Sejak era Koch dan Pasteur di masa dahulu, para ahli dunia sudah berhasil mengkompilasi pemahaman yang menakjubkan tentang berbagai penyebab penyakit menular, bahkan pengetahuan biologi molekuler di era moderen ini berhasil memberikan pemahaman mendalam sampai ”skala nano” (nanoscale) tentang mekanisme penyakit pada individu hospes. Meskipun begitu pemahaman para ahli tentang apa yang mendorong terjadinya perubahan pola penyakit pada tingkatan lebih tinggi, seperti pada tingkat kelompok ternak (herds), wilayah, nasional, regional, bahkan global, untuk kurun waktu lama tetap menjadi sesuatu yang relatif rudimenter. [4]
Ekspansi dan intensifikasi produksi ternak diidentifikasi sebagai penyebab paling utama yang menyebabkan masalah-masalah lingkungan di dunia, meliputi pemanasan global, degradasi lahan, polusi air dan udara, serta kehilangan biodiversitas. [5, 4] Prediksi tentang pentingnya penyakit menular pada babi di masa mendatang tidak bisa dilepaskan dari evolusi biologis yang terus berlanjut dan cenderung menghasilkan patogen-patogen baru. Kita menyaksikan belakangan ini bagaimana penyakit-penyakit baru muncul seperti Nipah virus, swine influenza H1N1, begitu juga PRRS dan Porcine Circovirus tipe 2 (PCV2) dimana yang kedua terakhir ini terus menjadi masalah industri babi yang menonjol sampai saat ini.
Selama 20 tahun terakhir, pergeseran kesehatan populasi babi berlangsung secara dramatis terutama dipicu oleh perubahan antropogenik terhadap lingkungan dan dinamika populasi babi. Efisiensi produksi telah mendorong terjadinya sistem produksi ternak yang lebih intensif, mengarah kepada spesialisasi industri yang lebih besar, konsentrasi produksi dan integrasi vertikal. Namun peranan pergeseran ini terhadap kemunculan beberapa penyakit babi baru, seperti PRRS dan PCV2 tidak diketahui pasti. [4]
Meskipun efisiensi produksi dibarengi dengan inovasi manajemen kesehatan babi yang lebih baik telah berhasil mengurangi dampak penyakit-penyakit babi endemik tradisional seperti trichinellosis, toxoplasmosis, swine dysentry, sarcoptic mange, neonatal collibacillosis, transmissible gastroenteritis dan lain sebagainya, akan tetapi risiko munculnya penyakit-penyakit baru (disease emergence) akan terus ada dan tetap mengancam kesehatan babi dan bahkan manusia apabila patogen tersebut mampu menular antar spesies. [4]
Dinamika HP-PRRS di Asia Tenggara
Penyakit Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) atau juga disebut penyakit kuping biru (blue ear disease) adalah suatu penyakit menular ganas pada babi yang pertama kali ditemukan hampir secara bersamaan di Amerika utara pada akhir 1980-an dan di Eropa barat pada awal 1990-an. Agen penyebab penyakit ini adalah virus porcine reproductive and respiratory syndrome (virus PRRS), suatu virus RNA dengan untaian pendek dan tunggal serta tidak tersegmentasi. [6] Tanda-tanda klinis dikarakterisasi dengan kegagalan reproduksi pada induk babi dan gangguan respirasi pada anak babi dan babi untuk penggemukan (fattening pigs). Penyakit ditularkan horizontal dari babi sakit ke babi yang peka melalui kontak langsung dan secara vertikal melalui foetus. [7]
Penyakit ini kemudian dilaporkan terjadi di hampir semua lokasi produksi babi utama di seluruh dunia, kecuali Australia, Selandia Baru dan Switzerland yang bebas dari infeksi virus PRRS ini. Pada kenyataannya PRRS merupakan penyakit viral yang paling merugikan secara ekonomi pada peternakan babi intensif di Eropa dan Amerika utara. [7]
Virus PRRS dapat diklasifikasi menjadi dua genotipe yang secara genetik sangat berbeda. PRRS tipe 1 atau strain Eropa, dengan penyebaran utamanya di benua Eropa, dan tipe 2 atau strain Amerika utara yang kebanyakan diisolasi di benua Amerika (utara dan selatan) dan juga di Asia. Secara retrospektif, sirkulasi virus PRRS tipe 1 atau tipe 2 sebenarnya sudah ditemukan di China dan Thailand sejak 1996 dan wilayah Mekong River Delta di Vietnam sejak 2000, akan tetapi sebelumnya pada saat itu tidak ada gejala klinis hebat dihubungkan dengan penyakit ini. [6, 8]
Pada musim semi 2006, suatu varian baru virus PRRS dilaporkan di China dan mulanya diklasifikasi sebagai penyakit demam tinggi (high fever disease). Penyakit ini menyerang hampir 2,12 juta ekor babi dengan kematian 400 ribu ekor. Gejalanya berbeda dengan PRRS tradisional dan dikarakterisasi dengan demam tinggi, bintik-bintik perdarahan pada kulit (petechiae), bercak-bercak kemerahan memucat pada kulit eritematosa dengan kematian mencapai 100% pada satu unit produksi.
Gambaran molekuler dari virus PRRS yang diisolasi dari wabah di China tersebut menunjukkan adanya penghilangan 30 asam amino dari non-struktural protein 2 (NSP2) dan ini kemudian dijadikan sebagai penanda genetik dari virus PRRS baru. Analisa filogenetik isolat-isolat virus dari China diklasifikasikan menjadi 4 sub-kelompok yang sekuens genomnya memiliki kemiripan 99% satu sama lain. [6] Dengan penemuan baru tersebut, maka genotipe ini kemudian disebut sebagai virus PRRS strain China. Begitu juga karena gejala klinis dan patogenesitas berbeda dengan PRRS tradisional, maka penyakit ini kemudian disebut highly pathogenic porcine reproductive and respiratory syndrome (HP-PRRS). Penyebaran HP-PRRS sejak pertama kali dilaporkan di China dan kemudian ke Asia Tenggara 2006-2011 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Penyebaran HP-PRRS di Asia Tenggara 2006-2011 |
Wabah HP-PRRS muncul kembali pada 2007 di China dan terus persisten pada populasi babi walaupun dengan besaran dampak yang berbeda. Wabah 2007 tersebut dilaporkan begitu meluas dengan 826 kasus wabah di 26 provinsi, wilayah otonomus dan kota, meliputi 257 ribu ekor babi terjangkit, 68 ribu ekor mati dan 175 ribu ekor harus dimusnahkan (culled).
