Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Suatu kejadian wabah flu babi yang cukup menjadi teka-teki bagi dokter hewan berlangsung di salah satu peternakan babi di North Carolina, Amerika Serikat (AS) pada tahun 1998. Setiap ekor babi dalam satu operasi yang berjumlah 2400 ekor jatuh sakit, dengan gejala yang mirip flu manusia. Virus yang berhasil diisolasi dari kejadian ini dikonfirmasi sebagai virus flu babi H3N2 strain baru.
Sebelumnya selama berpuluh tahun sejak tahun 1930, hanya ada satu subtipe virus flu babi yang menyerang populasi babi di Amerika Utara yaitu H1N1. Kelihatannya setelah bertahun-tahun stabilitas virus dapat terjaga, terjadi perloncatan evolusi ke jalur cepat yang memicu timbulnya berbagai varian baru setiap tahun.
Ternak babi sendiri diyakini sebagai “tabung pencampur” (mixing vessel) dimana virus flu asal babi, unggas dan manusia bercampur dan mencocokkan diri satu sama lain. Pada waktu itu kelihatannya virus flu babi strain baru yang muncul di Amerika Utara tersebut belum siap menulari manusia. Meskipun demikian para peneliti menganggap peristiwa tersebut cukup mengkhawatirkan dan menghimbau agar surveilans terus ditingkatkan baik pada manusia dan babi.
Flu H1N1 2009
Kemudian muncullah penyakit flu baru di Amerika Utara yang dianggap berkaitan dengan ternak babi pada kuartal pertama tahun 2009. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada bulan April 2009 kemudian menyatakan bahwa informasi ilmiah yang tersedia saat itu belum mendukung argumentasi bahwa ada hubungan antara kasus pada manusia dan kemungkinan kasus pada hewan termasuk babi. Virus belum diisolasi dari hewan sampai sekarang. Untuk itu, tidak ada justifikasi untuk menamakan penyakit tersebut “flu babi” dan lebih logis apabila menyebutnya “flu Amerika Utara”. Tetapi setelah itu dunia sepakat menyebutnya sebagai “flu H1N1 2009”.
Namun demikian, ditambahkan bahwa sangat urgen memulai penelitian ilmiah untuk mengetahui kepekaan hewan terhadap virus baru ini. Apabila virus ini terbukti sebagai penyebab hewan sakit, maka sirkulasi virus dapat memperparah situasi kesehatan masyarakat regional dan global.
Kemampuan virus influenza untuk melintas antar spesies dikendalikan oleh gen-gen yang dimiliki virus dan tingkat penularannya bergantung kepada spesies hewan.
Seperti halnya dengan flu burung, dunia menyadari bahwa praktek-praktek industri peternakan dengan tingkat kepadatan yang semakin tinggi dengan sanitasi buruk telah mendorong peningkatan evolusi virus flu. Secara global, dalam dekade terakhir ini produksi babi dan unggas adalah subsektor peternakan yang berkembang dan terindustrialisasi paling cepat dengan tingkat pertumbuhan per tahun berturut-turut sebesar 2,6 dan 3,7 persen. Begitu juga produsen babi skala besar di Amerika Utara tumbuh menjadi lebih besar lagi dan ini membuat kebanyakan skala kecil harus keluar dari bisnis. Persentase peternakan babi dengan 5 ribu ekor babi atau lebih melonjak dari 18% pada tahun 1993 menjadi 53% pada tahun 2002.
Dampak intensifikasi
Dampak polusi industri peternakan besar seringkali sulit dikendalikan. Virus flu antar babi ditularkan melalui titik air (droplet) atau erosol dari sekresi cairan hidung babi. Berton-ton pakan dan ribuan liter air harus disuplai kepada babi atau ayam dan apabila tidak ada tindakan biosekuriti yang memadai, maka ini merupakan jalur masuk yang potensial untuk virus flu. Begitu juga diperlukan prosedur pembuangan (disposal) untuk menangani berton-ton limbah kotoran kandang.
Pengandangan babi dengan pemeliharaan intensif memerlukan kendali untuk mengurangi panas dan mengatur kelembaban. Pada umumnya kandang babi atau ayam diberi ventilasi dengan kipas angin bervolume besar yang bisa menggerakkan sejumlah material tertentu ke lingkungan sekitarnya. Emisi debu baik partikel-partikel yang kelihatan (> 10 mikron) dan yang tidak kelihatan (< 10 mikron) yang berasal dari ribuan ekor babi atau ayam tentu akan sangat substansiil.
Emisi erosol dari suatu operasi peternakan babi atau ayam yang besar menghasilkan konsentrasi debu yang sangat tinggi sekali. Partikel debu mampu bertahan di udara selama beberapa hari dan debu bisa dijumpai beberapa kilometer dari peternakan bergantung kepada angin. Meskipun sedikit sekali diketahui tentang daya tahan virus flu pada partikel debu, konsentrasi virus flu yang tinggi pernah dideteksi pada sampel air dari kandang tertular.
Para ahli mengatakan dengan kelompok 5 ribu ekor babi, apabila strain virus baru muncul maka virus tersebut memliki lebih banyak kesempatan untuk bereplikasi dan berpotensi untuk menyebar dibandingkan dengan kelompok yang hanya terdiri dari 100 ekor di suatu peternakan babi skala kecil.
Sejumlah penggiat lingkungan internasional mengatakan bahwa perusahaan peternakan skala besar terutama babi dan unggas merupakan ‘tempat tidur panas’ bagi pandemi. Di satu sisi ekspansi industri bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, akan tetapi di sisi lain menciptakan suatu lapangan pembibitan yang sempurna bagi munculnya dan menyebarnya virus flu strain baru yang lebih virulen.
Pandemi H1N1
Dengan kecenderungan pembentukan kluster-kluster geografis peternakan babi dan unggas di beberapa belahan dunia dan potensi evolusi virus flu dalam rentang waktu 60 tahun, sudah seharusnya dunia terus mengkaji dan mencermati secara ilmiah beberapa hal mengenai kemungkian terjadinya pandemi H1N1.
Pertama, dunia menghadapi ketidakpastian tentang ke arah mana spektrum virus flu H1N1 2009 akan berkembang. Para ahli berbeda pendapat terutama dengan membandingkan virus H1N1 dengan virus flu burung H5N1 dari segi keganasannya. Ada yang mengatakan virus H1N1 akan berkembang jauh lebih berbahaya dengan daya bunuh tinggi daripada H5N1, karena lebih mudah menular antar manusia.
Ahli lain mengatakan virus H5N1 lebih mematikan daripada H1N1, meskipun sejauh ini perpindahan antar manusia amat sulit. Justru dengan ketidakpastian tersebut, Indonesia tidak boleh lengah dalam melakukan monitoring dan surveilans yang memadai dan berkesinambungan terhadap virus flu. Sentinel flu sebagai salah satu metoda surveilans merupakan salah satu alat peringatan dini dan juga sekaligus deteksi dini pada manusia.
Kedua, virus H5N1 maupun virus H1N1 cenderung mengalami mutasi dan/atau penataan ulang gen-gen dengan virus flu lain, sehingga kita tidak tau bagaimana H5N1 berperilaku dengan adanya tekanan H1N1 di lingkungan sekitarnya atau sebaliknya. Yang tidak boleh kita lupakan adalah virus H5N1 yang menular antar unggas dan menular dari unggas ke manusia bisa bermetaformosis menjadi bentuk yang ganas dan menular dari manusia ke manusia, seperti halnya H1N1.
Ini sekaligus mengingatkan kita semua agar negara-negara yang masih belum bebas H5N1 bahkan endemik H5N1, seperti Indonesia, untuk tidak mengabaikan monitoring dan surveilans pada hewan serta lebih serius melakukan investasi untuk memperkuat sistem kesehatan hewan dan kapasitas sumberdayanya.
Ketiga, virus H1N1 sebenarnya bentuk virus yang selama bertahun-tahun ditakutkan oleh ahli-ahli epidemiologi dan menggejala di hampir seluruh belahan dunia. Pasalnya, virus baru ini termasuk kombinasi beragam jenis virus dari binatang yang akan mudah berpindah ke manusia. Meskipun virus H1N1 yang muncul sekarang ini sudah menunjukkan indikasi tersebut, tetapi masih banyak kemungkinan lainnya bahwa H1N1 baru atau kombinasi virus lainnya akan muncul dengan kapasitas lebih daripada saat ini. Hal ini sekaligus menekankan pentingnya pertukaran informasi yang transparan tentang surveilans maupun hasil penelitian antar negara-negara di dunia.
Indonesia perlu membuka diri dan menjalin kerjasama yang transparan dengan badan-badan internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), maupun juga negara-negara lain di dunia. Transparan dalam arti siap untuk berbagi informasi termasuk mengirimkan sampel atau material berbahaya ke laboratorium-laboratorium rujukan internasional sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kesiapsiagaan
Sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia menyatakan siaga terhadap datangnya pandemi H1N1. Namun perlu dicatat, masih ada keragu-raguan dari banyak pihak tentang bagaimana penanganan negara-negara berkembang di Asia dan Afrika yang sekaligus menghadapi masalah penyakit seperti TBC, Malaria, Aids, dan lain sebagainya, serta juga masalah kelaparan dan kemiskinan ditengah-tengah terpaan krisis ekonomi dunia.
WHO telah menyatakan flu H1N1 sebagai pandemi (fase 6), akan tetapi dilihat dari perjalanan penyakit ternyata pandemi ini memang tidak “terlalu menakutkan”. Hal ini dilihat dari kecepatan penjalaran penyakit, tingkat kematian yang sekitar 0,5% dan tingkat keganasan virus. Penetapan pandemi lebih kepada penyebaran penyakit yang sudah meluas ke 74 negara dan menjangkiti manusia lebih dari 27 ribu kasus.
Meskipun demikian hal ini tidak boleh melemahkan semua pihak di Indonesia untuk tetap melakukan standar prosedur operasi kesiapsiagaan pandemi dan mempertahankannya, sehingga setiap saat siap untuk diaktivasi sesuai kebutuhan.
Seperti halnya negara-negara lain yang terjangkit H5N1, Indonesia memang tidak memerlukan reaksi kesiapsiagaan yang spesifik untuk menghadapi pandemi H1N1. Namun sangat penting bagi Indonesia untuk mengumumkan kesiapsiagaannya dan menunjukkan tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Dengan sumberdaya manusia, infrastruktur dan keuangan yang terbatas, maka persoalannya adalah bukan hanya sekedar mengaktivasi atau mereaktivasi sistem kesiapsiagaan pandemi yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk H5N1.
Indonesia juga perlu memastikan apakah dalam keadaan pandemi sesungguhnya dimana tingkat darurat dan kompleksitas sangat tinggi, koordinasi dan kolaborasi multisektoral bisa berjalan mulus dan saling dukung dalam melakukan tindakan-tindakan yang bisa meminimalkan dampak dan sekaligus menenteramkan masyarakat. Perlu dikaji dengan simulasi pandemi untuk memastikan apakah kapasitas legislasi dan sumberdaya yang kita miliki sudah bisa dikatakan cukup.
*) Bekerja di World Organization for Animal Health (OIE) Regional Coordination Unit for South East Asia di Bangkok
0 Komentar:
Posting Komentar