“From Greek myths to zombie flicks, from the laboratory heroics of
Louis Pasteur to the contemporary search for a lifesaving treatment, Rabid is
a fresh, fascinating, and often wildly entertaining look at one of mankind’s
oldest and most fearsome foes.”
Sumber:
Rabid: A Cultural History of the World's Most
Diabolical VirusWasik Bill, Murphy Monica
Pp 275. ISBN-978-0670023738
Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Suatu tulisan karangan Abi Cantor dengan judul “Rabies: From Babylon to Bali” di jurnal ‘The Lancet Infectious Diseases’ menyatakan bahwa rabies merupakan sumber teror selama ribuan tahun, wujud penderitaan dan pergolakan yang menimbulkan kemarahan manusia, dan dampak sangat mengerikan yang terjadi sejak zaman Babylonia sampai kemudian rabies menjangkiti Bali, Indonesia. [1]
Peristiwa munculnya wabah rabies di Pulau Bali telah menimbulkan kematian 166 orang sejak November 2008 sampai April 2012. Kasus kematian akibat rabies memang sudah menurun sejak pertama kali wabah ini muncul. Pada 2008 tercatat 4 kasus, 2009 ada 48 kasus dan jumlah kasus terbesar terjadi pada 2010 yaitu 82 kasus. Setelah program vaksinasi masal anjing mulai diimplementasikan, penurunan kasus mulai kelihatan. Pada 2011 tercatat 24 kasus dan 2012 hanya dilaporkan 8 kasus. [2]
Rabies di Indonesia sesungguhnya merupakan masalah penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging disease). Wabah di Pulau Bali telah menarik perhatian internasional karena merupakan salah satu tujuan wisata populer di Asia Tenggara. [3] Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali pada 2012 lalu diperkirakan mencapai 2,9 juta orang dengan 6-8 ribu orang datang ke Bali setiap hari. [4]
Seperti halnya dengan Indonesia, Filippina juga memiliki sejarah panjang dalam upaya pengendalian rabies pada populasi anjing. Rata-rata jumlah kematian akibat rabies di negara tersebut mencapai 250 orang setiap tahunnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada 2006, Pulau Bohol yang merupakan provinsi pulau sama halnya dengan Pulau Bali menempati urutan ke-tiga di negara tersebut dalam jumlah kematian akibat rabies, dengan rata-rata 10 orang per tahun. [5]
Pulau Bohol yang terletak di wilayah Kepulauan Visayas juga merupakan daerah tujuan wisata di Filippina, akan tetapi tidak sepopuler seperti Pulau Bali. Jumlah wisatawan yang mengunjungi Pulau Bohol pada 2013 ini diperkirakan rata-rata seribu orang setiap hari. [6]
Tulisan ini mencoba memahami perkembangan situasi rabies di Pulau Bali, Indonesia dan Pulau Bohol, Filippina untuk menggali kesamaan dan perbedaan model pemberantasan yang dilakukan di kedua pulau tersebut. Tabel 1 dibawah ini memperlihatkan perbandingan antara Pulau Bali dan Pulau Bohol menurut luas geografis, panjang garis pantai, jumlah kabupaten/kotamadya, jumlah penduduk, dan perkiraan jumlah anjing.
Tabel 1: Perbandingan
wilayah geografis Pulau Bali dan Pulau Bohol
Situasi rabies di Pulau Bohol dan Bali
Pulau Bohol
Sebelum 2007, Provinsi Bohol menjadi salah satu diantara 10 provinsi urutan teratas kasus kematian manusia akibat rabies di Filipina. Rata-rata 10 kasus kematian atau 0,77 per 100 ribu penduduk per tahun. [11] Dari kasus rabies yang dilaporkan pada orang selama 2007-2008, 25% terjadi pada anak-anak berumur dibawah 15 tahun setelah digigit hewan penular rabies (HPR) dan 97% disebabkan oleh gigitan anjing. [12, 13]
Hal yang menyadarkan para pemimpin pemerintahan di Provinsi Bohol, setelah kenyataan menunjukkan bahwa situasi rabies di provinsi ini menduduki urutan ke-tiga nasional di tahun 2006 dan kemudian ke-empat di tahun 2007. Pulau Bohol menjadi provinsi dengan kasus rabies tertinggi di wilayah Visayas Tengah pada 2006-2007. Suatu situasi yang menciptakan rasa urjen, mengingat dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan kemungkinan ancaman terhadap industri yang sedang berkembang di provinsi tersebut. [13]
Sebenarnya pada tahun 2000 yang lalu, upaya untuk mengendalikan rabies pernah dilakukan di Provinsi Bohol dengan melaksanakan pertama kalinya program vaksinasi rabies masal pada anjing di seluruh wilayah provinsi. Program ini disupervisi oleh pemerintah pusat dan hanya melibatkan petugas dinas kesehatan hewan yang ada. Meskipun vaksinasi mencapai tingkat yang memuaskan, akan tetapi pada tahun berikutnya (2001) cakupan vaksinasi anjing turun hingga 2% dan tidak ada alokasi untuk pembelian vaksin di tahun-tahun setelah itu. Pengendalian rabies tidak berkelanjutan dan kejadian rabies pada anjing secara pasti berulang dan menyebar. Sebagai akibatnya jumlah kasus rabies pada manusia mulai meningkat terus. [14]
Pulau Bali
Sebelum wabah terjadi, Pulau Bali memiliki kepadatan populasi anjing tertinggi di dunia dengan lebih dari 100 ekor per km2. Pada 2010, rata-rata jumlah kasus gigitan HPR bahkan mencapai hampir seratus orang per hari, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. [8]
Berbeda dengan umumnya kejadian rabies di negara-negara lain di dunia dimana korban terbanyak yang terjangkit rabies adalah anak-anak, tetapi di Pulau Bali kebanyakan yang terjangkit rabies adalah laki-laki dewasa (rata-rata 36 tahun; selang 3-84 tahun). [8]
Pada mulanya jumlah korban yang meninggal akibat rabies dalam kurun waktu 3 tahun (2008-2010) mencapai lebih dari 130 orang dan rabies Post-Exposure Prophylaxis (PEP) telah diberikan kepada lebih dari 130 ribu orang korban gigitan anjing. [8] Di samping itu ratusan ekor anjing mati karena terserang rabies. [10] Wabah menimbulkan rasa ketakutan dan kekuatiran yang sangat besar di masyarakat dan biaya yang dikeluarkan mencapai lebih dari 17 juta USD atau sekitar Rp. 161,5 milyar. [9]
Sebelum munculnya wabah rabies di tahun 2008, Provinsi Bali tidak memiliki kebijakan apapun untuk pencegahan dan pengendalian rabies, baik itu rabies PEP, surveilans gigitan anjing, fasilitas diagnostik rabies ataupun vaksin untuk anjing. [9] Begitu juga petugas kesehatan hewannya hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak berpengalaman sama sekali dalam pengendalian rabies. Upaya awal yang dilakukan dengan vaksinasi dan pembatasan pergerakan anjing gagal menghentikan penyebaran rabies dari wabah pertama kali di daerah Bukit Peninsula. [15]
Namun dalam perjalanannya kemudian, proses pengendalian rabies di Provinsi Bali telah melalui beberapa kali siklus pembingkaian masalah dan respon. Pada awalnya masalah rabies cukup semrawut, tidak jelas keterkaitan antar masalah yang bisa diidentifikasi, sehingga tidak ada respon tepat yang berhasil dikembangkan. Pemilihan metoda yang kurang tepat secara tidak sengaja membuat wabah berkepanjangan. [10]
Pada pertengahan sampai dengan akhir 2009, masalah rabies malahan diidentifikasi secara “simpel” dengan solusi pembunuhan anjing-anjing berkeliaran di jalanan dengan menggunakan strychnine. Pada kenyataannya cara ini tidak bisa dipertahankan karena alasan-alasan budaya dan sosial yang sudah sejak lama berkembang dalam masyarakat Bali. [10, 15]
Upaya pengendalian dan pemberantasan rabies
Pulau Bohol
Pada tahun 2007, pemerintah Provinsi Bohol membuat komitmen untuk mengeliminasi rabies pada anjing di seluruh wilayah pulau dengan mengembangkan suatu rencana strategis yang meliputi seluruh pihak terkait dan yang pada akhirnya akan terus berkelanjutan begitu rabies telah dinyatakan bebas dari pulau tersebut. Rencana strategis tersebut dinamakan Program Pencegahan dan Eliminasi Rabies Bohol (Bohol Rabies Prevention and Elimination Program/BRPEP). [11]
Sasaran BRPEP adalah mencapai status bebas rabies Pulau Bohol pada tahun 2010. Sasaran ini sejalan dengan Program Nasional Rabies Filipina (Philippine National Rabies Program) yang bertujuan untuk mengeliminasi rabies pada tahun 2020. Program mencakup peningkatan keterlibatan masyarakat lokal, pengendalian populasi anjing (dog population control), vaksinasi masal anjing, perbaikan manajemen luka akibat gigitan anjing (dog bite management), pelembagaan karantina hewan, dan peningkatan kapabilitas diagnostik, surveilans dan monitoring. [11]
Pelaksanaan BRPEP ditunjang oleh landasan hukum yang kuat yaitu “Anti-Rabies Act 2007” (Republic Act No. 9482). Undang-undang ini ditandatangani Presiden Gloria Macapagal-Arroyo pada tanggal 25 Mei 2007 dan menjadi alasan yang sah bagi Pemerintah Filipina untuk bisa melaksanakan pengendalian dan pemberantasan rabies pada manusia dan hewan, menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar, dan mengalokasikan anggaran yang memadai. Dalam UU ini juga diatur tentang kewajiban dan tanggung jawab pemilik anjing. [16, 17]
Disamping itu landasan hukum lain yaitu “Animal Welfare Act 1998” (Republic Act No. 8485) juga sangat penting untuk menegakkan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan dalam pengendalian dan pemberantasan rabies. Undang-undang ini menetapkan bahwa pembunuhan, penyiksaan, pengabaian dan konsumsi anjing sebagai makanan termasuk tindakan yang ilegal. [16,18]
BRPEP dikelola berdasarkan inisiatif masyarakat, kerjasama dengan Pemerintah Daerah setempat, pemberdayaan masyarakat lokal untuk mendesain, melaksanakan, dan mengelola programnya sendiri, edukasi bagi kelompok sasaran kunci (seperti anak sekolah), dan eliminasi rabies pada anjing. [11]
Sejak dimulai pada awal 2007, program ini telah memobilisasi sekitar 15 ribu orang termasuk petugas Pemda, pekerja kesehatan dan kesehatan hewan, guru sekolah, kepala desa, dan sukarelawan (kader rabies desa/”rabies watchers”). Pendidikan tentang rabies masuk ke dalam kurikulum di seluruh Sekolah Dasar di Pulau Bohol (mencakup lebih dari 182 ribu anak sekolah).
Program ini berhasil menurunkan populasi anjing di pulau ini sebesar 24%, termasuk penghilangan anjing-anjing yang tidak teregistrasi, tidak ada pemiliknya, tidak dipelihara dengan baik atau tidak diklaim.
Pulau Bali
Seperti disampaikan sebelumnya, upaya pengendalian rabies di Pulau Bali pada kurun waktu 2008-2009 lebih terfokus pada pemberian post-exposure prophylaxis (PEP) untuk korban gigitan rabies dan pembunuhan anjing secara masal terutama terhadap anjing-anjing liar yang berkeliaran. Lebih dari seratus ribu ekor anjing telah dimusnahkan sebelum ada program vaksinasi. [7] Meskipun telah dilakukan upaya penanganan, akan tetapi rabies terus meluas ke seluruh wilayah Pulau Bali.
Untuk membantu pemerintah Provinsi Bali dalam membangun program pengendalian rabies yang terkoordinasi dan efektif, maka menjelang akhir 2009 World Society for Protection of Animals (WSPA) mulai bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal seperti Yayasan Bali Animal Welfare Association (BAWA) dan Bali Street Dog Fund Australia untuk mengembangkan pilot vaksinasi masal di Kabupaten Gianyar, salah satu dari 9 kabupaten yang ada di Provinsi Bali. Pada akhir Mei 2010, sejumlah 44.776 ekor anjing telah divaksinasi di 537 banjar (banjar adalah bagian kecil dari desa yang memiliki sekitar 100-200 ekor anjing), dengan estimasi cakupan vaksinasi diatas 70%. [15]
1 Komentar:
slamat siang, saya boleh minta daftar pustakanya?
trims
Posting Komentar