Orang Utan Kalimantan (Foto: National Geographic) |
“Animal welfare is a complex subject with scientific, ethical, economic, cultural and political dimensions.
OIE Fact sheet on Animal Welfare (2008)
Oleh: Tri Satya Putri NaiposposBedanya kita dengan hewan barangkali bukan hanya karena hewan punya ekor, punya tanduk atau punya sayap, tetapi juga karena hewan tidak bicara, tidak tertawa dan bahkan tidak menangis seperti manusia. Tapi siapa bilang hewan tidak bisa bersedih, tidak bisa marah, tidak punya rasa takut, tidak merasa malu dan bahkan tidak ingin protes? Seperti halnya manusia, hewan punya naluri untuk melindungi dirinya sendiri, mempertahankan kebebasannya, mencari hal-hal yang menyenangkan dirinya dan juga menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan atau bakal menyakiti dirinya. Cuma radikalisme manusialah yang tidak mengakui bahwa hewan sesungguhnya memiliki naluri dasar yang sama dengan manusia.
Hewan sudah barang tentu tidak bisa mengekspresikan keinginannya dengan cara yang sama seperti kita manusia atau secara eksplisit menggugat hak-haknya dari kita, tetapi adanya naluri seperti itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Perbedaan antara homo sapiens dan hewan-hewan lainnya secara biologis adalah sangat tipis. Evolusi mengajarkan kita bahwa dalam tataran dasar manusia dan hewan terikat dengan kesamaan yang cukup besar. Secara genetik kita hampir tidak bisa dibedakan dengan primata sebagai keluarga terdekat kita. Pada kenyataannya manusia bukanlah puncak dari evolusi, tapi hanyalah salah satu cabang kecil dari suatu pohon genetik yang besar.
Entah mengapa apabila orang ingin menggambarkan dirinya sendiri sebagai setan atau beradegan sebagai mahluk yang mengerikan, maka digunakan ekor dan tanduk. Tapi apabila orang ingin mengilustrasikan sesuatu yang baik atau menampilkan sesuatu yang putih bersih, maka orang tersebut menggunakan sayap. Jadi dengan kata lain, ekor dan tanduk dijadikan simbol setan yang jahat, sedangkan sayap dijadikan simbol malaikat yang suci. Meskipun, pengertian tentang ekor, tanduk dan sayap yang dimiliki hewan dalam konteks tradisi budaya, agama dan kepercayaan tidaklah selalu sama persis, akan tetapi manusia haruslah menyadari kelebihan yang dimiliki hewan dan mengakui kegunaan ekor, tanduk atau sayap bagi kehidupan hewan mempunyai tujuan dan karakteristik masing-masing.
Hewan menggunakan ekor dengan banyak cara – untuk keseimbangan, komunikasi, navigasi, pertahanan atau senjata dan juga sebagai alat bantu berenang di air. Sejumlah hewan seperti monyet menggunakan ekornya untuk membantu mereka memanjat pohon dan kadang-kadang merebut makanan. Hewan seperti sapi, domba, kambing dan kuda menggunakan ekornya untuk mengusir lalat atau menghindari gigitan serangga. [1]
Begitu juga kegunaan tanduk, utamanya sebagai bentuk pertahanan dan juga mempertunjukkan kekuatan bagi sejumlah spesies hewan selama musim kawin. [2] Sedangkan semua hewan yang bisa terbang seperti burung, kelelawar, insekta dan lain sebagainya menggunakan sayapnya sebagai tenaga penggerak atau untuk melayang di udara. [3]
Manusia secara fisik memang tidak memerlukan ekor, tanduk atau sayap seperti hewan, akan tetapi manusia dengan akal budinya mengapresiasi keberadaan ekor, tanduk dan sayap hewan dan berupaya memiliki fungsi ekor, tanduk dan sayap dengan caranya sendiri. Cara yang seharusnya dianggap lebih beradab oleh karena manusia mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam menggunakan akal budinya dan tidak semata-mata mengandalkan dominasi kekuasaannya terhadap mahluk lain termasuk hewan.
Dalam kehidupan di banyak tempat di dunia, manusia dan hewan saling berinteraksi dan secara historis tradisi mistik, agama dan budaya menganggap hewan sebagai ciptaan Ilahi dengan status moral yang sederajat atau lebih tinggi dari manusia. Seperti contohnya, agama Hindu mengekspresikan kewajiban bagi para pemeluknya untuk menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan sapi mengingat status sakralnya dalam agama. Meskipun hal ini menjadi representasi simbol tradisionil dari hewan sebagai mahluk bermoral, pada kenyataannya sepanjang sejarah manusia, hewan diperlakukan dan terus menerus diperlakukan sebagai subyek yang bisa didominasi, dimiliki atau dikonsumsi.
Orang utan http://theworldweshare.com/ |
Apakah sebenarnya hewan memiliki hak azasi? Apakah hak azasi hewan sama dengan hak azasi manusia? Di abad ini sejumlah kontroversi seputar hak azasi hewan secara eksklusif hampir selalu disangkut pautkan dengan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan manusia terhadap hewan. Contoh-contoh seperti praktek-praktek pertanian yang merugikan, konsumsi daging yang berlebihan, penggunaan hewan untuk eksperimen, serta pengurungan dan penyalahgunaan hewan sebagai hiburan. Meskipun kejadian-kejadian ini mencerminkan interaksi manusia-hewan yang negatif, akan tetapi pada dasarnya manusia menyadari hakekatnya untuk hidup berdampingan secara seimbang dengan mitranya yaitu hewan. Untuk menetralkan banyak kasus kekerasan dan penganiayaan terhadap hewan, manusia berupaya untuk memastikan bahwa hewan mendapatkan perlindungan dan hak hidup bersama dengan manusia.
Bagi para aktivis hak azasi hewan, teori tentang hak azasi hewan sama sekali tidak konsisten dengan teori tentang kesejahteraan hewan. Para aktivis kesejahteraan hewan dianggap menolak pandangan pendukung hak azasi hewan yang sama sekali tidak bisa menerima eksploitasi hewan. Menurut para pendukung hak azasi hewan, perubahan sosial yang dramatis sama-sama terjadi pada manusia maupun hewan. Dengan demikian yang dikhawatirkan mereka bukanlah kepunahan spesies hewan, akan tetapi justru mereka percaya tidak seekor hewanpun boleh dimanfaatkan oleh manusia apapun alasannya, termasuk memiliki hewan kesayangan yang dianggap juga sebagai salah satu bentuk eksploitasi hewan.
Pandangan penganut kesejahteraan hewan dianggap paling konservatif dari keseluruhan mata rantai gerakan perlindungan hewan dengan pandangan penganut hak azasi hewan yang paling ekstrim berada di bagian ujung lainnya dari mata rantai tersebut. Agenda para pendukung hak azasi hewan utamanya disuarakan oleh organisasi internasional seperti People for the Ethical Treatment of Animals (PETA). [4] Sedangkan organisasi international lainnya seperti World Society for the Protection of Animals (WSPA) lebih menganut paham kesejahteraan hewan yang menyetujui pemanfaatan hewan secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan manusia. [5]
Agenda aktivis hak azasi hewan mengusung kepentingan untuk menghapuskan secara hukum semua penelitian yang menggunakan hewan, melarang pemanfaatan hewan untuk kosmetik dan pengujian produk, penyediaan paket makanan yang “vegetarian”, menghilangkan praktek-praktek budidaya ternak yang berakibat orang tidak makan daging sapi, daging ayam, ikan atau daging dari hewan lainnya, tidak menggunakan kulit hewan untuk sepatu atau pakaian, menghilangkan produksi dan pemanfaatan bulu binatang. Agenda lainnya yang tidak kalah ekstrimnya seperti menghentikan pemanfaatan hewan untuk hiburan dan olah raga yang berakibat tidak diperbolehkannya pertunjukan kuda, anjing, monyet dan lain sebagainya, serta menyetop perdagangan internasional satwa liar. [6]
Prinsip kesejahteraan hewan lebih didasarkan kepada etik dan moral bahwa manusia bertanggung jawab terhadap hewan. Pengayoman yang diberikan haruslah mencakup perawatan dan pengobatan bagi hewan sakit, pemanfaatan hewan secara manusiawi dan penuh kepedulian baik sebagai makanan, serat, pelayanan maupun persahabatan, serta menganggap keji setiap rasa sakit atau penderitaan hewan yang tidak perlu. [6] Kesejahteraan hewan memastikan bahwa semua hewan yang dimanfaatkan oleh manusia memiliki kebutuhan dasar yang terpenuhi lewat kecukupan pakan, tempat bernaung dan kesehatan. [5]
Tidak seperti halnya kelompok hak azasi hewan, kelompok kesejahteraan hewan tidak menentang pemanfaatan hewan atau dipelihara sebagai hak milik oleh manusia. Kelompok kesejahteraan hewan juga dianggap tidak mengadvokasi kekerasan yang dilakukan terhadap hewan, akan tetapi cenderung lebih mengadopsi strategi yang berdasarkan hukum, sosial dan finansial dalam mengimplementasikan prinsip-prinsipnya. [5]
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menekankan kepada prinsip kesejahteraan hewan dan berupaya untuk terus mempromosikan prinsip-prinsip tersebut melalui standar-standar kesejahteraan hewan yang senantiasa menggunakan landasan ilmiah. OIE menyatakan bahwa ada hubungan kritis antara kesehatan hewan dengan kesejahteraan hewan. OIE mengedepankan prinsip kesejahteraan hewan yang antara lain menyatakan bahwa pemanfaatan hewan di bidang pertanian dan sains, persahabatan, rekreasi dan hiburan telah berkontribusi besar terhadap kesejahteraan manusia, oleh karenanya dalam memanfaatkan hewan terkandung tanggung jawab etik dan moral manusia untuk memastikan sedapat mungkin terselenggaranya praktek-praktek kesejahteraan hewan secara sah dan berkualitas. [7]
http://www.weeac.com/ |
Kalau pengakuan universal tentang hak azasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) sudah diadopsi sejak 64 tahun yang lalu yaitu pada tanggal 10 Desember 1948 oleh United Nations General Assembly, sebaliknya pengakuan universal tentang hak azasi hewan atau kesejahteraan hewan masih jalan di tempat. Kelompok penyayang binatang di seluruh dunia merasakan sudah waktunya manusia mengakui secara moral dan mencakup juga hak-hak binatang (hewan non-manusia) dalam ruang lingkup perlindungan yang dikandung dalam deklarasi tersebut. [8]
Sejak lama ras manusia mengenali bahwa hewan tidak hanya menjadi instrumen dari gairah dan keinginannya semata. Pada kenyataannya kapasitas hewan untuk mengalami rasa senang dan rasa sakit, rasa bahagia dan rasa menderita, telah mendorong manusia untuk mengakui perlunya penerapan batasan moral dalam perlakuan terhadap hewan seperti halnya terhadap manusia. Jika hewan menderita kesakitan dan mencari perlindungan bagi kehidupannya serta berupaya untuk memperoleh kebebasan dan kesenangan sama seperti manusia, atas dasar apa kita terus menyangkal mereka sementara hak perlindungan telah diberikan bagi kehidupan, kebebasan dan kesenangan kita? [8]
Tidak seperti halnya manusia, hewan tidak berupaya menyelamatkan dirinya dari ancaman bahaya dengan menggunakan pikiran rasional. Hewan hanya mampu mempertahankan dirinya dari bahaya lewat mekanisme keterkaitan antara indra persepsi dan sensor rasa sakit. Oleh karenanya manusia yang memiliki pikiran rasional dan memiliki kekuasaan yang dibatasi dengan aturan-aturan moral haruslah menempatkan perlindungan dari seluruh hewan ciptaan Ilahi sebagai tujuan bersama dari semua bangsa dan negara dimanapun di dunia. Dengan demikian kebutuhan akan pengakuan universal tentang kesejahteraan hewan sudah sangat esensial dan kritis bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan hewan saat ini maupun di masa depan.
Prinsip-prinsip “Universal Declaration on Animal Welfare” adalah:
1. Kesejahteraan hewan harus menjadi tujuan bersama dari seluruh negara di dunia.
2. Standar-standar kesejahteraan hewan yang diterapkan oleh masing-masing negara harus dipromosikan, diakui dan dipantau lewat tindakan-tindakan perbaikan secara nasional maupun internasional.
3. Semua langkah memadai harus diambil oleh semua negara untuk mencegah kekejaman terhadap hewan dan mengurangi penderitaan mereka.
4. Standar-standar kesejahteraan hewan yang layak harus dikembangkan dan diperkaya lebih lanjut, seperti yang diperlukan untuk mengatur pemanfaatan dan manajemen hewan peternakan, hewan kesayangan, hewan untuk penelitian ilmiah, hewan kerja, satwa liar dan hewan untuk rekreasi. [9]
Tulisan ini tidak bermaksud mempertentangkan kehidupan manusia vs. hewan, akan tetapi lebih kepada mendorong ego manusia kita untuk mengakui hewan sebagai mahluk hidup disamping kita dan menyadari bahwa kesejahteraan hewan adalah suatu isu global yang penting. Andaipun hewan tidak berekor, tidak bertanduk dan tidak bersayap, mereka tetap layak untuk mendapatkan perlindungan yang sama seperti manusia. Adanya deklarasi universal tentang kesejahteraan hewan sudah barang tentu akan menjadi suatu perjanjian internasional yang mengikat seluruh negara secara hukum dan menawarkan posisi yang lebih baik bagi hewan di seluruh dunia. Deklarasi ini juga sekaligus menggarisbawahi kepentingan kesejahteraan hewan sebagai bagian pembangunan moral dari kemanusiaan kita.
Referensi:
1. http://thepetwiki.com/wiki/Why_Do_Animals_Have_Tails%3F
2. http://wiki.answers.com/Q/Why_do_animals_have_horns
3. http://wiki.answers.com/Q/Why_do_birds_need_wings_to_fly
4. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_animal_rights_groups
5. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_animal_welfare_groups
6. http://www.fatpet.com/elvessa/rights.html
7. OIE (2008). Fact sheet Animal Welfare.
http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Media_Center/docs/pdf/Fact_sheets/AW_EN_FS.pdf
8. http://www.uncaged.co.uk/declarat.htm
9. http://en.wikipedia.org/wiki/Universal_Declaration_on_Animal_Welfare
*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations di Vientiane, Laos.
0 Komentar:
Posting Komentar