meningkatkan interaksi antara satwa liar, manusia dan ternak, sehingga agen patogen berpotensi untuk menembus hambatan antar spesies. Di Malaysia, terjadi perubahan gerakan dan kepadatan kelelawar buah sebagai dampak dari deforestasi, kebakaran hutan dan penanaman kebun buah bersamaan dengan intensifikasi peternakan babi berdekatan dengan habitat kelelawar buah. Kesemuanya dipostulasikan sebagai kekuatan pengaruh munculnya virus Nipah sebagai zoonosis baru di Malaysia. [1]
Penyakit-penyakit yang ditularkan lewat vektor (vector-borne) dan air (water-borne) dipengaruhi kuat oleh iklim. Sebagai contoh, kekuatan badai El Nino dianggap sebagai pemicu timbulnya wabah demam dengue di Thailand dan Vietnam. Kebanyakan vektor arthropoda cenderung aktif pada temperatur tinggi dan ketersediaan air yang terbatas akibat kekeringan sering kali mengarah kepada sanitasi buruk. Perubahan iklim dapat mendorong penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan lewat vektor dan penyakit-penyakit diare di Asia Tenggara. [1]
Transformasi struktur produksi ternak
Produksi ternak intensif semakin meningkat di seluruh Asia Tenggara. Paling tidak kepadatan unggas mengalami kenaikan dua kali lipat di banyak negara antara tahun 1998 dan 2008, dan bahkan meningkat tiga kali lipat di negara-negara seperti Myanmar, Laos dan Brunei Darussalam. Kenaikan kepadatan unggas berhubungan dengan jumlah kumulatif kasus flu burung pada manusia di negara-negara seluruh Asia Tenggara.
Sistem peternakan rakyat dan belakang rumah tetap menjadi lingkungan yang dominan di banyak negara berpendapatan rendah di Asia Tenggara, akan tetapi sistem produksi industrial lebih dominan di dua negara yaitu Thailand dan Indonesia.
Investasi untuk penerapan biosekuriti di sistem produksi unggas belakang rumah atau skala kecil cenderung rendah dan tidak terkoordinasi. Berbagai spesies seringkali hidup bersama dalam kondisi seperti itu dan potensi penularan antar spesies bisa saja meningkat. Meskipun sistem produksi intensif yang terdiri dari hanya satu spesies saja, skala industri besar dan sektor komersial bisa menurunkan risiko penularan antar spesies, akan tetapi pengaturan seperti ini bisa bertindak sebagai amplikator penyakit selama berlangsungnya wabah. Lebih dari itu, penularan silang tetap dapat terjadi di lokasi pasar unggas dimana ekonomi sering kali menjadi lebih penting dari pada kesehatan masyarakat. [1]
Secara bersamaan dengan unggas, peternakan babi juga mengalami intensifikasi di hampir seluruh Asia Tenggara dengan kepadatan paling tidak dua kali lipat sejak tahun 1990 di Myanmar, Laos, Vietnam, Indonesia dan Filipina. Kecenderungan ini menjadi penyebab kekhawatiran akan timbulnya penyakit-penyakit yang mungkin ditularkan ternak babi, mengingat perannya dalam penularan zoonosis seperti virus Nipah, JE dan influenza. [1] Kepadatan ternak unggas dan babi di Asia Tenggara dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2: Kepadatan ternak unggas dan babi di Asia Tenggara
|
Transformasi struktur produksi ternak di Asia Tenggara dianggap sebagai faktor dominan yang mendeterminasi kondisi dimana agen patogen zoonotik muncul, menyebar dan selanjutnya memasuki populasi manusia. Agen patogen dalam tubuh ternak mengalami tekanan yang dihasilkan dari lingkungan produksi, pemrosesan dan retail dan secara bersamaan mengubah kecepatan kontak antar hospes, skala populasi dan/atau arus lalu lintas agen patogen dalam rantai pangan.
Faktor lingkungan yang berkaitan dengan demografi, tekanan lahan dan ketidakseimbangan intensifikasi produksi telah mengarah pada situasi epidemiologi yang tidak stabil seperti yang terjadi saat meletupnya wabah flu burung H5N1 pada awal tahun 2004. Wabah terutama terjadi di wilayah dimana berlokasi baik produksi unggas skala besar, kepemilikan komersial peri-urban dan unit skala kecil dengan tingkat kepadatan unggas tinggi. [4]
Apakah Indonesia ‘hotspot’?
Indonesia sebagaimana halnya negara-negara lain di Asia Tenggara menghadapi tantangan berkelanjutan di bidang kesehatan, mengingat wilayah ini mengalami perubahan sosial tercepat di dunia. Wilayah yang dijuluki ‘hotspot’ penyakit-penyakit menular baru muncul dan sulit dikendalikan oleh karena faktor-faktor pemicu sebagaimana disebutkan diatas. Wabah flu burung memunculkan ketakutan dunia bahwa pandemik baru kemungkinan akan menyebar dari Asia Tenggara. [5]
Disamping menghadapi serangan penyakit menular, Indonesia juga salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara yang dianggap merupakan suatu wilayah paling rawan bencana di dunia. Wilayah dimana lingkungan dianggap bertanggung jawab terhadap lebih dari seperempat jumlah kematian penduduk di wilayah ini akibat mengalami serangan badai, gempa bumi, banjir maupun bencana alam lainnya secara reguler. [5]
Seperti halnya negara-negara berpendapatan rendah di Asia Tenggara, Indonesia mengalami kesulitan dalam mengendalikan penyakit-penyakit menular baru muncul tersebut mengingat kondisi ekonomi dan lemahnya sistem kesehatan maupun sistem kesehatan hewan nasional. [6, 7, 8] Sistem kesehatan hewan secara faktual jauh lebih lemah dari sistem kesehatannya. Padahal penguatan ke-dua sistem tersebut menjadi kunci dari kemampuan suatu negara dalam mengantisipasi dan memobilisasi sumberdaya untuk mencegah agar wilayahnya tidak bertindak sebagai ’hotspot’. Suatu upaya yang tentunya berkontribusi bagi kesehatan global, mengingat dampak eksternalitas penyakit-penyakit baru muncul yang berpotensi lintas batas (transboundary diseases) atau juga yang berpotensi pandemik.
Kapasitas sistem kesehatan hewan di tingkat nasional sangat terbatas dan struktur dari pusat ke daerah di Indonesia harus menderita akibat program restrukturisasi yang dipromosikan International Monetary Funds (IMF) dan World Bank di era 90-an. Disamping itu, status bidang kesehatan hewan dalam lingkup Kementerian Pertanian yang rendah atau kurang dihargai oleh pengambil kebijakan membuat kepentingan ekonomi dan komersial cenderung didahulukan dari kesehatan masyarakat. [8]
Satu hal yang perlu digarisbawahi juga adalah lemahnya dukungan politik dari tingkat tertinggi di pemerintahan bagi upaya-upaya untuk memobilisasi sumberdaya manusia dan keuangan bagi kepentingan pemberantasan penyakit menular baru muncul dan yang muncul kembali. Penekanan kebijakan sektoral pemerintah (baca: Kementerian Pertanian) dalam pengaturan sumberdaya baik manusia maupun keuangan cenderung tertutupi oleh kepentingan kelompok dan pada gilirannya tidak menciptakan suatu tingkat komitmen politik seperti yang diharapkan. Suatu kondisi yang menambah kompleksitas bukan saja dalam mencegah munculnya penyakit menular baru, akan tetapi juga dalam memberantas penyakit-penyakit menular yang muncul kembali, seperti ketidakberdayaaan pemerintah dalam mengatasi rabies dengan cepat di Pulau Bali.
Pembelajaran dari flu burung
Episoda flu burung dapat dijadikan pembelajaran berharga bagi Indonesia ke depan dalam menghadapi penyakit menular baru muncul dan yang muncul kembali. Sejak puncaknya tahun 2006, flu burung masih menjadi ancaman laten bagi industri perunggasan dan peternakan rakyat dan bahkan bagi kesehatan masyarakat. Meskipun kasus yang dilaporkan sudah sangat jauh menurun dalam 3 tahun belakangan, akan tetapi negara ini belum berhasil menghilangkan penyakit secara tuntas. Virus flu burung tetap bermukim di Indonesia, seperti halnya di Bangladesh, China, Mesir, India, dan Vietnam. [6]
Pemusnahan ayam oleh tim PDSR Sumber: harianrakyatbengkulu.com |
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) berpendapat bahwa kemampuan untuk menghilangkan flu burung di Indonesia seperti juga pada umumnya di negara-negara lain yang memiliki status sama, dipengaruhi oleh tiga hambatan utama yaitu struktur industri perunggasan, kualitas sistem kesehatan hewan dan produksi, dan tingkat komitmen semua sektor terkait. Akibat tiga hambatan tersebut, FAO menambahkan bahwa Indonesia masih belum bisa melenyapkan flu burung secara tuntas dalam 10 tahun ke depan. [6]
Hambatan pertama adalah struktur industri dan bisnis perunggasan nasional sampai saat ini tetap terganggu dengan kasus flu burung, sehingga penuntasan penyakit sulit dilakukan. Sistem produksi dan rantai pasar perunggasan sangat kompleks dan kurang terintegrasi dengan baik, serta banyak terjadi kondisi dimana unggas-unggas yang dipelihara dan diperjualbelikan tidak cukup mendapatkan perlindungan terhadap virus flu burung. Selain itu, dipersulit oleh keadaan dimana berbagai macam unggas lain tidak memperlihatkan gejala klinis penyakit apabila mengandung virus dalam tubuhnya. Situasi ini diperparah dengan lemahnya lembaga pendukung sektor perunggasan yang dalam hal ini diperankan asosiasi-asosiasi produsen.
Hambatan ke-dua yaitu sistem kesehatan hewan dan produksi yang kapasitasnya terbatas dalam mendeteksi dan merespon kasus-kasus flu burung dan membuat perubahan struktural yang diperlukan dalam sistem produksi dan pemasaran unggas. Bagian dari masalah adalah terbatasnya kontak dan tidak harmonisnya hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Seperti diketahui sistem pelaporan penyakit sangat bergantung kepada produsen unggas, sebagian besar bersikap sangat berhati-hati setelah kecewa terhadap sikap pemerintah, khususnya dalam pelaksanaan pemusnahan masal (stamping out) ataupun menyikapi tawaran kompensasi yang sama sekali tidak memadai bagi unggas-unggas yang dimusnahkan.
Hambatan ke-tiga berhubungan dengan tingkat komitmen semua sektor, terutama dari sektor perunggasan, pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi flu burung. Dukungan bagi pelaksanaan upaya-upaya yang diperlukan memberantas flu burung dari zona atau seluruh wilayah negara hanya diberikan setengah hati. Kecuali apabila seluruh produsen unggas menyadari dan memahami dengan benar bahwa flu burung adalah ancaman serius terhadap penghidupan dan kesejahteraan masyarakat. [6]
Flu burung dan korupsi
Krisis flu burung yang dimulai sejak tahun 2003 memberikan pengalaman buruk yang tidak perlu diulangi bukan hanya bagi masyarakat Indonesia, akan tetapi juga komunitas internasional tentang bagaimana dinamika kekuasaan pemerintahan yang begitu terdesentralisasi mampu menimbulkan situasi yang luar biasa kompleks dan konsekuensi internasional yang tidak diharapkan. [7]
Negara ini bukan hanya rentan terhadap munculnya penyakit menular baru dan yang muncul kembali, akan tetapi juga bakalan mengalami kesulitan dalam investasi untuk memperkuat sistem kesehatan dan kesehatan hewan nasionalnya. Kondisi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya terpuruk dalam delapan tahun terakhir [9] menjadi tantangan yang sama sekali tidak mudah dalam memerangi penyakit menular.
Disamping itu, Indonesia didera dengan berbagai masalah terutama tingginya tingkat korupsi, intoleransi terhadap pluralitas, ketidak jelasan dan ketidak tegasan kebijakan, serta adanya faksi-faksi dalam pemerintahan. Peringkat Indonesia dalam standar kehidupan dunia selalu berada dibawah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Indeks pembangunan manusia (Human Development Index) pada tahun 2010 hanya 0,600, yaitu berada di peringkat 108. Peringkat ini jauh dibawah negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Singapura (ke-27), Brunei Darussalam (ke-37), Malaysia (ke-57), Thailand (ke-92), dan Filipina (ke-97). [9, 10]
Dari sisi indeks korupsi, peringkat Indonesia juga sangat rendah. Sampai saat ini perang melawan korupsi belum menunjukkan kemajuan berarti. Menurut Transparency International, indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia tahun 2010 tetap 2,8 (skala 1-10), sama seperti tahun lalu, yaitu berada di peringkat 110 dari 178 negara. Bahkan tahun 2011, menurut hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC), skor Indonesia dalam korupsi adalah 9,27 (skala 1-10). Tingkat korupsi yang hampir absolut ini menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup diantara 16 negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). [11, 12]
Kasus-kasus korupsi yang terangkat ke permukaan selama pemerintah Indonesia bergumul dengan persoalan flu burung membuat skeptis apakah langkah-langkah ke depan dalam menghadapi penyakit baru muncul dan yang muncul kembali akan berulang seperti sebelumnya. Contohnya kasus korupsi alat deteksi cepat flu burung maupun juga alat kesehatan untuk rumah sakit rujukan penanganan flu burung pada tahun 2006. Suatu hambatan yang paling tidak memperlemah kemampuan pemerintah untuk memobilisasi sumberdaya secara lebih efektif dan efisien.
Tantangan abad ke-21 berlanjut
Indonesia tidak ingin jadi ’hotspot’ penyakit menular baru muncul dan tidak ingin mengulang kembali situasi krisis flu burung lalu. Belajar dari pengalaman sepanjang hampir 8 tahun menghadapi ancaman flu burung dapat dikatakan bahwa negara ini tidak luput dari pengaruh dan kendali faktor-faktor yang memicu timbulnya penyakit menular baru muncul dan yang muncul kembali. Begitu juga segudang tantangan permasalahan yang mau tidak mau harus diantisipasi dengan baik dan dikelola secara tepat – yang seharusnya dilakukan pada saat aman (peace time) dimana wabah penyakit menular baru belum muncul.
Sebagai bagian dari wilayah Asia Tenggara yang dianggap sebagai ’hotspot’, Indonesia secara bertahap perlu memperbaiki komitmen politiknya dalam melakukan penyesuaian strategi dan operasional dalam menghadapi penyakit menular baru muncul dan yang muncul kembali. Bukan hanya berfikir untuk mengatasi tiga hambatan pemberantasan flu burung dalam 10 tahun ke depan seperti disampaikan diatas, akan tetapi juga memiliki visi jangka panjang dalam mencegah atau merespon meletupnya penyakit baru muncul dan yang muncul kembali.
Pembelajaran flu burung merupakan suatu bukti nyata bahwa kemampuan teknis dalam penanganan krisis penyakit menular dipengaruhi sangat kuat oleh pemerintahan yang baik (good governance) dan komitmen politik nasional. Oleh karenanya pemerintah perlu melakukan langkah-langkah perbaikan dalam bentuk penguatan kepemimpinan, sumberdaya manusia dan investasi untuk meningkatkan kualitas sistem kesehatan hewan nasional dalam melakukan pemberantasan penyakit, notifikasi penyakit, surveilans dan respon dini sesuai standar internasional Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dan International Health Regulations (IHR) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). [13]
Referensi:
1. Coker R.J., Hunter B.M., Rudge J.W., Liverani M., and Hanvoravongchai P. (2011). Health in Southeast Asia 3: Emerging infectious diseases in southeast Asia: regional challenges to control. Lancet 2011; Vol 377:599-609. DOI:10.1016/S0140-6736(10)62004-1
2. Lashley F.R. (2004). Review. Emerging infectious diseases: vulnerabilities, contributing factors and approaches. Expert Review of Anti-infective Therapy. Vol. 2, No. 2, 299-316. DOI:10.1586/14787210.2.2.299.
3. Perry B.D., Grace D., and Sones K. (2011). Current drivers and future directions of global livestock disease dynamics. PNAS Early Edition. Special Feature Perspective: 1-7.
http://www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1012953108
4. Slingenbergh J., Gilbert M., de Balogh K., and Wint W. (2004). Ecological sources of zoonotic diseases. Rev. sci. tech. Off. Int. Epiz. 23(2):1-17.
5. http://www.newsinsurances.co.uk/blog/southeast-asia-facing-new-health-crisis/0169473398
6. Food and Agriculture Organization (2011). Approaches to Controlling, Preventing and Eliminating H5N1 Higly Pathogenic Avian Influenza in Endemic Countries. Animal Production and Health Paper. No. 171. Rome.
7. Charnoz O., and Foster P. (2010). Six lessons for global health governance from Indonesia’s avian flu crisis. In: Creating a global health policy worthy of the name. A Friends of Europe Development Policy Forum (DPF) discussion paper in partnership with Europe’s World on the occasion of the European Development Days 2010. p. 28-29.
8. Lebouef A. (2009). The Global Fight Against Avian Influenza. Lessons for the Global Management of Health and Environmental Risks and Crises. Health and Environment Reports No. 2. Institute Français des Relations Internationales (IFRI).
9. Geovanie J. (2011). Mencegah Kebangkrutan Nasional. http://www.jeffriegeovanie.com/index.php?option=com_content&task=view&id=133&Itemid=27
10. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html
11. http://www.thejakartapost.com/news/2010/11/15/global-hdi-vs-national-hdr.html
12. http://www.thejakartaglobe.com/home/indonesia-is-seen-as-most-corrupt-nation-in-asia-pacific-region/362782
13. Office Internationale des Epizooties (2007). Ensuring Good Governance to Address Emerging and Re-emerging Animal Disease Threats. Supporting the Veterinary Services of Developing Countries to Comply with OIE International Standards on Quality. http://www.oie.int/downld/Good_Governance07/Good_vet_governance.pdf
*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations, di Vientiane, Laos.
0 Komentar:
Posting Komentar