Minggu, 16 Mei 2010

Risiko penyakit “sapi gila” melalui impor daging

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Kekhawatiran masyarakat terhadap semakin merebaknya kasus daging impor ilegal terutama yang berasal dari negara belum bebas penyakit bovine spongiform encephalopathy (BSE) atau lebih dikenal dengan istilah penyakit “sapi gila” tentunya tidak dapat begitu saja diabaikan, akan tetapi tidak juga harus disikapi secara berlebihan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah menggunakan haknya dengan benar dalam membela konsumen terhadap ancaman penyakit sapi gila yang dapat menjangkiti manusia yang mungkin terbawa melalui daging impor ilegal tersebut. Namun demikian, timbulnya berbagai reaksi yang berbeda terhadap isu BSE yang dikaitkan dengan daging impor dari Amerika Serikat yang pada akhir tahun 2003 dilaporkan terjangkit satu kasus sapi gila, justru semakin membingungkan masyarakat dan bahkan tidak menambah pemahaman masyarakat tentang penyakit ini.

Dunia sudah mengenal BSE sejak 18 tahun yang lalu dan begitu banyak informasi mengenai penyakit ini dapat ditemukan di internet. Ribuan lembar kertas dapat dicetak dari internet untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang penyakit ini. Yang jelas BSE bukan merupakan suatu penyakit yang dapat menular dari hewan ke hewan. BSE adalah penyakit degenerasi syaraf pada sapi yang dihubungkan dengan konsumsi pakan yang berasal dari sisa-sisa karkas sapi yang tidak dikonsumsi manusia (rendered material) yang disebut ‘meat and bone meal’ (MBM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa agen penyebab BSE yang disebut prion (PrP) terdapat dalam MBM yang dimakan sapi tersebut. Prion (PrP) adalah suatu molekul protein yang terdapat pada membran sel syaraf yang mampu mereplikasi dirinya sendiri. Meskipun prion ada pada kebanyakan mamalia, akan tetapi sampai saat ini BSE baru ditemukan pada sapi. Prion ini sifatnya infektif dan berada pada tingkat kandungan tertentu dalam jaringan tubuh sapi, sehingga menentukan tingkat infektivitas bagian-bagian tubuh sapi. Konsentrasi prion yang sangat tinggi ada di beberapa bagian tubuh sapi yang disebut ‘specified risk materials’ (SRM). Daftar SRM meliputi tengkorak, otak, trigeminal ganglia, mata, tonsil, urat syaraf tulang belakang, dan dorsal root ganglia sapi berumur 30 bulan atau lebih, dan usus bagian distal ileum sapi semua umur.

BSE dan kesehatan manusia

Meskipun para ahli belum sepakat benar tentang kaitan BSE dengan kesehatan manusia, akan tetapi variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD) dianggap penyakit pada manusia yang ekuivalen dengan BSE pada sapi. Sejak timbulnya BSE pada tahun 1986, dilaporkan sampai dengan saat ini terjadi lebih dari 188.000 kasus BSE di dunia, sebagian besar di Inggris.

Begitu takutnya masyarakat dunia terhadap ancaman penularan dari daging sapi ke manusia, akan tetapi perlu disadari bahwa kasus vCJD pada manusia selama kurun waktu 25 tahun hanya terjadi kurang dari 160 kasus dan itupun 143 kasus terjadi di Inggris. Data lain menunjukkan pula bahwa meskipun pendedahan masyarakat Inggris terhadap daging terinfeksi BSE begitu meluas, presentase populasi yang didiagnosa vCJD sampai saat ini sangat kecil sekali. BSE menyebar di sebagian besar negara di Eropa, namun dalam perjalanannya telah meluas ke Jepang tahun 2001, satu-satunya negara tertular BSE di Asia, dan juga ke Kanada dan Amerika Serikat (AS) tahun 2003 (lihat Gambar 1).

Gambar 1: Distribusi geografis negara-negara tertular BSE (1989 – 2004)

 Sumber: FAO (2004)

Sejumlah negara melaporkan kasus BSE pada tahun 2003 ke OIE seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini. AS tidak dimasukkan ke dalam tabel ini, karena kasus positif BSE terjadi pada sapi impor asal Kanada. Pengalaman negara-negara tertular menunjukkan bahwa BSE hanya ditemukan pada sapi berumur lebih dari 24 bulan.

Tabel 1: Negara-negara yang melaporkan kasus BSE pada tahun 2003

Sumber: Animal Health Status Worldwide in 2003, OIE (2004)

BSE dan impor daging sapi

Dalam rangka mencegah masuknya BSE, pemerintah Indonesia hanya mengizinkan impor daging dari negara bebas BSE. Australia adalah negara pengimpor daging sapi ke Indonesia terbesar (68%), diikuti Selandia Baru (18%). Proporsi impor daging sapi dari AS pada tahun 2001 hanya menduduki peringkat ke-4 setelah Australia, Selandia Baru dan Uni Eropa dengan pangsa pasar hanya sebesar 6 persen (lihat Gambar 2). Larangan sementara impor daging dari Kanada dan AS segera diberlakukan setelah ditemukan satu ekor positif BSE di Kanada pada bulan Mei 2003 dan satu ekor lagi di AS pada bulan Desember 2003.

Gambar 2: Proporsi impor daging sapi ke Indonesia (2001)

Sumber: UN Trade Database (2001)

Dampak BSE menyebabkan ekspor daging sapi AS sebagai negara pengekspor nomor satu dunia merosot sampai 83 persen. Lebih dari 70 negara didunia memberlakukan pelarangan impor daging sapi dari AS. Pada tahun 2003, Indonesia melakukan impor 11,3 persen daging dan 88,7 persen jeroan (offal) dari AS. Jeroan meliputi jantung 8.098 ton (58,5%) dan hati 2.295,4 ton (16,6%). Jeroan dan hati disukai seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Di Indonesia, jantung digunakan sebagai bahan baku industri baso.

Para ahli mengatakan bahwa keberadaan prion bukan pada otot daging (muscle meat), akan tetapi pada syaraf yang ada pada daging. Dengan demikian resiko penularan dari daging yang berasal dari sapi semua umur sesungguhnya dapat diabaikan apabila prosedur pemotongan hewan dijalankan sesuai persyaratan kesehatan masyarakat veteriner. Tingkat infektivitas BSE bagian-bagian tubuh sapi dapat digolongkan menjadi tinggi, sedang, rendah dan tidak ada infektivitas. Hati tergolong tingkat infektivitas rendah, sedangkan jantung tidak memiliki infektivitas.

Faktor risiko BSE

Indonesia mencermati sejumlah faktor risiko (risk factor) yang digunakan untuk mencegah masuknya BSE melalui impor daging. Risiko yang harus dianalisa sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama tindakan-tindakan apa yang telah dilaksanakan oleh negara pengekspor daging dalam mengantisipasi kejadian BSE dan juga tindakan-tindakan baru apa yang dilaksanakan setelah ditemukannya kasus positif BSE. Pemerintah Indonesia menghentikan pelarangan impor daging dari AS pada bulan Juni 2004, setelah mempertimbangkan tujuh faktor risiko sebagai suatu alat untuk melakukan penilaian terhadap situasi BSE dan tindakan penanggulangan yang telah dilakukan oleh AS.

Prinsip kehati-hatian (precautionary principles) yang dianut pemerintah dalam menghadapi penyakit yang memiliki dampak terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat selalu dikedepankan sebagai suatu mekanisme pertahanan diri (bio-defense mechanism). Ada tujuh faktor risiko yang dianggap penting untuk menganalisa situasi BSE di suatu negara seperti diuraikan dibawah ini.

Pelepasan SRM dari rantai pangan. Upaya untuk memastikan agar SRM ini tidak menjadi bagian dari karkas sapi yang akan dikonsumsi manusia merupakan tindakan yang kritis dan sangat menentukan untuk melindungi kesehatan masyarakat.

MBM asal ruminansia sebagai pakan sapi. Sumber infeksi MBM harus dilarang untuk dikonsumsi oleh sapi untuk memotong siklus penularan. Praktek ’rendering’ sangat umum dijalankan di negara-negara industri sebagai upaya memanfaatkan sisa-sisa karkas hewan yang tidak dimakan manusia (non-edible offal) sebagai pakan ternak. Negara-negara tertular BSE tidak menghentikan praktek ini, akan tetapi menghilangkan SRM dari rantai pakan dan sebagian negara mengizinkan MBM untuk dimanfaatkan sebagai pakan unggas.

Impor sapi hidup dari Inggris dan negara lainnya yang tertular BSE. Masa inkubasi BSE sangat lama, rata-rata 7 tahun, sedangkan deteksi penyakit baru bisa dilakukan pada 6 bulan terakhir masa inkubasi. Untuk memperkirakan ada tidaknya resiko BSE, perlu diketahui kapan terakhir negara tersebut melakukan impor sapi hidup dari Inggris atau negara lainnya yang memiliki infeksi BSE pada sapi lokal dengan memperhitungkan lamanya masa inkubasi tersebut.

Impor MBM dari negara tertular BSE. Untuk memperkirakan seberapa besar resiko suatu negara, perlu diketahui kapan dimulai, berapa lama dan berapa jumlah impor MBM ke negara tersebut. Pada masa lalu, ekspor MBM dari Inggris dilakukan ke sejumlah negara terutama pada saat Inggris mengalami puncak wabah BSE tahun 1991-1996 dan dunia khawatir bahaya resiko belum dapat dihilangkan.

Pemeriksaan sebelum pemotongan hewan dengan gejala syaraf dan tidak mampu berdiri (downer animals). Sangat penting untuk memastikan bahwa pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante mortem) di rumah potong hewan dijalankan secara memadai, sehingga mampu mendeteksi hewan yang menunjukkan gejala syaraf dan tidak mampu berdiri, untuk kemudian diuji terhadap BSE.

Surveilans. Program surveilans BSE merupakan kegiatan yang dijalankan oleh negara tersebut secara reguler dan terstruktur yang memungkinkan sistem deteksi dini (early warning system). Jumlah sampel harus memadai untuk mampu mendeteksi infeksi sesuai tingkat insidens yang terjadi. Surveilans harus didukung oleh kemampuan diagnosa dan jaringan laboratorium yang memadai.

Sistem identifikasi ternak dan penelusuran(traceability). Kemampuan suatu negara untuk menelusuri ke belakang maupun ke depan (trace back and forward) sangat bergantung kepada sistem identifikasi ternak yang dijalankan. Sistem ini akan sangat berguna dalam menemukan sumber infeksi BSE.

*) Drh. Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, PhD, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian.

0 Komentar: