Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menyatakan bahwa perundangan kesehatan hewan merupakan salah satu elemen yang esensial dari infrastruktur sistem kesehatan hewan nasional (veterinary services). Pada kenyataannya banyak perundangan kesehatan hewan di negara-negara anggota OIE tidak diperbaharui sejak bertahun-tahun. [1] Indonesia sendiri sudah memperbaharui perundangan kesehatan hewannya dengan mengganti Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967 (UU 6/1967) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 (UU 18/2009) tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
OIE menyatakan juga bahwa hampir semua negara di dunia membutuhkan perbaikan kapasitas dalam menciptakan atau mempertahankan sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) yang diperlengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan, sehingga dapat menjalankan surveilans, deteksi dini dan respon cepat terhadap wabah penyakit hewan darat dan akuatik termasuk zoonosis, baik yang muncul secara alamiah atau akibat tujuan tertentu. Tanpa perundangan kesehatan hewan yang kuat dan dapat diterapkan (enforceable) serta dibarengi dengan kekurangan sumberdaya, maka siskewannas itu sendiri dapat menjadi sumber bencana biologis. [1]
Perbaikan kapasitas siskeswannas ke depan dimaksudkan untuk menghadapi dan sekaligus mengantisipasi kemunculan penyakit hewan baru dan penyakit lama akan tetapi muncul kembali (emergence and re-emergence of animal diseases), dimana 75% diantaranya dapat ditularkan ke manusia. Begitu juga ancaman yang terus tumbuh dari penyakit-penyakit lintas batas (transboundary animal diseases), kemudian dampak perubahan lingkungan dan globalisasi komoditi serta pergerakan manusia, ditambah pula dengan permintaan sosial baru di bidang ketahanan pangan dan keamanan pangan.
Disamping itu perlu disadari pula bahwa populasi dunia akan terus bertambah, dan kurang lebih 1 milyar orang yang sebelumnya termasuk miskin akan berubah menjadi kelas menengah. Ini berarti juga akan terjadi pertambahan jumlah makanan yang dibutuhkan setiap hari. Proyeksi ke 2030 mengindikasikan bahwa permintaan protein hewani, terutama susu dan telur, akan meningkat 50%, khususnya di negara-negara berkembang. [1]
Pada dasarnya tidak ada satu model perundangan kesehatan hewan yang seragam untuk semua negara, karena setiap negara memiliki kedaulatannya sendiri-sendiri. Suatu negara harus memiliki kerangka perundangan kesehatan hewan yang lengkap dengan penerapan yang efisien melalui sumberdaya manusia dan finansial yang memungkinkan siskeswannas dijalankan dengan cara-cara pemerintahan yang baik (good governance).
Masih banyak negara-negara di dunia termasuk Indonesia perlu menguji dan menganalisa peraturan perundangannya apakah sudah memenuhi atau paling tidak sejalan dengan standar yang dibuat oleh OIE. [2] Meskipun Indonesia sudah menerbitkan UU 18/2009 sebagaimana disebutkan diatas, pertanyaannya adalah apakah struktur dan isi perundangan tersebut sudah memadai untuk digunakan mengatasi tantangan yang dihadapi siskeswannas saat ini maupun ke depan? Sejauh mana ketetapan hukum mengikat pihak atau orang yang menjadi sasaran dari UU 18/2009 tersebut? Apakah ketetapan hukum dalam UU 18/2009 tersebut diperlukan agar suatu kebijakan dapat dijalankan?
Perundangan kesehatan hewan
Pada hakekatnya setiap undang-undang yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Kita mengetahui pasti bahwa UUD 1945 dengan seluruh perundangan yang berada dibawahnya menjadi dasar bagi pembentukan pemerintahan Republik Indonesia dan jaminan bagi tercapainya kesejahteraan negara dan seluruh penduduknya. Suatu perundangan diperlukan untuk memberikan stabilitas agar masyarakat mampu menjalankan fungsinya.
Perundangan menetapkan kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah, meliputi kementerian dan kelembagaan dibawahnya dalam mengatur semua pihak yang menjadi sasaran pelayanannya. Pada umumnya perundangan digunakan untuk melindungi kebebasan dan hak seseorang, melarang atau mengizinkan sejumlah kegiatan tertentu, menghendaki anggota masyarakat untuk mematuhi kewajiban yang sifatnya umum, tetapi juga menghendaki individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu mematuhi peraturan yang diterapkan khusus kepada mereka. [4]
Perundangan kesehatan hewan adalah instrumen legal yang digunakan oleh suatu negara dalam mengatur kesehatan hewan dan produksi ternak, begitu juga penggunaan input produksi, seperti pakan, bahan biologik dan obat-obatan veteriner. Dengan komoditas pertanian yang semakin berperan penting dalam agenda perdagangan negara-negara berkembang, maka negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) perlu menyelaraskan kerangka perundangannya dalam menjalankan tindakan-tindakan sanitari sesuai dengan Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS). Disamping itu perundangan tersebut digunakan juga untuk menghindari penerapan tindakan-tindakan lebih ketat dari yang diperlukan selain untuk mempertahankan status sanitarinya. [8]
Perundangan aturan kesehatan hewan yang dikembangkan oleh suatu negara harus sejalan dengan standar-standar internasional yang diterbitkan oleh OIE dan Codex Alimentarius Commission (CAC). Kewajiban internasional lain yang harus dipatuhi oleh negara-negara termasuk perwalian organisme patogen, atau konservasi keragaman biologik (antara lain pengaturan mengenai penelitian, persenjataan biologis, atau proteksi spesies langka), juga harus dikorporasikan ke dalam perundangan kesehatan hewan. [8]
Banyak hal yang menjadi faktor pengungkit dari pemberlakuan suatu perundangan kesehatan hewan seperti kurang memadainya rantai komando nasional (chain of command), lemahnya organisasi sektor swasta, kurang efektifnya mekanisme kompensasi, terbatasnya kemampuan mengendalikan lalu lintas hewan dan produk hewan, hambatan menjalankan tindakan-tindakan biosekuriti, kesulitan melaksanakan vaksinasi yang memadai dan efektif, kegagalan dalam mengendalikan obat-obatan hewan yang membahayakan kesehatan manusia, kegagalan mendapatkan akses pasar, dan kesulitan pihak swasta dalam mengembangkan layanan kesehatan hewan. [1]
Perundangan kesehatan hewan tidak bisa dilepaskan dari legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu proses untuk membuat kebijakan yang akan diimplementasikan sejalan dengan perundangan yang berlaku. Jadi dengan kata lain apabila suatu perundangan tidak mendorong atau memfasilitasi implementasi suatu kebijakan kesehatan hewan, maka tentu diperlukan perubahan terhadap perundangan tersebut atau dengan cara lain yaitu memperkenalkan instrumen hukum baru untuk membuat kebijakan tersebut dapat diimplementasikan. [4]
Hubungan antara kebijakan, perundangan dan rencana aksi (action plan) direpresentasikan dalam Gambar 1. Pengembangan kebijakan (policy development) sendiri adalah proses yang dinamis. Dalam implementasinya, setiap kebijakan perlu dievaluasi secara berkelanjutan dan memungkinkan untuk dikoreksi apabila dijumpai kelemahan dalam sistem implementasi yang diidentifikasi dari pengalaman lapangan atau dilakukan perubahan sebagai hasil tersedianya informasi teknis baru atau yang lebih detil. Fasilitasi dari evolusi kebijakan adalah penting, oleh karena memungkinkan dilakukannya penyesuaian-penyesuaian dalam implementasi dengan menggunakan lebih banyak ide-ide yang bersumber dari tingkat lapangan melalui mekanisme penyaluran informasi dari “bawah ke atas” (bottom up).
Gambar 1: Hubungan antara kebijakan, perundangan dan rencana aksi |
Adanya kaitan antara kebijakan, perundangan dan rencana aksi diharapkan akan meminimalkan kegagalan implementasi suatu kebijakan kesehatan hewan. Untuk itu menjadi sangat penting bagaimana suatu perundangan harus memiliki pengaturan yang sifatnya komprehensif dan lengkap, meskipun masih memerlukan pengaturan-pengaturan pelaksana dibawahnya untuk benar-benar bisa diimplementasikan. Untuk menyatakan apakah suatu perundangan bisa diimplementasikan ke dalam suatu kebijakan yang berlaku nasional, maka keseluruhan kerangka legislasi yang terdiri dari UU dan kelengkapannya seperti peraturan-peraturan pelaksana dibawahnya harus bisa berfungsi efektif.
UU 18/2009
Apabila kita mengkilas balik terbitnya UU 18/2009 yang ratifikasinya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 12 Mei 2009, maka proses penyusunannya sendiri membutuhkan waktu lama sekali sejak 1978. Kebutuhan akan adanya UU baru dirasakan semakin mendesak oleh para dokter hewan Indonesia mengingat aspek lemahnya siskeswannas, terutama pada saat menghadapi kemunculan dan berlangsungnya krisis wabah flu burung awal 2004 yang lalu. Dalam hal ini, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai komunitas yang mewakili profesi berupaya keras untuk mengangkat kapasitas teknis dokter hewan di Indonesia, begitu juga untuk mendapatkan pengakuan yang lebih besar mengenai keahlian dan kewenangan profesinya. [5]
Proses terbitnya UU 18/2009 sesungguhnya telah melalui waktu dan jalan yang panjang serta melibatkan berbagai pihak dengan diskusi yang kompleks dan dinamis. Beberapa faktor yang menjadi sangat rumit dalam proses tersebut dan tetap belum terpecahkan sampai dengan saat ini adalah hal-hal yang tidak bisa dilepaskan dari terjadinya proses “hiper-demokratisasi” (hyper-democratisation) dan “desentralisasi Big Bang” di negara ini yang dimulai sejak 1 Januari 2001. Suatu hal yang tentu saja memberikan pengaruh besar terhadap kebijakan kesehatan hewan nasional, mengingat pengalihan kemampuan dan sumberdaya yang luar biasa besarnya ke pemerintah daerah kabupaten dan kota yang otonom. [5]
Tidak bisa disangkal bahwa proses terbitnya UU 18/2009 dipengaruhi pula oleh kepentingan politik maupun ekonomi pada saat itu yang berkehendak mempromosikan pasal yang dianggap bisa menguntungkan pihak tertentu atau menyingkirkan pasal yang dianggap bisa merugikan pihak tertentu. Pada kenyataannya memang sejumlah pasal menjadi topik perdebatan panas dan panjang di DPR dan terbukti belakangan ada pasal-pasal yang kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah pihak yang merasa dirugikan. [5]
Selain itu dalam tataran teknis dari proses panjang terbitnya UU 18/2009 tersebut, harus juga diakui adanya polarisasi kelompok profesional yang terjadi antara sarjana peternakan dan dokter hewan. [5] Dalam konteks pembentukan legislasi, seharusnya hal yang sudah lalu tersebut tidak perlu terjadi mengingat bahwa peternakan dan kesehatan hewan adalah dua disiplin ilmu yang memiliki akar yang sama (meskipun obyek yang tidak persis sama) dan tidak bisa meniadakan atau memperlemah satu sama lain. Sarjana peternakan mempelajari dan menangani persoalan-persoalan produksi, manajemen, pakan, genetika, dan nutrisi, sedangkan dokter hewan dalam hal ini mempelajari dan menangani dari sisi kewenangan mediknya dan persoalan-persoalan teknis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner yang terkait dengan implementasi siskeswannas.
Dalam pedoman OIE dikatakan bahwa kerangka legislasi harus secara teliti dan menghargai hierarki perundangan yang memisahkan antara perundangan primer dan sekunder. Pemerintahan suatu negara harus memiliki perundangan primer dan sekunder yang kegiatannya mampu diimplementasikan di semua tingkatan baik oleh organisasi fungsional maupun teritorialnya. Pemerintah perlu membangun dan mempertahankan kelengkapan kerangka legislasi veteriner yang diperlukan dan senantiasa memperbaharui kerangka tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan publik. [2]
Sebagaimana disampaikan diatas, UUD 1945 merupakan hierarki paling tinggi dalam sistem perundangan di Indonesia, diikuti dengan Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah (Perda). Selain itu dalam praktik juga terdapat Peraturan Menteri (Permen) sebagai produk hukum yang bersifat mengatur. [3]
Dengan demikian UU 18/2009 sebagai perundangan primer merupakan UU yang belum bisa diaplikasi sepenuhnya, ada hal-hal yang perlu diuraikan lebih lanjut ke perundangan sekunder dalam PP, Perpres atau Permen. UU 18/2009 mengamanatkan banyak hal terutama tentang berbagai ketentuan yang perlu ditindaklanjuti di bawah payung UU tersebut.
UU 18/2009 mengamanatkan hanya dua UU baru yang perlu dibuat yaitu tentang (1) pemanfaatan dan sumber daya genetik termasuk sumber daya genetik hewan dan rekayasa genetika, dan (2) ketentuan praktek kedokteran hewan dan ketentuan veteriner yang belum diatur dalam UU 18/2009. Satu Perpres mengenai ketentuan lebih lanjut tentang budi daya ternak. Begitu juga satu-satunya ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan penggembalaan umum perlu ditetapkan dengan Perda kabupaten/kota. Disamping itu, UU 18/2009 juga menghendaki penjabaran ketentuan hukum lebih lanjut melalui peraturan dibawahnya yang keseluruhannya berjumlah 10 PP, 1 Perpres dan 18 Permen (lihat Tabel 1).
Tabel 1: Kelengkapan UU 8/2009 yang perlu ditindaklanjuti
Sesuai standar OIE, maka UU 18/2009 sudah mengakomodasi pinalti dan sanksi dalam bentuk sanksi administratif dan ketentuan pidana. Meskipun demikian harus dilihat efektivitas sanksi tersebut apabila terbukti terjadi kasus penyimpangan atau pelanggaran terhadap pasal-pasal yang dianggap menimbulkan risiko terhadap kesehatan hewan, kesejahteraan hewan atau kesehatan masyarakat. Tentunya harus dibedakan antara ketentuan pidana yang ditetapkan dalam perundangan primer yang memiliki kekuatan hukum nyata dan yang ditetapkan dalam perundangan sekunder yang kurang memiliki kekuatan hukum. [2]
Reformasi dan modernisasi
Meskipun harus diakui secara jujur bahwa UU 18/2009 merupakan suatu perundangan yang jauh lebih lengkap dan mengikuti zaman dibandingkan UU 6/67 yang dianggap sudah tidak relevan lagi, akan tetapi pada dasarnya UU 18/2009 tidak terlepas dari berbagai kelemahan umum dan mendasar. Disahkannya sebuah UU bukan berarti ia telah menjadi sebuah hukum yang mutlak dan tidak bisa lagi diubah atau bahkan diganti, sebaliknya justru perbaikan dan perubahan harus dilakukan pada setiap undang-undang yang dirasakan memiliki kelemahan, baik kelemahan dalam penyusunan, definisi, konsistensi, muatan teknis, dan kewenangan atau juga yang dirasakan menghambat kemajuan, pengabaian yurisdiksi hukum dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini maka tidak ada salahnya bagi siapapun yang merasa berkepentingan terhadap UU 18/2009 untuk menyampaikan pandangan dan usulan dengan melakukan analisa kesenjangan (gap analysis) dan kaji ulang terhadap UU tersebut demi tujuan memperbaiki UU tersebut agar lebih implementatif dan demi memajukan dunia kesehatan hewan di Indonesia menuju kesetaraan internasional.
Menurut standar OIE, perundangan kesehatan hewan minimal harus berisikan pedoman minimum yang relevan untuk melindungi (i) kesehatan hewan dan ketahanan pangan; (ii) keamanan pangan; (iii) kesehatan masyarakat (zoonosis) dan keamanan hewan tanpa pemilik (stray animals); dan (iv) kesejahteraan hewan. Ruang lingkup UU 18/2009 sudah mencakup hal-hal minimum yang diperlukan sesuai standar OIE.
Suatu hal yang mendasar dalam suatu perundangan adalah perlunya penetapan tentang pihak berwenang (competent authority) dalam menjalankan perundangan tersebut terutama menyangkut perlindungan ke-4 hal tersebut diatas. Definisi “pihak berwenang” harus konsisten dengan standar OIE untuk memastikan rantai komando yang efisien dan dapat dipercaya dalam menyediakan sertifikasi veteriner. [2]
Rantai komando dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota harus diuraikan sangat jelas dalam perundangan kesehatan hewan, meskipun harus menyesuaikannya dengan sistem politik yang berlaku. Pihak berwenang harus diorganisasikan sedemikian rupa sehingga dapat mengambil tindakan secara cepat dan koheren jika aksi tersebut merupakan kunci dari tercapainya tujuan, terutama dalam implementasi tindakan kedaruratan kesehatan hewan (animal health emergency) atau tindakan krisis kesehatan masyarakat veteriner. Untuk tujuan ini, tanggung jawab dan kekuasaan dari pihak berwenang dari tingkat pusat sampai kepada pihak yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan perundangan tersebut di lapangan harus diterangkan secara jelas dalam perundangan. Apabila urusan kesehatan hewan menjadi tanggung jawab lebih dari satu administrasi pemerintahan, maka suatu sistem koordinasi dan kerjasama antar pihak yang memiliki kewenangan berbeda harus berfungsi dengan baik.
Ada hal-hal dalam UU 18/2009 yang sudah diatur sangat baik terutama menyangkut obat hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. Namun ada hal yang penting lain yang tidak implementatif karena tidak jelas muatan teknisnya, terutama isu-isu yang bersifat strategis dan esensial berkaitan dengan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular pada saat berlangsungnya wabah, seperti pelaporan penyakit, pendepopulasian hewan, pemberian kompensasi, kesiagaan darurat veteriner.
Munculnya wabah flu burung dan penanggulangannya yang belum tuntas sampai dengan saat ini sesungguhnya memberikan pelajaran bagi kita mengenai persoalan-persoalan teknis dan non-teknis yang kompleks dan sulit diatasi. Salah satu sebab dari kesulitan ini adalah lemahnya UU 6/1967 yang berlaku pada waktu itu. Berbagai kesulitan yang dihadapi terutama pada saat-saat awal wabah menyangkut hal-hal sebagai berikut:
- Tidak adanya kewajiban swasta untuk melaporkan kejadian flu burung di peternakannya dan tidak ada sanksi bagi peternakan yang tidak melaporkan kepada pihak berwenang.
- Dana kompensasi yang sangat tidak memadai dan tidak menjadi insentif bagi peternak.
- Kesemerawutan dalam pengaturan pergerakan atau lalu lintas unggas domestik terutama antar provinsi, antar kabupaten, dan antar pulau.
- Tidak adanya inspeksi veteriner yang memadai sebelum unggas dilalu lintaskan.
- Tidak tersedianya dana operasional yang memadai untuk pelaksanaan tindakan pemusnahan.
- Pengawasan yang tidak memadai terhadap pelaksanaan tindakan pemusnahan unggas sesuai prosedur tetap yang berlaku.
- Tidak adanya inspeksi veteriner bagi unggas-unggas yang dipotong di luar Rumah Pemotongan Unggas (RPU).
- Tumpang tindih dalam sistem produksi unggas dalam lahan yang sama, terutama antara sektor 3 dan 4.
- Lemahnya dan lambannya otoritas veteriner dalam pengambilan keputusan baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten. Kadang-kadang keputusan harus menunggu dari birokrasi diatasnya yang tidak memahami prinsip-prinsip kedaruratan veteriner.
- Rendahnya tingkat kepercayaan pihak swasta terhadap kapasitas dan kapabilitas otoritas veteriner.
http://us.metro.vivanews.com/news/read/43787-1_322_unggas_di_jakarta_ |
Dari pembelajaran kesulitan-kesulitan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa isu-isu seperti pelaporan penyakit, kompensasi, inspeksi dan sertifikasi veteriner, kedaruratan veteriner dan otoritas veteriner ke depan harus benar-benar implementatif karena merupakan tindakan administratif pemerintahan yang memiliki landasan hukum (legal basis). Meskipun pada umumnya UU tidak bersifat rinci dan narasinya normatif, akan tetapi dengan terbitnya UU 18/2009 diharapkan sekali bisa memperbaiki hal-hal yang sudah diatur sebelumnya oleh UU 6/1967 dan sekaligus melengkapi hal-hal yang diperlukan untuk mendukung siskewannas berjalan sesuai fungsinya.
Dalam UU 18/2009 dibuat suatu bab tersendiri mengenai pihak berwenang yang disebut dengan “otoritas veteriner”, akan tetapi tidak dipertegas dengan menetapkan posisi mana dalam administrasi pemerintahan yang dimaksudkan dengan otoritas veteriner tersebut. Meskipun definisi otoritas veteriner dalam UU 18/2009 konsisten dengan definisi ‘pihak berwenang’ menurut standar OIE, akan tetapi keterkaitan atau benang merah antara bab ini dengan bab-bab terdahulu yang mengatur tentang kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan tidak jelas dan tidak dipertegas. Dalam perjalanannya kita menyaksikan bagaimana salah satu pasal yang menyatakan bahwa Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner digugat oleh PDHI ke Mahkamah Konstitusi. Pemahaman terhadap kata ‘dapat’ yang akhirnya menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Otoritas selalu berorientasi kepada kekuasaan (powers), sehingga tidak terlalu dimengerti mengapa dalam UU 18/2009 justru dalam bab mengenai otoritas veteriner dikaitkan dengan pengaturan tenaga kesehatan hewan. Begitu juga disebutkan melaksanakan pelayanan kesehatan hewan, pelaksanaan medik reproduksi, medik konservasi, dan pengembangan kedokteran hewan perbandingan yang lebih merupakan ranah yang bersifat ‘private good’ atau bukan obyek yang harus diatur resmi oleh pemerintah.
Menurut standar OIE, kekuasaan otoritas veteriner adalah dalam menetapkan dokter hewan berwenang yang diberikan kuasa untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan atas nama pemerintah berdasarkan perundangan yang berlaku. Perundangan kesehatan hewan harus memastikan hal-hal sebagai berikut:
i) Dokter hewan berwenang memiliki kewenangan hukum untuk mencampuri urusan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan sesuai dengan perundangan dan prosedur sanksi administrasi/pidana yang berlaku;ii) Bidang kompetensi dan peran setiap dokter hewan berwenang ditetapkan menurut kualifikasi teknis yang dimiliki;
iii) Dokter hewan berwenang dilindungi dari tuntutan hukum dan ancaman fisik;
iv) Kekuasaan dan aturan dokter hewan berwenang harus ditetapkan, terutama kewenangan untuk:
- menerbitkan atau mencabut sertifikat atau lisensi resmi;
- menolak, membatasi atau mengatur impor, ekspor dan pergerakan domestik hewan, produk hewan atau turunannya setelah melalui inspeksi veteriner;
- menyita atau memusnahkan hewan atau produk hewan yang ilegal;
- memerintahkan dan melaksanakan isolasi, karantina, pemeriksaan dan pengujian terhadap hewan atau lokasi dimana hewan dipelihara; dan
- menyetujui, meregistrasi dan mensupervisi pengelolaan lokasi peternakan dan orang-orang yang terkait dan mencabut persetujuan tersebut apabila terjadi pelanggaran.
Dalam UU 18/2009 tidak disinggung tentang peran dokter hewan swasta terutama dalam turut mendukung siskewannas. Dengan mengikutsertakan dokter hewan swasta sebagai bagian dari siskeswannas, maka perundangan sesungguhnya harus juga memuat pendelegasian kewenangan bagi dokter hewan swasta dalam melaksanakan tugas-tugas khusus yang berkaitan dengan kegiatan pemerintah. Jenis tugas khusus yang bisa didelegasikan dan organisasi mana tugas tersebut didelegasikan dan kondisi supervisi oleh otoritas veteriner harus diperjelas dalam perundangan kesehatan hewan. [2]
Dalam perundangan kesehatan hewan dikenal istilah yang disebut sebagai ‘penyakit yang wajib dilaporkan’ (notifiable disease) yaitu jenis penyakit-penyakit hewan menular yang berdasarkan keputusan otoritas veteriner menjadi obyek bagi tindakan resmi pemerintah dalam upaya pengendalian dan pemberantasannya. Dalam penetapannya harus diperhatikan bahwa penyakit-penyakit yang wajib dilaporkan tersebut sejalan pula dengan komitmen internasional baik dalam kerangka konvensi dan perjanjian multi-lateral atau bilateral, misalnya penyakit yang ada dalam daftar penyakit OIE (listed OIE diseases). Penyebutan daftar penyakit apa saja yang dikategorikan wajib dilaporkan bisa diatur dalam perundangan sekunder. [6]
'Penyakit yang wajib dilaporkan' berkaitan dengan kewajiban pelaporan atau notifikasi (compulsory notification). UU 18/2009 menetapkan bahwa setiap orang termasuk peternak, pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang berusaha di bidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian tersebut kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau dokter hewan berwenang setempat.
Penetapan ini dikhawatirkan tidak akan implementatif mengingat tidak setiap orang bisa mengetahui kasus yang dihadapinya adalah penyakit hewan menular tanpa melalui bantuan ahli. Narasi yang dimuat dalam perundangan kesehatan hewan secara umum adalah “setiap orang yang mencurigai atau patut mencurigai penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian tersebut”. Untuk tindakan yang efektif maka kewajiban pelaporan ini juga harus dipatuhi oleh dokter hewan, paramedis veteriner, pejagal (butcher), dan orang-orang lain yang oleh karena profesinya secara langsung berhubungan dengan hewan atau karkas. Jadi sangat penting dalam perundangan sekunder untuk setiap penyakit yang wajib dilaporkan ditambahkan juga tanda-tanda kesakitan atau kematian hewan atau perubahan yang terjadi dengan karkas sebagai petunjuk kecurigaan dimaksud. [6]
Bab yang mengatur tentang kesejahteraan hewan adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari bab-bab lain dalam peraturan perundangan, oleh karena dalam setiap tindakan yang menyangkut kesehatan hewan haruslah memperhatikan etika dan prinsip-prinsip kesejahteran hewan. Menurut standar OIE dalam mengatur aspek ini diperlukan definisi legal dari apa yang disebut 'perbuatan kekerasan yang dianggap melanggar hukum' sebagai landasan pengenaan tindak pidana. UU 18/2009 menetapkan dengan baik apa yang dimaksudkan dengan perlakuan manusiawi dalam kaitannya dengan kesejahteraan hewan, tapi sayangnya tidak mencantumkan sanksi dan langkah-langkah konkrit untuk memastikan bahwa UU tersebut dipatuhi oleh setiap orang dan ditegakkan oleh penegak hukum. [2, 7]
http://wowberita.org/gambar-pembunuhan-kejam-anjing-anjing |
Disamping itu agar UU ini bisa diimplementasikan perlu dicantumkan juga campur tangan otoritas veteriner dalam kasus pengabaian hewan oleh pemiliknya. Hal-hal yang lebih rinci bisa diatur lebih lanjut dalam PP, seperti perlakuan dan praktek-praktek yang dapat diterima bagi ternak, hewan kesayangan, hewan laboratorium, hewan olahraga, hewan hobi, dan satwa liar dalam kaitannya dengan transportasi dan penanganan selama pengangkutan, produksi dan pengandangan hewan, penyembelihan dan pemusnahan, pemanfaatan untuk eksperimen ilmiah, penggunaan hewan untuk permainan, pertunjukan, eksibisi dan kebun binatang. Begitu juga pengaturan tentang beberapa kegiatan tertentu yang hanya diperkenankan bagi orang-orang yang dinyatakan sudah mempunyai kualifikasi atau memiliki persetujuan dari pihak berwenang. [2]
Satu hal yang sangat esensial dalam mendukung siskeswannas adalah mengenai adanya konsil veteriner (veterinary council) sebagai Badan Statuta Veteriner/BSV (Veterinary Statutory Body) yang mengatur tenaga kesehatan hewan mencakup dokter hewan dan para-profesional veteriner. Suatu badan yang harus independen dari pemerintah, akan tetapi diakui pemerintah berhak membuat standar kompetensi, etika keprofesian, registrasi dokter hewan, dan mengawasi disiplin keprofesian. [4] Menurut standar OIE, perundangan kesehatan hewan harus memuat tentang BSV dengan penjelasan tentang hak prerogatif yang dimiliki, fungsi dan tanggung jawab dari badan tersebut. [2]
Mengingat suatu perundangan kesehatan hewan harus juga memiliki perspektif ke depan, maka diperlukan pengaturan-pengaturan kontemporer dalam mengantisipasi kemunculan penyakit-penyakit hewan baru (emerging infectious diseases) termasuk zoonosis dan dalam menyesuaikan diri terhadap globalisasi perdagangan. Mengacu kepada standar OIE, maka isu-isu yang perlu diketengahkan ke depan diantaranya menyangkut pengaturan kesehatan produksi seperti identifikasi dan penelusuran ternak (identification and traceability); perdagangan, distribusi, pemanfaatan dan penelusuran produk hewan, serta upaya-upaya yang menjamin kualitas produk hewan dengan pengaturan tentang kewenangan pengendalian yang dilakukan dokter hewan pada titik-titik kritis sepanjang rantai produk pangan asal hewan. Kemampuan penelusuran (traceability) tersebut menjadi suatu hal yang harus mampu dibangun dan diintegrasikan ke dalam mandat otoritas veteriner dalam melakukan pemeriksaan dan sertifikasi produk hewan segar dan olahan seperti yang diamanatkan dalam UU 18/2009.
Penutup
Reformasi dan modernisasi perundangan kesehatan hewan haruslah dianggap sebagai suatu proses biasa yang bersifat dinamis dan progresif baik pada tahapan perancangan maupun setelah diundangkan. Kita menyadari bahwa perubahan (amendment) UU tidak selalu mudah dilakukan dalam sistim perundangan di Indonesia, maka langkah rintisan ke depan menuju kelengkapan kerangka perundangan kesehatan hewan secara utuh menjadi suatu pilihan yang paling baik. Dengan demikian menjadi suatu keharusan bahwa perancangan UU tentang praktek kedokteran hewan dan ketentuan-ketentuan veteriner lainnya beserta seluruh PP yang terkait kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan harus mendapatkan prioritas tinggi untuk diselesaikan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Dr. Ian Robertson, seorang dokter hewan yang menjadi konsultan hukum FAO mengatakan bahwa seluruh kerangka perundangan kesehatan hewan nasional harus dibangun secara cermat dan memungkinkan untuk dikaji ulang, bahkan kalau perlu peraturan baru diperkenalkan atau peraturan lama diperbaiki jika diperlukan. Suatu pengalaman baru yang diperoleh dari krisis wabah flu burung mengajarkan kita tentang berbagai kebutuhan instrumen legal yang muncul dari permasalahan multisektoral dalam penanganan zoonosis yang kadangkala ruang lingkupnya berada di luar kesehatan hewan itu sendiri. Contohnya kewajiban-kewajiban menyangkut restrukturisasi sektor peternakan, penerapan tindakan biosekuriti, pelarangan cara beternak yang mempunyai risiko tinggi, pengendalian intensif terhadap pasar unggas hidup dan pelarangan praktek-praktek pemasaran tertentu. [4]
Dr. Robertson juga menyatakan bahwa pastinya ke depan perundangan kesehatan hewan harus mendukung perkembangan yang sifatnya radikal akan tetapi tetap berdasarkan kejadian (evidence based), dalam pengertian bahwa strategi baru bisa saja dikembangkan berangkat dari penemuan data baru mengenai faktor pemicu penyebaran penyakit dan endemisitas. Dengan krisis flu burung yang merupakan juga penyakit lintas batas, maka perundangan kesehatan hewan haruslah juga mengakui kebutuhan akan kerjasama regional dan sub-regional antar negara dan menginstitusionalkannya secara formal demi kepentingan bersama. [4]
Referensi:
1. Vallat B. (2011). Keynote address. Objectives and Expectations. OIE Global Conference on Veterinary Legislation, Djerba, Tunisia, 7 December 2010. http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Conferences_Events/sites/A_LEG_VET2010/presentations_eng.htm
2. Guidelines on veterinary legislation. http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Support_to_OIE_Members/docs/pdf/A_Guidelines_VetLeg.pdf
3. http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/peraturan_perundangan.php
4. Draft Handbook Extracts for Workshop Presentations by Ian Robertson.
5. Charnoz O., and Foster P. (2011). The Global Health Impact of Local Power Relations: Fragmented Governance, Big Business, and Organizational Bias in Indonesian Animal Health Policies. http://www2.lse.ac.uk/globalGovernance/publications/workingPapers/indonesianHealthPolicies.pdf
6. FAO (1991). Guidelines for strengthening animal health services in developing countries. http://www.fao.org/docrep/U2200E/u2200e0b.htm#chapter 8: legislation.
7. http://sains.kompas.com/read/2011/06/14/17532325/Edukasi.terhadap.Hak.Hewan.Masih.Minim
8. http://www.fao.org/Legal/advserv/fact_sheets/fact%20sheet%20animal%20health.pdf
*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations, Vientiane, Laos
0 Komentar:
Posting Komentar