Between animal and human medicine there is no dividing line — nor should there be. The object is different but the experience obtained constitutes the basis of all medicine.” Rudolf Virchow (1821–1902)
Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Tulisan pendek di internet yang aslinya berjudul “Imagine: A world without veterinary medicine” mungkin bisa dianggap terlalu berlebihan, karena sama sulitnya kalau kita harus membayangkan dunia tanpa hewan. Sejak zaman nabi Nuh, kita sudah berbagi ruang dengan hewan di dunia dimana kita hidup. Manusia mengadakan kontak dengan hewan setiap hari. Siapapun tidak menyangkal bahwa hewan adalah bagian integral dari kehidupan kita. [1]
Dokter hewan Indonesia bersumpah dalam upacara pelantikan kelulusannya dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) bahwa akan mengabdikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya untuk kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan mutu, peringanan penderitaan dan perlindungan hewan berlandaskan perikemanusiaan dan kasih sayang kepada hewan. [2] Tidak ada yang janggal dari sumpah tersebut, kesehatan manusia adalah tetap nilai yang paling tinggi dan logis dalam tingkatan nilai-nilai yang terkandung dalam sumpah tersebut. [3, 4]
Sejak lama buku karangan Dr Calvin Schwabe yang visioner berjudul ”Veterinary Medicine and Human Health”, dikenal luas oleh kalangan dokter hewan oleh karena konsep ”One Medicine”nya. Visi ”One Medicine” tersebut telah menginspirasi komunitas kesehatan masyarakat dalam berjuang membawa kedokteran manusia dan kedokteran hewan secara bersama-sama untuk memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia. Dalam dunia yang lebih didominasi oleh manusia, Dr. Schwabe juga mengatakan dalam bukunya bahwa kesehatan dan kesejahteraan manusia menjadi paling utama dan menentukan aras penting bagi profesi kedokteran hewan untuk berkembang lebih baik di masa depan. [4, 5]
Sejarah kedokteran hewan
Penyakit hewan dan pengobatannya telah memainkan peran kritis sepanjang sejarah dengan dokumentasi terlama yang pernah diketahui adalah pada 1900 B.C. Kata ”veterinarian” (dalam bahasa Indonesia, berarti dokter hewan) mulai digunakan pada 1646 dan ini berarti 115 tahun sebelum pendidikan kedokteran hewan formal pertama dimulai. [9]
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) yang pertama di dunia didirikan di kota Lyon, Perancis pada 1761, diikuti dengan berdirinya Sekolah Kedokteran Hewan Alfort, dekat Paris, pada 1764. Keduanya dirintis oleh seorang berkebangsaan Perancis bernama Claude Bourgelat yang berhasil membujuk Raja Perancis Louis XV tentang diperlukannya pendidikan keahlian untuk mengobati penyakit hewan. Ini berarti tahun 2011 menandai peringatan 250 tahun didirikannya pendidikan kedokteran hewan pertama di dunia. [9, 13]
Dengan mendirikan lembaga pendidikan kedokteran hewan pertama tersebut, Bourgelat sekaligus menciptakan profesi dokter hewan itu sendiri. Jadi, tahun 2011 adalah juga menandai peringatan 250 tahun profesi kedokteran hewan di dunia.
Bourgelat adalah juga ilmuwan yang pertama kali berani menyarankan bahwa dengan mempelajari biologi dan patologi hewan dapat membantu pemahaman tentang biologi dan patologi manusia. Dengan demikian tahun 2011 adalah juga peringatan 250 tahun konsep biopatologi perbandingan (comparative biopathology), dimana tanpa konsep ini ilmu kedokteran moderen tidak akan pernah muncul. [9]
Untuk memperingati 250 tahun profesi kedokteran hewan bekerja melayani dunia dalam memperbaiki kesehatan hewan dan manusia, maka diprakarsailah apa yang disebut: “World Veterinary Year” atau Vet2011. Prakarsa ini dilakukan oleh World Organization for Animal Health (Office International des Epizooties/OIE) bersama-sama dengan organisasi-organisasi veteriner di Perancis dan didukung oleh World Veterinary Association (WVA), European Commission (Directorate General for Health and Consumer Policy/DG Sanco), United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), World Health Organization (WHO), dan Food and Agriculture Organization (FAO).
Slogan yang diadopsi untuk Vet2011 adalah: “Vet for health, Vet for food, Vet fot the planet!”. Ini merupakan satu moto yang mengingatkan dunia tentang semua peran penting yang dimainkan oleh dokter hewan dalam melindungi kesehatan manusia dan hewan, meningkatkan ketahanan pangan dan memproteksi lingkungan. [9, 12]
Bersama-sama dengan organisasi-organisasi pemrakarsa, diharapkan seluruh dunia merayakan World Veterinary Year Vet2011, bukan hanya untuk memperingati 250 tahun kelahiran pendidikan kedokteran hewan pertama di dunia, akan tetapi juga untuk menghormati dan merayakan profesi kedokteran hewan – suatu profesi yang sudah memberikan dedikasinya selama dua setengah abad dalam melindungi dan mengawal kesehatan hewan, manusia dan ekosistem. [9]
Sejarah kedokteran hewan di Indonesia sebenarnya dimulai sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dimulai dengan kedatangan seorang dokter hewan tentara Belanda pertama dari Kavaleri Berkuda pada 1814 ke Hindia Belanda. Jumlahnya meningkat menjadi 5 dokter hewan tentara Belanda pada 1851, dan setelah itu berdirilah Jawatan Kesehatan Hewan (Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst/BDV) pada 1853. [15]
Pada 1860, pemerintah Hindia Belanda membuka sekolah kedokteran hewan kecil di Surabaya dengan tujuan membantu pekerjaan dokter hewan pemerintah pada waktu itu. Sekolah ini ditutup pada 1875 setelah baru meluluskan 8 orang dokter hewan bumiputra (Indische veeartsen), karena hasilnya dianggap kurang memuaskan. [15, 16]
Indonesia memperingati momentum 100 tahun kedokteran hewan pada 2010 lalu. Titik tolak perjalanan sejarah kedokteran hewan didasarkan pada kelulusan pertama dokter hewan berkebangsaan Indonesia di tahun 1910. Dokter hewan pertama tersebut yaitu Drh. Johannes Alexander Kaligis, lulusan dari sekolah kedokteran hewan pertama (Nederlandsch Indische Veeartenijkundige School/NIVS) pada zaman Hindia Belanda di Bogor. NIVS berdiri sejak 1904 didorong oleh kebutuhan akan dokter hewan pemerintah untuk menangani penyakit-penyakit hewan yang berjangkit terutama di Pulau Jawa, seperti rinderpest, surra, penyakit mulut dan kuku (PMK), antraks dan rabies. [14, 15]
Peringatan 100 tahun kedokteran hewan Indonesia ini dilakukan pada tanggal 9 Januari 2010 di Jakarta ditandai dengan peluncuran buku ”Sejarah, Kiprah dan Tantangan - 100 tahun Dokter Hewan Indonesia”. Tanggal ini dipilih bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-57 dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). [14]
Kesehatan global
Kesehatan global didefinisikan sebagai kesehatan populasi dalam konteks global dan melampaui perspektif dan kepedulian suatu individu bangsa. Kesehatan global seringkali ditekankan kepada masalah-masalah yang seringkali melampaui batas-batas nasional atau memiliki dampak politik dan ekonomi global. [6]
Banyak peristiwa kunci dalam rentang waktu perkembangan kesehatan global moderen terjadi di tahun 1940-an, dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations), World Health Organization (WHO) dan kelompok Bank Dunia (World Bank Group). Pada tahun 1948, negara-negara anggota yang baru bergabung dalam PBB tersebut berkumpul bersama membentuk apa yang dikenal sekarang sebagai WHO. Pembentukan WHO dipicu oleh suatu epidemi kolera yang merenggut nyawa 20 ribu orang di Mesir pada 1947 dan kemudian mendorong komunitas internasional untuk memobilisasi aksi bantuan penanggulangan. [6]
Tantangan kesehatan global di abad ke-21 bukan hanya menyebarnya penyakit menular baru muncul dan penyakit lama yang muncul kembali (emerging and re-emerging infectious diseases), akan tetapi juga lonjakan pertumbuhan populasi dunia, pemanasan global (global warming), kehilangan biodiversitas, gangguan kesehatan ekosistem, dan ancaman kekeringan. Pertanyaannya adalah bagaimana dokter hewan terlibat didalamnya? [11]
Sejumlah faktor menjadi kekuatan penggerak yang mempengaruhi kesehatan global. Faktor paling utama adalah lonjakan jumlah populasi penduduk dunia, dibarengi dengan pertumbuhan urbanisasi. Selain itu, manusia menjadi semakin berbagi habitat dengan satwa liar dan ternak, begitu juga kedekatan dengan hewan-hewan kesayangan (companion animals) menjadi semakin intens. [6]
Jumlah populasi dunia diperkirakan akan meningkat dari sekitar 6,5 milyar penduduk pada 2008 menjadi sekitar 9,2 milyar pada 2050, dengan kurang lebih 1 milyar kenaikan terjadi di Afrika. Pertumbuhan populasi dalam skala seperti ini secara umum menciptakan tantangan besar bagi produksi pangan, dengan kenaikan permintaan pangan sebesar 50% lebih tinggi pada 2030. Khusus untuk pangan asal ternak terutama produk daging dan susu, kenaikan permintaan terutama terjadi di negara-negara berkembang seiring dengan pertumbuhan urbanisasi. [10]
Pertumbuhan urbanisasi yang cepat terjadi di Afrika dan Asia. Pada 2008, lebih dari separuh penduduk dunia atau kurang lebih 3,3 milyar penduduk tinggal di wilayah urban, dan pada 2030 angka ini diperkirakan akan meningkat sekitar 5 milyar. [10] Urbanisasi adalah mesin globalisasi yang memiliki konsekuensi tinggi terhadap perubahan struktur masyarakat dan pertanian di abad ke-21 ini. [11]
Begitu juga populasi sapi dunia diperkirakan saat ini berjumlah 1,3 milyar ekor, dengan 30% di Asia, 20% di Amerika selatan, 15% di Afrika, 14% di Amerika utara/tengah, dan 10% di Eropa. Sedangkan perkiraan angka populasi dunia untuk ternak kecil cukup bervariasi dari satu sumber ke sumber lainnya, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah babi sekitar 1 milyar ekor, ternak ruminansia kecil 2 milyar ekor, dan lebih dari 50 milyar ekor unggas dipelihara setiap tahunnya untuk produksi pangan dunia. [10]
Dengan demikian produksi pangan dunia di abad ke-21 akan menjadi sangat penting. Perkotaan membutuhkan kelangsungan suplai pangan yang aman dan teratur dengan kualitas baik. Dalam 40 tahun ke depan, untuk mencukupi kebutuhan penduduk dunia diperlukan kenaikan produksi pangan sebesar 100%. FAO memperkirakan 20% kenaikan produksi pangan tersebut diperoleh dari perluasan tanah pertanian, 10% dari peningkatan intensifikasi pertanian, dan 70% dari pemanfaatan teknologi baru dan yang tersedia sekarang. Dalam konteks ini, inovasi teknologi adalah faktor penting dan peningkatan efisiensi produksi menjadi sangat kritis.
Untuk mencukupi pangan bagi sekitar 9 milyar penduduk dunia di 2050 nanti, tentunya siapapun tidak akan bisa membayangkan seperti apa kerusakan lingkungan yang akan terjadi. Dalam hal ini, efisiensi produksi ternak adalah kunci untuk mengkonservasi lingkungan dan profesi kedokteran hewan mempunyai peran esensial dalam hal ini. [11]
Populasi urban mengkonsumsi dua sampai tiga kali lebih banyak protein hewani daripada populasi pedesaan. Permintaan dipicu oleh pertumbuhan kelompok kelas menengah urban yang menikmati kemudahan-kemudahan dengan tersedianya fasilitas moderen, seperti refrigerator, supermarket, outlet cepat saji (fast food outlet), outlet es krim dan lain sebagainya. Semua kemudahan ini mendorong peningkatan permasalahan penyakit populasi kelas menengah urban yang terkait dengan kegemukan (obesitas) dan diabetes. [11]
Perubahan skala dan lokasi populasi manusia serta permintaan akan pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, akan menggiring kebutuhan sains untuk diaplikasikan secara sistematis di keseluruhan mata rantai pangan. Dalam konteks ini, inovasi ilmiah diperlukan untuk memungkinkan sektor produksi pangan mampu beradaptasi terhadap perubahan kondisi temperatur, nutrisi dan air, serta pendedahan terhadap agen patogen yang membahayakan. Profesi kedokteran hewan mempunyai peran esensial dalam pengendalian terhadap agen patogen sepanjang rantai pangan asal hewan. Peran ini akan tetap menjadi komponen sangat penting dalam efisiensi produksi pangan dan lebih jauh lagi terkait dengan agenda ketahanan pangan (food security). [10]
Globalisasi perdagangan dan pangan, meningkatnya pergerakan internasional dan perjalanan orang dan hewan, perubahan iklim, dan meningkatnya akses informasi, kesemuanya semakin membuat dunia dimana kita hidup berubah menjadi suatu tempat yang kecil. Hal yang berdampak pada kesehatan manusia di suatu tempat, dapat berdampak kepada semua tempat. Sebaliknya perlindungan kesehatan manusia di suatu tempat dimana kita tinggal, bisa berarti juga meningkatkan kesehatan global secara menyeluruh. [4]
Pada dasarnya kesehatan global didominasi oleh profesi kedokteran dan ahli kesehatan masyarakat, meskipun dimensi profesinya dapat dikatakan agak sempit. Untuk mendorong agar profesi kedokteran hewan dapat berpartisipasi penuh, maka definisi kesehatan global yang dipahami saat ini harus dibuat lebih luas. Oleh karena dokter hewan mendapat pendidikan dengan dimensi yang cukup luas, maka seharusnyalah profesi kedokteran hewan ke depan memimpin prakarsa "One World One Health" (OWOH) untuk berperan secara signifikan dan berkontribusi maksimal dalam kesehatan global. [11]
Profesi kedokteran hewan
Pengertian ’dokter hewan’ adalah seorang yang memiliki kualifikasi dan otorisasi dalam melakukan praktek kedokteran hewan. Dahulu definisi klasik kedokteran hewan dikaitkan hanya dengan sains dan seni mengenai pencegahan, pengobatan atau pengurangan penyakit atau cedera pada hewan (terutama hewan domestik). [7]
Saat ini definisi tersebut nampaknya tidak pas lagi mengingat profesi kedokteran hewan kontemporer tidak hanya terbatas pada pengobatan penyakit dan cedera. Pada kenyataannya, selama bertahun-tahun profesi kedokteran hewan telah memainkan peranan yang signifikan dalam menunjang kesehatan dan kesejahteraan hewan dan manusia, mutu pangan, keamanan pangan dan ketahanan pangan, ekologi, etologi, epidemiologi, fisiologi dan psikologi, pengembangan obat dan farmasetikal, penelitian biomedik, sebagai pendidik dan pelatih, dalam konservasi satwa liar, serta perlindungan lingkungan dan biodiversitas. [7]
Sejumlah peristiwa di abad ke-21 ini mempertinggi kesadaran masyarakat akan zoonosis, peran hewan di masyarakat, dan bagaimana keunikan keahlian dokter hewan di bidang-bidang seperti kesehatan populasi dan kedokteran perbandingan (comparative medicine) bisa digunakan untuk membantu menanggulangi masalah-masalah kesehatan masyarakat. [8]
Dalam jangkauan ilmu kedokteran hewan, kesehatan masyarakat secara tradisionil dipandang sebagai keahlian dokter hewan dalam melakukan penyidikan, pencegahan, dan pengendalian zoonosis, seperti rabies, psittacosis, atau brucellosis dan banyak lagi. Namun demikian, realitasnya dokter hewan juga memiliki keahlian untuk menangani berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dalam perspektif luas, meliputi penyakit baru muncul (emerging diseases), kesiagaan darurat bencana (disaster preparedness), kesehatan kerja (occupational health), bioterorisme, dan kesehatan lingkungan (environmental health). [8]
Pada hakekatnya sumpah dokter hewan menekankan bahwa kepentingan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat adalah fungsi primer dari praktek kedokteran hewan dalam semua aspek – apapun jenis pekerjaan atau spesialitasnya. [8] Kedokteran hewan adalah aktivitas kesehatan manusia. Dalam semua aspek profesi yang dikerjakan oleh dokter hewan, selalu ada peluang, kesempatan dan tanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia dalam setiap keputusan dan aksi yang diambilnya. Dokter hewan dalam pekerjaannya – wajib dan harus aktif, teliti dan rutin (sesuai standar perawatan dan praktek) mengambil langkah sesuai porsinya untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia. [4]
Tanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang diemban profesi kedokteran hewan, meliputi perlindungan ketahanan dan keamanan pangan; perlindungan melawan resistensi antibiotika; pencegahan dan pengendalian penyakit menular baru muncul yang sifatnya zoonosis; perlindungan kesehatan lingkungan dan ekosistem; berpartisipasi dalam kesiapsiagaan dan respon terhadap bio- dan agro-terorisme; menggunakan ketrampilannya dalam membantu menghadapi penyakit-penyakit menular yang non-zoonosis (seperti Malaria, HIV/AIDS), memperkuat infrastruktur kesehatan masyarakat; serta memajukan sains medik melalui penelitian/riset. [3, 4]
Dokter hewan menggunakan ketrampilannya memperbaiki kesehatan masyarakat global dengan bekerja di garis depan dalam menyediakan pelayanan praktek bagi ternak produksi, satwa liar maupun hewan kesayangan; bersama-sama dengan dokter hewan yang bekerja di pemerintah lokal/kabupaten, provinsi/negara bagian, dan nasional (di Kementerian Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, Kehutanan/Sumberdaya Alam, Pertahanan, dan Kepolisian); dan bersama-sama dokter hewan yang bekerja di organisasi PBB seperti FAO, OIE dan WHO. [3]
Disamping itu dokter hewan membuat kontribusi penting bagi kesehatan masyarakat global melalui posisinya sebagai akademia, meliputi fakultas kedokteran hewan, fakultas kedokteran, dan fakultas kesehatan masyarakat; bersama-sama dengan dokter hewan yang bekerja di industri dan korporasi termasuk farmasetikal – baik di divisi pertanian maupun kesehatan; dokter hewan yang bekerja di organisasi non-pemerintah/LSM dan yayasan baik yang menangani kesehatan hewan dan manusia, pertanian maupun satwa liar; dan dokter hewan yang bekerja di organisasi pembangunan, bank nasional dan multilateral. [3]
Sudah barang tentu suatu negara memerlukan jumlah dokter hewan yang memadai untuk menjalankan semua yang disampaikan diatas. Diperlukan lebih banyak dokter hewan untuk menangani bidang-bidang terkait dengan kesehatan masyarakat global di semua negara. Sebagai salah satu disiplin profesional, jumlah dokter hewan pada umumnya lebih kecil dari disiplin lainnya (seperti jumlah dokter). [3] Di Indonesia, jumlah dokter hewan juga tidak sebanding dengan jumlah sarjana pertanian atau sarjana peternakan.
Meskipun statistik dokter hewan mungkin saja tidak selalu tersedia secara mutakhir terutama di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia), akan tetapi contohnya seperti di Amerika Serikat, jumlah dokter mencapai sekitar 750 ribu, sedangkan jumlah dokter hewan hanya 162 ribu atau kurang lebih hanya seperempat dari jumlah dokter. [3, 18] Di Indonesia, jumlah dokter sekitar 72 ribu (dokter umum maupun spesialis) [19], sedangkan jumlah dokter hewan sekitar 10 ribuan atau kurang lebih hanya 14% dari jumlah dokter. [18]
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Professor Dr Drh Bambang Sumiarto SU, MSc pernah mengeluarkan pernyataan kepada media pers pada 2009 lalu, bahwa Indonesia masih membutuhkan 9 ribu tenaga dokter hewan dari 20 ribu yang dibutuhkan hingga tahun 2020. [17]
Tabel 1: Jumlah dokter hewan di negara anggota ASEAN dan rasio dokter hewan pemerintah:swasta
Catatan: TAD = Tidak ada data
Sumber: OIE website (http://www.oie.int/)
Tabel 1 menunjukkan urutan/ranking jumlah dokter hewan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Indonesia menempati ranking tertinggi, diikuti berturut-turut dengan Thailand, Vietnam, dan Filippina. Rasio dokter hewan pemerintah:swasta tertinggi di Thailand, diikuti dengan Malaysia, Singapura dan Filippina.
Dari sumber berbagai surat kabar di internet, dapat dikumpulkan informasi mengenai provinsi/kabupaten di Indonesia yang menyatakan bahwa daerahnya kekurangan dokter hewan, seperti Provinsi Jawa Barat, Banten, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Sedangkan kabupaten/kota yang menyatakan daerahnya kekurangan dokter hewan, seperti Kabupaten Bandung, Indramayu, Kota Cilegon, Malang, Lampung Selatan, Pangkal Pinang, Nias, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Solok Selatan, Murung Raya, Barito Timur, Mamuju Utara, Mamasa, Luwu Utara, Sumbawa, Bima, Sabu Raijua, Nagekeo, Kota Ambon dan Biak.
Penutup
Dari uraian diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa membayangkan dunia tanpa kedokteran hewan tentunya akan berbeda drastis dengan dunia dimana kita hidup sekarang. [1] Selain peran yang dikenal dengan baik oleh masyarakat sebagai dokter yang mengobati hewan-hewan, profesi kedokteran hewan juga telah membuktikan kemampuannya untuk merancang program-program pencegahan dan pengendalian penyakit menular, termasuk yang dapat ditularkan ke manusia melalui kontak atau makanan. Kontribusi profesi kedokteran hewan bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia saat ini diakui secara universal sangat vital. Pada dasarnya peringatan 250 tahun profesi kedokteran hewan menandakan juga kelahiran konsep ”One Health”.
Sekarang ini pengakuan mengenai kontribusi profesi kedokteran hewan bukan hanya sekedar melakukan perbaikan produksi ternak melalui pengendalian penyakit, tetapi juga dalam membantu memenuhi lonjakan permintaan dunia terhadap protein hewani atau protein kelas satu, terutama di negara-negara berkembang. Lewat cara ini, profesi kedokteran hewan memungkinkan ratusan juta produsen ternak miskin dunia untuk mengamankan modalnya, hewannya dan juga membantu mempromosikan akses produk ternaknya ke pasar yang lebih menguntungkan dengan mengamankan perdagangan hewan dan produk hewan. [19]
Begitu juga tidak perlu dibuktikan lagi keuntungan sosial yang bisa diperoleh dari peran esensial profesi kedokteran hewan dalam menjaga kesehatan hewan kesayangan atau dalam bertindak sebagai ”dokter” dari sahabat manusia ini.
Sayangnya profesi kedokteran hewan tidak selalu berhasil untuk menyampaikan pesan kepada dunia bahwa kegiatan yang dilakukannya merepresentasikan suatu "Global Public Good" yang nyata. OIE mengharapkan bahwa peringatan 250 tahun profesi kedokteran hewan di tahun 2011 ini memberikan kesempatan yang unik untuk menyampaikan pesan tersebut. [19]
Referensi:
[1] http://www.ifahsec.org/animal-health/a-world-without/
[2] http://pbpdhi.wordpress.com/2007/08/
[3] Pappaioanou M. (2003). Agenda for Action: Veterinarians in Global Public Health. JVME 30(2): 105- 109.
[4] Pappaioanou M. (2004). Veterinary Medicine protecting and promoting the public’s health and well-being. Preventive Veterinary Medicine, 62: 153-163. doi:10.1016/j.prevetmed.2003.11.001
[5] Sherman D.M. (2005). Featured Article: Tending Animals in the Global Village. JVME 32(2): 156-162.
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Global_health
[7] http://www.fao.org/ag/againfo/home/en/news_archive/2010_Vet2011_FAO.html
[8] Trevejo R.T. (2009). Public-Health for the Twenty-First Century: What Role Do Veterinarians in Clinical Practice Play? Vet Clin Small Anim 39: 215-224. doi:10.1016/j.cvsm.2008.10.008
[9] http://www.vet2011.org/
[10] Tomley F.M., and Shirley M.W. (2009). Livestock infectious diseases and zoonoses. Phil. Trans. R. Soc. B. 364: 2637-2642. doi:10.1098/rstb.2009.0133
[11] Kelly A.M., Galligan D., and Ferguson D. (Presentation). Veterinary medicine Global Health. School of Veterinary Medicine, University of Pennsylvania, U.S.A. http://www.aavmc.org/data/files/navmec/1/dr.alankelly-veterinarymedicineglobalhealth.pdf
[12] http://www.fao.org/news/story/en/item/49931/icode/
[13] http://www.oie.int/for-the-media/editorials/detail/article/2011-a-landmark-year-for-the-veterinary-profession-around-the-world/
[14] http://www.majalahinfovet.com/2010/memaknai-satu-abad-dokter-hewan.html
[15] Brown K., and Gilfoyle D. (eds.) (2009). Healing the Herds: Disease, Livestock Economies, and the Globalization of Veterinary Medicine. Ohio University Press. 288 pages. ISBN-10: 0821418858 ISBN-13: 978-0821418857
[16] Frickers J., Haasjes C.H., and Hoskins H.P. (?) On Veterinary Science and Practice in the Netherlands Indies. http://www.knaw.nl/Content/Internet_KNAW/Internationaal/indonesia/OUD/Honig_Verdoorn/Honig15.pdf
[17] http://www.oie.int/
[18] http://kesehatan.kompas.com/read/2009/08/14/20282527/indonesia.kurang.dokter.spesialis
[19] http://www.oie.int/for-the-media/editorials/detail/article/2011-a-landmark-year-for-the-veterinary-profession-around-the-world/
*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations, Vientiane, Laos
2 Komentar:
muhtadinwahyu@ymail.com saya berterima kasih dengan postingannya dok, sangat bermanfaat untuk pengetahuan di bidang saya sebagai mahasiswa kedokteran hewan.
@Muhtadin Wahyu Terima kasih kembali calon sejawat Muhtadin Wahyu. Harapan saya dan tentunya kita semua, profesi dokter hewan menjadi pengabdi masyarakat, bangsa dan negara di bidangnya.
Posting Komentar