Kamis, 03 Oktober 2019

Munculnya African swine fever di Asia

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Saat ini negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara sedang berperang untuk menghentikan penyebaran penyakit African swine fever (ASF) yang sangat menular, yang dikenal juga sebagai penyakit “Ebola babi”. Penyakit ini telah menyebabkan dimusnahkannya jutaan ekor babi di China dan Vietnam.

https://www.iol.co.zaPhoto: AP
Penyakit ASF ini tidak berbahaya bagi manusia, tetapi fatal bagi babi. Sejak kemunculannya di China pada bulan Agustus 2018, ASF telah terdeteksi sampai saat ini di Mongolia, Vietnam, Kamboja, Hongkong, Korea Utara, Laos, Myanmar, Filipina, Korea Selatan dan Timor Leste.

Mayoritas negara-negara Asia yang terjangkit ASF mengonsumsi daging babi sebagai sumber daging primer dibandingkan dengan seluruh produk-produk daging lainnya (Sur J.-H., 2019). Tingkat konsumsi daging babi dunia rata-rata adalah 12,3 kg per kapita. Tingkat konsumsi daging babi di China, Korea Selatan dan Vietnam sangat tinggi berturut-turut 30,4 kg, 30,1 kg, 29,7 kg per kapita. Tingkat konsumsi daging di Filipina lebih rendah yaitu 14,9 kg per kapita (OECD, 2019).

ASF telah menyebabkan malapetaka dan mengancam kelangsungan industri babi di China. China merupakan negara yang memiliki hampir setengah populasi dunia dan industri babi terbesar di dunia. Berita tentang ASF yang tersebar ke seluruh dunia menyebabkan melonjaknya harga daging babi global.

Penyebaran di Asia

Penyakit ASF masuk ke dalam daftar penyakit OIE (OIE listed diseases), sehingga penyakit ini wajib dilaporkan (notifiable disease) ke Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE).

Berdasarkan kejadian ASF pertama kali di negara-negara Asia yang dilaporkan ke OIE berturut-turut adalah Mongolia (Januari 2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (22 Maret 2019), Hongkong (Mei 2019), Korea Utara (Mei 2019), Laos (Juni 2019), Filipina (Juli 2019), Myanmar (Agustus 2019), Timor Leste (September 2019), dan Korea Selatan (September 2019) (lihat Tabel 1).

Tabel 1: Pelaporan kejadian ASF pertama kali ke OIE (September 2018 – September 2019)

Dari data pelaporan OIE ini, dapat dilihat hampir semua negara melaporkan secara cepat berkisar antara 6-19 hari setelah wabah dimulai. Korea Selatan melaporkannya sangat cepat yaitu dalam 1 hari sesudah wabah terjadi, akan tetapi satu-satunya yang agak lambat adalah Filipina yaitu 46 hari.

Sejak pertama kali wabah ASF dilaporkan terjadi di Provinsi Liaoning pada bulan Agustus 2018, sebanyak 32 dari 33 provinsi di China telah dinyatakan terjangkit ASF. Sampai September 2019, jumlah wabah yang terdeteksi seluruhnya 158 dan sekitar 1.170.000 ekor babi telah dimusnahkan dalam upaya untuk menghentikan penyebarannya (FAO, 2019).

Sampai saat ini Mongolia mengalami 11 kali wabah sejak Januari 2019 di 6 provinsi dan Kota Ulaanbaatar, melibatkan 105 peternakan/rumah tangga. Lebih dari 3.115 ekor babi, yang merupakan lebih dari 10% total populasi babi di Mongolia telah mati atau dimusnahkan sebagai akibat wabah ASF (FAO, 2019).

Wabah ASF pertama di Vietnam ditemukan di 8 peternakan babi rakyat di 3 lokasi di Provinsi Hung Yen dan Thai Binh, sebelah tenggara dari ibukota Hanoi pada bulan Februari 2019. Sampai saat ini, terdeteksi 6.083 wabah ASF di seluruh 63 provinsi/kota dan lebih dari 5.000.000 ekor babi telah dimusnahkan (FAO, 2019).

Sejak pertama kali terdeteksi wabah ASF di Provinsi Ratanakiri, Kamboja pada bulan April 2019, saat ini wabah ASF telah terdeteksi di 5 provinsi (FAO, 2019).

Wabah pertama di Korea Utara terjadi di Provinsi Chagang-Do pada bulan Mei 2019 (FAO, 2019).

Sejak pertama kali dideteksi wabah ASF pertama di Provinsi Salavan pada bulan Juni 2019, jumlah wabah ASF saat ini sudah mencapai 94 yang dilaporkan terjadi di 15 dari 18 provinsi/kota di Laos. Lebih dari 25.000 ekor babi mati atau dimusnahkan akibat ASF (FAO, 2019).

Wabah ASF pertama di Filipina dilaporkan pada bulan Juli 2019 dan sampai saat ini telah terjadi 11 wabah di 4 provinsi/kota di Pulau Luzon. Sekitar 15.000 ekor babi telah dimunsnahkan (FAO, 2019).

