Minggu, 16 Mei 2010

Pentingnya pengawasan rantai pangan dan pakan dalam importasi hewan dan produk hewan

Oleh Tri Satya Putri Naipospos

Kebijakan importasi hewan dan produk hewan sangat bergantung kepada sejauh mana suatu negara pengimpor mempercayai kredibilitas negara pengekspor dalam melaksanakan sistem kesehatan hewan, termasuk didalamnya pengawasan rantai pangan dan pakan (food and feed chain).

Rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan importasi daging beku tanpa tulang (frozen deboned meat) dan tepung daging-dan-tulang (meat-and-bone meal/MBM) dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) atau sapi gila/bovine spongiform encephalopathy (BSE) sangat terkait dengan tingkat kepercayaan terhadap sejauh mana negara pengekspor dapat memberikan jaminan keamanan pangan (food safety assurance).

Apabila rencana importasi tersebut tetap dilaksanakan, maka titik berat langkah penanganan PMK atau BSE terletak pada jaminan keamanan terhadap produk daging dan MBM yang dilaksanakan di negara asal. Untuk mendapatkan jaminan tersebut, maka pemerintah Indonesia harus mampu mengkaji sejauh mana negara pengekspor tersebut telah melaksanakan semua persyaratan kesehatan hewan terkait dengan PMK atau BSE yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).

Analisa risiko

Upaya ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan metoda analisa risiko dengan mempelajari seluruh skenario perlakuan dan pengawasan yang terjadi dalam setiap kali importasi. Sangat penting untuk diketahui skenario di negara asal mulai dari asal hewan, pengangkutan ke rumah pemotongan hewan, pemeriksaan kesehatan sebelum dan sesudah dipotong (ante dan post mortem), perlakuan sebelum dikemas sampai kepada saat pengangkutan ke kapal.

Begitu juga pada saat produk daging atau MBM masuk ke Indonesia, perlu diketahui skenario perlakuan dari saat tiba di pintu masuk, diangkut ke tempat penyimpanan, dikemas dalam bentuk yang lebih kecil sampai didistribusikan ke konsumen.

Apabila dianggap bahwa meskipun negara tersebut belum bebas PMK atau BSE akan tetapi pemenuhan terhadap persyaratan OIE dinilai cukup memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan, maka titik berat jaminan keamanan benar-benar beralih kepada pengawasan rantai distribusi di dalam negeri.

Dengan demikian sistim kesehatan hewan nasional (siskeswannas) harus mampu memberikan jaminan keamanan yang dibutuhkan, terutama dalam menjalankan pengawasan di titik-titik kritis sepanjang mata rantai distribusi mulai dari karantina pemasukan sampai ke industri pengolah/pengecer untuk daging atau industri pakan untuk MBM.

Kelemahan pengamanan

Tingkat keberhasilan pengamanan bergantung kepada kapasitas dan konsistensi pemerintah dalam mengamati dan mengkaji situasi PMK atau BSE di negara pengekspor dan efektivitas sistem pengawasan rantai pangan dan pakan di dalam negeri. Sangat disadari bahwa baik terhadap PMK maupun BSE, pengawasan sangat sulit dilakukan apabila daging atau MBM sudah masuk ke Indonesia, karena belum tersedia uji yang dikembangkan secara akurat untuk memeriksa daging atau MBM terhadap PMK atau BSE.

Untuk menjalankan pengawasan rantai pangan dan pakan dibutuhkan dukungan peraturan perundangan yang memadai, kelembagaan yang kuat dan sumberdaya manusia yang handal. Sampai saat ini bisa dikatakan bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memberikan perhatian khusus untuk membangun sistem tersebut.

Kewenangan yang tumpang tindih tentang sistem keamanan pangan (food safety) di berbagai instansi pemerintah, penerapan peraturan yang lemah (weak law enforcement), jumlah tenaga pengawas terutama dokter hewan sangat kurang adalah faktor yang sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pemerintah dalam mengatasi masalah ancaman penyakit hewan yang bisa terbawa melalui perdagangan hewan dan produk hewan.

Berbagai faktor yang menjadi kendala penghambat penanganan yang dilakukan pemerintah, mulai dari kelembagaan, infrastruktur, tenaga dan anggaran. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah, maka perlu dilakukan upaya khusus secara bertahap dan konsisten untuk memperkuat sistem pengawasan pangan dan pakan.

Penguasaan terhadap analisa risiko harus diperkuat dengan kemampuan untuk menetapkan tindakan-tindakan apa yang diperlukan untuk meminimalkan faktor risiko (risk mitigation) yang mungkin membawa agen penyakit ke negara pengimpor. Pemerintah harus mampu memprioritaskan upaya-upaya perbaikan sistem secara cepat dan tepat sasaran sejalan dengan rencana importasi yang akan dilakukan.

Status bebas penyakit

Sampai dengan saat ini, menurut OIE ada banyak negara di dunia yang statusnya bebas PMK. Begitu juga hampir sebagian besar negara-negara di Amerika Selatan, Asia (kecuali Jepang), Afrika yang masih bebas BSE. Namun demikian hanya ada sedikit negara pengekspor besar sapi maupun daging sapi yang statusnya bebas PMK maupun BSE, kecuali Australia dan Selandia Baru.

PMK masih menjadi ancaman dan masalah bagi negara-negara pengekspor utama di Amerika Selatan seperti Brazil dan Argentina. Meskipun Argentina memiliki bagian negara atau zona bebas yang statusnya bebas PMK dan diakui oleh OIE, akan tetapi impor daging yang dilakukan dari negara ini harus dilakukan dengan memperhatikan situasi perkembangan PMK di negara tersebut paling tidak selama 10 tahun terakhir.

Meskipun situasi BSE di tempat asalnya yaitu di Eropa sudah semakin menurun dan praktek pemberian MBM untuk ternak ruminansia dilarang di banyak negara, akan tetapi bukan berarti bahwa ancaman penyakit ini berkurang. Jepang, Kanada dan Amerika Serikat adalah negara-negara maju yang industri peternakannya sangat tangguh, akan tetapi pernah mengalami masa-masa dimana kejadian BSE di negaranya mempengaruhi tingkat konsumsi daging sapi.

Pemerintah negara tersebut harus melakukan kampanye yang luar biasa besarnya dengan pembiayaan yang cukup tinggi untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap daging sapi. Untuk beberapa waktu lamamya, pemerintah Amerika Serikat mengkampanyekan “US Beef is safe” untuk memulihkan kembali ekonomi industri sapi potong yang kehilangan pasar di banyak negara. Masa inkubasi penyakit yang sangat lama menyebabkan peluang munculnya BSE masih dianggap sebagai ancaman ke depan.

Satu hasil survei di Jepang yang dilakukan setelah BSE muncul di negara tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan secara drastis konsumsi daging sapi dan konsumen bersedia membayar harga premium rata-rata 50% lebih tinggi untuk daging sapi yang telah melalui pemeriksaan terhadap BSE.

Perlindungan konsumen

PMK tidak dikategorikan sebagai zoonosis, karena sifat penyakitnya yang sangat sulit untuk menular ke manusia dan kalaupun dapat tertular maka hanya akan menimbulkan gejala yang sangat ringan sekali. Dengan demikian PMK tidak memiliki dampak yang merugikan kesehatan manusia, sehingga tidak ada langkah-langkah khusus yang bisa dilakukan oleh konsumen.

PMK lebih ditakuti oleh karena kemampuan virus PMK untuk menyebar sangat cepat pada kelompok sapi dan dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Peluang ekspor sapi hidup akan tertutup sama sekali dan ekspor daging sulit untuk diterima oleh negara lain. Sekali PMK masuk ke suatu negara, maka akan sangat sulit untuk memberantas virus PMK sampai negara tersebut mencapai status bebas kembali.

Sebaliknya dengan BSE, apabila daging yang tertular tersebut BSE diimpor ke Indonesia, maka sangat sulit bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan prosedur uji pengawasan terhadap rantai pangan dan pakan. Manusia tertular BSE melalui konsumsi daging yang tertular dalam bentuk yang disebut sebagai Variant Creutzfeldt Jacob disease (vCJD) – penyakit yang menyerang sistim syaraf manusia, jarang terjadi akan tetapi bersifat sangat fatal.

Dengan demikian yang justru perlu ditingkatkan pengawasannya oleh pemerintah adalah penerapan sistem jaminan mutu pada proses penyimpanan dan distribusi daging. Sangat dianjurkan dari sisi konsumen untuk lebih memilih membeli daging pada tempat-tempat penjualan daging yang mendapatkan izin dari pemerintah dan bahkan memiliki label untuk menunjukkan bahwa daging tersebut telah melalui pemeriksaan pihak yang berkompeten.

*) Drh. Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, PhD, Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)

0 Komentar: