Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) termasuk didalamnya sistem pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki banyak kelemahan. Kelemahan tersebut mengakibatkan sistem tidak dapat berjalan efektif, oleh karena diimplementasikan tanpa dibarengi pemahaman dan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang epidemiologi penyakit hewan menular dan cara-cara pengendaliannya. Padahal keberhasilan sistem tersebut ditentukan oleh kemampuan negara dalam mengendalikan dan kemudian membebaskan diri dari berjangkitnya penyakit hewan menular.
Kelemahan siskeswannnas merupakan penyebab utama timbulnya kerugian akibat berjangkitnya penyakit hewan menular. Penyakit hewan menular yang berdampak terhadap produksi ternak seringkali menjadi salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi ternak dan juga tertutupnya akses ekspor ternak dan produk ternak. Bahkan dapat menjadi ancaman terhadap kesehatan manusia apabila penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis).
Di sisi lain, satu kenyataan yang tidak bisa dihindari adalah dimana penyakit-penyakit hewan menular yang mampu menyebar dari satu negara ke negara lain dan bahkan dari satu benua ke benua lain yang disebut sebagai penyakit-penyakit hewan lintas batas (transboundary animal diseases) semakin meningkat di era globalisasi perdagangan dan transportasi ini.
Kelemahan siskeswannas
Berbagai macam faktor menjadi penyebab dari kelemahan siskeswannas tersebut. Banyak contoh di negara berkembang dimana pelayanan kesehatan hewan tidak memperoleh sumberdaya yang memadai dari pemerintah, terutama untuk membangun dan memfungsikan laboratorium dan klinik lapangan, melengkapi peralatan dan tenaga teknis serta alokasi biaya operasional.
Begitu juga halnya di Indonesia, permasalahan mendasar dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular pada umumnya adalah kurang memadainya sumberdaya manusia, terbatasnya kemampuan mobilitas, minimnya kapasitas laboratorium dan biaya operasional. Kadangkala masalah yang dihadapi bukan hanya tidak memadai atau minim, bahkan di beberapa provinsi atau kabupaten tidak tersedia sama sekali.
Pengaruh dari kelangkaan dan rendahnya kualitas pelatihan dari tenaga teknis lapangan yang memberikan pelayanan kesehatan hewan di lapangan, ditambah dengan terbatasnya fasilitas penelitian yang tersedia di negara-negara berkembang sangat dirasakan pengaruhnya dalam ketepatan dan kecepatan deteksi dan respon cepat terhadap penyakit hewan menular.
Kelemahan utama pada kebanyakan negara berkembang adalah ketidakberdayaan menghadapi penyakit-penyakit eksotik dan ketidakmampuan dalam mendiagnosa penyakit-penyakit tersebut secara cepat dan memberantas seketika penyakit-penyakit eksotik tersebut ketika ditemukan. Pada umumnya penyakit-penyakit eksotik yang biaya pengendaliannya sangat mahal hanya dapat dicegah atau diberantas bilamana masuknya penyakit tersebut dapat didiagnosa secara akurat dan cepat.
Dokter hewan pemerintah
Ketersediaan tenaga dokter hewan cenderung terkonsentrasi pada tingkat administrasi yang lebih tinggi di pemerintahan, apabila dibandingkan dengan sangat sedikitnya tenaga dokter hewan pemerintah terlatih dengan atau tanpa gelar tambahan yang berada di lapangan.
Dokter hewan pemerintah yang ada di lapangan kadang-kadang menerima pelatihan teknis pada saat berdinas (in-service training). Padahal sesungguhnya para dokter hewan tersebut adalah pelaksana-pelaksana kunci yang terjun langsung dalam realitas penyakit hewan dan bertanggung jawab terhadap diagnosa penyakit baik pada individu ternak maupun kawanan ternak.
Kinerja siskeswannas ditentukan melalui laporan-laporan mereka ke tingkat kabupaten, kemudian ke tingkat propinsi dan akhirnya dikompilasi secara nasional. Hal ini memberikan gambaran bahwa sejumlah besar dokter hewan yang berada di akar rumput yang tingkat pengetahuan dan ketrampilannya perlu terus menerus ditingkatkan adalah orang-orang yang berperan besar dalam menghasilkan informasi yang digunakan untuk menyusun dasar kebijakan siskeswannas di tingkat nasional.
Padahal pada kenyataannya seringkali individu-individu dokter hewan pemerintah tersebut kekurangan sarana mobilitas dan peralatan teknis yang diperlukan, meski tanggung jawabnya acapkali menjangkau wilayah-wilayah yang luas dengan komunikasi yang sulit. Jelas hal inilah yang menjadi sebab mengapa data dasar – baik itu prevalensi penyakit, kerugian penyakit maupun efektivitas tindakan pengendalian – yang dijadikan sebagai masukan bagi otoritas veteriner untuk membuat kebijakan menjadi memprihatinkan dan kurang memadai dari segi kuantitas maupun kualitas.
Hambatan akibat ketidak tersediaan suatu bagian saja yang dianggap penting dapat merembet ke keseluruhan pelayanan kesehatan hewan di lapangan. Contohnya tidak tersedianya alat transportasi buat tenaga teknis lapangan, tidak tersedianya peralatan dan suku cadang kendaraan, hilang atau rusaknya peralatan laboratorium, tidak tersedianya sarana komunikasi yang cepat dan lain sebagainya.
Tenaga-tenaga dokter hewan pemerintah sering harus ditempatkan di wilayah-wilayah terpencil dengan kelayakan sarana dan prasarana yang sangat terbatas. Oleh sebab itu kebanyakan mereka lebih suka untuk tinggal di wilayah-wilayah yang memiliki fasilitas cukup dan bahkan kepentingan untuk menjangkau layanan internet. Wajarlah kalau dilihat bahwa dokter hewan pemerintah lebih suka untuk bermukim di pusat pemerintahan atau paling tidak di kota-kota besar.
Prasyarat program
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), ada empat prasayarat yang harus dipenuhi negara berkembang dalam melaksanakan program-program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular yang efektif.
Prasyarat pertama adalah adanya suatu kebijaksanaan nasional yang jelas dan implementatif. Oleh karena produksi ternak adalah penting bagi perekonomian di tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun nasional, maka upaya penanganan dan sumberdaya harus dicurahkan untuk mencegah masuknya penyakit-penyakit eksotik serta mengendalikan dan memberantas penyakit-penyakit endemik.
Biaya pencegahan masuknya penyakit eksotik memang cukup mahal terutama dalam menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk kepentingan untuk memiliki laboratorium bio-safety tingkat 3 (BSL 3), akan tetapi secara ekonomis hal ini sangat menguntungkan bagi negara tersebut.
Prasyarat kedua adalah adanya suatu pasukan veteriner lapangan yang aktif dan dapat dimobilisasi setiap saat diperlukan. Pasukan ini bekerja mengumpulkan sampel dalam rangka surveilans pasif maupun aktif, melancarkan pengobatan dan vaksinasi serta melaksanakan banyak tugas-tugas lainnya yang diperlukan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan epidemiologi penyakit.
Tentunya tenaga-tenaga veteriner lapangan haruslah diperlengkapi dengan alat mobilisasi, prasarana dan sarana yang diperlukan dan ditempatkan di wilayah-wilayah padat ternak. Pentingnya keberadaan pasukan veteriner lapangan terutama di wilayah-wilayah padat ternak perlu lebih mendapatkan penghargaan dari pemerintah setempat.
Prasyarat ketiga adalah dukungan laboratorium veteriner yang mampu mendiagnosa secara akurat dan tepat waktu. Seringkali untuk membuat laboratorium yang berfungsi baik, diperlukan biaya yang besar. Pada kenyataannya peran laboratorium kurang diperhatikan oleh pemerintah, sehingga investasi di bidang ini sangat tidak memadai.
Prasyarat keempat adalah pelatihan yang cukup dan disesuaikan dengan tingkat kepraktisan yang dibutuhkan. Pada kenyataannya pelatihan-pelatihan yang diterima terutama bagi tenaga-tenaga veteriner lapangan seringkali sangat sedikit dan jarang.
Surveilans dan monitoring
Program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dalam kenyataannya memerlukan organisasi dan pembiayaan jauh lebih besar dari yang mampu disediakan. Tidaklah heran dibawah suasana seperti ini, maka Indonesia belum berhasil memberantas penyakit-penyakit hewan menular seperti rabies, anthrax, brucellosis, flu burung dan lainnya. Pada dasarnya disebabkan tidak tersedianya anggaran yang memadai untuk penyediaan uji diagnostik yang dapat dipercaya dan vaksin yang efektif.
Kejadian wabah penyakit flu burung atau avian influenza yang menjangkiti Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini mengindikasikan adanya kelemahan peraturan perundangan dalam upaya pengendalian dan pemberantasannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dihindarkan bahwa penyakit avian influenza pada akhirnya menjadi suatu penyakit yang gambaran epidemiologisnya belum dapat diuraikan secara baik dan situasinya sudah menjadi endemik.
Penyakit-penyakit hewan menular tidak mengenal batas wilayah kecuali apabila terdapat perintang alamiah. Mengingat hal ini, sangat penting bahwa dalam program pengendalian dan pemberantasan harus dikedepankan upaya surveilans dan monitoring yang seharusnya dilaksanakan di setiap wilayah, terutama yang berisiko tinggi, seperti daerah yang berbatasan dengan negara atau wilayah tertular.
Surveilans dan monitoring bukan hanya harus dilakukan terhadap penyakit-penyakit hewan menular yang bersifat endemik, akan tetapi juga terhadap penyakit eksotik. Oleh karena itu, apabila surveilans dan monitoring terhadap penyakit mulut dan kuku (PMK) tidak dilakukan secara berkelanjutan, maka Indonesia sebagai negara yang bebas PMK akan menderita kerugian ekonomi yang besar apabila penyakit ini masuk atau muncul kembali.
Kompensasi dan vaksinasi
Seringkali kendala dalam melaksanakan program-program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular adalah keterbatasan atau tidak tersedianya sama sekali dana ganti rugi atau kompensasi yang pantas bagi peternak yang ternaknya menderita atau terpapar penyakit dan harus dimusnahkan. Tidaklah mungkin untuk mendapatkan dukungan peternak atau industri bilamana ternak-ternak yang harus dimusnahkan tersebut tidak memperoleh kompensasi yang pantas.
Faktanya program vaksinasi lebih banyak dilaksanakan dan hanya sedikit program-program seperti ”uji dan potong” (test and slaughter) atau pemusnahan menyeluruh (stamping out) dalam radius tertentu, mengingat secara ekonomi program vaksinasi lebih disukai dalam upaya mengendalikan dan memberantas penyakit.
Pada kenyataan dimana pemusnahan ternak dilakukan tanpa disertai ganti rugi yang pantas, maka pemilik ternak atau industri cenderung untuk tidak melaporkan kejadian penyakit. Tidak dilaporkannya kejadian penyakit sudah tentu menghambat kelancaran program atau bahkan menjadikan pelaksanaan program pemberantasan tidak memungkinkan sama sekali.
Kebutuhan paling kritis yang perlu diantisipasi adalah penyediaan dana kompensasi yang pantas ketika suatu wabah penyakit eksotik telah berjangkit. Seringkali bermilyar-milyar rupiah dipertaruhkan bergantung pada seberapa cepat kawanan-kawanan ternak yang tertular dapat diasingkan dan dimusnahkan untuk mencegah agar wabah dapat dihentikan dan penyebaran tidak meluas. Upaya penghentian wabah harus dianggap sebagai tindakan darurat untuk mencegah sedapat mungkin penyakit eksotik tersebut menjadi endemik. Pada kurun waktu kritis demikian, kompensasi kerugian haruslah pantas untuk menjamin pelaporan penyakit dan kerjasama yang baik dari peternak atau industri.
DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, MPHIL, PHD
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)
0 Komentar:
Posting Komentar