Wabah HP-PRRS kemudian juga muncul di Vietnam pada 2007. Satu penjelasan yang kemungkinan bisa dikemukakan dalam wabah di China dan Vietnam 2006/07 adalah turunan virus PRRS tipe 2 (strain Amerika utara) berevolusi menjadi suatu strain sangat virulen dibawah tekanan yang dipicu oleh perubahan praktek-praktek peternakan babi di China. Termasuk juga keterkaitan epidemiologis antara tingginya populasi babi dengan tatanan sistem produksi berbeda-beda dan faktor lingkungan (temperatur dan kelembaban pada musim semi). Koinfeksi bakterial kemungkinan juga berkontribusi terhadap penampakan klinis dari virus PRRS yang sangat virulen ini. [6]
Sumber wabah di China dan Vietnam pada 2007 tersebut tetap gelap sampai sekarang. Suatu studi berhasil mengindikasikan bahwa varian virus PRRS yang ditemukan di ke-dua negara tersebut berada pada tingkat 99% identik satu sama lain. Dengan demikian tidak bisa dihindarkan munculnya suatu hipotesa bahwa kemungkinan strain China 2006 baru ditularkan ke Vietnam dan kemudian bersirkulasi secara cepat di negara itu. Tambahan pula, pengangkutan babi di dalam provinsi maupun antar provinsi dan kesamaan iklim antara Vietnam dan China yang bertetangga mungkin saja berkontribusi terhadap munculnya wabah-wabah tersebut. [10]
Penyebaran virus PRRS antar peternakan umumnya diakibatkan oleh introduksi babi atau semen terinfeksi, sedangkan penyebaran di dalam peternakan terutama disebabkan oleh pergerakan antar kelompok babi dimana virus PRRS terbawa oleh babi ’carrier’ atau babi yang terinfeksi atau bisa juga terjadi pada saat mencampur babi-babi tersebut selama masa produksi. [1]
Pola penyebaran penyakit pada 2007 di Vietnam menunjukkan ada dua kali kejadian wabah dengan total 44 kasus yaitu wabah pertama antara Maret-Agustus 2007 di wilayah utara, bersamaan dengan liburan ”Tet” yaitu suatu masa dimana berlangsung panen produksi babi dan peningkatan pergerakan manusia dan babi di negara tersebut. Wabah ke-dua terjadi Juni-Juli 2007 di wilayah selatan negara ini. [6, 9] Sekitar 44 ribu ekor babi terjangkit dan 4 ribu diantaranya mati. [9]
Di Vietnam, wabah HP-PRRS terus terjadi pada 2008-2009, akan tetapi tidak terlalu hebat. Wabah berikutnya yang agak hebat terjadi kembali pada 2010 dengan kerugian ekonomi cukup besar bagi produksi babi. Suatu studi molekuler menunjukkan bahwa virus PRRS 2010 ini agak berbeda dengan virus yang diisolasi pada 2007. [22] Dimulai pada April 2010 di wilayah utara negara ini, dan menyebar ke wilayah selatan pada Juli 2010. [23]
Di Filippina, wabah HP-PRRS dilaporkan pertama kali pada 2008 dan menyebar terutama di wilayah-wilayah dimana terdapat kepadatan babi yang tinggi dan peningkatan produksi babi komersial. Jumlah kasus yang terdeteksi terus bertambah setiap tahun dan mencapai puncaknya pada 2009. Selama dilakukan surveilans, semakin jelas terdeteksi bahwa kebanyakan kasus positif HP-PRRS yang diuji ternyata juga positif terhadap patogen babi lainnya, seperti virus classical swine fever (CSF), PCV2 dan virus swine influenza (SIV).
Di Thailand, wabah HP-PRRS pertama dilaporkan pada 2010 dengan angka kematian yang tinggi. Diawali di Nongkai pada bulan Juni 2010, dan dalam waktu sebulan telah menyebar ke Provinsi Udonthani. Pada September-Oktober 2010, wabah HP-PRRS telah menyebar ke peternakan-peternakan babi skala kecil di 12 provinsi di wilayah timur laut Thailand. Penyakit menyebar terutama karena anak babi yang dijual atau dibeli dari perusahaan pembibitan babi tertular. Pada November-Desember 2010, wabah menjangkiti lebih banyak lagi peternakan babi skala kecil dan juga menengah, dan bahkan meluas ke wilayah tengah dan wilayah utara Thailand. [11] Keterkaitan dengan penyakit babi lainnya juga dilaporkan terjadi, seperti halnya yang terjadi di China, Vietnam dan Filippina. [1]
Negara-negara yang belakangan juga melaporkan berjangkitnya HP-PRRS adalah Laos dan Kamboja pada 2010, serta Myanmar pada 2011. Kejadian wabah pertama kali di Laos terjadi pada Juni 2010 diawali dengan satu peternakan komersial di Vientiane Capital yang letaknya berbatasan dengan Nongkai, Thailand dimana pada saat yang sama wabah HP-PRRS sedang terjadi. [1, 11] Wabah ke-dua di Laos terjadi pada Juli 2011 dengan penyebaran penyakit meluas ke 2 provinsi lainnya yaitu Bokeo dan Bolikhamxay.
Laporan pertama kali di Kamboja pada Juli 2010 dan sangat mungkin sumber wabah adalah babi tertular yang diimpor secara ilegal dari Vietnam. Pemerintah Kamboja kemudian memberlakukan larangan impor babi dari Thailand dan Vietnam. [1, 6, 20] Sedangkan wabah pertama kali dilaporkan di Myanmar pada Februari 2011, diawali di Mandalay, kota terbesar ke-dua di negara ini. Kemudian wabah menyebar ke Kota Nay Pyi Taw pada April 2011 dan Bago pada Juni 2011.
Koinfeksi HP-PRRS dan Streptococcus suis
Meskipun munculnya wabah PRRS menimbulkan kekhawatiran besar terhadap industri babi dan juga kesehatan masyarakat global, akan tetapi penyakit ini sendiri bukanlah zoonosis. [10]. Penyebaran penyakit akhirnya secara cepat ke seluruh dunia melalui perdagangan babi, semen, dan penularan lewat udara, termasuk melalui penumpang pesawat udara yang bisa membawa virus ini melekat pada pakaian, sepatu atau peralatan yang dibawa selama perjalanan. [12]
Virus PRRS dan Streptococcus suis merupakan patogen yang umum ditemukan pada babi. [14] Infeksi S. suis sendiri sifatnya adalah zoonosis artinya dapat ditularkan ke manusia, dan dapat menyebabkan infeksi sistemik hebat pada manusia yang terekspos babi tertular atau setelah mengkonsumsi produk babi yang tidak dimasak secara baik. [13] Kuman S. suis adalah gram positif, katalase negatif, dan anaerob yang fakultatif. Pertama kali diberi nama Streptococcus suis pada 1987. Meskipun nama tersebut merujuk pada isolat yang berasal dari babi, akan tetapi diidentifikasi juga pada sejumlah spesies lainnya. [15]
Saat ini terdapat 35 serotipe S. suis yang berhasil diidentifikasi, akan tetapi pada babi kebanyakan ditemukan serotipe 1-9 dengan serotipe 2 yang dikenal paling virulen. [15] Serotipe 2 ini adalah yang paling umum dikaitkan dengan penyakit pada babi dan manusia, dan juga yang paling sering dilaporkan diisolasi dari hewan tertular di seluruh dunia. [16] Selama ini berhasil dipastikan bahwa babi-babi terinfeksi virus PRRS menjadi lebih peka terhadap S. suis serotipe 2, dan angka kematian pada babi yang mengalami koinfeksi seperti ini secara signifikan lebih tinggi daripada babi-babi yang hanya terinfeksi virus PRRS. [14]
Wabah S. suis pertama pada babi dilaporkan terjadi di Inggris pada 1951 dengan angka kematian yang tinggi serta gejala meningitis dan artritis. Setelah itu dilaporkan terjadi di Belanda pada 1954, sampai akhirnya dilaporkan muncul juga di Amerika utara pada 1969. [15] Gejala pada hewan pada umumnya ditandai dengan septikemia, meningitis, endokarditis, artritis, dan kadang-kadang infeksi lainnya. [17]
Kasus manusia pertama terinfeksi S. suis dilaporkan di Denmark pada 1968, dan sejak itu Eropa utara dan Asia Tenggara mengalami sejumlah wabah kasus meningitis pada manusia yang disebabkan oleh S. suis tipe 2. Di China terjadi wabah pada 1998 dengan 25 kasus manusia dan 14 meninggal. [15] Gejala pada manusia berupa demam tinggi, tidak enak badan, mual dan muntah, diikuti dengan gejala syaraf, bercak kemerahan subkutaneus, syok septik dan koma pada kasus parah. [17]
Pada 2004, jumlah kasus manusia mencapai lebih dari 200 orang di seluruh dunia. Kemudian pada 2005, China mengalami wabah untuk kedua kalinya yang mendapatkan perhatian dunia akan potensi zoonosis dari S. suis ini. Antara bulan Juni dan Agustus tahun tersebut, di Ziyang County, Provinsi Sichuan, terjadi wabah dengan 204 kasus dan 38 meninggal (angka fatalitas kasus 18,6%). [15, 17]
Sampai saat ini, relatif hanya sekitar 700 kasus S. suis dilaporkan di seluruh dunia, kebanyakan terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Di negara maju kebanyakan dikaitkan dengan pendedahan terhadap pekerjaan yang berkaitan dengan babi, seperti pekerja peternakan babi dan pekerja rumah pemotongan hewan. Di negara berkembang dengan sistem produksi babi yang intensif seperti di Asia Tenggara, risiko untuk terinfeksi S. suis tidak diketahui pasti mengingat penyakit ini bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan (notifiable disease) dan umumnya kurang berhasil didiagnosa secara tepat (under diagnosis). [13]
Di Vietnam, S. suis dideteksi pada 17,9% babi-babi yang tertular HP-PRRS di Mekong River Delta. Laporan dari Rumah Sakit di Kota Ho Chi Minh mengindikasikan bahwa S. suis merupakan penyebab utama dari kasus manusia dengan gejala meningitis (151/450), dimana 33% diantaranya terekspos dengan daging babi satu minggu sebelumnya. [18]
Dalam 10 tahun belakangan ini mayoritas laporan kasus S. suis pada manusia berasal dari Asia Tenggara, dimana penyakit ini dianggap sudah endemik, terutama di China, utara Thailand, dan Vietnam. Penemuan ini dapat diterangkan oleh tingginya kepadatan babi di wilayah ini, praktek-praktek penyembelihan ternak tanpa tindakan pencegahan, dan konsumsi produk babi yang tidak dimasak atau kurang dimasak dengan baik. [19]
Kesiapsiagaan regional
Dengan munculnya HP-PRRS sejak 2006 di wilayah yang kepadatan populasi babinya sangat tinggi seperti China dan virus kemudian menyebar ke Asia Tenggara (paling tidak ke wilayah Greater Mekong), menunjukkan bahwa penyakit ini mengikuti jalur intensifikasi produksi babi. Hal ini ditunjukkan dengan awalnya penyakit berkembang di negara-negara yang memiliki unit-unit produksi komersial besar dengan kepadatan ternak tinggi (seperti Vietnam, Thailand), tetapi kemudian juga menjangkau negara-negara yang sektor komersial ternaknya belum berkembang (seperti Laos, Kamboja dan Myanmar). [6]
Indonesia, sebagai negara produksi babi terbesar ke-empat di Asia Tenggara (setelah Vietnam, Thailand dan Filippina), tentu harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan HP-PRRS ini masuk ke wilayahnya. Kalaupun kejadian PRRS diindikasikan sudah berjangkit di Indonesia sejak 2008, tetapi informasi resmi tidak mudah didapatkan. Tidak adanya pengaturan dan pelayanan teknis pemerintah terhadap sektor babi, menyebabkan lemahnya pelaksanaan surveilans penyakit dan kesiapsiagaan terhadap munculnya penyakit baru. Padahal dengan pasar global yang terjadi pada dekade ini, setiap virus yang muncul dalam bentuk sangat ganas dan berpotensi lintas batas (transboundary) harus dianggap sebagai ancaman.
Risiko menularnya HP-PRRS antar negara akan semakin meningkat [2], dan ini berarti juga berpotensi lebih jauh menjadi ancaman zoonosis apabila terjadi koinfeksi bakterial seperti halnya dengan S. suis. Babi secara fisiologik lebih menyerupai manusia, diakui atau tidak, karena kemiripan sistem pencernaan dan alat tubuh antar keduanya. Peter Dazak, seorang ahli ekologi dan satwa liar dari Ecohealth Alliance mengatakan: ”Semakin dekat suatu spesies dikaitkan dengan kita, semakin besar kesempatan suatu patogen yang dibawanya menulari kita”. [24]
Perlu disadari bahwa pemicu kemunculan penyakit (disease emergence) seringkali menjadi fungsi dari dua faktor. Pertama, faktor probabilitas dimana dikatakan ancaman selalu ada dan kemunculan hanyalah suatu fungsi dari waktu. Ke-dua, faktor pemicu kemunculan adalah suatu perubahan ekologi dimana patogen itu hidup. [25]
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan suatu peningkatan kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan regional bahwa pertumbuhan industri babi yang begitu cepat di Asia Tenggara dalam 20 tahun terakhir ini bukan hanya dipandang penting di sektor ekonomi, tetapi juga di sektor kesehatan. Mengingat potensi ancamannya, Indonesia harus memperkuat kapasitas surveilans, pengendalian lalu lintas hewan dan produk hewan, peningkatan kapasitas diagnostik laboratorium, serta pengaturan biosekuriti dan biokontainmen. Untuk efektivitas kesiapsiagaan dan pencegahan, ke depan dibutuhkan surveilans yang mengikutsertakan sektor swasta dan partisipasi masyarakat (community-based surveillance).
Referensi:
1. Ayudhaya S.N.N. and Thanawongnuwech R. (2011). One World – One Health The Threat of Emerging Pig Diseases: An Asian Perspective. Proceedings International Symposium on Emerging and Re-emerging Pig Diseases. Barcelona, Spain, 12-15 June 2011.
2. An T.-Q., Tian Z.-J., Leng C.-L., Peng J.-M., and Tong G.-Z. (2011). Highly Pathogenic Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome Virus, Asia. Emerging Infectious Diseases, 17(9): 1782-1784. DOI: http://dx.doi.org/10.3201/eid1709.110411.
3. http://www.grease-network.com/index.php?n=39&title=Swine%20network
4. Davies P.R. (2008). Old Diseases, Emergent Diseases: The Evolution of Health in the Swine Industry. http://en.engormix.com/MA-pig-industry/health/articles/old-diseases-emergent-diseases-t1068/165-p0.htm
5. FAO (2006). Livestock’s long shadow: Environmental issues and options. http://www.virtualcentre.org/en/librarykey_pub/longshad/A0701E00.pdf
6. FAO (2011). Focus on: Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) virulence jumps and persistent circulation in Southeast Asia. EMPRES, Issue No. 5 - 2011.
7. FAO (2007). Focus on: Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) regional awareness. EMPRES, Issue No. 2 - 2007.
8. Tun H.M., Shi M., Wong C.L.Y., Ayudhya S.N.N., Amonsin A., Thanawongnuwech R., and Leung F.C.C. (2011). Genetic diversity and multiple introductions and respiratory syndrome viruses in Thailand. Virology Journal 2011, 8:164. doi:10.1186/1743-422X-8-164
9. FAO (2008). Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS). EMPRES Transboundary Animal Diseases Bulletin 31.
10. Feng Y., Zhao T., Nguyen T., Inui K., Ma Y., Nguyen V.C., Liu D., Bui Q.A., To L.T., Wang C., Tian K., and Gao G.F. (2008). Porcine Respiratory and Reproductive Syndrome Virus Variants, Vietnam and China, 2007. Emerging Infectious Diseases, 14(11): 1774-1776. DOI: 10.3201/eid1411.071676.
11. Kortheerakul K., Kupradinan S., Nuntaprasert A. and Thanawongnuwech R. (2011). The outbreak of HP-PRRS in Thailand 2010 from small holders to farming system. Proceedings of the 5th Asian Pig Veterinary Society Congress, 7-9 March 2011, Pattaya, Thailand
12. http://www.pigprogress.net/news/china-hp-prrs-evolved-gradually-from-local-isolate-corrected-7849.html
13. Wertheim H.F.L., Nguyen H.N., Taylor W., Lien T.T.M., Ngo H.T., Nguyen T.Q., Nguyen B.N.T., Nguyen H.H., Nguyen H.M., Nguyen C.T., Dao T.T., Nguyen T.V., Fox A., Schultsz C., Nguyen H.D., Nguyen K.V., and Horby P. (2009). Streptococcus suis, an Important Cause of Adult Bacterial Meningitis in Northern Vietnam. PLoS ONE 4(6): e5973. doi:10.1371/journal.pone.0005973.
14. Xu M., Wang S., Li L., Lei L., Liu Y., Shi W., Wu J., Li L., Rong F., Xu M., Sun G., Xiang H., and Cai X. (2010). Secondary infection with Streptococcus suis serotype 7 increases the virulence of highly pathogenic porcine reproductive and respiratory syndrome virus in pigs. Virology Journal 2010, 7:184.
15. Ramirez A. (2011). Streptococcus suis – Zoonotic epidemic in Asia. http://www.pig333.com/what_the_expert_say/streptococcus-suis-zoonotic-epidemic-in-asia_4091/
16. Papatsiros V.G., Vourvidis D., Tzitzis A.A., Meichanetsidis P.S., Stougiou D., Mintza D., and Papaiouannou P.S. (2011). Streptococcus suis: an important zoonotic pathogen for human – prevention aspects. Veterinary World, 4(5): 216-221.
17. Gottsschalk M., Segura M., and Xu J. (2007). Review Article. Streptococcus suis infections in human: the Chinese experience and the situation in North America. Animal Health Research Reviews, 8: pp. 29-45. DOI: 10.1017/S1466252307001247.
18. Dan T.T., and Tu T.D. (2011). Trends of Swine Production and Approaches of Major Diseases Control in Vietnam. Proceedings of the 5th Asian Pig Veterinary Society Congress, 7-9 March 2011, Pattaya, Thailand.
19. Wertheim H.F.L., Nghia H.D.T., Taylor W., and Schultsz C. (2009). Streptococcus suis: An Emerging Human Pathogen. Clinical Infectious Diseases 2009, 48:617-625.
20. http://www.thepigsite.com/swinenews/24441/thailands-pigs-now-prrsfree
21. Ayudhya S.N.N., Puranaveja S., Kortheerakul K., Teankum K., Amonsin A., and Thanawongnuwech R. (2011). First outbreak of HP-PRRSV, A Chinese-like strain in Thailand. Proceedings International Symposium on Emerging and Re-emerging Pig Diseases. Barcelona, Spain, 12-15 June 2011.
22. http://www.pigprogress.net/news/behaviour-of-hp-prrs-in-vietnam-surprises-veterinarians-7126.html
23. Tung N., Dang N.H., Vui D.T., Tho N.D., and Inui, K. (2011). Molecular Epidemiology of Highly Pathogenic PRRS in Vietnam in 2010. Proceedings of the 5th Asian Pig Veterinary Society Congress, 7-9 March 2011, Pattaya, Thailand.
24. http://www.huffingtonpost.com/2011/09/30/contagion-infectious-disease-animals-environment-health_n_987455.html?1317396819
25. Deen J. (2011). One World – One Health. The threat of emerging pig diseases: An American perspective. Proceedings International Symposium on Emerging and Re-emerging Pig Diseases. Barcelona, Spain, 12-15 June 2011.
*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations, Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) di Laos.
1 Komentar:
terima kasih informatif sekali mengenal situasi penyakit PRRS. Untuk situasi di Indonesia dapat dilengkapi tulisan Drh. I Sendow MSc di http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/jitv/jitv23-8.pdf . semoga bermanfaat.
Posting Komentar