Wabah ASF pertama di Myanmar dikonfirmasi pada bulan Agustus 2019. Sampai saat ini total 3 kali wabah dilaporkan terjadi di Negara Bagian Shan (FAO, 2019).

Wabah ASF pertama di Timor Leste terjadi di suatu peternakan babi skala kecil di Kota Dili pada bulan September 2019 dan sejak itu 405 ekor babi telah mati.

Wabah ASF pertama di Korea Selatan dilaporkan pada bulan September 2019, sampai saat ini telah terjadi 7 kali wabah yang terjadi di Kota Gyeonggi-Do dan Incheon. Juga terjadi 3 kali diduga wabah ASF di Yangju-Si and Yeoncheon-Gun di Kota Gyeonggi-Do dan Incheon. Lebih dari 10.000 ekor babi mati atau dimusnahkan akibat ASF.

Epidemiologi penyakit

Epidemiologi ASF bervariasi tergantung kepada 2 (dua) tipe siklus penularan di antara populasi babi, yang dapat di dijelaskan sebagai siklus babi domestik dan siklus babi liar silvatik. Namun demikian, suatu siklus tambahan dapat dimasukkan juga yaitu siklus lingkungan, dimana termasuk didalamnya isu babi butan dan persistensi virus di lingkungan seperti yang diamati di wilayah Baltik dan Eropa Tengah (GARA, 2018).

Penyakit terjadi dalam beberapa bentuk, mulai dari akut mematikan hingga penyakit klinis kronis. Dengan demikian, diagnosa klinis hampir tidak mungkin dilakukan dan harus dilengkapi dengan alat laboratorium yang handal (GARA, 2018).

Gejala yang paling umum dari virus ASF dalam bentuk akut adalah temperatur yang tinggi dan hilangnya nafsu makan. Gejala lain termasuk muntah, diare, serta kesulitan bernafas dan berdiri. Tidak ada pengobatan untuk penyakit ini, sejumlah versi menyebutkan angka kematian dapat mencapai 100% dalam kondisi tertentu. ASF tidak sama dengan flu babi (swine flu).

Selain menyebar secara cepat, virus ASF secara persisten menginfeksi induk semang alamiahnya tanpa memperlihatkan gejala klinis, seperti babi celeng raksasa atau babi hutan. Penyakit juga dapat ditularkan oleh caplak lunak yang bertindak sebagai vektor.

Virus ASF adalah kompleks seperti halnya siklus epidemiologinya, memiliki lebih dari satu induk semang peka yaitu babi dan babi liar seperti yang terjadi di Eropa. Situasi di Afrika lebih kompleks lagi, karena adanya dua reservoir alamiah yaitu caplak Ornithodoros dan warthog.

Virus bertahan dalam feses selama beberapa hari dan kemungkinan lebih lama dalam urin babi. Virus dapat bertahan selama beberapa minggu pada setiap apapun mulai dari pakaian sampai kendaraan, memungkinkan virus dengan mudah menempuh perjalanan jarak jauh.

Ekspresi awal ASF pada babi bervariasi dan tak terduga karena banyaknya faktor induk semang dan keragaman yang luas dari virulensi di antara isolat-isolat virus ASF. Mekanisme viral yang terlibat dalam induksi penyakit, tropisme jaringan, kisaran induk semang (host range), dan induksi respon kekebalan masih belum dipahami dengan baik (GARA, 2018).

Depopulasi

Tidak ada vaksin untuk penyakit ASF. Virus ASF menyebabkan babi mengalami perdarahan internal sampai mati. Jadi satu-satunya opsi untuk menghentikan penyakit adalah dengan membunuh setiap ekor babi yang terinfeksi.

Kematian babi pasti akan terjadi. Babi mati dalam kurun waktu 2-10 hari sampai setelah mengalami penderitaan. Hal yang memaksa para peternak babi untuk memusnahkan jutaan ekor babi dan menyebabkan harga daging babi melonjak drastis.

Jutaan babi telah dimusnahkan dalam suatu upaya putus asa yang dilakukan untuk menghentikan penyakit ini, dan menurut angka terbaru yang dikeluarkan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) adalah sebagai berikut: 1,2 juta ekor di China, 4,5 juta ekor di Vietnam, 25.000 ekor di Laos, 7.000 ekor di Filipina, 3.115 ekor di Mongolia, dan 2.400 ekor di Kamboja.

Depopulasi adalah tindakan balasan utama yang dilakukan untuk mengurangi pengeluaran virus (virus shedding) dan menghentikan penyebaran virus ASF. Tindakan pengendalian minimum akan mencakup depopulasi kelompok hewan yang terinfeksi, surveilans dan pembatasan lalu lintas yang kontak dengan kelompok hewan yang terinfeksi. Depopulasi kelompok hewan yang kontak dan yang bertetangga dapat juga dapat dilakukan.

Meskipun demikian, tindakan pengendalian akan menghasilkan implikasi keuangan yang signifikan dan pemusnahan ribuan hewan juga secara etis dapat diperdebatkan. Efektivitas dari pemusnahan menyeluruh (stamping out) pada keadaan tidak ada skema kompensasi yang adil dan tepat waktu adalah sangat meragukan.

Dengan tidak adanya kompensasi, tidak ada insentif untuk pemilik babi untuk melapor, malah mereka akan menjual atau menyembelih babi mereka yang akan menyebarkan penyakit lebih lanjut. Ada suatu kebutuhan untuk mencari alternatif ‘stamping out’ yang lebih berkelanjutan dan efektif untuk negara-negara yang tidak punya kemampuan untuk kompensasi (GARA, 2018).

Sejumlah pihak memperkirakan bahwa China pada akhirnya akan menyembelih sampai 200 juta ekor babi. Menurut FAO, hampir 5 juta ekor babi telah mati atau dimusnahkan karena ASF, atau lebih dari 10% total populasi babi masing-masing negara di China, Vietnam dan Mongolia. Sebagai akibatnya, China mengalami kehilangan produksi daging babi sebesar 30% dan jumlah ini hampir mendekati 30% dari produksi daging babi Amerika Serikat (AS) dan ekuivalen dengan suplai tahunan daging babi di negara-negara Eropa.

Perkembangan epidemi ASF ke depan

Jika kita melacak kembali perkembangan epidemi ini, maka dapat diamati bahwa penyakit telah menyebar melalui benua Afrika, kemudian ke benua Eropa, dan akhirnya melalui China ke Asia Tenggara, pada tingkat yang mengkhawatirkan (Sur J.-H., 2019). Melihat bagaimana agresifnya epidemi ini, maka diprediksi ASF akan terus menyebar luas di Asia Tenggara, dan ini berarti Malaysia, begitu juga Indonesia tidak lagi dapat dianggap sebagai suatu zona aman ASF.

Meskipun ASF telah terjadi di banyak negara, termasuk Rusia dan Eropa, tetapi wabah yang terjadi di Asia jauh lebih kritis karena 60% dari populasi babi dunia terkonsentrasi di wilayah ini dan efek sosio-ekonomi dari penyakit babi ini akan jauh lebih besar dibandingkan dengan di wilayah lainnya. Oleh karenanya, untuk mencegah kerugian ekonomi yang besar, sangat direkomendasikan bahwa tindakan-tindakan pencegahan dan pengendalian dikembangkan dan diimplementasikan melalui kolaborasi internasional (Le V. P., 2019).

Dari pembelajaran tentang epidemiologi ASF di Afrika dan Eropa, ada bukti yang mendukung bahwa kontak langsung dengan babi domestik dan babi hutan yang terinfeksi, dan mengomsumsi pakan yang terkontaminasi, merupakan rute penularan utama virus ASF. Meskipun demikian ada kesenjangan pengetahuan yang signifikan yang menekankan pentingnya untuk melakukan penelitian terhadap sejumlah hal dibawah ini:
- dinamika penularan tidak langsung melalui lingkungan;
- dosis infektif minimal untuk mengonsumsi pakan yang terkontaminasi:
- probabilitas kontak yang efektif antara babi hutan liar yang terinfeksi dengan babi domestik;
- potensi hewan yang sembuh dari ASF untuk menjadi ‘pembawa penyakit’ (carrier) dan reservoir untuk penularan;
- potensi persistensi virus di antara populasi babi hutan liar; dan
- perilaku manusia untuk penyebaran virus ASF.
Ini akan memberikan dasar ilmiah yang lebih baik untuk mengoptimalkan intervensi yang dilakukan saat ini dan mengembangkan alat dan strategi baru untuk mengurangi risiko penularan virus ASF ke babi domestik (Guinat C. et al., 2016).

Referensi:

FAO [Food and Agriculture Organization], 2019. ASF situation in Asia update. 3 October 2019.

GARA [Global African Swine Fever Research Alliance], 2018. Gap Analysis Report. November 2018.

Guinat C., Gogin A., Blome S., Keil G., Pollin R., Pfeiffer D.U., Tierarzt, and Dixon L., 2016. Transmission routes of African swine fever virus to domestic pigs: current knowledge and future research directions. Veterinary Record (2016) 178, 262-267 doi: 10.1136/vr.103593.

Le V. P., Jeong D. G, Yoon S.-W., Kwon H.-M., Trinh T. B. N., Nguyen T. L., Bui T. T. N., Oh J., Kim J. B., Cheong K. M., Tuyen N. V., Bae E., Vu T. T. H., Yeom M., Na W., and Song D., 2019. Outbreak of African Swine Fever, Vietnam, 2019. Emerg Infect Dis. (2019); 25(7): 1433-1435.

Sur J.-H., 2019. How far can African swine fever spread? J Vet Sci. 2019 Jul;20(4):e41.

0 Komentar: