Sabtu, 09 Juli 2016

Revolusi antibiotik pada ternak

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos 

Sumber: http://www.meatfreemondays.com/
world-must-act-on-antibiotics-in-meat-says-report/
Seringkali kita sebagai konsumen tidak terlalu peduli dengan daging sapi atau daging ayam waktu di meja makan. Seberapa amankah daging yang kita makan? Seberapa besar kemungkinan bakteri resisten ada dalam daging?

Produsen ternak di seluruh dunia termasuk di Indonesia hampir tidak bisa lepas dari penggunaan antibiotik untuk ternaknya. Bukan hanya untuk pengobatan atau pencegahan penyakit saja, tapi juga sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoters) yang dicampur dalam pakan ternak. Praktek yang sudah berlangsung cukup lama ini akhirnya menimbulkan kontroversi kesehatan di seluruh dunia.

Apabila suatu kelompok ternak diberikan antibiotik tertentu untuk jangka waktu lama, bakteri yang hidup dalam tubuh ternak akan menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut. Kemudian menjadi masalah bagi manusia, apabila seseorang menelan bakteri resisten tersebut lewat daging yang tidak dimasak sempurna dan jatuh sakit, dan tubuhnya tidak lagi merespon pengobatan antibiotik.

Isu global

Para ahli di seluruh dunia telah menunjukkan kekhawatiran bahwa bersamaan dengan penggunaan antibitiok secara berlebihan pada manusia, pemberian antibiotik dalam pakan ternak akan mengarah pada risiko kesehatan serius bagi manusia.

Sampai saat ini data mengenai resistensi antibiotik pada manusia maupun hewan di Indonesia masih sangat terbatas.

Di Amerika Serikat, 23 ribu orang meninggal dunia dan 8 juta harus terbaring di rumah sakit setiap tahun sebagai hasil dari infeksi antibiotik resisten. Sebanyak 80 persen antibiotik di negara tersebut digunakan untuk ternak dan 30 juta kilogram antibiotik digunakan setiap tahun untuk mengobati ternak yang tidak sakit.

Fakta tersebut mendorong Presiden Barack Obama untuk menyusun strategi nasional memerangi resistensi antibiotik pada tahun 2015 lalu.

Pengusaha peternakan dan peternak yang memberikan antibiotik dosis rendah setiap hari bakal mendapatkan 2-16 persen kenaikan berat badan ternaknya dibandingkan dengan yang tidak. Industri ternak dimana keuntungan dihitung dari berapa rupiah yang bisa diperoleh per ekor ternak, pertambahan berat badan seperti itu dianggap sebagai suatu hal revolusioner.

Meskipun belum terlalu jelas mengapa pemberian antibiotik dosis rendah, seperti tetrasiklin, ampisilin dlsbnya dapat meningkatkan berat badan ternak. Ada beberapa bukti yang mengindikasikan bahwa antibiotik membunuh flora yang normalnya berada dalam usus ternak, sehingga ternak menggunakan pakan secara lebih efektif. Menurut penelitian, efisiensi pakan bisa meningkat antara 3-9 persen.

Di sisi lain permintaan akan protein hewani untuk konsumsi manusia meningkat secara global pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Praktek-praktek produksi ternak modern memang selalu dikaitkan dengan penggunaan reguler antibiotik, dan berpotensi untuk meningkatkan tekanan selektif terhadap bakteria untuk menjadi resisten. Meskipun demikian, tidak ada pengukuran kuantitatif yang transparan mengenai konsumsi antibiotik secara global pada ternak.

Suatu studi yang menghitung proyeksi kebutuhan antibiotik untuk ternak dilakukan di 228 negara (termasuk Indonesia) oleh Van Boeckel dkk (2014). Konsumsi global antibiotik tahun 2010 diperkirakan 63,1 ribu ton. Proyeksi akan meningkat 67 persen menjadi 105,6 ribu ton pada tahun 2030.

Dua pertiga peningkatan global tersebut karena meningkatnya jumlah ternak yang digunakan untuk produksi pangan. Sedangkan sepertiga sisanya karena sistem beternak ekstensif akan digantikan sistem intensif yang menggunakan antibiotik secara rutin dalam operasinya.

Di Asia sendiri, sebanyak 46 persen peningkatan konsumsi antibiotik pada tahun 2030 karena adanya pergeseran ke sistem intensifikasi. Pada tahun 2030, konsumsi antibiotik di Asia diproyeksikan 58,8 ribu ton, merepresentasikan 82 persen dari konsumsi di tahun 2010.

Lima negara dengan porsi terbesar konsumsi antibiotik global pada ternak di tahun 2010 adalah China (23 persen), Amerika Serikat (13 persen), Brazil (9 persen), India (3 persen), dan Jerman (3 persen). Pada tahun 2030, peringkat ini diproyeksikan menjadi China (30 persen), Amerika Serikat (10 persen), Brazil (8 persen), India (4 persen), dan Meksiko (2 persen).

Lima negara dengan proyeksi terbesar dalam persentase kenaikan konsumsi antibiotik di tahun 2030 adalah Myanmar (205 persen), Indonesia (202 persen), Nigeria (163 persen), Peru (160 persen), dan Vietnam (157 persen).

Pelarangan

Dari data yang disampaikan di atas, dapat dibayangkan bahwa pelarangan penggunaan antibiotik pada ternak secara menyeluruh sudah barang tentu akan sangat mengurangi efisiensi industri, yang pada gilirannya akan menaikkan biaya produksi daging.

Sebagian industri percaya bahwa bukti ilmiah yang mengaitkan penggunaan antibiotik pada tingkat rendah untuk ternak yang memicu masalah resistensi antibiotik pada manusia belum dapat disimpulkan dan dijustifikasi untuk pelarangan tersebut.

Sampai saat ini, publikasi penggunaan antibiotik belum dianggap penting bagi industri obat hewan maupun industri ternak, sehingga informasi akurat mengenai jumlah antibiotik yang diberikan kepada ternak sulit diperoleh.

Kekhawatiran global tersebut telah mendorong hampir semua negara terutama negara-negara industri ternak seperti Kanada, Amerika Serikat, Uni Eropa untuk membuat peraturan yang melarang penggunaan sejumlah antibiotik untuk ternak potong. Indonesia juga melarang penggunaan beberapa antibiotik dalam pakan.

WHO, OIE dan FAO sepakat menyatakan resistensi antibiotik merupakan isu lintas sektoral dan holistik, karena antibiotik resisten menyebar melalui pangan dan digunakan secara luas di bidang produksi ternak dan akuakultur.Antibiotik yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit infeksi pada hewan bisa sama atau mirip dengan yang digunakan untuk manusia.

WHO mendeklarasikan perlunya pengurangan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan antibiotik pada ternak untuk melindungi kesehatan manusia. WHO juga merekomendasikan bahwa preskripsi diperlukan untuk semua antibiotik yang digunakan untuk mengobati ternak sakit, dan menghimbau upaya mengakhiri atau menghapus secara bertahap antibiotik yang digunakan sebagai pemacu pertumbuhan apabila antibiotik tersebut digunakan untuk pengobatan manusia.

Untuk mengatasi isu global ini diperlukan pendekatan One Health dan pendekatan rantai pangan, dimana dibangun kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan. Dokter hewan dan peternak perlu membantu memperbaiki praktek-praktek penggunaan antibiotik di lapangan. OIE menetapkan daftar antibiotik yang bisa digunakan untuk kepentingan kesehatan hewan, paralel dengan daftar antibiotik untuk kesehatan manusia yang dibuat WHO.

Ketiga badan internasional tersebut menghimbau untuk bicara satu bahasa dan menyusun usaha bersama untuk meminimalkan kemunculan dan penyebaran resistensi antibiotik. Upaya ditujukan untuk memastikan antibiotik tetap efektif dan berguna untuk menyembuhkan berbagai penyakit pada manusia dan hewan,promosi penggunaan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab, serta adanya akses berkesinambungan terhadap antibiotik yang bermutu baik.

TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

0 Komentar: